HUKUM KETENAGAKERJAAN
1. Permasalahan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Jumlah pekerja perempuan dari tahun ke tahun meningkat cukup tajam.
Tahun 2004 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pekerja perempuan
berjumlah 33.141.000 orang dari total sekitar 93.722.000 pekerja Indonesia.
Mereka, kaum perempuan, bekerja pada berbagai macam jenis pekerjaan, baik
di sector formal maupun informal. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tampak jelas penyebaran pekerja
perempuan berdasarkan usianya. Sejak usia 15 tahun pekerja perempuan
mulai menyerbu lapangan kerja. Dengan berpatokan pada usia tersebut maka
bisa diduga pendidikan mereka rata-rata SD/SMP atau SMA.
Yang menjadi persoalan dan tanda Tanya besar, berapa banyak yang
tahu akan hak-hak dasarnya sebagai pekerja, seperti perlindungan akan
kesetaraan upah antara laki-laki dengan perempuan, hak untuk mendapat cuti
melahirkan/kegugran kandungan dan hak-hak dasar lainnya? Seberapa banyak
juga dari mereka yang tahu bahwa telah ada UU dan peraturan-peraturan
lainnya yang melindungi hak-hak mereka? Akibat kurangnya informasi dan
pengetahuan akan hal tersebut ditambah lagi dengan belum seriusnya
penegakan hukum, maka timbul berbagai persoalan yang jelas-jelas merugikan
pekerja perempuan seperti; masih sedikitnya perempuan pekerja menduduki
posisi yang strategis, rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah
yang murah, jam kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan
1
promosi, rentan terhadap pelecehan seksual, tidak mendapat atau dipersulit
mendapatkan hak-hak reproduksi, cuti haid dan melahirkan, mengalami
diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan kesehatan.
Undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar
pekerja. Pengusaha atau siapa pun yang melanggar hak-hak dasar pekerja
dapat dijatuhkan sanksi mulai dari sanksi ringan seperti teguran, peringatan,
pencabutan usaha sampai pada tingkat pelanggaran yang dapat digolongkan
sebagai kejahatan sehingga dapat dikenakan sanksi kurungan atau pidana
penjara.
2
Penulis menggunakan Metode Penulisan Kepustakaan “Library Research”
dan “Net Browsing” dalam menyelesaikan karya tulis ini, dimana penulis
tulisan ini yang kemudian dikutip untuk menyelesaikan karya tulis ini serta
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
bonus, insentif dll di luar hak-hak normatif Undang-Undang ini mengamanatkan
kepada pengusaha dan pekerja untuk bernegosiasi mencapai kesepakatan dan
hal tersebut diminta dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan
perusahaan. Apa yang tertuang dalam PKB dan PP sifatnya mengikat, artinya
salah satu pihak tidak boleh melanggar atau mengabaikan kesepakatan. Lebih
lanjut, diwajibkan agar setiap terjadi perubahan atau salah satu pihak
menginginkan adanya perubahan dalam kesepakatan harus ditempuh melalui
perundingan dan prinsipnya nilai-nilai dalam kesepakatan tersebut tidak boleh
bertentangan atau di bawah ketentuan UU. Kalau ada sesuatu yang sifat dan
nilainya lebih baik dari ketentuan UU maka kesepakatan itulah yang dipakai.
Lalu dalam konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tersebut di atas, secara khusus memberikan perlindungan
bagi hak-hak pekerja perempuan. Salah satu implementasinya adalah untuk
jenis pekerjaan yang sama, pengusaha tidak boleh membeda-bedakan
kompensasi yang diberikan kepada setiap pekerja baik laki-laki maupun
perempuan.
5
Dalam peraturan tersebut pengusaha diwajibkan merencanakan dan
melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja wanita tanpa mengurangi hak-
haknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak
memungkinkan mempekerjakan wanita hamil.
Sebelum dikeluarkannya peraturan menteri tersebut bentuk diskriminasi
terhadap pekerja perempuan merambah hampir di semua sektor, hak-hak
mereka sebagai pekerja terabaikan, pekerja perempuan masih dianggap warga
kelas 2 karena budaya patriarki dalam kehidupan budaya bangsa Indonesia
sangat kental.
Bentuk diskriminasi terhadap pekerja perempuan bukan hanya dari
aspek peran saja yaitu yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab tetapi
juga apresiasi terhadap hasil kerja yang diwujudkan dalam bentuk remunerasi.
