Anda di halaman 1dari 17

HAK-HAK PEKERJA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Oleh : Gina 2005

1. Permasalahan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Jumlah pekerja perempuan dari tahun ke tahun meningkat cukup tajam.
Tahun 2004 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pekerja perempuan
berjumlah 33.141.000 orang dari total sekitar 93.722.000 pekerja Indonesia.
Mereka, kaum perempuan, bekerja pada berbagai macam jenis pekerjaan, baik
di sector formal maupun informal. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tampak jelas penyebaran pekerja
perempuan berdasarkan usianya. Sejak usia 15 tahun pekerja perempuan
mulai menyerbu lapangan kerja. Dengan berpatokan pada usia tersebut maka
bisa diduga pendidikan mereka rata-rata SD/SMP atau SMA.
Yang menjadi persoalan dan tanda Tanya besar, berapa banyak yang
tahu akan hak-hak dasarnya sebagai pekerja, seperti perlindungan akan
kesetaraan upah antara laki-laki dengan perempuan, hak untuk mendapat cuti
melahirkan/kegugran kandungan dan hak-hak dasar lainnya? Seberapa banyak
juga dari mereka yang tahu bahwa telah ada UU dan peraturan-peraturan
lainnya yang melindungi hak-hak mereka? Akibat kurangnya informasi dan
pengetahuan akan hal tersebut ditambah lagi dengan belum seriusnya
penegakan hukum, maka timbul berbagai persoalan yang jelas-jelas merugikan
pekerja perempuan seperti; masih sedikitnya perempuan pekerja menduduki
posisi yang strategis, rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah
yang murah, jam kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan

1
promosi, rentan terhadap pelecehan seksual, tidak mendapat atau dipersulit
mendapatkan hak-hak reproduksi, cuti haid dan melahirkan, mengalami
diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan kesehatan.
Undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar
pekerja. Pengusaha atau siapa pun yang melanggar hak-hak dasar pekerja
dapat dijatuhkan sanksi mulai dari sanksi ringan seperti teguran, peringatan,
pencabutan usaha sampai pada tingkat pelanggaran yang dapat digolongkan
sebagai kejahatan sehingga dapat dikenakan sanksi kurungan atau pidana
penjara.

1.2. Rumusan Masalah.


Adapun rumusan masalah dari karya tulis ini adalah :
1. Dapatkah PHK diberlakukan untuk pekerja perempuan?
2. Perlindungan apakah yang diberikan pada pekerja perempuan yang
bekerja di malam hari?
3. Sanksi-sanksi apa saja yang akan diberikan bagi pelanggar hak-hak
pekerja ?
4. Sanksi-sanksi apa saja yang akan diberikan bagi pelanggar hak pekerja
perempuan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah PHK dapat diberlakukan bagi pekerja
perempuan.
2. Untuk pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perburuhan di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.

1.4 Metode Penulisan

2
Penulis menggunakan Metode Penulisan Kepustakaan “Library Research”

dan “Net Browsing” dalam menyelesaikan karya tulis ini, dimana penulis

mengumpulkan beberapa literatur yang berkaitan dengan pembahasan dalam

tulisan ini yang kemudian dikutip untuk menyelesaikan karya tulis ini serta

penelusuran penulis di website-website terkait.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan, perbedaannya


hanya terletak pada jenis kelamin dan reproduksi. Kesetaraan gender adalah
kesetaraan peran sehingga dalam setiap aktivitas tugas dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan sama.
Dalam konteks kenegaraan baik perempuan maupun laki-laki adalah
subyek dan obyek pembangunan sehingga mempunyai hak, kewajiban dan
kesempatan yang sama. Marjinalisasi peran perempuan dan memposisikan
perempuan sebagai subordinat adalah tidak terlepas dari sejarah budaya
bangsa. Dengan semakin meningkatnya perkembangan industrialisasi dan
teknologi semakin canggih membawa perempuan pada posisi yang sejajar
dengan laki-laki karena dengan teknlogi dan permesinan yang serba otomatis
dan praktis, tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk melakukan
pekerjaan di berbagai bidang.
Sebenarnya, UU Tenaga Kerja No.13 Tahun 2003, selanjutnya disingkat
UUKK, dan beberapa peraturan pelaksanaannya sudah mengatur hak-
hak/perlindungan kepada pekerja perempuan, walaupun harus diakui regulasi
tersebut belum sempurna. Bahkan, jauh sebelum itu pada tahun 1984
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Againts Women (CEDAW) atau yang secara resmi di Indonesia disebut sebagai
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Dalam UUKK hak-hak pekerja Indonesia termasuk pekerja perempuan
mendapatkan kepastian tentang ketentuan normatif/minimal yang wajib
diberikan oleh Pengusaha/Majikan kepada pekerja/buruh. Sedangkan untuk
hak-hak lain yang disebut dengan “kepentingan” seperti tunjangan-tunjangan,

