Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sindroma guillain barre (SGB) merupakan sebuah keadaan

polyradiculoneuropathy akut yang dapat menyebabkan paresis flaksid (Kuitwaard et al., 2009) yang simetris (Dieleman et al., 2011) yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Sindroma ini merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda (Kuitwaard et al., 2009). Oleh karena itu, sindroma ini sering mencemaskan penderita, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya memiliki prognosa yang baik. Sindroma guillain barre merupakan suatu keadaan emergensi. Sekitar sepertiga dari penderita SGB membutuhkan perawatan intensif terutama karena kegagagalan pernafasan. Kejadian SGB telah dilaporkan di seluruh dunia. Angka insidensi SGB di Amerika serikat yaitu 1,2 - 3 kasus per 100.000 penduduk (Seneviratne, 2000). Kejadian SGB ini memiliki korelasi dengan umur penderita. Jumlah pasien SGB di Amerika Serikat yang dirawat di Rumah Sakit yaitu 1,5 kasus per 100.000 penduduk untuk penderita usia di bawah 15 tahun dan 8,6 kasus per 100.000 penduduk untuk penderita usia 70-79 tahun (Prevots dan Sutter, 1997). Kejadian SGB telah dilaporkan pada semua kelompok usia. Jumlah kejadian SGB di Amerika Serikat puncaknya yaitu pada usia dewasa muda atau usia 15-35 tahun dan diikuti dengan usia tua atau 50-75 tahun. Bayi memiliki resiko yang sangat rendah untuk terjadi SGB (Evans dan Vedanarayanan, 1997). Korelasi kejadian SGB dengan jenis kelamin masih belum diketahui dengan pasti. Rasio kejadian SGB pada laki-laki dan perempuan yaitu 1,5 : 1. Jumlah yang dominan pada laki-laki terutama terjadi pada penderita yang lebih tua. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian SGB menurun pada masa kehamilan dan meningkat beberapa bulan setelah melahirkan (Jiang et al., 1996).

Angka kematian yang diakibatkan oleh SGB yaitu rendah. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa angka kematian akibat SGB adalah 2,58%. Kematian ini lebih dikaitkan pada komplikasi gagal pernafasan (Alshekhlee et al., 2008). Pemahaman yang mendalam mengenai SGB diharapkan dapat mengurangi angka kematian ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi mengenai SGB sehingga dengan demikian diharapkan didapatkan pemahaman yang mendalam mengenai SGB. 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan studi literary review ini secara umum yaitu untuk menjelaskan mengenai sindroma guillain barre dan secara spesifik yaitu untuk menjelaskan mengenai definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi sindroma guillain barre.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindrom Guillan Barre Sindroma guillain barre merupakan sebuah keadaan

polyradiculoneuropathy akut yang dapat menyebabkan paresis flaksid (Kuitwaard et al., 2009) yang simetris (Dieleman et al., 2011) yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Hal ini dikaitkan dengan proses autoimun. Sindroma ini merupakan suatu penyakit yang heterogen di mana sekitar dua pertiga penderita melaporkan gejala infeksi seperti diare atau infeksi saluran pernapasan atas (Kuitwaard et al., 2009). 2.2. Etiologi Sindroma Guillain Barre Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer (Wilison, 2005). Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan di medula spinalis dan medula oblongata. Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain infeksi virus atau bakteri (virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, dan Echo (Sivadon-tardy et al., 2009). Bakteri: Campylobacter Jejeni, Mycoplasma (Tam et al., 2006), Pneumonia, Typhoid (Chanmugam dan Waniganetti, 1969), Borrelia (Rupprecht et al., 2007), Brucellosis (Babamahmoodi dan Babamahmoodi, 2011), Chlamydia (Grattan dan Berman, 1982), Legionella, dan Listeria (Zhang et al., 2010)), vaksinasi (Bardage et al., 2011), pembedahan (Aluka et al., 2009), anestesi (Yun

et al., 2012), penyakit sistematik (seperti keganasan (Maria et al., 2010), Systemic Lupus Erythematosus (Stainer et al., 2010), tiroiditis (Ahn et al., 2011), dan penyakit Addison (Mor et al., 1987)), kehamilan atau dalam masa nifas (Quinlan et al., 1988), dan gangguan endokrin (Soskin dan Usoltsev, 1966). 2.3. Klasifikasi Sindroma Guillain Barre Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu sebagai berikut:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS

yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann. 2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus. 3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN. 4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian SGB yang paling jarang;

dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut

oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons,

midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik (Seneviratne, 2000). 2.4. Patofisiologi Sindroma Guillain Barre Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup kuat. Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin pada Guillain - Barre Syndrome membuat konduksi salsatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan (Seneviratne, 2000; Winer, 2001).

