Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN A.

Latarbelakang Hampir semua sel hidup memiliki perangkat intrasel rudimenter untuk menghasilkan gerakan tertentu, misalnya redistribusi komponen-komponen sel selama pembelahan sel. Sel darah putih menggunakan protein-protein kontraktil intrasel untuk bergerak di lingkungnnya sendiri. Namun, spesialis kontraksi pada tubuh adalah otot. Melalui kemamouan mereka yang tinggi untuk berkontraksi, sel-sel otot mampu memendek dan membentk tegangan yang memungkinkan menghasilkan gerakan dan melakukan kerja. Kenormalan otot dan komponen pengontrol otot(syaraf motorik) sangatlah penting untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Keabnormalan otot bisa dijumpai misalnya kelemahan otot, ketegangan otot, hiperrefleksi, hipertonuse, dan lainnya. (Sherwood, 2001) Kelemahan Otot merupakan masalah yang sering terjadi, tetapi seringkali memberikan arti yang berbeda kepada setiap penderitanya. Beberapa penderita hanya merasakan lelah. Tetapi pada kelemahan otot yang sejati, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, kekuatan yang normal tidak akan dicapai. Kelemahan bisa terjadi di seluruh tubuh, atau hanya terbatas di satu lengan, tungkai, tangan atau jari tangan. Kelemahan otot bisa disebabkan oleh kelainan di otot, tendon, tulang atau sendi; tetapi yang paling sering menyebabkan kelemahan otot adalah kelainan pada sistem saraf. Kadang kelemahan otot terjadi setelah sembuh dari suatu penyakit dan seringkali timbul karena penuaan (sarkopenia). Kelemahan otot juga disebabkan karena kelainan di neuromuscular junction. Kelainan di neuromuscular junction yang terkenal adalah myasthenia Gravis. Penderita serinng mengeluh adanya kelelahan otot terutama otot mata, yang akan semakin berat saat kegiatan dan membaik setelah istirahat. MG lebih sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada anak dan bisa timbul segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun. Penderita MG akan merasa lebih baik setelah meminum prostigmin atau neostigmin. (www.Medlinux blogspot. com, 2007) Prevalensi MG di AS diperkirakan sekitar 0,5 sampai 14,2 kasus per 100 ribu orang. Prevalensi autoimmune MG diperkirakan 1 kasus dari 10.000 - 20.000 orang. (Anurogo, ditto, 2008). Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Oleh karena itu, untuk memenuhi kompetensi dokter untuk mengetahui tentang neuromuscular, penulis membuat laporan hasil diskusi tutorial yang berjudul

KELEMAHAN OTOT. Laporan ini membahas tentang fisiologi, anatomi, histology, patofisiologi kelemahan otot, kelemahan otot pada MG, factor risiko, penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasinya. B. Skenario Cepat Capai Wanita 25 tahun, dating ke RS dengan keluhan beberapa bulan megeluh kelemahan pada otot, apabila melakukan kegiatan anggota gerak capai, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat capai kadang-kadang kalau melihat dobel dan semua keluhan makin memeberat sore hari. Pada pagi hari terutama bngun tidur keluhan tersebut berkurang atau menghilang. Dalam beberapa minggu ini keluhan semakin bertambah, anggota gerak cepat capai dan semakin membaik bila istirahat, bila bicara lama suara makin melemah. Belum mengeluh perasaaan tidak enak di dada atau sesak nafas, tidak ada gangguan sensibilitas dan gerakan abnormal. Tidak ditemukan juga keluhan seperti ini dalam keluarganya. pada pemeriksaan ditemukan: pada waktu melihat terutama ke atas cepat capai ditamdai dengan cepat menutupnya kelopak mata. Bila disuruh menghitung angka dari satu sampai lima puluh secara berururtan dan terus menerus, suara makin melemah. Bila disuruh mengangkat tangan selama 2-3 menit tangan makin menurun. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan: hasil pemeriksaan elektrolit darahnya normal Hasil pemeriksaan EMG dengan rangsangan salah satu saraf secara terus menerus ditemukan penurunan reaksi abnormal, Endophronium tes(tensilon test) positif Dokter menjelaskan kelainnya di motor end plate. Setelah penderita mendapatkan obat prostigmin, keluhan berkurang. C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Fisiologi, histology, anatomi otot? 2. Bagaimanakah proses kontraksi otot? 3. Bagaimana patogenesis kelemahan otot? 4. Faktor risiko terjadinya kelemahan otot? 5. Apakah diagnosis dan diagnosis banding kasus tersebut? 6. Bagaimanakha penegakan diagnosis pada penyakit tersebut? 7. Apa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan? 8. Bagaimanakah penatalaksanaan kasus tersebut secara umum dan spesifik pada kasus? 9. Bagaimanakah prognosis kasus tersebut? 10. Apa kemungkinan emergency/komplikasi yang bisa terjadi?