4
bonus, insentif dll di luar hak-hak normatif Undang-Undang ini mengamanatkan
kepada pengusaha dan pekerja untuk bernegosiasi mencapai kesepakatan dan
hal tersebut diminta dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan
perusahaan. Apa yang tertuang dalam PKB dan PP sifatnya mengikat, artinya
salah satu pihak tidak boleh melanggar atau mengabaikan kesepakatan. Lebih
lanjut, diwajibkan agar setiap terjadi perubahan atau salah satu pihak
menginginkan adanya perubahan dalam kesepakatan harus ditempuh melalui
perundingan dan prinsipnya nilai-nilai dalam kesepakatan tersebut tidak boleh
bertentangan atau di bawah ketentuan UU. Kalau ada sesuatu yang sifat dan
nilainya lebih baik dari ketentuan UU maka kesepakatan itulah yang dipakai.
Lalu dalam konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tersebut di atas, secara khusus memberikan perlindungan
bagi hak-hak pekerja perempuan. Salah satu implementasinya adalah untuk
jenis pekerjaan yang sama, pengusaha tidak boleh membeda-bedakan
kompensasi yang diberikan kepada setiap pekerja baik laki-laki maupun
perempuan.

2.1 Larangan PHK Terhadap Pekerja Perempuan


Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja No . Permen 03/Men/1989
mengatur larangan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan berikut:
• pekerja perempuan menikah
• pekerja perempuan sedang hamil
• pekerja perempuan melahirkan
Larangan tersebut merupakan bentuk perlindungan pekerja wanita
sesuai kodrat, harkat dan martabatnya dan merupakan konsekuensi logis
dengan diratifikasinya konvensi ILO No .100 Nomor 111 Tahun 1951 tentang
diskriminasi.

5
Dalam peraturan tersebut pengusaha diwajibkan merencanakan dan
melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja wanita tanpa mengurangi hak-
haknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak
memungkinkan mempekerjakan wanita hamil.
Sebelum dikeluarkannya peraturan menteri tersebut bentuk diskriminasi
terhadap pekerja perempuan merambah hampir di semua sektor, hak-hak
mereka sebagai pekerja terabaikan, pekerja perempuan masih dianggap warga
kelas 2 karena budaya patriarki dalam kehidupan budaya bangsa Indonesia
sangat kental.
Bentuk diskriminasi terhadap pekerja perempuan bukan hanya dari
aspek peran saja yaitu yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab tetapi
juga apresiasi terhadap hasil kerja yang diwujudkan dalam bentuk remunerasi.
Jarang sekali pekerja perempuan ditempatkan pada posisi sebagai Decision
Maker walaupun mereka mampu atau bahkan lebih baik dari pada laki-laki. Hal
ini berpengaruh pada sistem pengupahan berupa komponen struktur dan skala
upah.
Bentuk diskriminasi lain menyangkut kodratnya sebagai perempuan.
Kodrat perempuan dan laki-laki adalah makhluk ciptaan Tuhan dan sifatnya
mutlak. Kodrat adalah suatu keadaan dan wilayah yang tidak bisa dijangkau
oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat adalah suatu keadaan dan
wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat
adalah sesuatu yang mustahil. Sebagai contoh, perusahaan memutuskan
hubungan kerja kepada pekerja perempuan hanya karena perempuan itu
menikah lalu hamil dan melahirkan dan dituangkan dalam kesepakatan kerja
bersama atau peraturan perusahaan.