Gambar 2.1. Lokasi serangan SGB pada sistem saraf perifer. a). Dorsal root ganglia dapat menjadi target respon antibodi. b). Nodus ravier juga dapat menjadi target respon imun. c). Protein permukaan sel schwan dapat menjadi target

pengikatan antibodi. d). Neuromuscular junction juga dapat menjadi target respon imun (Ho et al., 1998). Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada saraf tepi sehingga terjadi kelumpuhan. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi, adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi (Wilison, 2005; Zhang et al., 2010). Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer (Wilison, 2005). Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat merusak radiks ventralis sekaligus radiks dorsalis. Karena tidak seluruh radiks ventralis mengalami kerusakan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bersamaan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel

polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut (Seneviratne, 2000; Winer, 2001).

Gambar 2.2. kesamaan antara gangliodise GM1 pada manusia dan GM1-like epitope pada C. jejnuni (Ang et al., 2004).

Gambar 2.3. Mekanisme molecular mimicry pada SGB setelah infeksi C. jejuni (Ang et al., 2004).

Gambar 2.4. Skema peristiwa terjadinya SGB pada saraf terminal dimana terdapat paparan antibodi anti-ganglioside dengan komplemen. Exocytosis biasanya diprakarsai oleh masuknya kalsium melalui saluran kalsium yang mengaktifkan kompleks SNARE dan memulai fusi vesikel sinaptik dengan membran prasinaptik. Ketika pori-pori membrane attack complex (MAC) dideposit dalam membran presinaps, masuknya kalsium yang tidak teregulasi memicu exocytosis yang tidak terkontrol dan injuri intra terminal yang dimediasi oleh kalsium atau kalpain, termasuk degradasi sitoskeletal dan kematian mitokondria (Willison, 2005).

Gambar 2.5. A). Skema neuromuscular junction normal. B-D). Pola kerusakan neuromuscular junction yang berbeda akibat dari paparan komplemen dan

antibodi anti-ganglioside. Pada neuromuscular junction dimana saraf terminal mengalami kerusakan (misalnya diakibatkan oleh antibodi anti GD1a), akson terminal mengalami disintregasi dan presinaps sel schwan menjadi reaktif, memperpanjang proses interdigitasi antara fragmen aksonal dan envelop terminal yang tersisa dengan cara membungkus membran sel schwan. Jika pSC mengalami kerusakan secara bersamaan oleh deposit komplemen pada nevus terminal (misalnya akibat disialosil antibodi), respon reaktif pSC tidak muncul, dan pSC mengalami proses nekrosis yang tidak terintegrasi secara cepat (Willison, 2005). Perjalanan alamiah SGB, skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu: 1. Fase progresif Dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu. 2. Fase plateau Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. 3. Fase recovery Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan (Newswanger dan Warren, 2004). Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar

darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen (Willison, 2005). 2.5. Manifestasi Klinis Sindroma Guilain Barre 1. Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. 2. Gejala Klinis a. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. b. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. c. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otototot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau

N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. d. Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. e. Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 1033 persen penderita. f. Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (Seneviratne, 2000; Newswanger dan Warren, 2004). 2.6. Pemeriksaan Penunjang Sindroma Guillain Barre 1. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone) (Seneviratne, 2000).

2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit. Bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (Seneviratne, 2000). 2.7. Diagnosis Banding Sindroma Guillain Barre Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain seperti mielitis akuta, poliomyelitis anterior akuta, porphyria intermitten akuta, dan polineuropati post difteri. Diagnosis banding SGB dapat dibedakan melalui karakteristik tertentu seperti oklusi arteri basilar (parase asimetrik), botulism (descending paralisis), intoksikasi metal (pusing psikosis, sindroma otak organik), hipofosfatemia (mudah marah, gelisah, hiperventilasi, cairan serebrospinal normal), metabolik miopati (gejala serebral dan sereberal), myasthenia gravis (kelemahan dan kelelahan yang membaik dengan istirahat), neoplastik meningitis (paralisis spastik asimetrik), keracunan neurotoksik ( sembuh spontan dalam 24 jam), paraneoplastik neuropati (kronik), poliomielitis (gangguan motorik murni dengan meningitis), polimiositis (kronik, gangguan pada otot anggota gerak bagian proksimal), kompresi spinal cord (asimetrik), tick paralisis (tidak adanya perubahan sensorik, cairan serebrospinal normal), mielitis transversal (kelamahan kaki bilateral tiba-tiba, ascending sensorik), neuropati vaskulitis (mononeuropati) (Newswanger dan Warren, 2004). 2.8. Penatalaksanaan Sindroma Guillain Barre Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan

