Anda di halaman 1dari 6

Politik manajemen dan profesionalisme kaum cendikiawan

POLITIK MANAJEMEN DAN PROFESIONALISME KAUM CENDEKIAWAN Oleh: Hendyat Soetopo 1. PENGANTAR Julien Benda (1867 1956) telah menulis buku La Trahison des Cercs yang menunjukkan pengkhianatan kaum cendekiawan, karena di matanya gerakan kaum romantisme merupakan gerakan anti-intelektualisme. Kemapanan manajemen pada abad itu ditentang keras oleh kaum cendekiawan, sehingga muncul pengkhianatan kaum cendekiawan (menurut pandangan kaum romantisme). Kaum cendekiawan yang sejak jaman dulu suka mengkritisi kemapanan kebijakan dianggap sebagai pemberontak. Di abad modern sekarang pun kaum cendekiawan dengan jiwa inovatifnya sering dianggap sebagai pengganggu kaum birokrat, sehingga disebut sebagai provokator dan dicap sebagai kalangan yang ngomong thok. Hal ini tidak lepas dari peran kaum cendekiawan sendiri yang terkadang menyimpang dari tataran etik dan normatif kecendekiawanan dan perpolitikan. Wiratmo Sukito (dalam Benda, 1997) menyebutkan adanya prostitusi kaum cendekiawan dalam arti menjual diri untuk memperoleh sesuatu. Read (1946) membuat essay tentang politik orang yang tak berpolitik yang tokohtokohnya disebut: Ruskin dan Kropotkin, Morris dan Tolstoi, Gandhi, dan Eric Gill. Benda bahkan menyebut politik sebagai kerajaan militerisme dan jiwa kolektif: realisme, materialisme, praktikalisme, aktivisme. Politisi dan partai-partai mereka hanya menyatakan kemalangan, simplifikasi berlebihan, pikirannya sophistik, mengabaikan transendensi. Dalam kenyataan hidup organisasi dan atau kelembagaan, tampaknya tidak lepas dari aspek politis. Profesionalisme murni kaum cendekiawan merupakan ungkapan utopis dunia maya yang jarang terjadi dalam dunia nyata. Dalam tataran birokrasi, implementasi teori manajemen yang penuh idealitas telah terwarnai oleh kehidupan politis dan hal ini telah berlangsung sejak abad 18 bahkan sebelumnya. Menjadi lebih memprihatinkan para cendekiawan yang semestinya profesional dan penuh idealitas di bidangnya begitu memasuki jajaran birokrasi yang nota bene berfungsi manajerial dalam pembuatan keputusan, penetap policy, penyusun program/ proyek, pengimplementasi, dan pengevaluasi terwarnai dan tidak bisa lepas dari kungkungan politis, bahkan membaur dan terseret dalam arus kehidupan politis itu. Berbagai kepentingan muncul untuk diperjuangkan baik oleh individu, kelompok, melalui mesin politik informal dan resmi (Kantaprawira, 1988). Hal ini sejalan dengan konsep pokok politik yang dikemukakan Prof. Wahid Siswoyo (1994) bahwa konsep politik berkait dengan negara (Soltau, 1961), kekuasaan (Robson, 1954), pengembilan keputusan (Deutsch, 1970), kebijakan (Easton, 1971) , pembagian atau alokasi (Budiardjo, 1980), konflik dan kerjasama (Jouvenel, 1985). Pengertian politik ini dekat sekali dengan aktivitas manajemen yang terkait dengan outhority (kekuasaan/kewenangan), decision making (pembuatan keputusan), policy (kebijakan), devision of labours and allocation (pembagian pekerjaan dan alokasi dana), conflict and cooperation (konflik dan kerjasama). Pertanyaan utamanya adalah mengapa tidak ada disiplin ilmu politik manajemen? Toh di bidang politik ada politisi yang profesional, tentu saja ada manajer politis yang profesional? Bagaimana para cendekiawan mendudukkan posisinya dalam konteks manajemen politik?