6
2.2 Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja pada Malam
Hari
Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja
perempuan tidak hanya berupa pelarangan pemutusan hubungan kerja
terhadap perempuan pekerja yang menikah, hamil dan melahirkan tetapi
menyangkut perlindungan terhadap keamanan apabila perempuan bekerja
pada malam hari yaitu antara pukul 23.00 s/d 07.00
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No . Kep.
224/Men/2003 mengatur kewajiban pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00.
Kepmen tersebut intinya adalah menyangkut perlindungan keamanan
fisik dan psikis pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari agar
terhindar dari perampokan, pemerasan, maupun tindakan asusila berupa
pemerkosaan dan pelecehan seksual. Tanggung jawab yang berkaitan dengan
perlindungan ini dibebankan kepada pengusaha.
Konkritnya pengusaha diwajibkan:
a) Menyediakan angkutan antar jemput untuk untuk pekerja perempuan
yang bekerja dan pulang pukul 23.00 s/d 05.00
b) Pengusaha juga diwajibkan menyediakan petugas keamanan di
tempat kerja untuk memastikan bahwa pekerja perempuan aman dari
kemungkinan perbuatan asusila di tempat kerja.
c) Fasilitas tempat kerja harus didukung oleh kamar mandi WC dan
penerangan yang layak.
d) Untuk menjaga kondisi kesehatan agar pekerja perempuan harus
dalam kondisi prima, pengusaha diwajibkan memberikan makanan
dan minuman yang bergizi sekurang-kurangnya 1.400 kalori.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per
03/men/1989 tentang larangan PHK bagi pekerja wanita karena menikah,
hamil, atau melahirkan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No
Kep.22/Men/2003 tentang kewajiban pengusaha yang mempekerjakan

7
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 sebagai indikasi bahwa
pemerintah serius memberikan perlindungan terhadap pekerja khusus pekerja
perempuan walaupun kenyataan yang sebenarnya masih terjadi ketimpangan
dalam implementasinya di lapangan.

Cuti Haid
Cuti haid bagi perempuan adalah sesuatu yang tetap menjadi pro dan
kontra. UUKK mengatur tentang cuti haid bagi perempuan.
Pasal 81 ayat 1 UUKK tersebut menyatakan “pekerja/buruh perempuan
yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”
Bagi sebagian perempuan yang tidak setuju dengan dimasukkannya pasal 81
tentang cuti haid melihat bahwa pengaturan tersebut merupakan perlakuan
diskriminatif karena haid adalah kodrat. Alasannya, dengan semakin
canggihnya teknologi dan semakin tingginya kesadaran perempuan akan
kesehatan maka masalah haid bukan lagi menjadi faktor penghambat untuk
beraktivitas. Masalah haid adalah berkaitan dengan reproduksi dan reproduksi
adalah masalah kodrat.
Sedangkan bagi sebagian perempuan yang setuju dengan pasal 81
UUKK tersebut menganggap bahwa kewajiban cuti haid bagi pekerja
perempuan adalah masalah hak, dan kalau hak boleh diambil dan boleh tidak
diambil. Implementasi dari pasal 81 ayat 1 di lapangan memang berjalan seiring
dengan bergulirnya pendapat pro dan kontra tersebut, walaupun cuti haid
adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan tetapi kenyataannya, banyak sekali
pekerja perempuan di perusahaan tertentu tidak menggunakan haknya atau
mengabaikan ketentuan tersebut artinya pekerja perempuan tetap
melaksanakan tugas dan kewajibannya walaupun dalam keadaan haid.
Di beberapa perusahaan padat karya yang mempekerjakan mayoritas
pekerja perempuan ketentuan ini tetap berlaku. Bahkan mekanisme

8
pengambilan cuti haid disepakati dan dituangkan dalam perjanjian kerja
bersama atau peraturaan perusahaan.

A. Cuti Hamil / Cuti Keguguran


Kebijakan pemerintah untuk memberikan cuti hamil kepada perempuan
adalah sesuatu yang wajib karena keterkaitan kodrat sebagai perempuan.
Ketentuan UUKK pada psal 82 mengatakan pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh isirahat 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Ayat 2 mengatakan pekerja/buruh perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter atau bidan.
Mekanisme pengambilan cuti hamil bisa disepakati antara pekerja/buruh
dengan pengusaha dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau
peraturan perusahaan. Mekanisme pemgambilan cuti hamil yang dimaksud
tidak mesti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan
bisa diatur apakah 1 minggu atau 2 minggu sebelum melahirkan baru sisanya
diambil setelah melahirkan. Yang penting total istirahat selama periode
melahirkan adalah 3 bulan.
Apabila cuti tahunan jatuh temponya tepat pada saat mengambil cuti
hamil maka cuti tahunannya tetap berlaku.
Pekerja perempuan juga selain diberikan cuti hamil juga diberikan
kesempatan menyusui anaknya selama melakukan pekerjaan . Pasal 83
mengatakan “pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus
diberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja.”
Walaupun UU memperbolehkan untuk melakukan hal itu tetapi
kenyataannya pekerja perempuan tidak melakukannya bukan karena dilarang
oleh pengusaha tetapi kemauan pekerja sendiri dengan alasan menghambat

9
pekerjaan. Selama pekerja perempuan melaksanakan cuti melahirkan selama 3
bulan maka pekerja tersebut tetap berhak mendapatkan upah penuh.

