Anda di halaman 1dari 10

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

SISTEM KETATANEGARAAN DIPANDANG DARI SUDUT


PERBANDINGAN

Oleh : Dedy Andiwinata

Pendahuluan
Ketika Krisis Konstitusional terjadi di berbagai negara, maka jawaban yang kini
sudah meretas untuk menanggapi keadaan itu adalah dengan membentuk badan proteksi
UUD/Konstitusi, khususnya Konstitusi di Indonesia (UUD 1945) .
Mahkamah konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan
indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen
terhadap undang-undang dasar 1945 (uud 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2
yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan
badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi".
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan mk dalam sitem
ketatanegaraan indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau
sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap uud 1945
itu.
Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya amandemen terhadap
uud 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara
dalam sistem ketatanegaraan indonesia, yakni sistem yang bercorak vertikal-hierakis
menjadi horizontal-hierakis. Dalam sistem lama, yakni sistem yang bercorak vertikal
hierakis itu, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan indonesia disusun
secara vertikal dan bertingkat dengan majelis permusyawaratan rakyat (MPR) berada di
struktur dan kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.

1
Sebetulnya UUD 45 versi Amandemen 2002 tidak layak dinamakan UUD 1945
karena prinsip dasarnya berbeda dengan UUD 1945, tetapi dalam kenyataan bahwa UUD
2002 telah dipatuhi oleh rakyat Indonesia dan diakui oleh dunia internasional, juga
dikuatkan keabsahan UUD 1945 setelah tidak dapat diragukan, baik formil maupun
materiil, karena menurut teori konstitusi, UUD itu merupakan keputusan politik tertinggi
dari rakyat. Sehingga UUD 1945 setelah amendemen menjadi sah karena diputuskan oleh
lembaga perwakilan rakyat yang konon dipilih secara demokratis. Selain itu, amendemen
adalah upaya untuk menyempurnakan UUD 1945, yang merupakan amanat dari pendiri
negara.
Kembali kepada permasalahan utama, bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki
andil yang cukup besar dalam Konstitusi Negara yang ada di dunia, khususnya yang
memiliki lembaga ini. Kalau diperhatikan secara seksama, keseluruhan kewenangan yang
dimiliki oleh MK itu, dalam arti luas sesungguhnya bisa dikembalikan kepada upaya
menjaga tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Sehingga muncul beberapa
pertanyan, apakah Kedudukan Konstitusi itu sama di negara satu dengan negara lain?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diadakan perbandingan dengan Mahkamah
Konstitusi yang ada di negara lain.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan


tentang apakah peran dan kedudukan Mahkamah Konstitusi itu sama dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dengan peran dan kedudukan Lembaga yang sejenis di negara-
negara lain di dunia?

2
BAB I
NEGARA MODERN BERASASKAN ATAS DEMOKRASI

Hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti


diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara
yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut
prinsip kedaulatan rakyat (90%)1 . Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal
dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.
Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan
(rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat
memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan.
Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi
sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada
yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak
begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan yang buruk. Filsuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang
penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi,
jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara
politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat modern.2
Secara etimologi, demokrasi (democratie) adalah bentuk pemerintahan atau
kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan
rakyat yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat
(die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis). Sementara Sri Soemantri
mendefenisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal (indirect democracy) sebagai
suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat
secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan

1
Amos J. Peaslee, constitutions of nation, vol. i, concord, the rumford press, new haven, 1950. hlm. 8,
terpetik dalam jimly asshiddiqie, konstitusi dan konstitusionalisme indonesia, konstitusi press, jakarta, 2005.
hlm.140.
2
Haedar Nashir, gagasan dan gelombang baru demokrasi, dalam mahfud md, et.all, wacana politik dan
demokrasi indonesia, pustaka pelajar, 1999.

3
MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup menurut Sri Soemantri adalah
demokrasi sebagai falsafah hidup (democracy in philosophy). 3
Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika
memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
2) persamaan di depan hukum,
3) distribusi pendapat secara adil,
4) kesempatan pendidikan yang sama,
5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan
beragama,
6) ketersediaan dan keterbukaan informasi,
7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik,
8) kebebasan individu,
9) semangat kerja sama dan,
10) hak untuk protes.4
Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi
yang ideal, yaitu :
1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat,
2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif,
3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang
untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan
pemerintahan secara logis,
4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus
diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan
kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan

3
Sri Soemantri, perbandingan antar hukum tata negara, alumni bandung, 1971. hlm. 26.
4
Amien Rais, demokrasi dan proses politik, dalam demokrasi dan proses politik, seri prisma jakarta,
diterbikan Lp3es, 1986

4
5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang
dewasa dalam kaitannya dengan hukum.5
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan
monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik
bagi masyarakat6 .
Setelah mengamati demokrasi di berbagai negara, dapat diketahui bahwa
demokrasi dirumuskan dengan menggunakan lima indikator tertentu, antara lain :
Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh
rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan
telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat
mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan
akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut
dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku
anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan
jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia
menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh
media massa yang telah ada.
Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak
hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang
lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu
pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang
mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu
negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya
kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di
kalangan elit politik saja.
Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi
kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya,

5
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi Dan Kontrol, terjemahan oleh sahat
simamora, penerbit rajawali pers, jakarta, 1985
6
Frans Magnis Suseno, kuasa dan moral, gramedia pustaka utama, jakarta, 2001, hlm. 47.

5
setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang
dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak
demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya,
peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang
saja.
Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara
teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan
kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana
yang akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain.
Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk
didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara.
Kelima; menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga
masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di
dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression),
hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk
menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya,
tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat
sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan
kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia
bentuk atau dia pilih.