(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya 1. Terapi suportif Penggunaan imunoterapi sampai saat ini masih belum bisa dibuktikan dapat menurunkan angka kematian penderita SGB. Pada kebanyakan kasus kematian penderita SGB diakibatkan oleh komplikasi sekunder dari penyakit tersebut. Perawatan yang teliti dan penuh perhatian merupakan hal yang sangat penting pada penderita SGB.
a. Profilaksis deep vein thrombosis

penyakit dan mempercepat

penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Penggunaan heparin baik yang terfraksinasi maupun tidak terfraksinasi dan pemakaian stocking direkomendasikan pada pasien yang tidak bisa berjalan sampai dapat berjalan. b. Monitor jantung dan hemodinamik Memonitor nadi dan tekanan darah direkomendasikan pada pasien SGB yang parah sampai penggunaan ventilator atau alat bantu lainnya dihentikan atau sampai pasien sembuh tanpa membutuhkan intervensi. c. Monitor respirasi dan proteksi jalan nafas Fungsi pernafasan harus dipantau pada pasien dengan SGB, namun tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan metode yang spesifik. Keputusan untuk melakukan trakeostomi dapat ditunda selama 2 minggu. Jika setelah 2 minggu tes fungsi paru tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, trakeostomi harus dilakukan. Jika tes fungsi paru cenderung meningkat, trakeostomi dapat ditunda selama satu minggu tambahan, yang memungkinkan pasien untuk mencoba penyapihan ventilator. Trakeostomi perkutan mungkin lebih direkomendasikan di pusat dengan cukup pengalaman dalam menggunakan teknik ini.
d. Penanganan nyeri

Analgesik sederhana atau obat anti-inflammator mungkin dapat dicoba tetapi sering tidak memberikan bantuan penanganan nyeri yang memadai. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan gabapentin atau karbamazepin dalam perawatan intensif untuk pengobatan nyeri pada fase akut dari SGB. Analgesik narkotika yang sesuai dapat digunakan tetapi membutuhkan

pemantauan efek samping secara hati-hati. Adjuvant terapi dengan trisiklik antidepresan, tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat membantu dalam pengelolaan jangka panjang nyeri neuropatik.
e. Penanganan disfungsi usus dan kandung kemih

Auskultasi abdomen perlu dilakukan setiap hari untuk memantau terjadinya silence usus dan pemantauan administrasi opioid yang dianjurkan. Selain suspensi makanan melalui nasogastrik dan tabung rektal, eritromisin atau neostigmine mungkin efektif dalam mengobati ileus yang adinamik. Agen promotilitas merupakan kontraindikasi pada pasien dengan disautonomia. Kateterisasi kandung kemih sering diperlukan. f. Rehabilitasi Pengobatan pada fase akut harus mencakup program penguatan otot individu yang meliputi latihan isometrik, isotonik, isokinetik, dan manual resistif dan progresif resistif. Rehabilitasi harus difokuskan pada posisi anggota tubuh, postur, orthotics, dan gizi. g. Imunisasi Imunisasi tidak dianjurkan selama fase akut SGB dan mungkin tidak dianjurkan selama periode 1 tahun setelah onset penyakit. Namun kebutuhan untuk imunisasi harus ditinjau pada individu dasar. Jika SGB terjadi dalam 6 minggu setelah imunisasi tertentu, pertimbangan harus diberikan untuk menghindari imunisasi tersebut pada masa yang akan datang (Hughes et al., 2005). 2. Kortikosteroid Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai atau tidak bermanfaat untuk terapi SGB (Hughes et al., 2006). 3. Imunoterapi Plasmaperesis dan immunoglobulin merupakan terapi yang efektif untuk pasien SGB dewasa dan anak-anak jika diberikan pada beberapa minggu pertama penyakit. a. Plasmaperesis Plasmaperesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaperesis pada SGB memperlihatkan

hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaperesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). b. Pengobatan imunosupresan: 1). Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaperesis karena efek samping atau komplikasi lebih ringan. Dosis awal 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2). Obat sitotoksik Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6MP), azathioprine, dan cyclophosphamid. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala (Meena et al., 2011). 2.9. Prognosis Sindroma Guillain Barre Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaperesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan pendek, dan pada penderita berusia 30-60 tahun. Namun jika hal- hal tersebut tidak ada, SGB memiliki dampak jangka panjang yang serius, bahkan 3-6 tahun setelah timbulnya penyakit. Pemulihan bisa lambat dan memakan waktu bertahun-tahun. Cacat Persisten terjadi pada 20% -30% dari 20 pasien dewasa tetapi kurang umum terjadi pada anak-anak. Kelelahan berat merupakan sekuel dari SGB pada dua pertiga pasien (Meena et al., 2011). Beberapa faktor yang dikaitkan dengan prognosis yang buruk adalah etiologi (riwayat infeksi gastrointestinal, infeksi G jejuni, infeksi sitomegalovirus), kondisi klinis (usia tua, waktu yang lama untuk perbaikan keadaan klinis, membutuhkan ventilasi mekanik, keparahan penyakit), elektrofisiologi (penurunan CAMP distal kurang dari 20%, ineksitabilitas saraf),

penanda biokimia (antibodi anti-GM1, Neurone specific enolase dan S-100b, protein dalam cairan serebrospinal) (Seneviratne, 2000). 2.10. Komplikasi Sindroma Guillain Barre Sindroma guillain barre dapat berkomplikasi pada keadaan seperti paralisis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik, hipotensi atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah, aritmia kardial, aspirasi, retensi urin, dan problem psikiatrik (seperti: depresi dan ansietas) (Seneviratne, 2000).

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Sindroma guillain barre merupakan sebuah keadaan polyradiculoneuropathy akut yang dapat menyebabkan paresis flaksid yang simetris yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Manifestasi sindroma guillain barre yaitu kelumpuhan, gangguan sensibilitas, gangguan saraf kranialis gangguan fungsi otonom, kegagalan nafas dan papiledema. Gambaran laboratorium pada sindroma guillain baree yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Tujuan terapi sindroma guillain barre adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). 3.2 Saran Perlu dilakukan studi mengenai sindroma guillain barre lebih lanjut sehingga diharapkan didapatkan pemahaman yang baik mengenai JME. Selain itu, perlu disusun algoritma atau alur diagnosis dan penatalaksanaan penderita sindroma guillain barre sehingga diharapkan dapat mengurangi mortalitas pada penderita sindroma guillain barre.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn S, Kim S, Park B, Cha J, Kim S, Sung J, Lee K. 2011. Concurrence of Multifocal Motor Neuropathy and Hashimoto's Thyroiditis. J Clin Neurol 2011; 7(3): 168-172. Alshekhlee A, Hussain Z, Sultan B, Katirji B. 2008. Guillain-Barr syndrome: incidence and mortality rates in US hospitals. Neurology. 2008 Apr 29;70(18):1608-1613. Aluka KJ, Turner PL, Fullum TM. 2009. Guillain-Barr Syndrome and Postbariatric Surgery Polyneuropathies. JSLS 2009; 13(2): 250-253. Ang CW, Jacobs BC, Laman JD. 2004. The Guillain-Barre Syndrome: a true case of molecular mimicry. Trends in Immunology 2004;25(2):61-66. Babamahmoodi F, Babamahmoodi, A. 2011. Brucellosis, Presenting with Guillain-Barr Syndrome. J Glob Infect Dis 2011; 3(4): 390-392. Bardage C, Persson I, rtqvist A, Bergman U, Ludvigsson JF, Granath F. 2011. Neurological and autoimmune disorders after vaccination against pandemic influenza A (H1N1) with a monovalent adjuvanted vaccine: population based cohort study in Stockholm, Sweden. BMJ. 2011; 343: d5956. Chanmugam D, Waniganetti A. 1969. Guillain-Barr syndrome associated with typhoid fever. Br Med J. 1969; 1(5636): 95-96. Dieleman J, Johansen K, Weibel D, Bonhoeffer J, Sturkenboom M. 2011. Guillain-Barr syndrome and adjuvanted pandemic influenza A (H1N1) 2009 vaccine: multinational case-control study in Europe. BMJ 2011;343:d3908. Evans OB, Vedanarayanan 1997;18(1):10-6. V. Guillain-Barr syndrome. Pediatr Rev.