2.3 Sanksi-Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Pekerja


Hak-hak pekerja pada umumnya dan pekerja perempuan khususnya
sudah diatur secara lebih rinci baik dalam UUKK maupun dalam peraturan
pelaksanaannya. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha lalai
menjalankan kewajibannya bahkan melakukan kesalahan/kejahatan terhadap
pekerja perempuan?
Dalam hukum ketenagakerjaan ada banyak pasal yang mencantumkan
sanksi/hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pengusaha atau siapapun yang
melakukan pelanggaran, tergantung jenis-jenis pelanggarannya.

2.3.1 Bentuk-Bentuk Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja


Sanksi administratif berupa teguran, peringatan dan bahkan
pencabutan izin usaha dapat dijatuhkan kepada perusahaan/pengusaha
jika jika melakukan pelanggaran sebagai berikut :
a.) Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja;
b.) Perusahaan penempatan tenaga kerja yang memungut biaya
penempatan kepada pekerja;
c.) Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja biparti padahal
sudah mmpekerjakan lebih dari 50 orang pekerja;
d.) Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian
Kerja Bersama (PKB);
e.) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam bulan
takwin terhitung sejak hari pertama pekerja ditahan oleh pihak yang
berwajib kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya.
Kewajiban pengusaha tersebut diatur dengan prosentase sebagai
berikut : untuk satu orang tanggungan 25 % dari upah, dua orang

10
tanggungan 35 % dari upah, tiga orang tanggungan 45 % dari upah,
empat orang atau lebih tanggungan 50 % dari upah. (Pasal 190
UUKK)

2.3.2 Batalnya Perjanjian Kerja/Berubahnya PKWT Menjadi PKWTT


Sanksi lain yang dapat dijatuhkan adalah batalnya perjanjian kerja
atau berubahnya perjanjian kerja dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dalam
bahasa sederhana, pekerja berubah status dari pekerja kontrak menjadi
pekerja tetap. Inilah yang disebut sebagai sanksi perdata.
Sanksi perdata dalam perselisihan hubungan industial dapat
dijatuhkan kepada pengusaha dan pekerja. Bentuk sanksinya adalah
berupa :
1.) Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja bukan karena
kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak;
2.) Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan
tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum;
3.) Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari Pengadilan
Hubungan Industrial untuk jenis PHK mempersyaratkan adanya
penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial;
4.) Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima
borongan pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja
dengan pemberi pekerjaan apabila pekerjaan yang diborongkan tidak
memenuhi syarat (pasal 65 ayat 8 dan 9 UUKK);
5.) Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila
PPJP itu digunakan oleh pemberi pekerjaan yang diborongkan tidak
memenuhi syarat (pasal 66 ayat 3 dan 4 UUKK);

11
6.) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang
melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil secara
patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang maka dianggap
mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja;
7.) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau
berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga jatuh korban
maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat. Pekerja
bersangkutan tidak berhak mendapat uang pesangon.

2.3.3 Kurungan/Penjara
Pengusaha yang melakukan pelanggaran berat dapat dijatuhkan
sanksi kurungan/penjara dan/atau denda. Berikut ini sebagian dari
bentuk-bentuk sanksi
pidananya yaitu :
1.) Bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja program
pensiun dan tidak memberikan kompensasi PHK sesuai ketentuan
pasal 156 UUKK dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 500.000.000,- .
(Pasal 184 UUKK);
2.) Bagi pengusaha penempatan tenaga kerja di perusahaan swasta
yang memungut biaya kepada pekerja diancam pidana denda paling
sedikit Rp 5.000.000,- dan paling tinggi Rp 50.000.000,-
3.) Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum
digolongkan sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,-
(Pasal 185 ayat 6 UUKK)

