Anda di halaman 1dari 3

PROBLEMA ANAK-ANAK INDONESIA Anak-anak Indonesia yang saat ini jumlahnya sekitar 64 juta, nota bene adalah anak-anak

masa depan bangsa. Jumlah yang diperoleh dari data UNICEF (2003) itu menyebatkan bahwa 20% di antaranya berusia 7 - 12 tahun. Generasi merekalah yang akan memimpin, dan membawa bangsa kita menuju masa depan. Kenyataan bahwa di masa sekarang ini, anak-anak kita hidup di jaman yang sangat "dinamis", selain dinamis tantangannya, dinamis pula situasinya. Berbagai persoalan menerpa kehidupan bangsa, seperti kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, kolusi, terorisme, sampai dengan bencana alam. Belum lagi tantangan global yang mau tidak mau harus dihadapi karena bangsa kita bagian dari komunitas internasional. Sangat kompleks! Pertanyaannya, apakah yang diperlukan anak-anak kita untuk mampu menghadapi kehidupan masa depan yang sangat kompleks? IQ saja jelas tidak cukup untuk membuat seseorang survive dalam kancah kehidupan. Kecerdasan emosional, juga menjadi salah satu elemen kritikal yang membuat seseorang mampu melihat ke dalam dirinya (mengenali dirinya), melihat ke luar (memahami orang lain), dan melihat koneksitas interaksi (termasuk hubungan sebab akibat) antara diri dengan lingkungannya. Satu elemen krusial yang harus dimiliki dan ditanamkan sejak dini pada anak, adalah elemen nilai-nilai moralitas. Elemen itulah yang mamapu mempertahankan integritas seseorang, di atas terpaan angin topan perubahan, di tengah himpitan "godaan" hedonistik yang melemahkan mentalitas. Elemen itu yang mampu membuat seseorang "setia dan jujur" terhadap diri sendiri dan mengantarkan seseorang menjalani panggilan hidupnya. Masa anak-anak sangatlah singkat. Usia 6/7 - 12 adalah masa-masa kritis bagi pengembangan kognitif, mental dan moral mereka. pada masa ini terjadi transisi kognitif, di mana wawasan anak makin luas, anak mulai memahami persoalan yang lebih kompleks dan berpikir kritis. Anak seharusnya mulai belajar memahami apa yang dilihatnya dengan logika, rasio dan tidak lagi dengan fantasi, ilusi, apalagi mistik. Anak seharusnya mulai mampu melihat dan menilai sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, tidak hanya terpusat pada diri sendiri / egosentrism. Oleh karenanya, masa ini sungguh moment yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral universal, seperti hanya cinta kasih, compassion, kejujuran, empati, toleransi, keharmonisan, persaudaraan, kedamaian, pluralisme, demokrasi dan nilai-nilai keutamaan lainnya. Jean Piaget, ahli perkembangan kognitif, dan Lawrence Kohlberg, seorang pakar perkembangan moral menekankan perlunya penanaman nilai moral sedini mungkin. Nilai-nilai universal ini, harus dimiliki oleh anak-anak Indonesia yang hidup di dalam pluralisme (keragaman) lokal (Indonesia) maupun global (keragaman dunia). Namun proses penanaman nilai bukanlah perkara mudah. Banyak faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan nilai dalam diri seorang anak, mulai dari faktor pendidikan di keluarga hingga pendidikan formal di sekolah. Faktor pendidikan formal saja tidaklah memadai. Kurangnya rasio antara guru dan murid, sementara jumlah murid dan anak didik semakin lama semakin besar jumlahnya, kurangnya fasilitas pendidikan