Jarang sekali pekerja perempuan ditempatkan pada posisi sebagai Decision
Maker walaupun mereka mampu atau bahkan lebih baik dari pada laki-laki. Hal
ini berpengaruh pada sistem pengupahan berupa komponen struktur dan skala
upah.
Bentuk diskriminasi lain menyangkut kodratnya sebagai perempuan.
Kodrat perempuan dan laki-laki adalah makhluk ciptaan Tuhan dan sifatnya
mutlak. Kodrat adalah suatu keadaan dan wilayah yang tidak bisa dijangkau
oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat adalah suatu keadaan dan
wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Diskriminasi atas dasar kodrat
adalah sesuatu yang mustahil. Sebagai contoh, perusahaan memutuskan
hubungan kerja kepada pekerja perempuan hanya karena perempuan itu
menikah lalu hamil dan melahirkan dan dituangkan dalam kesepakatan kerja
bersama atau peraturan perusahaan.
6
2.2 Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja pada Malam
Hari
Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja
perempuan tidak hanya berupa pelarangan pemutusan hubungan kerja
terhadap perempuan pekerja yang menikah, hamil dan melahirkan tetapi
menyangkut perlindungan terhadap keamanan apabila perempuan bekerja
pada malam hari yaitu antara pukul 23.00 s/d 07.00
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No . Kep.
224/Men/2003 mengatur kewajiban pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00.
Kepmen tersebut intinya adalah menyangkut perlindungan keamanan
fisik dan psikis pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari agar
terhindar dari perampokan, pemerasan, maupun tindakan asusila berupa
pemerkosaan dan pelecehan seksual. Tanggung jawab yang berkaitan dengan
perlindungan ini dibebankan kepada pengusaha.
Konkritnya pengusaha diwajibkan:
a) Menyediakan angkutan antar jemput untuk untuk pekerja perempuan
yang bekerja dan pulang pukul 23.00 s/d 05.00
b) Pengusaha juga diwajibkan menyediakan petugas keamanan di
tempat kerja untuk memastikan bahwa pekerja perempuan aman dari
kemungkinan perbuatan asusila di tempat kerja.
c) Fasilitas tempat kerja harus didukung oleh kamar mandi WC dan
penerangan yang layak.
d) Untuk menjaga kondisi kesehatan agar pekerja perempuan harus
dalam kondisi prima, pengusaha diwajibkan memberikan makanan
dan minuman yang bergizi sekurang-kurangnya 1.400 kalori.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per
03/men/1989 tentang larangan PHK bagi pekerja wanita karena menikah,
hamil, atau melahirkan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No
Kep.22/Men/2003 tentang kewajiban pengusaha yang mempekerjakan
7
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 sebagai indikasi bahwa
pemerintah serius memberikan perlindungan terhadap pekerja khusus pekerja
perempuan walaupun kenyataan yang sebenarnya masih terjadi ketimpangan
dalam implementasinya di lapangan.
Cuti Haid
Cuti haid bagi perempuan adalah sesuatu yang tetap menjadi pro dan
kontra. UUKK mengatur tentang cuti haid bagi perempuan.
Pasal 81 ayat 1 UUKK tersebut menyatakan “pekerja/buruh perempuan
yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”
Bagi sebagian perempuan yang tidak setuju dengan dimasukkannya pasal 81
tentang cuti haid melihat bahwa pengaturan tersebut merupakan perlakuan
diskriminatif karena haid adalah kodrat. Alasannya, dengan semakin
canggihnya teknologi dan semakin tingginya kesadaran perempuan akan
kesehatan maka masalah haid bukan lagi menjadi faktor penghambat untuk
beraktivitas. Masalah haid adalah berkaitan dengan reproduksi dan reproduksi
adalah masalah kodrat.
Sedangkan bagi sebagian perempuan yang setuju dengan pasal 81
UUKK tersebut menganggap bahwa kewajiban cuti haid bagi pekerja
perempuan adalah masalah hak, dan kalau hak boleh diambil dan boleh tidak
diambil. Implementasi dari pasal 81 ayat 1 di lapangan memang berjalan seiring
dengan bergulirnya pendapat pro dan kontra tersebut, walaupun cuti haid
adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan tetapi kenyataannya, banyak sekali
pekerja perempuan di perusahaan tertentu tidak menggunakan haknya atau
mengabaikan ketentuan tersebut artinya pekerja perempuan tetap
melaksanakan tugas dan kewajibannya walaupun dalam keadaan haid.
