Permulaan abad 16 (tahun 1511) orang Barat mulai berdatangan ke Indonesia. Yang pertama kelompok orang-orang Portugis menguasai Malaka. Pada akhir abad 16 datang pula orang-orang Belanda, Inggris, dan Denmark. Belanda berhasil mendirikan pemukiman di Indonesia. Pemukiman masyarakat Belanda, bermula di Ambon pada tahun 1607, tetapi kedudukannya yang terpenting adalah di Batavia yang didudukinya pada tahun 1619. Pemukiman masyarakat Belanda kebanyakan pegawai VOC. Golongan yang terbesar adalah tentara dan pegawai dagang VOC. Mereka kebanyakan lelaki. Kaum wanita amat terbatas pada istri-istri pejabat tinggi saja. Pada permulaan abad 19 dalam sejarah kolonial Belanda akhirnya dikenal adanya lapisan-lapisan sosial berdasarkan struktur politik dan ekonomi. Para pejabat dan pengawal Belanda dengan sendirinya menduduki status paling tinggi, disusul Timur Asing (Cina, Arab, Keling dan kemudian penduduk pribumi). Cara hidup lapisan-lapisan sosial ini akan memberikan ciri masing-masing kelompoknya. Termasuk jenis seni pertunjukan yang digemari. Percampuran hidup kesenian mungkin saja terjadi di lingkungan masing-masing golongan. Pemukiman masyarakat Barat dan Timur asing adalah di kota-kota besar, terutama di kota-kota pelabuhan, di mana frekuensi kegiatan perdagangan sangat tinggi. Percampuran inilah kelak yang akan menumbuhkan kebudayaan kota, yang akan menjadi titik tolak dari kebudayaan nasional. Percampuran budaya semacam ini juga dimungkinkan adanya percampuran biologis (perkawinan). Pinjam meminjam unsur kesenian (terutama seni pertunjukan yang biasa diadakan dalam peristiwa- peristiwa ritual seperti perkawinan atau pesta- pesta biasa) itu akan terjadi terutama di lingkungan masyarakat yang statusnya lebih rendah, yakni lingkungan Timur Asing dan pribumi. Adalah umum bahwa kesombongan budaya akan tetap dibawa oleh golongan penguasa, dalam hal ini Belanda. Itulah sebabnya pengaruh budaya Indonesia dan Timur Asing terhadap lingkungan masyarakat Belanda kalau dibanding sebaliknya. 2. Kegiatan Teater yang Mula-Mula Sekitar tahun 1620-an di Batavia telah dikenal adanya kegiatan teater boneka atau marionet yang dilakukan oleh orang-orang Portugis. Bangsa pencinta seni ini meninggalkan kesan mendalam bukan hanya di bidang musik (keroncong) tetapi juga teater boneka. Dilingkungan Belanda telah pula muncul kegiatan berteater. Kenyataan ini terbetik dari berita adanya Pementasan lakon “Raja Swedia dan Raja Denmark” di kota Batavia sewaktu kota tersebut dikepung oleh tentara Sultan Agung pada tahun 1629. Kegiatan teater yang agak berarti terjadi pada tahun 1757. Setelah lebih satu abad Belanda bermukim di Batavia. Pada tanggal 20 Juni 1757, bekas Letnan Dua kesatuan “Naga”, Gabriel Besse du Pouget (seorang Perancis), pemilik losmen khusus kaum pria, diluluskan permintaan izinnya oleh pemerintah untuk mendirikan bangunan “pusatkomidi”. Setelah 13 tahun lamanya, setelah terjadi pemindahan tangan dari Pouget ke Keyser (1760) kemudian ke tangan Cornelis Dombung, tepatnya pada tahun 1770 seluruh bangunan diratakan dengan tanah. Karena “Tak ada lagi kesempatan untuk menyajikan pertunjukan-pertunjukan secara tetap”. Kegiatan teater baru dimulai kembali lagi sepuluh Thun kemudian, yakni pada tahun 1780. Seorang Prancis lagi, Jean Bouhon mendirikan gedung sandiwara di bagian utara kota Batavia. Belum sebulan muncul terjadi penyerangan dari Inggris ke kota Batavia. Namun bukan peperangan yang membuat perkembangan teater Barat di Batavia terhenti, tetapi justru masyarakat Belanda di Batavia sendiri. Kegiatan teater adalah kegiatan “yang berpaling dari singgasana Tuhan”, begitu menurut mereka yang kebanyakan beragama Calvinis. Setelah lebih dari 20 tahun lamanya, yaitu pada tahun 1805 beberapa orang membentuk perkumpulan teater amatur yang diberi nama Insshhikkelijk voor lof (Kekhidmatan puji-pujian). Rombongan ini menduduki tempat terhormat di lingkungan masyarakat Eropa dan Belanda, karena bendaharanya seorang anggota Dewan Hindia, Holle. Perkumpulan dapat bertahan selama hampir lima tahun, dan rontok ketika Daedels berkuasa. Tahun 1812 Indonesia dikuasai Inggris di bawah Raffles pencinta kebudayaan Timur. Pada tahun 1814 baru muncul kegiatan teater lagi oleh anggota-anggota