D. Tujuan 1. Mampu memahami fisiologi, histology, anatomi otot dan mekanisme kontraksi otot 2. Mampu memahami pathogenesis kelemahan otot 3. Mampu mengetahui factor risiko kelemahan otot, dan penyakit yang diderita 4. Mampu menetapkan diagnosis dan diagnosis banding terhadap kasus tersebut 5. Mampu mengetahu penegakan diagnosis yang digunakan 6. Mampu mengetahui pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan 7. Mampu menetapkan penatalaksanaan dan prognosis pada kasus 8. Mampu mengidentifikasi emergency yang akan terjadi E. Manfaat 1. Dapat mengetahui perbedaan antara kelemahan otot karena kerusakan syaraf pusat, perifer, neuromuscular junction dan otot primer 2. Dapat melatih menganalisis kasus 3. Dapat mengeathui intepretasi hasil pemeriksaan F. Hipotesis wanita tersebut menderita myasthenia gravis berdasarkan keterangan kelemahan otot ocular dan ekstremitas tanpa disertai gangguan sensibilitas dan atrofi otot

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi, Histologi, Fisiologi Otot 1. Anatomi Otot-otot organa oculi: muskulus bulbi : M. rectus bulbi superior, M. rectus bulbi inferior, M. rectus bulbi medialis, M. rectus Bulbi lateralis, M. obliquus bulbi superior, M. obliquus bulbi inferior Muskulus di palpebrae: M. levator palpebrae superioris, untuk mengangkat palpebrae, jika N.III lumpuh dapat terjadi ptosis. M. orbicularis oculi fungsinya memejamkan mata(N.VII), M.tarsalis superior et inferior fungsi menetapkan lebarnya celah Otot-otot pernafasan

Otot inspirasi : m. intercostales interna (utama) dan m. sternocleidomastodeus, m. Serratus anterior, dan m. Scalenus. Otot ekspirasi : m. Intercostales interna dan m. Rectus abdominis (Guidance anatomi 3, 2004)
2. Histologi otot skelete

bentuk silindris, multi inti, panjang beberapa milimetere-beberapa centimeter, lebar 10-150 m, sarkolema jelas, inti lonjong, tersebar merata dibawah sarkolema. penampang melintang otot skelete : tampak berkas-berkas myofibril yang terpotong menyerupai pulau-pulau yang disebut area cohnheim, terlihat di tepi Penamapang membujur: tampak garis-garis terang dan gelap secara bergantian pita lebih gelap(pita A) di tengahnya terdapatgaris H, Pita yang lebih terang(Pita I) terdapat garis Z, terlihat inti di pinggir. (Lis, dr. 2008) 3. Fisiologi Struktur Otot Otot utuh (organ) otot serat (sel) miofibril (struktur intrasel) filamen tebal dan tipis (unsur sitoskeleton khusus) miosin dan aktin (protein)

FILAMEN-FILAMEN OTOT SKELET SEDIKITNYA MENGANDUNG 4 MACAM PROTEIN KONTRAKTIL: AKTIN ( FILAMEN TIPIS) : terdapat garis Z

TROPOMIOSIN TROPONIN MIOSIN(FILAMEN TEBAL) : terdapat garis M, dan Zona H(daerah yang tidak ada aktinnya) terdapat juga sarkomer(daerah diantara 2 garis Z) (Slide kuliah FK UWK, 2008) Neuron Motorik Kontrol motorik (Sherwood, 2001)