Selama ini banyak kalangan menganggap dunia politik adalah dunia kotor, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, memperjuangkan kepentingan demi tujuan golongan. Benarkah demikian? Di dunia politik terdapat etika politik, norma-norma politik, nilai-nilai politik yang dijunjung tinggi oleh politikus, sementara di dunia manajemen ada etika profesional di bidang manajemen, norma-norma dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam aplikasi manajemen. Dalam praktek, bisa jadi sinyalir kekotoran dan interesan individu dan kelompok menjadi benar, sama halnya manejer yang praktek manajerialnya menyimpang dari teori-teori manajemen. Berikut dipaparkan sedikit tentang tinjauan politik manajemen sebagai bahan renungan terhadap permasalahan hidup organisasi dalam dinamika perilakunya. Pandangan Terry (1960) tentang fungsi-fungsi manajemen digunakan untuk mewawas. 1. POLITIK PERENCANAAN Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan. Perencanaan dalam manajemen menyangkut substansi (komponen apa yang direncanakan) dan proses (pendekatan, strategi, taktik, dan personel perencana). Dalam aspek proses inilah aspek politis perencanaan diterapkan. Penentuan siapa yang berfungsi sebagai perencana dan bagaimana proses perencanaan dijalankan, dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak lepas dari pertimbangan politis. Jika menggunakan pertimbangan profesional, personel yang kompeten di bidangnya diserahi tugas membuat perencanaan, misalnya komite perencanaan, departemen riset, eksekutif, atau dewan (Sears, 1950). Jika menggunakan pertimbangan birokratis, para pimpinan dan kepala bagian yang diserahi tugas. Sementara jika menggunakan pertimbangan politis, bergantung pendekatan yang digunakan: jika dengan dependency approach, orang yang berkuasa yang menyusun, jika dengan comparative politics approach, pelibatan pihak lain disarankan, jika menggunakan nonethnocentric approach, semua orang tanpa memperhatikan etnisnya dilibatkan, jika menggunakan democratic system approach, semua orang tanpa memperhatikan aspek apa pun dilibatkan, dan jika menggunakan alternative approach, akademisi dari berbagai disiplin dilibatkan (Wiarda, 1985). Dalam proses penyusunan rencana pun pendekatan-pendekatan politis tersebut dapat diterapkan. Dengan demikian secara teoritis kegiatan perencanaan terbebas dari kepentingan dan interes individu, kelompok, dan golongan tertentu. Perencanaan dilakukan secara adil, bijaksana, dan profesional untuk memperoleh hasil yang maksimal. 1. POLITIK PENGORGANISASIAN Aktivitas pengorganisasian berkait dengan pembentukan bagian, penstrukturan, job descrption, analysis of duties, dan mekanisme kerja. Di dalamnya juga tercakup staffing (dari Gullick, Konzt & ODonnel, penempatan personel dalam posisi), assembling (dari Newman, merakit unit-unit dalam satu kesatuan sistem), koordinasi (dari Fayol, Urwick, Sears, Assa, Gregg, Campbel dll., mengkerjasamakan antar bagian/unit), dan alocating (dari Assa, mengalokasikan sumber daya ke dalam bagian/unit). Beberapa fungsi manajemen tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri, tetapi untuk kerangka wawasan Terry dalam hal fungsi manajemen dapat dimasukkan ke dalam fungsi pengorganisasian. Dalam tinjauan politis, ketika fungsi manajemen pengorganisasian dilaksanakan, teori-teori tradisional, behaviorisme politis, historisme politis, relativisme moral dalam politik, teori normatif, teori distribusi yang dikemukakan oleh Varma (1995) dapat menjadi dasar. Nakamura dan Smallwood (1980) mengutip pandangan Rein & Rabinovitz menyarankan penggunaan pendekatan legal

