Abstrak
A. Pendahuluan
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau realitas
cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari hukum tidak
1
sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial. Berparadigma
fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum1.
dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa
yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat
Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di
perkembangan.
Tesis yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah apakah hukum
berkembang karena adanya camput tangan hukum. Jika diikuti jalan pikiran yang
pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah ajaran von Savigny
mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan jika yang
dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka pendekatannya lebih mengarah
kepada apa yang telah dikemukakan oleh John Austin yang memandang hukum
Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan besar karena
bagaimanapun inti hukum adalah keadilan. Pemisahan ini tidak didasarkan pada
pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu
1
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu
Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi
Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di
Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 1. Ada juga yang berpendapat bahwa sosiologi hukum itu
sebenarnya merupakan cabang dari ilmu hukum yang berfungsi sebagai kritik terhadap hukum.
2
yang lebih kuat (the power of a superior)2. Dari hal tersebut dapat diketahui
bahwa aliran hukum imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang
dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari dua
sisi yang berbeda pula. Dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk melihat
perkembangan jaman
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih
undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian. Tidak
dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam
fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu
sendiri yaitu memberi keadilan3 tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah
2
Bandingkan dengan pendapat Thomas Hobbes yang mendasarkan kekuatan hukum pada
kedaulatan negara. Tetapi Austinlah yang menerapkan dasar tersebut dalam perkembangan
sistem hukum modern. W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 149
3
Inti atau hal yang prinsipil dari hukum memang persoalan keadilan, tetapi pembicaraan
mengenai keadilan juga harus berpandangan ke depan dan tidak menggunakan konsep-konsep
lama. Dalam narasi yang lebih besar, hukum berfungsi untuk membikin hidup lebih mudah, lebih
gampang dan tidak menyusahkan.
3
untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para
pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak
mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan
Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari
teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam
imperatif. Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang
berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta
mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa
hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat
4
Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20. Bandingkan dengan istilah hukum
yang mandul yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam Permasalahan Hukum di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
4
undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign)5 Ketertiban bagi
penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan
bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak
memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa
Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan
terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan
untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan
hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran
penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa
Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi
Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan
5
mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen
membangun bangsa.
Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat
berlangsung dua kali melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat
yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial,
sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang
ada8.
7
Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of Historis Change, dalam Soscial Theory
and Economic Change, disunting oleh T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London,
1967, hal. 308-311
8
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada seminar tentang
Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan
Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
6
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli
dengan hal ini. Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk
kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah
transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar
terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa
transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik,
ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan
steril.
dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta
7
Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh
karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari
hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha
perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam
dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan
janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu
diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka
9
Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum,
Bina Aksara, Jakarta, 1978, hal. 259.
10
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press, London, 2nd Edition, 1957, hal.
260.
8
sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang
Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta
atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak
dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui
pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial
dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang
hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum
adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain
seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba
hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar
kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu pertanyaan
11
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan
Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun, hal. 13-14.
12
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyunting Alimandan,
Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 2 dan 16.
9
yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari
berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis
moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka
kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan
sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru
(sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh
pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar
dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas
yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan
manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan
bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan
13
Bandingkan pertanyaan ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Bottomore
dalam Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1984, hal, 30.
10
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan
perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan
harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang
berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama
sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak
memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang
tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila
D. Penutup
sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar.
Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang
tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel
hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi
perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks ini adalah
bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang
11
keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi
lebih tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum
12