Neuromuskular Junction Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf Asetil-KoA + Kolin Ach 2. korporasi Ach di vesikel sinaps 3. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf pelepasan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor (AchR), reseptor akan mengalami perubahan bentuk membuka saluran dalam reseptor aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ depolarisasi membran otot terbentuk potensial end plate. hantaran arliran arus lokaldepolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf timbul kontraksi otot. 5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps 6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. (Murray, R.K, Granner,
D.K, Mayes, P.A, 1999)

Kontraksi otot

Terjadi pergerakan filament tipis ke pusat sarkomer diantara filament tebal karena masing masing filament tipis melekat pada garis Z. Garis Z akan ikut bergerak saling mendekati kearah pusat sarkomer masing-masing sarkomer memendek secara keseluruhan akan tampak lebih pendek. (Lis, dr. 2008) B. Patofisiologi kelemahan otot Kelumpuhan N.IIIkelemahan otot palpebraptosis(kelopak mata turun) Kelumpuhan Nervus yang menginervasi ekstremitas superior et inferior kelemahan ekstremitas superior Pada Shoulder, kelemahan M. Flexoris (M.deltoideus Anterior (N. Axillaris), M. biceps anterior(N. Muskulokutaneus)) kelemahan fleksor bahu. Kelemahan M. Ekstensor (M. Deltoideus, M.teres mayor) inervasi oleh N. Axillariskelemahan ekstensor bahu.

Diplopia(penglihatan ganda) Kelumpuhan N.VI karena tekanan intracranial, kompresi N.VI, penyakit mikrovaskular diplopia horizontal kelumpuhan N. III karena aneurisma a.komunikans posterior, tumor dan penyakit mikrovaskulardiplopia keseluruhan Lesi batang otak karena MS, stroke, tumor, encephalopati wernickediplopia, disertai nistagmus, atau kegagalan melihat ke bawah Penyakit cerebelluminstabilitasi pandangan Miastenia gravisM. Rectus medialis lemahdiplopia adanya kelemahan otot-otot laring/ penguat pada otot pernafasan/ kelainan traktus supraglotis/parase palatum Suara makin melemah (Davey, Patric. 2006) C. Penyebab kelemahan otot
Penyebab Contoh Akibat Kelemahan atau kelumpuhan pada sisi yg berlawanan dengan otak yg mengalami kerusakan Bisa mempengaruhi kemampuan berbicara, menelan, berfikir & kepribadian

Kerusakan otak

Stroke atau tumor otak

Cedera pada leher atau punggung, tumor medula spinalis, penyempitan Kerusakan medula saluran spinal, sklerosis multipel, spinalis mielitis transversus, kekurangan vitamin B12 Kemunduran saraf pada medula Sklerosis lateral amiotrofik spinalis

Kelemahan atau kelumpuhan pada lengan dan tungkai, hilangnya rasa, nyeri punggung Bisa mempengaruhi fungsi seksual, pencernaan & kandung kemih

Hilangnya kekuatan otot tanpa disertai oleh hilangnya rasa

Nyeri leher & kelemahan atau mati rasa di lengan, Kerusakan akar Ruptur diskus di leher atau tulang nyeri punggung bagian bawah, skiatika & saraf spinalis belakang bagian bawah kelemahan atau mati rasa pada tungkai Kerusakan pada 1 saraf Neuropati diabetik, penekanan lokal (mononeuropati)

Kelemahan atau kelumpuhan otot & hilangnya rasa di daerah yg dipersarafi oleh saraf yg terkena