imperative, rational-birocratic imperative, dan consensual imperative dalam melaksanakan pengorganisasian. Dalam praktek kehidupan berorganisasi, implementasi aspek politis dalam manajemen dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak sehat. Sebagai contoh, dalam hal melaksnaakan fungsi staffing, beberapa kelompok kepentingan melakukan proses saling jegal untuk merebut posisi dalam memperoleh kekuasaan. Padahal proses semacam itu dapat saja dilakukan dengan pendekatan politik rational-birokratic dan consensual imperative atas dasar tinajauan historis, relativisme moral, normatif, dan distributif. Jika hal ini terlaksana, maka proses pengorganisasian akan berjalan secara terbuka, saling memberi dan menerima, satu sama lain saling memahami. Bukan justru saling sembunyi dan saling jegal yang memunculkan iklim politis yang tidak sehat, pada gilirannya akan mengganggu proses komunikasi antar manusia dan antar unit sehingga produktivitas menurun. Bahkan konspirasi untuk saling menggulingkan juga akan mengganggu jalannya organisasi. 1. POLITIK PELAKSANAAN Jika dalam proses perencaan dan pengorganisasian sejak awal telah diwarnai implementasi kegiatan politis yang tidak sesuai dengan teori dan pendekatan politis yang semestinya, maka dalam pelaksanaan pun akan terbawa pewarnaan itu. Begitu seterusnya sehingga keefektifan organisasi akan terganggu hanya karena energi dicurahkan untuk memikirkan dan memecahkan masalah politis dalam organisasi. Fungsi pelaksanaan (diterjemahkan dari actuating-nya Terry) menyangkut pelaksanaan fungsi manajemen lainnya yaitu commanding (dari Fayol, memberi komando/perintah), directing (dari Urwick, Gullick, Newman, Sears, Konzt & ODonnel, memberi pengarahan), stimulating (dari Assa, Campbell, Jenson, memberikan stimulasi), communicating (dari Gregg, berkomunikasi antar manusia dan antar unit). Dalam implementasi fungsi pelaksanaan ini juga terjadi rawan praktek politis yang tidak sesuai dengan teori-teori politik yang semestinya. Ketika orang berangkat dari pandangan politik adalah kekuasaan, usaha pencapaian kekuasaan itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Bisa jadi panggung praktek politik yang kita saksikan selama ini adalah praktek politik yang banyak meninggalkan nilai-nilai, normanorma, dan etika politik yang seharusnya. Sama halnya praktek manajemen yang terjadi di jajaran pelaksana pendidikan yang mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma manajerial yang semestinya dipedulikan. Hal ini berlaku jika para manajer memandang politik adalah decision making (pembuatan keputusan), policy (kebijakan), devision of labours and allocation (pembagian pekerjaan dan alokasi dana), conflict and cooperation (konflik dan kerjasama). Dalam praktek manajemen, pandangan politis ini dapat saja menyimpang dari teori, norma, etika, dan nilai-nilai manajerial dan nilai-nilai politis yang semestinya (hal ini tidak dapat diurai panjang lebar pada kesempatan ini karena keterbatasan waktu, apalagi jika disertai contoh-contoh dalam praktek politik manajemen). Namun, dapat ditekankan bahwa tampaknya kajian disiplin politik manajemen sangat menarik untuk dicermati. Perlukah disiplin ilmu baru di bidang ini?. Sebagai contoh, seorang Direktur (D) dilengserkan oleh Presiden Komisaris (PK) suatu badan usaha dengan cara PK menggalang kekuatan dari bawahan, kemudian membentuk opini karyawan secara konspiratif. Dalam proses penggulingan D, proses dan prosedur dikemas sehingga tampak seperti demokratis. Dalam pembahasan manajemen, salah satu fungsinya adalah leading (Allen dalam Soetopo, 1982; Knezevick, 1982). Salah satu tipe kepemimpinan adalah pseudo-demokratis yang prakteknya seperti gambaran contoh tersebut.

