Anda di halaman 1dari 12

FLEKSIBILITAS HUKUM

(Sikap Hukum Menghadapi Perkembangan Jaman)

Oleh: Agus Raharjo

(Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Vol. 1 No. 1 Tahun 2001,


FH UMP Purwokerto)

Abstrak

Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah


diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan.
Tetapi hukum yang benar-benar otonom di
masyarakat kita tentulah masih menjadi pertanyaan
besar karena makna yang ada dibalik hukum yang
terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya)
seringkali lebih dominan (seperti unsur politik,
ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna
hukum yang berciri keadilan. Otonomi hukum perlu
ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem
tersendiri mempunyai kebebasan untuk
mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu
pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang
lebih komprehensif.

Kata kunci: social control, social engineering, fleksibilitas hukum

A. Pendahuluan

Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau realitas

karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial. Sosiologi hukum merupakan

cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari hukum tidak

1
sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial. Berparadigma

fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum1.

Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman Yunani

dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa

yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat

memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum.

Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di

tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami

perkembangan.

Tesis yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah apakah hukum

itu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sebaliknya masyarakat

berkembang karena adanya camput tangan hukum. Jika diikuti jalan pikiran yang

pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah ajaran von Savigny

mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan jika yang

dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka pendekatannya lebih mengarah

kepada apa yang telah dikemukakan oleh John Austin yang memandang hukum

sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat.

Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan besar karena

bagaimanapun inti hukum adalah keadilan. Pemisahan ini tidak didasarkan pada

pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu
1
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu
Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi
Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di
Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 1. Ada juga yang berpendapat bahwa sosiologi hukum itu
sebenarnya merupakan cabang dari ilmu hukum yang berfungsi sebagai kritik terhadap hukum.

2
yang lebih kuat (the power of a superior)2. Dari hal tersebut dapat diketahui

bahwa aliran hukum imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang

tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakatnya sendiri. Hukumnya adalah

hukum penguasa yang superior untuk kepentingan penguasa itu sendiri.

Apa yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan suatu gambaran adanya

dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari dua

sisi yang berbeda pula. Dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk melihat

lebih jauh hukum yang berkembang di Indonesia dalam menghadapi

perkembangan jaman

B. Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional

Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih

didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya

yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan

undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian. Tidak

dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam

fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu

sendiri yaitu memberi keadilan3 tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah

2
Bandingkan dengan pendapat Thomas Hobbes yang mendasarkan kekuatan hukum pada
kedaulatan negara. Tetapi Austinlah yang menerapkan dasar tersebut dalam perkembangan
sistem hukum modern. W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 149
3
Inti atau hal yang prinsipil dari hukum memang persoalan keadilan, tetapi pembicaraan
mengenai keadilan juga harus berpandangan ke depan dan tidak menggunakan konsep-konsep
lama. Dalam narasi yang lebih besar, hukum berfungsi untuk membikin hidup lebih mudah, lebih
gampang dan tidak menyusahkan.

3
untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para

pejuang kemerdekaan.

Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak

mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan

Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari

teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam

fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang

bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan

yang merugikan penjajah.

Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang

imperatif. Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang

terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan

sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya4.

Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk

mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam

masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan

berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta

hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of jurisprudence)

mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa

hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal dari satu pembuat

4
Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20. Bandingkan dengan istilah hukum
yang mandul yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam Permasalahan Hukum di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.

4
undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign)5 Ketertiban bagi

penjajah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan

bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan

cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang

diperoleh bisa diangkut ke Belanda.

Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak

memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran pinggiran bangsa

Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan

terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan

untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan

hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum. Sebagai negara pinggiran

maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag6.

Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat

penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa

hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.

Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi

kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan,

Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan

hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan


5
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988, hal. 57. Lebih
lengkap mengenai masalah ini dapat dibaca di Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1991.
6
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses
Sosial Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah pada seminar tentang
Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan
Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 6

5
mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen

membangun bangsa.

Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi.

Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin

modern. Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit

pada masyarakat. Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju

masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan.

Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat

berlangsung dua kali melalui cara yang sama. Variasi waktu dan pentahapan dapat

dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan

dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi7.

Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum

yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial,

sebagai sarana kebijakan negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa

sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai

keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-

kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi

sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang

ada8.

7
Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of Historis Change, dalam Soscial Theory
and Economic Change, disunting oleh T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London,
1967, hal. 308-311
8
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada seminar tentang
Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan
Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.

6
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli

dengan hal ini. Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk

kepentingannya. Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk

undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-

kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia. Sebagai parameternya

adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.

C. Hukum yang fleksibel dan tuntutan perubahan

Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah

transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar

terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa

transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik,

tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu

ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan

steril.

Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu

sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini memberikan

gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum

dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta

sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi

orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam.

7
Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh

bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja9.

Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari

karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari

hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha

membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan

antara hukum dengan realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-

keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau

perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam

kenyataan yang bersifat psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena

hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen

dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan

terpisah satu sama lain10.

Persepsi normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang

tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang

sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita

sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan,

janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu

diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka

9
Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum,
Bina Aksara, Jakarta, 1978, hal. 259.
10
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press, London, 2nd Edition, 1957, hal.
260.

8
sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang

demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya11.

Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta

atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak

dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui

proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya

diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu

pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial

inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial

dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang

sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan12. Norma

hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum

adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain

seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba

dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.

Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah mana hukum

hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar

perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu

kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu pertanyaan

11
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan
Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun, hal. 13-14.
12
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyunting Alimandan,
Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 2 dan 16.

9
yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang

sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu13.

Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari

berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis

moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka

titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan

pemerintahan yang totaliter. Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap

kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan

sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru

(sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh

pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar

dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas

atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.

Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos, artinya

keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh masyarakat

sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting. Pandangan masyarakat

yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan

manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan

bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan

reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.

13
Bandingkan pertanyaan ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Bottomore
dalam Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1984, hal, 30.

10
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan

otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam

perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan

harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang

mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik

ulur partai politik).

Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang dibangun

berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama

sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak

pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak

memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang

tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila

hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa

campur tangan kekuasaan.

D. Penutup

Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan, hukum bukanlah

sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar.

Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang

tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel

mengikuti perkembangan dan tuntutan rakyat. Pengertian yang fleksibel dari

hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi

perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks ini adalah

bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang

11
keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi

lebih tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum

terhadap tuntutan rakyat.

12

Anda mungkin juga menyukai