Kerusakan pada Diabetes, sindroma Guillain-Barr, Kelemahan atau kelumpuhan otot & hilangnya beberapa saraf kekurangan folat, penyakit metabolik sensasi di daerah yg dipersarafi oleh saraf yg (polineuropati) lainnya terkena Kelainan pada Miastenia gravis, keracunan kurare, Kelumpuhan atau kelemahan pada beberapa otot

neuromuscular junction

sindroma Eaton-Lambert, keracunan insektisida Penyakit Cudhenne (distrofi muskuler) Kelemahan otot yg progresif di seluruh tubuh Infeksi atau peradangan (miositis Nyeri dan kelemahan otot virus akut, polimiositis) Depresi, gejala khayalan, histeria Kelemahan di seluruh tubuh, kelumpuhan tanpa (reaksi konversi), fibromialgia kerusakan saraf

Penyakit otot

Kelainan psikis

(Anonym, 2008) Gejala: Atrofi (penciutan otot) bisa merupakan akibat dari: kerusakan otot atau sarafnya, jarang digunakan Dalam keadaan normal, pembesaran otot (hipertrofi) bisa terjadi setelah melakukan olah raga beban. Pada seseorang yang sakit, hipertrofi terjadi karena otot tersebut bekerja lebih berat untuk mengkompensasi kelemahan otot yang lainnya. Pembesaran otot juga bisa terjadi jika jaringan otot yang normal digantikan oleh jaringan yang abnormal, seperti yang terjadi pada amiloidosis dan kelainan otot bawaan tertentu (misalnya miotonia kongenital).
D. diagnosis Differensial gejala kelemahan otot(Pebedaan gejala menurut tempat

lesi di lampiran) 1. Kelainan di Susunan Piramidal a. Lesi UMN lesi korteks motorik primer, misalkan karena stroke. Dengan gejala yang sama pada table yang di atas. Gejalanya menimbulkan kelemahan pada sisi kontralateral. Kelemahan bahkan jadi kelumpuhan bisa melandaseluruh otot skelete tubuh, otototot wajah, penhunyah, dan penelan. Bagian otot yang lumpuh akan menyimpang ke bagian yang normal.(Mardjono, Sidharta, 2008) lesi di kapsula interna, kelemahan otot sampai kelumpuhan otot disertai dengan hipertonia, rigiditas, atetosis, distonia, tremor, hemianopia. b. LMN lesi di motorneuron

Sindrom lesi di Kornu anterior


1. Poliomielitis anterior akut, motor neuron di segmen-segmen intumsensia

yang diserang infeksi viral. Melalui makanan atau kontak langsung terhadap

virus sehingga timbul sindrom infeksi umum seperti demam, lesu sakit kepala, berkeringat banyak, anoreksia, sedikit sakit kerongkongan, diare, nyeri otot. Kelumpuhan otot diawali oleh nyeri muscular yang ada di ekstremitas. .(Mardjono, Sidharta, 2008) lesi di radiks ventralis

1. S. Guillane Barre, Reaksi imunopatologik di segenap radiks(ventralis/dorsalis), paling berat kerusakan di intumesensia cervical dan ral. Manifestasi klinis: Sebelum kelumpuhan timbul infeksi traktus respiratoria atas. kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak lumbosak dan pada umunya dimulai dari yang distal menuju proksimal. Kelainan radiks dorsal ditandai adanya parestesia(kesemutan)(Mardjono, Sidharta, 2008) 2. Kelainan di motor end plate a. Lesi di presinaptic
S. Eaton Lambert, Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan

oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otototot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering. (http://medlinux.blogspot.com/2007/10/miasteniagravis-myasthenia-gravis.html, 2008) Botulisme Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG. (http://medlinux.blogspot.com/2007/10/miastenia-gravis-myastheniagravis.html, 2008)

b. Lesi postsinaptik Miastenia gravis primer, penyakit otoimun yang membuat pemblokan receptor Ach di postsinaps oleh antibody. Adanya pemblokan mengakibatkan, banyaknya Ach yang tidak berikatan dengan Receptor di hidrolisis oleh enzim kolinesterase, sehingga Ach yang menempel sedikit dan kontraksi yang terjadi lemah, sehingga mengakibatkan kelemahan otot. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau
thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik Manifestasi Klinis: diawali dengan kelemahan otot ocular terutama