1. POLITIK PENGAWASAN & KONTROL Ada lagi penulis lain yang menyatakan bahwa pengawasan adalah: to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed, to insure result in keeping with the plan (Terry, 1968). Sedangkan Henry Fayol menyatakan bahwa controll consist in verifying whether everything occure in conformity with the plan adopted, the instruction issued and principles established. Dari dua pengertian itu, pengawasan mengandung makna melihat atau mengecek apa yang terjadi, menilai dan dicocokkan dengan rencana semula, perintah-perintah yang telah diberikan dan dicocokkan dengan prinsipprinsip yang dikembangkan. M. Manullang (1990) mengartikan pengawasan sebagai proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu, dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Mondy dkk. (1986) mengartikan controlling is the process of comparing actual performance with standards and taking any necessary corrective action. (pengawasan adalah proses membandingkan unjuk kerja aktual dengan standard yang telah ditetapkan sebelumnya dan melakukan melakukan perbaikan yang diperlukan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diambil beberapa butir makna pengertian pengawasan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Pengawasan merupakan proses aktivitas Pengawasan berusaha mengecek, menilai, mengoreksi Kriteria pengecekan adalah rencana, perintah dan prinsip Tujuan pengawasan adalah mengendalikan dan mengembangkan kegiatan organisasi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan pengawasan adalah preventif dan represif. Preventif mengacu pada pencegahan timbulnya penyimpangan pelaksanaan kerja organisasi dari perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Represif dalam arti usaha mencapai ketaatazasan dan kedisiplinan men- jalankan setiap aktivitas agar memiliki kepastian hukum dan menetapkan perbaikan jika terdapat penyimpangan. Dalam melaksanakan pengawasan, ada beberapa tahap yang harus dilalui. Tahap-tahap tersebut menggambarkan proses yang dilakukan dalam melaksanakan pengawasan. Mondy (1986) mengemukakan tiga tahap (step) dalam kontrol atau pengawasan: 1) establish standards, 2) evaluate performance, dan 3) take corrective action. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan M. Manulang (1990) bahwa fase pengawasan meliputi: 1) menetapkan alat pengukur (standard), 2) mengadakan penilaiaan (evaluate) dan 3) mengadakan tindakan perbaikan (corrective action). George R. Terry (1982) menyebutkan beberapa alat atau media yang dapat digunakan sebagai bahan pengawasan adalah : 1) Income statement (perhitungan pendapatan dn pengeluaran), 2) controll reports (yaitu kertas laporan yang telah disampaikan kepada atasan), 3) budget summeries (ikhtisar tentang anggaran yang sedang berjalan), 4) ratios (perbandingan antara nilai finansial dengan hasil kerja). Manulang (1990) mengutarakan cara-cara mengawasi dalam mengumpulkan fakta sebagai berikut: 1) Peninjauan (pengamatan pen) pribadi, 2) Pengawasan melalui laporan lisan, 3) Pengawasan melalui laporan tertulis, dan 4) Pengawasan melalui laporan hal-hal yang bersifat khusus.

Ketika melaksanakan pengawasan/kontrol inilah beberapa teori politik dapat dijadikan dasar, misalnya comparative politics approach, pelibatan pihak lain disarankan, jika menggunakan nonethnocentric approach, semua orang tanpa memperhatikan etnisnya dilibatkan, jika menggunakan democratic system approach, semua orang tanpa memperhatikan aspek apa pun dilibatkan, dan jika menggunakan alternative approach, akademisi dari berbagai disiplin dilibatkan (Wiarda, 1985). Dengan demikian dalam pelaksanaan kontrol/ pengawasan tidak mban cinde mban ciladan , menggunakan topeng penghasilan atau income untuk menekan bawahan atau kelompok tertentu, hasilnya apa pun jika kelompokku serba baik dan jika kelompokmu serba jelek, dan hal lain yang dapat panjang jika diinventarisasi di sini. Teori politik dengan pendekatan tersebut di atas sejalan dengan teori manajemen yang sama-sama dilaksanakan secara profesional. Masih banyak lagi teori-teori politik yang sejalan dengan pelaksanaan manajemen. Kita dan mahasiswa kita perlu mengkajinya sehingga dalam pelaksanaan kerja manajerial di lapangan nantinya tidak akan ditipu dan diombang-ambingkan oleh kemauan praktek politik yang menyimpang dari etika dan prinsip-prinsip politik anak buahnya. Bagaimanakah perkembangan pemikiran semacam ini? Kita semua yang menentukan. 