Grattan CEH, Berman P. 1982. Chlamydial infection as a possible aetiological factor in the Guillain-Barr syndrome. Postgrad Med J 1982 ; 58(686): 776-777. Ho TW, McKhann GM, Griffin JW. 1998. Human Autoimmune Neuropathies. Annu. Rev. Neurosci. 1998;21:187-226. Hughes RAC, Wijdicks EFM, Benson E, Cornblath DR, Hahn AF, Maythaler JM, Sladky JT, Barohn RJ, Stevens JC. 2005. Supportive Care for Patients With Guillain-Barr Syndrome. Arch Neurol 2005;62:1194-1198. Hughes RAC , Swan AV, van Koningsveld R, van Doorn PA. 2006. Corticosteroids for Guillain-Barr syndrome. Cochrane Database Syst Rev 2006 19;(2): CD001446.

Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigrd K, Olsson T, Link H. Pregnancy and Guillain-Barr syndrome: a nationwide register cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15(4):192-200. Kuitwaard K, van Koningsveld R, Ruts L, Jacobs BC, van Doorn PA. 2009. Recurrent GuillainBarre syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2009;80:5659. Maria C, Elide M, Salvatore A, Sabino D, Chiara C. 2010. Guillain-Barre Syndrome Associated with Gastric Cancer: Paraneoplastic Syndrome or Immunological Disorder? World J Oncol 2010;1(6):247-249. Meena AK, Khadilkar SV, Murthy JMK. 2011. Treatment guidelines for GuillainBarr Syndrome. Ann Indian Acad Neurol 2011; 14(1): S73S81. Mor F, Green P, Wysenbeek AJ. 1987. Myopathy in Addison's disease. Annals Rheumatic Dis 1987; 46, 81-83. Newswanger DL, Warren CR. 2004. Guillain-Barre Syndrome. Am Fam Physician 2004;69:2405-10. Prevots DR, Sutter RW. 1997. Assessment of Guillain-Barre Syndrome Mortality and Morbidity in the United States: Implications for Acute Flaccid Paralysis Surveillance. JID 1997;175 (1): S151-S155. Quinlan DJ, Moodley J, Lalloo BC, Nathoo UG. Guillain-Barre Syndrome in Pregnancy. SAMT 1988; 72: 611-612. Rupprecht TA, Kirschning CJ, Popp B, Kastenbauer S, Fingerle V, Pfister H, Koede U. 2007. Borrelia garinii Induces CXCL13 Production in Human Monocytes through Toll-Like Receptor 2. Infect Immun 2007; 75(9): 4351-4356. Seneviratne U. 2000. Guillain-Barr syndrome. Postgrad Med J 2000;76: 774782. Sivadon-Tardy V, Orlikowski D, Porcher RI, Sharshar T, Durand M, Enouf V, Rozenberg F, Caudie C, Annane D, van der Werf S, Lebon P, Raphae l J, Gaillard J, Gault E. 2009. Guillain-Barre Syndrome and Influenza Virus Infection. Clin Infect Dis 2009; 48:48-56. Soskin LS, Usol'tsev AN. 1968. Guillain-Barr syndrome in several endocrine diseases. Zh Nevropatol Psikhiatr Im S S Korsakova 1968;68(3):454-456. Steiner I, Rosenberg G, Wirguin I. 2010. Transient immunosuppression: a bridge between infection and the atypical autoimmunity of GuillainBarr syndrome? Clin Exp Immunol 2010; 162(1): 32-40.

Tam CC, OBrien SJ, Rodrigues LC. 2006. Influenza, Campylobacter and Mycoplasma Infections, and Hospital Admissions for Guillain-Barr Syndrome, England. Emerg Infect Dis. 2006 ; 12(12): 1880-1887. Wilison HJ. 2009. The immunobiology of Guillain-Barre syndromes. Journal of the Peripheral Nervous System 10:94-112. Winer JB. 2001. Guillain Barr syndrome. J Clin Pathol Mol Pathol 2001;54:381385. Yun MS, Cho Y, Lee D, Lim H. 2012. Guillain-Barre syndrome after lumbar epidural block. Korean J Anesthesiol 2012; 62(2): 192-193. Zhang HL, Wu J, Zhu J. 2010. The Role of Apolipoprotein E in Guillain-Barr Syndrome and Experimental Autoimmune Neuritis. J Biomed Biotechnol 2010; 2010: 357412.

Anda mungkin juga menyukai