ekstraokular mengakibatkan ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas, Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya, tidak dijumpai gerakan abnormal, maupun tanda lesi syaraf. (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_MiasteniaGravis.pdf/12_MiasteniaGravis.ht ml, 1986) Epidemiologi MG: umur kurang dari 40 tahun (3-4%), perempuan:laki-lai=6:4, bisa menyerang pada berbagai umur, pada pria biasanya pada decade 6-7, perempuan pada decade 3, rata-rata pada perempuan umur 28, pada laki-laki 42 tahun. (http://www.emedicine.com/neuro/topic232.htm, 2008) MG terinduksi pemisilamin, D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan. Obat-oabat pengeblok neuromuscular junction: antibiotic(ciprofloxacin. erytromicin, amocilin), beta adrenergic receptor bloker agent(propanolol), penicillamin. 3. Kelainan Otot Primer a. Distrofia MuskulorumPenyakit primer otot dengan kelainan pada sarcolema dengan ketiadaan dystropin. Gangguan pada kromosom x yang resesif, akibatnya : penyakit manifes pada anak laki laki, perempuan sebagai carrier. Gejala timbul pada anak umur 3 6 tahun dengan kelemahan pada otot otot proximal extremitas, terjadi pseudo hipertropi dengan gangguan fungsi sesuai otot yang terkena.Bila mengenai otot proksimal daerah pelvis dan femoral ditemukan adanya Gowers sign pada permulaan. Bila mengenai otot proksimal ekstremitas atas terjadi gangguan dalam hal mengangkat lengan. Pemeriksaan Laboratorium CK, meningkat sesuai dengan tingkat kerusakan sarcolema. (Suratno, 2008)

b. MiopatiPenyakit primer otot karena proses auto immun yang didahului adanya infeksi virus, parasit, obat, trauma, toxin ular. Kerusakan serabut otot dengan mioglobinuria (Rhabdomyolitis), bisa menyebabkan kerusakan ginjal. Sering dihubungkan dengan penggunaan otot yang berlebihan contohnya pada status epilepticus(Suratno, 2008)
4. MultipleSklerosis, E. Penegakan diagnosis pada MG

1. Anamnesis adanya ptosis dan senyum yang horizontal, penglihatan ganda, kesulitan bernafas , berbicara & mengunyah, kelemahan pada otot tangan & kaki, kelelahan yg disebabkan karena factor emosional, kelemahan akan memberat setelah aktivitas berat, dan meringan setelah beristirahat dan meminum obat prostigmin(antikolinesterase). Menanyakan riwayat penyakit keluarga, dan makanan yang dimakan sebelumnya, konsumsi obat sebelumnya.(Dewandra, rudi, 2008) 2. Pemeriksaan Fisik terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Otototot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan4. .(Dewandra, rudi, 2008) 3. Pemeriksaan khusus MG

a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Perhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.

b. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. c. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. .(Dewandra, rudi, 2008) 4. Pemeriksaan penunjang pada MG a. Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody4.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis

2. Imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak) Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 3. Pendekatan Elektrodiagnostik mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan adanya MG..
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

a. Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
c. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. .(Dewandra, rudi, 2008) F. Diagnosis Miastenia Gravis Klasifikasi MG Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7: Klas I (Myastenia Okular) Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kematian Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Klas IIa(umum ringan) Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. Klas IIb(umum berat) Mempengaruhi otot-otot orofaringeal Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan MG umum ringan, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otototot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otototot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. Klas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. Klas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. Klas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Klas Iva Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. Klas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi. Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun G. Penatalaksanaan dan prognosis pada MG

1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut a. Plasma Exchange (PE)2