6
KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN DIPANDANG DARI SUDUT PERBANDINGAN

Secara idee Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah hampir dibentuk oleh para
founding fathers kita di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada rapat-rapat BPUPKI yang mempersiapkan UUD Indonesia,
sempat pula diperdebatkan perlu tidaknya pembentukan pengadilan spesial di luar
Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi suatu fenomena baru, bukan saja bagi Indonesia, namun
juga bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara, adalah Badan peradilan yang berfokus
pada Konstitusi, Undang Undang Dasar. Mahkamah ini mengadili gugatan mengenai
sebuah perundangan yang dinilai tidak sejiwa atau malah bertentangan dengan
Konstitusi.

Dari seluruh negara di dunia, Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara.


Dari ke-45 negara tersebut, rata-rata memang pernah mengalami krisis konstitusional
dan berubah dari otoritarian menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan itulah
Mahkamah Konstitusi dibentuk.

Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain Afrika
Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir, Croatia,
Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol.

Khusus untuk Jerman, Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian


sebagaimana disebut sebelumnya, yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-
masing negara tersebut tidak terkait dengan krisis konstitusional.

Ke-45 negara tersebut tidak sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah


Konstitusi atau Constitutional Court (Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang
memiliki fungsi 'judicial review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga
yang agak mirip pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy

7
Council (Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang
merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis. Di Jerman,
dinamakan Verfassungsgerichtshof, juga di Austria. Verfassung adalah Konstitusi dalam
bahasa Jerman.

Di Konstitusi Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi diatur dalam Konstitusinya,


yaitu pada Pasal 107 dan dalam Bab VI yang berisi tiga pasal, yaitu Pasal 111, Pasal
112, dan Pasal 113. Pasal 111 ayat (2) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri
atas 9 orang anggota. Masa jabatan kesembilan anggota Mahkamah Konstitusi itu
ditentukan dalam Pasal 112 ayat (1) yaitu 6 tahun dan dapat diangkat kembali sesuai
ketentuan Undang-undang.

Ketentuan dalam ayat selanjutnya memberikan larangan kepada para hakim


konstitusi untuk terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis atau menjadi
anggota dan apalagi pengurus partai politik tertentu. Ayat berikutnya mengatur bahwa
hakim konstitusi hanya dapat diberhentikan karena alasan yang bersifat hukum, yaitu
karena 'impeachment' atau karena dikenakan pidana penjara atau hukuman yang lebih
berat dari pidana penjara.

Lain di Korea Selatan lain pula di Afrika Selatan. Mahkamah Konstitusi dibentuk
pertama kali pada 1994 berdasarkan 'Interim Constitution' Tahun 1993. setelah
Konstitusi 1996 disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja yaitu mulai
persidangannya yang pertama pada Februari 1995. Anggotanya 11 orang, dengan masa
tugas 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian
karena pensiun yaitu ketika mencapai usia 70 tahun.

Semua anggota Mahkamah Konstitusi bersifat independen, dengan tugas


memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi secara adil (impartial) dan
tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk.

Modifikasi berbagai model Mahkamah Konstitusi terjadi bukan hanya karena


adanya perbedaan istilah, namun juga disebabkan keragaman sistem hukum yang dianut
negara yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi di lingkungan negara-negara yang
menganut 'civil law', berlainan dengan konsep di lingkungan 'common law' sepeti di
Amerika Serikat.

8
Titik berat dalam membedakan kedua sistem hukum ini, terkait dengan
Mahkamah Konstitusi, adalah pada upaya untuk tidak mencampur-adukan antara fungsi
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Atau lebih khusus lagi, menyangkut
eksistensi peradilan tata usaha negara yang hanya dikenal dalam sistem 'civil law'
seperti di Indonesia.

Dalam salah satu rapat BPUPKI, Panitia yang memperisapkan kemerdekaan


Indonesia di tahun 1945, Prof. M. Yamin pernah menggagas lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut
constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Prof. Yamin berawal dari
pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht (uji materil) terhadap
UU.

Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Prof. Soepomo.
Dalam rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan
sebuah pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan.
Alasannya, menurut Prof. Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat
mengisi jabatan itu.

Untuk mengetahui apa dan bagaimana argumen Prof. Soepomo menanggapi


gagasan dibentuknya pengadilan spesial yang diusulkan Prof. Yamin, berikut Penulis
kutipkan pernyataan selengkapnya sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Laica Marzuki
:7

"Kecuali itu Paduka Tuan Ketua. Kita dengan terus terang akan mengatakan,
bahwa para akhli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman
dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat pula bahwa di Austria, di Ceko
Slowakia, dan Jerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan
spesial, Constitutioneel Hof, yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus
mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah
tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda, saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu".
Mahkamah Konstitusi, berikut tugas dan wewenangnya, pertama kali
diperkenalkan di Indonesia pada Perubahan Ketiga UUD 45. Pasal III Aturan Peralihan

7
Oleh Laica, pernyataan dari Prof. Soepomo ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi,
dan bukan penolakan. Demikian disampaikan Laica dalam buku "Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia" yang diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).

9
Perubahan Keempat UUD 45 seperti dikutip di awal tulisan, yang disahkan pada Sidang
Tahunan MPR 9 November 2001. Sebetulnya, pasal ini hadir sebagai jalan keluar untuk
mengisi kekosongan hukum sementara Mahkamah Konstitusi belum terbentuk.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah


Konstitusi adalah:

• Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya


bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum

• Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai


dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
1945.

10

Anda mungkin juga menyukai