12
4.) Bagi pengusaha akan dijatuhi pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,- bagi pengusaha
yang tidak membayar kepada pekerja yang mengalami PHK yang
setelah enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya, karena dalam proses perkara pidana, uang penghargaan
masa kerja satu kali ketentuan dan uang pengganti hak sesuai
ketentuan. (Pasal 185 ayat 10 UUKK)
5.) Pengusaha akan dijatuhi sanksi pidana pelaggaran dengan ancaman
penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan
atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan paling banyak Rp
400.000.000,- bagi pengusaha yang :
• Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaan karena sakit;
• Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari
pertama dan kedua masa haid
• Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja
karena pekerja menikah, menikahkan anak,
mengkitankan/membaptiskan anak, atau karena
istri/anak/menantu/orang tua/mertua dan anggota keluarga dalam
satu rumah meninggal dunia
• Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan
kewajiban terhadap Negara dan kewajiban agamanya
• Tidak mempekerjakan pekerja, pekerjaan yang dijanjikan.
• Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang
melaksanakan hak istirahat
• Pengusaha yang memaksa pekerja untuk bekerja pada saat
pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(Pasal 186 ayat 2 UUKK).

13
2.4 Sanksi-Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja Perempuan
Sanksi administratif terjadi bila pengusaha atau siapa pun
memperlakukan pekerja termasuk perempuan secara diskriminasi. Misalnya
dalam hal kesempatan yang berbeda dalam mendapatkan kesempatan kerja.
(Pasal 190 UUKK). Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa :
1. Teguran
2. Peringatan tertulis
3. Pembatasan kegiatan usaha
4. Pembekuan kegiatan usaha
5. Pembatalan persetujuan
6. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
7. Pencabutan izin usaha (Pasal 190 UUKK)

Di lain sisi diberlakukan pula sanksi-sanksi perdata, alasan-alasan


pemberlakuan sanksi perdata adalah apabila pekerjaan yang diperjanjikan
tersebut ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan norma-norma umum.
Akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi hukum. (Pasal 52 dan pasal
155 UUKK)
Ada pula sansi pidana penjara dan/denda terhadap pelanggaran hak
pekerja perempuan yang termuat dalam beberapa pasal UU Ketenagakerjaan.
Berikut beberapa ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana penjara
dan/denda tersebut :
1.) Sanksi tindak pidana kejahatan dengan ancaman pidana penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000 bagi
pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja perempuan hak
istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah
melahirkan sesuai keterangan dokter atau bidan. (Pasal 185).
2.) Sanksi tindak pidana pelanggaran dan diancam penjara paling singkat
satu bulan dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit

14
Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000 bagi pengusaha
yang tidak membayar upah bagi pekerja perempuan yang sakit pada
hari pertama dan hari kedua masa haidnya sehingga tidak dapat
menjalankan pekerjaannya. (Pasal 186 UKK)
3.) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan paling
sedikit satu bulan dan paling lama 12 bulan dan atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000 terhadap
penguasa yang :
a.) Mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun
antara pukul 23.00 s/d pukul 07.00
b.) Mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya bila bekerja pada pukul 23.00 s/d
07.00
c.) Mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00
yang tidak memberikan makanan dan minuman serta tidak
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d.) Tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja
perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00
s/d pukul 05.00

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dalam konteks kenegaraan baik perempuan maupun laki-laki

adalah subyek dan obyek pembangunan sehingga mempunyai hak, kewajiban

dan kesempatan yang sama. Kurangnya informasi dan pengetahuan akan UU

dan peraturan-peraturan lain yang melindungi hak-hak mereka, terutama

pekerja perempuan, sehingga berbagai kondisi buruk telah menimpa mereka

seperti masih banyaknya pekerja perempuan menduduki posisi yang rendah,

rentan tehadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah yang murah, jam

kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan promosi, rentan

terhadap pelecehan seksual, sulitnya mendapatkan hak-hak reproduksi seperti

cuti haid dan melahirkan, mengalami diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan

kesehatan dan lain sebagainya.

3.2 Saran-Saran

Filosofi dibalik peraturan perundang-undangan tersebut tidak lain

karena menguatnya kesadaran bahwa sesungguhnya manusia, laki-laki dan

perempuan, sama derajat dan martabatnya. Karena itu setiap bentuk

diskriminasi dan ketidakadilan dalam relasi antara pekerja dan

16
pengusaha/majikan maupun antara laki-laki dan perempuan harus

dicegah/dihapus.

DAFTAR PUSTAKA

• Adisu, Editus, dan Libertus Jehani, 2006, Hak-Hak Pekerja Perempuan,

Tangerang VisiMedia

• http// www.yahoo.com

• http// www.google.com

17

Anda mungkin juga menyukai