tentara Inggris di Batavia..eka mendirikan gedung di lapangan Banteng yang terbuat dari dinding anyaman bambu, atap alang-alang dan peralatan kayu-kayu. Masyarakat menyebutnya Gedung Teater Militer di Weltevreden. Kegiatan teater amatur Inggris ini berlangsung sampai perpindahan kekuasaan Inggris kepada Belanda menurut Konvensi London tahun 1816. Rupanya dendam Belanda terhadap Inggris telah demikian kerasnya sehingga ketika di teater tersebut sedang dipentaskan Hamlet, serombongan tentara Belanda menyerbu dan mengobrak-abrik gedung. Peristiwa ini sempat dikecam oleh Inggris sebagai perbuatan tercela dari “tentara sewaan Jan Pieterzoon Coen” 3. Perkumpulan Teater “UT Desint” Kegiatan Teater Militer Weltevreden diteruskan oleh Belanda dengan mendirikan perhimpunan teater amatur yang dinamai Ut Desint Virest. Perhimpunan ini diresmikan pada tanggal 21 April 1817 dengan pementasan perdananya De Brandschatting karya penulis melodrama Eropa terkenal Kotzebu. Perkumpulan ini dapat hidup lama. Hal ini berkat peranan Mr. H.J. van Graaf, seorang anggota Dewan Hindia yang berkecimpung sebagai aktor selama 13 tahun. Rombongan ini menjadi teater profesional. Selama 3 tahun berjalan, de Graaf dituduh oleh pejabat Belanda telah memerosotkan wibawa pejabat Belanda dengan ikut-ikutan aktif kegiatan teater. Dari Ut Desint berkembang rombongan teater lain baik di Batavia maupun di kota-kota besar lain di Jawa seperti di Semarang, Surabaya, dan Bandung. Ut Desint berhasil menghimpun dana baik dari pemerintah maupun swasta. Gubernur Jederal van der Cappellen juga ikut membantu. Maka pada tanggal 7 Desember 1821 berdirilah gedung Schouwburg atau Comediegebouw alias Gedung Kesenian. Pembukaannya dimeriahkan dengan mementaskan Othelo karya William Shakespeare dan lakon gembira Penabuh Genderang. Diantara para undangan terdapat pula penduduk Cina Batavia. Siktar tahun 1835 datanglah rombongan teater profesional dari Perancis, Minard, ke Batavia. Rombongan ini membawa pemain- pemain wanita. Sambutan publik amat luar biasa, oleh sebab pemain wanita dan teknik mutakhir Eropa. Ut Desint mendapat pukulan. Setelah berdiri selama 20 tahun, Ut Desint akhirnya menemui ajalnya pada tahun 1837. 4. Teater Belanda Abad 20 Kegiatan teater baru menunjukan tanda-tanda hidup kembali pada tahun 1907. Dijalankan oleh para pecinta teater Belanda, terutama atas usaha van den Berg. Pada awal abad ini digalakan penulisan naskah- naskah yang bercerita tentang keadaan masyarakat Belanda di Indonesia. Yang paling produktif adalah Hans van de Wall yang terkenal dengan nama samarannya Victor Ido. Ia telah menulis sekitar 13 drama sejak tahun 1913 sampai tahun 1931. Salah satu karyanya adalah Karina Adinda. Rombongan-rombongan teater amatur bermunculan. Di Bandung sudah sejak tahun 1882 berdiri perkumpulan bernama Toneelvereniging Braga yang dipimpin oleh Pieter Sijthoff. Kehidupan teater Eropa yang bersemarak kembali dalam permulaan abad 20 ini disebabkan oleh perubahan masyarakat Eropa di Indonesia dan kemanan serta ketertiban penjajahan yang kian mantap. Masyarakat Eropa, khususnya Belanda, sejak akhir abad 19 adalah terdiri dari “orang- orang swasta”, akibat adanya Politik Pintu Terbuka. 5. Pengaruh Teater Barat Sekurang-kurangnya sudah sejak tahun 1898 di Gedung Komidi dipentaskan pula lakon-lakon dalam bahasa Melayu Rendah. Misalnya lakon Kapitein Item. Raden Beij Soerio Retno karya F. Wiggers tahun 1901, dipentaskan di gedung yang sama. Teater modern, mula-mula memang tak ada hubungannya dengan kegiatan teater Barat. Teater Barat dalam bahasa Belanda hanya ditonton oleh kaum pribumi terpelajar. Sedang cikal bakal teater modern Indonesia justru berkembang dari lingkungan kurang terpelajar, yakni jenis teater bangsawan dan stamboel, yang banyak mendapat pengaruh dari gaya teater “Persia” atau India di Penang, Malaysia. Dalam perkembangannya sekitar tahun 1913, disadari oleh kaum terpelajar, bahwa corak stamboel dan bangsawan perlu diperbaiki dengan mencontoh teater Barat. Kaum terpelajar sekolah dokter (STOVIA) dan sekolah anak-anak kaum bangsawan serta pelajar sekolah pegawai pangreh praja (OSVIA), sekitar tahun 1910-an itu telah memainkan lakon-lakon berbentuk sastra drama mencontoh teater Belanda.