Di beberapa perusahaan padat karya yang mempekerjakan mayoritas
pekerja perempuan ketentuan ini tetap berlaku. Bahkan mekanisme
8
pengambilan cuti haid disepakati dan dituangkan dalam perjanjian kerja
bersama atau peraturaan perusahaan.
9
pekerjaan. Selama pekerja perempuan melaksanakan cuti melahirkan selama 3
bulan maka pekerja tersebut tetap berhak mendapatkan upah penuh.
10
tanggungan 35 % dari upah, tiga orang tanggungan 45 % dari upah,
empat orang atau lebih tanggungan 50 % dari upah. (Pasal 190
UUKK)
11
6.) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang
melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil secara
patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang maka dianggap
mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja;
7.) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau
berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga jatuh korban
maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat. Pekerja
bersangkutan tidak berhak mendapat uang pesangon.
2.3.3 Kurungan/Penjara
Pengusaha yang melakukan pelanggaran berat dapat dijatuhkan
sanksi kurungan/penjara dan/atau denda. Berikut ini sebagian dari
bentuk-bentuk sanksi
pidananya yaitu :
1.) Bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja program
pensiun dan tidak memberikan kompensasi PHK sesuai ketentuan
pasal 156 UUKK dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 500.000.000,- .
(Pasal 184 UUKK);
2.) Bagi pengusaha penempatan tenaga kerja di perusahaan swasta
yang memungut biaya kepada pekerja diancam pidana denda paling
sedikit Rp 5.000.000,- dan paling tinggi Rp 50.000.000,-
3.) Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum
digolongkan sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,-
(Pasal 185 ayat 6 UUKK)
12
4.) Bagi pengusaha akan dijatuhi pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,- dan paling banyak Rp 400.000.000,- bagi pengusaha
yang tidak membayar kepada pekerja yang mengalami PHK yang
setelah enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya, karena dalam proses perkara pidana, uang penghargaan
masa kerja satu kali ketentuan dan uang pengganti hak sesuai
ketentuan. (Pasal 185 ayat 10 UUKK)
5.) Pengusaha akan dijatuhi sanksi pidana pelaggaran dengan ancaman
penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan
atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,- dan paling banyak Rp
400.000.000,- bagi pengusaha yang :
• Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaan karena sakit;
• Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari
pertama dan kedua masa haid
• Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja
karena pekerja menikah, menikahkan anak,
mengkitankan/membaptiskan anak, atau karena
istri/anak/menantu/orang tua/mertua dan anggota keluarga dalam
satu rumah meninggal dunia
• Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan
kewajiban terhadap Negara dan kewajiban agamanya
• Tidak mempekerjakan pekerja, pekerjaan yang dijanjikan.
• Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang
melaksanakan hak istirahat
• Pengusaha yang memaksa pekerja untuk bekerja pada saat
pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(Pasal 186 ayat 2 UUKK).
13
2.4 Sanksi-Sanksi Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja Perempuan
Sanksi administratif terjadi bila pengusaha atau siapa pun
memperlakukan pekerja termasuk perempuan secara diskriminasi. Misalnya
dalam hal kesempatan yang berbeda dalam mendapatkan kesempatan kerja.
(Pasal 190 UUKK). Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa :
1. Teguran
2. Peringatan tertulis
3. Pembatasan kegiatan usaha
4. Pembekuan kegiatan usaha
5. Pembatalan persetujuan
6. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
7. Pencabutan izin usaha (Pasal 190 UUKK)
14
Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000 bagi pengusaha
yang tidak membayar upah bagi pekerja perempuan yang sakit pada
hari pertama dan hari kedua masa haidnya sehingga tidak dapat
menjalankan pekerjaannya. (Pasal 186 UKK)
3.) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan paling
sedikit satu bulan dan paling lama 12 bulan dan atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000 terhadap
penguasa yang :
a.) Mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun
antara pukul 23.00 s/d pukul 07.00
b.) Mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya bila bekerja pada pukul 23.00 s/d
07.00
c.) Mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00
yang tidak memberikan makanan dan minuman serta tidak
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d.) Tidak menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja
perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00
s/d pukul 05.00
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
rentan tehadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah yang murah, jam
kerja yang panjang, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan promosi, rentan
cuti haid dan melahirkan, mengalami diskriminasi upah, tunjangan keluarga dan
3.2 Saran-Saran
16
pengusaha/majikan maupun antara laki-laki dan perempuan harus
dicegah/dihapus.
DAFTAR PUSTAKA
Tangerang VisiMedia
• http// www.yahoo.com
• http// www.google.com
17