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibody. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Efek samping utama Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
2. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang a. Kortikosteroid, Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling

murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan

antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
b. Azathioprine, biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif

terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
c. Cyclosporine, berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-

helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
d. Cyclophosphamide (CPM), suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B,

dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya. Thymectomy (Surgical Care), Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia graviis.(Dewandra, rudi, 2008) H. Rehabilitasi Medik
1. Stimulasi elektrik fungsional biasanya diberikan pada tungkai dan lengan untuk

meningkatkan kekuatan otot, memicu dan meningkatkan jangkauan pergerakan, membantu penanganan edema perifer pada stroke dengan kontraksi otot isotonic, dan memperbaiki sensor proprioseptif sendi pada pasien dengan penurunan kemampuan sensorik.
2. Pelatihan fisik pada otot yang mengalami kelemahan dapat dibagi dalam tiga

bentuk yaitu : 1. Latihan pergerakan pasif, yaitu pasien hanya mengandalkan seorang fisioterapi yang menggerakkan tungkainya tanpa ada usaha dari pasien 2. Latihan semiaktif, yaitu pasien melatih tungkainya dibantu dengan seorang fisioterapis yang menggerakkan tungkai tersebut 3. Latihan aktif, yaitu pasien berperan penuh terhadap pelatihan tungkainya tanpa bantuan dari fisioterapis.

3. Terapi okupansional tidak secara langsung membantu pasien memulihkan

kekuatan otot tungkai namun diperlukan pasien untuk dapat mengerjakan aktivitas hidup sehari-hari yang mendasar
4. Terapi
sosial dan psikologis diberikan untuk meningkatkan optimisme
(http://cetrione.blogspot.com/2008/10/kelemahan-otot.html, 2008)

I. Kompliksai MG
1.

Terjadi perkembangan MG akut ke kronik yang ditandai dengan kelemahan otot pernafasan yang menyebabkan gangguan pernafasan. Krisis miastenik, keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: control jalan nafas dan pemberian antikolinesterase. Krisis kolinergik, keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut: Kontrol jalan napas Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu.

2.

3.

BAB III PEMBAHASAN Pada wanita umur 25 tahun dengan hasil anamnesis berupa kelemahan otot di beberapa bagiam tubuh (anggota gerak, kesulitan membuka mata, cepat capek, diplopia), factor memperberat saat sore hari, factor memeperingan ketika pagi hari, istirahat, setelah minum prostigmin, , tidak ada riwayat keluarga, penyakit, tidak ada keluhan sesak nafas gangguan sensibilitas, dan gerakan abnormal. Pemeriksaan fisik: kelopak mata cepat turun ketika disuruk menggerakkan ke atas, suara makin melemah saat berhitung, tangan makin menurun saat disuruh elevasi tangan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut terjadi kelemahan otot. Dengan adanya hasil pemeriksaan penunjang berupa elektrolit darah normal, reaksi otot menurun saat pemeriksaaan EMG, dan keterangan anamnesis yang khas berupa tidak rasa keluhan sensisbilitas, dan kelemahan kontralateral/sebagian tubuh menandakan penyebab dari kelemahan tersebut berada di luar dari central(otak). Tidak adanya gerakan abnormal(hiperrefleks, hipertonus, rigiditas, tremor menunjukkan tidak ada lesi pada UMN