1. TEORI POLITIK DAN MANAJEMEN Dalam teori politik modern, pembahasan filosofis, sosiologis, psikologis, historis, dan kultural bahkan ideologis sangat ditekankan (Varma, 1995). Bahkan di dalamnya juga membahas teori sistem (Buckley, 1967), pembuatan keputusan, pembuatan kebijakan, pembagian kekuasaan, konflik dan kooperasi yang hal ini tidak asing lagi dalam dunia manajemen. Aliran-aliran Relativisme moral, Hiperfaktualisme, Positivisme, Behaviorisme, Elitisme, Fasisme, Pluralisme, Demokratisme, Fungsionalisme (Varma, 1995), dan sederet aliran politik modern yang panjang jika disebutkan di sini. Secara teknis Peters dan Alter (1985) membahas birokrasi, hukum, kebebasan, kebijakan publik, partai politik, kelompokkelompok interes, dan lebih khusus lagi bagaimana melakukan voting (pengambilan suara terbanyak) dan pemilihan (election). Khusus yang terakhir ini, di Program Studi Manajemen kita tidak terlalu banyak didalami, sehingga jika melakukan pemilihan dengan cara voting dilakukan dengan tertutup dengan menggunakan kertas kecil dibagikan kepada peserta yang dilinting, kemudian dibacakan hasilnya. Dalam politik, ada cara pengambilan keputusan dengan voting terbuka, sehingga aspirasi politik secara elegan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Apakah dalam praktek manajemen sudah dilakukan dengan sistem politik yang beraneka ragam? Itu hanya salah satu cara. Cara lainnya dapat didalami banyak dari paduan teori manajemen dan teori politik. 1. CENDEKIAWAN DALAM POLITIK MANAJEMEN Cendekiawan adalah orang yang memiliki ciri-ciri bermoral tinggi (termasuk di dalamnya orang yang bergelar akademik), beriman, berilmu, ahli/pakar, memiliki kepekaan sosial, peduli terhadap lingkungan, hati-hati penuh pertimbangan, jujur, rendah hati, adil, dan bijaksana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, 1985). Konon sifat-sifat itu diambil dari sifat seorang menteri yang bernama Canakya pada zaman Candra Gupta (abad ke 4 Masehi ). Ia cerdas dan pintar, sehingga orang yang cerdas dan pintar dengan sifat-sifat itu berhak menyandang sebutan cendekiawan. Cendekiawan yang memainkan peranannya secara profesional bebas dari keberpihakan kepentingan individual dan kelompok. Satu-satunya keberpihakan cendekiawan adalah kepada nilai-nilai keadilan, keobyektifan/ keapa-adaan, konsistensi, kesistematikan, kearifan, dan nilai-nilai normatif keilmuan lainnya yang bebas

dari interes-interesan. Dalam kenyataan hidup, cendekiawan yang diberi tugas di jajaran birokrasi lebih birokratis daripada birokratnya sendiri. Begitu juga sebaliknya birokrat yang diberi tugas di bidang kecendekiawanan lebih arif dan bijaksana daripada cendekiawan aslinya. Hal ini tidak lepas dari pandangan tentang batasan tanggungjawab etis-moral, normatif, dan kesantunan cendekiawan yang justru memberikan ciri karakteristik mereka dalam setiap gerak cendekiawan dalam mewawas berbagai persoalan hidup. Di manakah posisi kita dewasa ini dan yang akan datang? Tentu saja cendekiawan yang berkecimpung dalam mewawas dan mengkaji persoalan manajemen diharapkan memegang teguh ciri-ciri kecendiawanan itu, baru dikatakan sebagai cendekiawan manajemen yang profesional. Di masa mendatang akan muncul cendekiawan politik manajemen yang profesional. 1. REFLEKSI AKHIR Ada dua issue pokok yang sengaja disampaikan untuk dipikirkan bersama pada makalah ini: 1. Perlukah politik manajemen menjadi disiplin ilmu baru yang dibekalkan kepada mahasiswa? 2. Bagaimanakah posisi cendekiawan dalam mempraktekkan politik manajemen secara profesional dalam kehidupan sehari-hari? Pengembalian peran profesional cendekiawan dalam praktek kegiatan manajemen menjadi conditio sine qua non dalam kehidupan mereka, sehingga penyimpangan praktek manajemen dan praktek politik manajemen dapat dihindari, sehingga para cendekiawan berjalan secara elegan dalam kehidupan organisasi. Bagaimana?

Anda mungkin juga menyukai