seperti buku-buku pelajaran yang berkualitas serta gudang & sarana / fasilitas sekolah yang memadai, terbatasnya guru & staf pengajar yang berkualitas, dan masalah ekonomi / finansial keluarga - adalah beberapa kendala "pendidikan nasional" yang membuat proses penanaman nilai di sekolah menjadi hal yang sulit. Masalahnya kemudian, apakah keluarga benar-benar mampu menjadi lahan yang subur bagi pendidikan nilai dan pembentukan moral anak-anak kita, sementara di masa sekarang ini, banyak keluarga yang justru mengalami disorientasi nilai terkena pengaruh negatif dari lingkungan. Apalagi, dewasa ini peran media begitu besarnya meresap dan merasuk ke dalam sendi-sendi keluarga. Keberadaan media, ibarat pedang bermata dua, di satu sisi membuka jendela dunia, di sisi lain, tanpa sadar meracuni jiwa, ketika apa yang disajikan, sangat tidak berbobot dan malah bertentangan dengan nilai-nilai moral universal, atau sama sekali keluar dari jalur logika rasional. Media, memang menjadi salah satu media pendidikan efektif, karena memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam membentuk persepsi dan bahkan mempengaruhi sikap seseorang. televisi adalah salah satu media yang sangat digemari di Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sayangnya, sebagian dari tayangan yang katanya untuk anak-anak, ternyata tidak semua layank untuk ditonton oleh anak-anak. Beberapa film kartun malah menyajikan kekerasan dan berbau hal mistis yang tidak mendidik logika berpikir secara rasional. Tayangan-tayangan tersebut juga mengisi persepsi anak dengan ha-hal seperti (false) "heroisme", sense of self yang semu, agresi dari kekerasan, kebencian, hedonisme, radikalisme, stereotype dan prejudisme, kecurigaan, praktekpraktek manipulasi dan power game - control. Jika sebagian besar waktu luang / waktu bersantai anak dihabiskan di depan televisi untuk menyaksikan tayangan yang tidak berkualitas, maka kita perlu memikirkan apa yang akan terjadi di masa mendatang ketika anak-anak kita "menua" ( bukan dewasa secara mental, tapi tua secara usia). Masalahnya, justru di saat otak sedang rileks yang masuk lebih mudah terekam dalam memori dan menimbulkan kesan yang lebih dalam. Tidak jarang, isi film lebih banyak diingat daripada isi pelajaran yang diterima dari guru di sekolah. Proses-proses yang sangat "sehari-hari: ini, terjadi setiap hari dan selama bertahun-tahun bahkan sepanjang perjalanan kehidupan anak kita hingga dewasa. Dampak yang akan muncul tentu sifatnya destruktif (merusak) bagi si anak, apalagi jika orang tua / keluarga, kurang memberikan pendidikan nilai moral yang baik pada anak. Jika hal ini dibiarkan, bukankah tanpa sadar, kita menantikan kehancuran sebuah bangsa ? dan parahnya, ternyata kita sendiri yang mengarahkan bangsa ini menuju kehancuran? Tanpa kedewasaan pola pikir, daya tahan mental yang kuta dan tanpa nilainilai moral yang kokoh, orang akan mudah sekali menjadi radikal, agresif atau malah depresif, karena putus asa saat harapannya, impiannya, keingannya tidak bisa terlaksana. Orang bsa menjadi lemah, mudah terbawa pengaruh, mudah kehilangan arah, karena hidupnya hanya mengikuti "trend" sebagai satu-satunya arah yang dia lihat di luaran sana (tidak lihat petunjuk arah dari hatinya, karena tak lagi bisa membaca hatinya, mengenal dirinya). Inilah awal dari berbagai problem psikologis dan penyakit sosial yang kian berkembang di jaman sekarang ini. Akankah kita biarkan anak-anak kita, menjadi salah satu di antara mereka ?

SOLUSI SAHABAT Sahabat - adalah cerita tentang 5 orang anak, berasal dari latar belakang yang berbeda sati sama lain, saling berinteraksi di dalam kebersamaan, tidak lepas dari konflik dan persoalan sehari-hari. Anak-anak dan keluarga mereka, adalah cermin nyata kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural, penuh dengan keragaman dan kompleksitas persoalan. "Sahabat" adalah program untuk anak-anak dan orang tua, yang dikemas dalam bentuk yang beragam, mulai dari buku, film hingga aktivitas, untuk membantu anak-anak Indonesia mengembangkan kepribadian yang sehat, dan daya tahan mental yang kuat, agar tidak mudah dikalahkan oleh kemalasan diri, ketakutan, rasa rendah diri, kecemasan, kesusahan atau mungkin kesombongan yang membutakan diri. Dinamika konflik dan persoalan yang dialami "Sahabat", ingin mendidik anak-anak Indonesia untuk berpikir positif, kreatif, kritis, logis, rasional, independent - ( dan tidak menggunakan fantasi, ilusi, emosi ataupun pola pikir yang irational) untuk melihat, mempersepsi dan menyelesaikan persoalan yang pada dasarnya, merupakan persoalan anak-anak kita sehari-hari. Melalui Sahabat, anak-anak Indonesia mengenal nilai-nilai universal yang dipraktekkan dengan cara yang sederhana, dengan bahasa yang begitu sederhana, dalam sikap perbuatan sederhana. Penyajian yang "dari anak untuk anak" dengan menghadirkan tokoh 5 anak kecil, dimaksudkan agar mempermudah proses identifikasi dan asosiasi antara anak-anak kita dengan kelima tokoh tersebut. Bagaimanapun juga, usia 6 - 12 tahun adalah masa di mana mereka mulai mencari "idola" dan mengidentifikasikan diri dengan idola mereka. Kesempatan inilah yang perlu disikapi secara kreatif, oleh kita para orang tua, agar anak-anak menemukan idola / mengidentifikasikan diri dengan sosok "Sahabat: mereka yang "realistis", psitif, cerdas, kreatif, aktif, mandiri, suka menolong, murah hati dan bijak. Keberadaan Sahabat, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi sekaligus prevention, agar anakanak memiliki hiburan yang benar-benar mendidik namun tetap mengedepankan pendidikan nilai moral dan critical thinking. Melalui Sahabat, orang tua dapat mendalami jiwa anak, cara pandang mereka dalam melihat persoalan, serta reason atau alasan yang melatar belakangi sikap dan perbuatan mereka. Inilah yang dapat menjembatani komunikasi antara orang tua dengan anak, sehingga akhirnya program ini pun tidak hanya dari anak untuk anak, tapi juga dari anak untuk orang tua, dan dari orang tua untuk anak. Para orang tua pun dapat menjadikan Sahabat solusi, baik dalam menjawab kebutuhan pendidikan moral, maupun menyikapi persoalan yang sering dialami anakanak mereka, baik di sekolah maupun di lingkungan sosial. Untuk mengetahui lebih jauh tentang mengasuh anak klik di sin

Anda mungkin juga menyukai