dan LMN. Tidak adanya tanda atrofi dan reflex menurun/ negative membedakannya dengan S. Eaton Lambert. Tidak adanya tanda kelainan pada otot primer, misalkan pada Distrofia muskulorum dengan adanya atrofi, riwayat keluarga, Pemeriksaan CK naik. Tidak adanya tanda infeksi(demam, nyeri) membedakannya dengan penyakit otot akibat infeksi virus/ bakteri misanya polimielitis anterior akut, miositis. Tidak adanya riwayat keracunan makanan, diare, muntah setelah makan see food atau kaleng membedakannya dengan botulisme. Dengan adanya perbedaan tersebut, kemungkinan penyakit ibu tersebut terletak pada neuronmuskulerjunction, hal ini ditunjang dengan keadaan ibu yang membaik setelah minum prostigmin. Prostigmin adalah suatu obat yang kerjanya menghambat enzim kolinesterase, sehingga Ach dapat dipertahankan jumlahnya untuk berikatan dengan AchR. Artinya kelainanya terjadi di post synaptic. Diagnosisnya adalah miastenia gravis. pada keadaan ini celah post synaptic menjadi lebar, adanya autoantibody tubuh akibat. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Adanya autoantibody tubuh yang menutup receptor Ach mengakibatkan, Ach di celah post synaptic banyak dan banyak di hidrolisis oleh kolinesterase. Untuk mengurangi hidrolisis ini diperlukan prostigmin. Kelelahan-kelelahan otot tersebut pada MG akut diawali kelemahan otot ocular berupa ptosis, diplopia. sehubungan dengan kelemahan M. levator palpebara untuk ptosis, dan M. rectus ocular untuk diplopia. Kelemahan memepertahankan kondisi elevasi tangan karena kelemahan otot biceps anterior dan teres mayor, kelemaan bicara karena kelemahan otot-otot farng, lidah. Pada kasus ini masih perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa tes prostigmin atau tes endorphin yang merupakan tes penegakan diagnosis khusus MG. Selain itu diperlukan pengukuran kadar antibody berupa Anti-asetilkolin reseptor antibody, dan Chest X-ray untuk memastikan adanya timoma apa tidak yang mungkin mendasari penyakkit tersebut. Pencegahan bisa dilakukan dengan berolahraga, makanan sehat, tidak melakukan gerakan yang membuat terlalu capek. tidak menggunakan obat-obatan yang dapat mengeblok neuromuscular junction seperti penisilamin. Penatalaksanaan diberikan dalam bentuk Terapi kuratif diberikan secara operatif dan non operatif. Namun dalam kasus ini belum diperlukan tindakan operatif karena masih termasuk MG akut, belum ditemukan tanda-tanda kegagalan pernafasan akibat kelemahan otot pernafasan Sehingga hanya diperlukan terapi farmakologi berupa obat-obat antikolinesterase

misalkan neostigmin(generi, prostigmin) pada terapi jangka panjang dosis 15 mg tiap 2-4 jam sekali dalam sehari(minimal 6x sehari),untuk lebih efektif menggunakan piridostigmin yang waktu paruhnya lebih lama(6 jam) dengan dosis tablet 60 mg peroral, sirup 15 mg/ml. atau terapi jangka pendek dengan plasma exchange namun dengan pertimbangan biayanya. Tindakan opertif diperlukan jika ternyata pada pemeriksaan chest X ray ditemukan tanda keganasan, sehingga diperlukan tindakan timektomi. Rehabilitasi medic diperlukan untuk memulihkan ke keadaan normal. RM bisa dilakukan dengan terapi fisik untuk melatik kekuatan otot, terapi okupasional, edukasi pada pasien agar mengurangi kegiatan yang dapat memperparah gejalanya, misalkan terlalu capek, terapi psikologi juga penting agar penderita tidak pesimis dengan keadaannya. Prognosis membaik selama komplikasi berupa kelemahan otot pernafasan belum terjadi. Baik setelah ditangani dengan baik. Pada kasus insyaallah baik, karena masih dalam keadaan akut dan sudah ditangani dokter. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadi kelainan neuromuskularjunction tepatnya post synaptic pada ibu tersebut 2. Diagnosis penyakit ibu tersebut adalah Miatenia Gravis 3. Diagnosis Banding Kelemahan otot tersebut antara lain Polimielitis anterior akut, miositis, distrofi muskulorum, S. Eaton lambert, pasca trauma korteks otak, S. Guilane Barre, Botulisme. 4. Gold standart MG dilakukan dengan pemeriksaan antibody, dan tes prostigmin/ tes endorphin 5. Pencegahan bisa dilakukan dengan menjaga tenaga agar tidak capek, dan hidup sehat 6. Penatalaksaan farmakologik diberikan obat-obat antikolinesterase, pentalksanaan operatif dilakukan jika didapatkan timoma pada x-ray 7. Rehabilitasi medic diberikan dengan terapi fisik, okupasi, edukasi, dan terapi psikologI

B. Saran 1. kurang menyebutkan diagnosis banding MG yaitu multiple sklerosis 2. Masih perlu diperlukan suatu tes yang dapat mengetahui MG yang diinduksi antibody dan diinduksi obat. 3. Masih perlu diketahui awal terjadinya timoma, yang bisa ada pada gejala miatenia gravis 4. masih perlu tahu yang mendasari misatenia gravis jika ditemukan tanpa timoma, 5. Diskenario belum dketahui adanya keterangan kelainan tymus atau tidak yang mendorong kelainan autoimun

DAFTAR PUSTAKA Asisten Anatomi FK UNS. 2004. Guidance Anatomi 3. FK UNS: LAB Anatomi Anonym. Anonym. 2008. 2008. Kelemahan Myastenia Otot. Gravis. http://fund0c.multiply.com/journal/item/71/Kelemahan_Otot. (19 November 2008) http://www.ohiomedicaldirectorsassn.org/medical/myasthenia-gravis/ . Anonym. 2008. Prostigmin. http://en.wikipedia.org/wiki/Pyridostigmine. Anonym. 2008. Rehabilitasi Medik pada Kelemahan Otot. http://cetrione.blogspot. com/2008/10/kelemahan-otot.html. (19 November 2008) Davey, Patric. 2006. At glance medicine. Jakarta: Erlangga. pp: 86-95 dan 350-366
Katzung, Bertran G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik 6th. Jakarta: EGC

Kijatno, dr. 2008. Penyakit Otot. FK UNS. LAB Histologi Lis, dr. 2008. Kuliah Histologi Otot. FK UNS. Lab HIstologi Mardjono, Sidharta. 2008. Nurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat Rudy Dewandri, 2008. Myastenia Gravis. http://dewabenny.com/2008/07/12/miasteniagravis/ (19 November 2008) Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel 2th. Jakarata: EGC. pp: 679-680

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO III BLOK X MUSKULOSKELETAL ANALISIS KELEMAHAN OTOT AKIBAT GANGGUAN NEUROMUSKULAR JUNCTION

TUTOR: dr. Syarif penulis oleh: NUR AFIFAH/ G0007117 KELAS A KELOMPOK 6

PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2008

LAMPIRAN

endofronium Neostigmin Piridostigmin Fisostogmin

indikasi Miastenia gravis, ileus, aritmia Miastenia gravis, ileus Miastenia gravis Glaucoma

Masa kerja 5-15 menit -2jam 3-6jam -2jam

keterangan Kegunaan lain: diagnosis miastenia, menentukan keadekuatan terapi terapi jangka panjang kroni dapat diberikan neostigmin, piridostigmin embenonium. fek muskarinik menjol dpt diberikan atropin

Juga untuk keracunan obat antimuskarinik(atropine) karena dapat masuk ke SSP, dapat menetralisisr terhadap blockade muskarinik yang bera tersebut. penggunaannya hanya terbatas pada pasien dg panas tinggi yg membahayakan,/ dg takikardia supraventrikularis

Ambenorium demekarium ekotiofat

Miastenia gravis glaukoma glaukoma

4-8jam 4-8jam 100 jam

ptosis

Kelemahan otot pada beberapa lokasi lesi


UMN(tractus piramidalis) Pola kelemahan Kelemahan ekstremitas tak sempurna, memepengaruhi gerakan mototrik ksar paling jelas pada ekstensor ekstremitas atas dan fkexor ekstremitas bawah Gangguan ekstrapiramidalis/ ganglia basalis Tidak betul-betul kehilangan kekuatan otot, melainkan kegagalan ontegrasi antar otot agonis, antagonis, generalisasi mengenai seluruh ekstremita LMN OTOT Neuromuscular junction Beragam gejala menyebabkan pegal

Jelas mengenai sekelompo k otot spesifik kecuali pada polineurioa ti difuse makin distal makin

Bianya menyeluruh kecuali yang cedera seperti makin proksimal makin berat dan bisa ke otot leher sehingga gannuan menelan

berat tonus Spasitas, resistensi terhadap gerak tergantung kecepatan reflex, klonus meingkat meningkat atrofi rigiditas menurun Normal/menurun Normal

refleks OTOT

normal normal

Menurun/ti dak ada Kelmpuha n segmental

normal N/atrofi

N/menurun(pada LEMS) Biasanya normal

(Davey, patric, 2006)

Anda mungkin juga menyukai