Anda di halaman 1dari 20

Hukum dan Perubahan Sosial

B. Perubahan Sosial sebagai Sebab Perubahan Hukum

Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi kebiasaan sebagai
sumber utama dari hukum. Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan
tahun atau setelah berabad-abad. Bahkan di masa awal revolusi industri, perubahan-
perubahan yang terjadi karena ditemukannya mesin uap atau ditemukannya listrik hanya
secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang sah selama satu generasi.
“Namun saat ini tempo dari perubahan sosial telah sedemikian cepat pada suatu titik
dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat ini tidak akan sah lagi bahkan dalam beberapa
tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13). Dalam kata-kata Alvin Toffler (1970:11),
“Perubahan telah menyapu melalui negara-negara industri maju dengan gelombang-
gelombang dankecepatan yang amat sangat tinggi serta berdampak yang amat sangat
tidak terduga”. Dalam arti, orang dalam masyarakat modern terperangkap ke dalam
gelombang (maelstrom) perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras
dan saling terkait dalam demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains,
transportasi, pertanian, komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi manusia.
Setiap revolusi ini telah membawa perubahan yang spektakuler dalam serangkaian akibat,
dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat, sikap, perilaku, dan institusi.

Perubahan-perubahan ini selanjutnya mentransformasikan tata sosial dan tata ekonomi


dari masyarakat. Masyarakat kontemporer dicirikan dengan pembagian kerja yang jelas
dan spesialisasi dalam fungsi. Dalam masyarakat modern, “hubungan antar pribadi telah
berubah, institusi-institusi sosial termasuk keluarga, telah jauh berubah; kontrol sosial
yang sebelumnya kebanyakan informal telah menjadi formal; birokrasi dalam organisasi
skala besar telah menyebar ke sektor-sektor public dan swasta; dan risiko-risiko yang
dihadapi individu-individu telah muncul termasuk risiko terganggunya mata penghasilan
karena pengangguran, karena kecelakaan kerja, dan eksploitasi consumer; dan sakit
kronis dan cacat fisik telah menyertai semakin panjangnya kehidupan” (Hauser, 1976:23-
24).

Munculnya risiko-risiko baru terhadap individual sebagai hasil dari penguatan berbagai
fungsi keluarga, termasuk fungsi perlindungan, telah menuju kepada pembuatan inovasi-
inovasi hukum untuk melindungi individual dalam masyarakat modern. Gambaran dari
inovasi seperti itu misalnya adalah persyaratan kompensasi pekerja (gaji – penerjemah),
asuransi pengangguran, asuransi hari tua, asuransi kesehatan (medicare), dan berbagai
bentuk kategori dan persyaratan generik dari “kesejahteraan sosial” (Hauser, 1976: 24).

Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan bahwa teknologi adalah salah satu
dari kekuatan pengubah besar (great moving forces) untuk perubahan hukum (Miller,
1979: 10-14). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya tiga cara,
“Yang paling jelas….adalah kontribusi teknologi kepada perbaikan teknik hukum dengan
memberikan instrumen yang harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya,
melalui sidik jari atau penguji kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan
adalah, efek teknologi dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual
dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui televisi). Yang
terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan menghasilkan masalah
baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner, seperti dikutip oleh
Miller, 1979:14). Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah kepada perubahan
hukum telah sangat banyak ditemui (Loth dan Ernst, 1972). Timbulnya transportasi
dengan mobil dan pesawat terbang telah membawa pula regulasi-regulasi baru. Peralatan
baru dalam uji kebohongan (sidik jari dan penciuman elektronik, dua di antaranya) telah
menghasilkan perubahan di dalam hukum, seperti bukti-bukti (evidence) yang
diperbolehkan di depan pengadilan. Komputer telah memungkinkan keberadaan kita
dalam kredit, perdagangan / merk (merchandising), manufaktur, transportasi, riset,
pendidikan, diseminasi / penyebaran informasi, pemerintahan, dan politik. Komputer
juga telah menginspirasi legislasi di level federal maupun level negara bagian untuk
melindungi privasi, untuk melindungi penyalahgunaan informasi kredit, dan untuk
mensyaratkan perusahaan (employer) untuk memberitahu seorang pelamar kerja yang
ditolak tentang sumber dan sifat dari laporan negatif (adverse report) tentang catatan
kredit masa lalunya yang menyebabkan penolakan tersebut.

Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap
masyakarat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan
hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara. Masyarakat
dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek
diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum 1963, masyarakat kulit hitam dan
keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika Serikat – penerjemah), perumahan,
lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-
perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini. Masyarakat
akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis
makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan
pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan
apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus
diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti
seharusnya. Dan masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau
praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh
karena itu, hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.

Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap,


oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum
bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan
hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial. Namun
perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan
negara dan kekuasaan pemberian sanksinya. Hukum baru sebagai respons terhadap
masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin dapat memperbesar masalah
tersebut – atau mungkin dapat menyelesaikan masalah dan membantu menyelesaikan
masalah tersebut. Seringkali, respons hukum terhadap perubahan sosial, yang sudah pasti
melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan menyebabkan perubahan sosial baru.
Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai respons terhadap adanya polusi udara dan air
yang dikarenakan perubahan teknologi akan berakibat adanya pengangguran di area-area
tertentu, dimana perusahaan yang menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk
memasang alat pencegah polusi. Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke
perpindahan penduduk (relocation), dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam
masyarakat, atau dapat berakibat adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena.
Korelasi dan reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga. Oleh karena
itu, hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang
setuju) dalam perubahan sosial. Pada seksi berikutnya, akan dibahas tentang aspek
proaktif dari hukum sebagai pemulai perubahan sosial.

C. Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial

Ada banyak ilustrasi historis dimana pengundangan dan implementasi hukum telah
digunakan untuk memulai perubahan sosial besar di dalam masyarakat. Dengan bantuan
para ahli hukum Romawi, pernyataan bahwa hukum sebagai instrumen perubahan sosial
telah menjadi jelas secara konseptual. “Konversi Romawi dari republik menjadi
kekaisaran tidak dapat dilakukan kecuali melalui cara-cara dekrit hukum eksplisit yang
ditekankan oleh doktrin kedaulatan kekaisaran“ (Nisbet, 1975: 173). Sejak jaman
Romawi, perubahan sosial yang besar dan mobilitas sosial hampir selalu melibatkan
penggunaan hukum dan litigasi. Ada beberapa ilustrasi tentang ide hukum, jauh dari
hanya sekedar refleksi dari realitas sosial, tapi juga merupakan alat yang canggih
(powerful) untuk “menghasilkan“ (accomplishing) realitas, yaitu, dengan
memodelkannya atau membuatnya terjadi. Secara umum telah diakui, di samping ide-ide
Marx, Engels, dan Lenin, bahwa hukum adalah suatu fenomena besar dari masyarakat
kelas borjuis yang hilang bersama datangnya revolusi, Uni Soviet telah sukses dalam
membuat perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat melalui penggunaan hukum
(Dror, 1968). Baru-baru ini, usaha-usaha dari Nazi Jerman dan kemudian oleh negara-
negara Eropa Timur untuk membuat perubahan sosial besar melalui manipulasi hukum
adalah ilustrasi dari keefektivan hukum untuk memulai perubahan sosial (Eorsi dan
Harmanthy, 1971).
Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan sosial
telah semakin menguat di masyarakat kontemporer. “Hukum – melalui respons legislatif
dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui
interpretasi kembali dari konstitusi, statuta atau preseden – secara meningkat tidak hanya
mengartikulasikan / mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari
perubahan-perubahan sosial besar“ (Friedman, 1972: 513). Sehingga, “Perubahan sosial
yang dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern“
(Friedman, 1975: 277). Dalam hal yang sama, Yehezkel Dror (1968: 673) menyatakan
bahwa, “penggunaan yang meningkat dari hukum sebagai alat dari tindakan sosial yang
terorganisir yang ditujukan kepada pencapaian perubahan sosial kelihatannya merupakan
salah satu ciri dari dunia modern….“. Banyak pengarang, seperti Joel B. Grossman dan
Mary H. Grossman (1971:2), memandang hukum sebagai suatu alat yang dibutuhkan,
diperlukan, dan sangat efisien untuk melakukan perubahan, yang lebih disukai daripada
instrumen perubahan yang lainnya.

Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam perubahan sosial lebih daripada hanya
interest teoritis saja. Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seperti pendidikan,
hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan
lingkungan, hukum telah disandari sebagai instrumen perubahan yang penting. Di
Amerika Serikat, hukum telah digunakan sebagai mekanisme utama untuk meningkatkan
posisi politik dan sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun 1960s, pengadilan dan
Kongres telah membatalkan sistem kasta rasial yang termaktub (embedded) di dalam
hukum dan yang telah dipraktekkan selama beberapa generasi. Orde lama telah disapu
bersih oleh legislasi, termasuk Undang-Undang Persamaan Hak tahun 1964 (Civil Rights
Act of 1964) dan Undang-Undang Hak Pemilihan tahun 1965 (Voting Rights Act of 1965),
diikuti dengan komitmen milyaran dollar untuk program kesejahteraan sosial. Dalam
waktu yang relatif singkat, kebijakan ini telah menghasilkan perubahan-perubahan yang
besar. Sebagai contoh, usaha-usaha untuk memperluas peluang pendidikan telah
memperkecil secara drastis jurang level pendidikan antara kulit hitam dan kulit putih.
Pendaftaran mahasiswa kulit hitam, sebagai contoh, telah meningkat 4 kali lipat sejak
tahun 1965, dan 1 juta orang mahasiswa kulit hitam saat ini mewakili 11 persen dari
jumlah seluruh mahasiswa di negara ini, dibandingkan dengan 4,8 persen di tahun 1965
(National Center for Educational Statistics, 1979: 115). Selama generasi yang lalu,
partisipasi politik dari warga kulit hitam telah meningkat tajam. Saat ini terdapat 4.500
orang kulit hitam terpilih dalam jabatan publik (hold elected offices) dari anggota
Kongres sampai Walikota, atau naik 45 kali lipat sejak tahun 1954 (U.S. News & World
Report, 1979:59). Namun, sangat salah untuk mengasumsikan bahwa perubahan yang
sama telah terjadi di bidang (domain) lainnya. Sebagai contoh, sejak tahun 1964, median
penghasilan keluarga kulit hitam hanyalah antara 54 – 62 persen daripada kulit putih.

Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum telah menjadi instrumen penting untuk
mentransformasikan masyarakat sejak Perang Dunia II dari masyarakat borjuis ke
masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan meligitimasi pengaturan
ulang dalam hal properti (hak rumah, tanah) dan hubungan kekuasaan,
mentransformasikan institusi sosial dasar seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan,
dan membuka jalan raya baru untuk mobilitas sosial bagi segmen besar dari populasi.
Legislasi telah mengarahkan pengaturan kembali produksi pertanian dari kepemilikan
pribadi ke pertanian kolektif, pembuatan kota-kota baru, dan pengembangan ala sosialis
dari ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi. Perubahan-perubahan ini, pada
gilirannya akan mempengaruhi nilai-nilai, kepercayaan, pola sosialisasi, dan struktur
hubungan sosial.

Ada beberapa cara untuk mempertimbangkan peranan hukum dalam perubahan sosial.
Dalam suatu artikelnya yang sangat berpengaruh, “Hukum dan Perubahan Sosial“, Dror

(196 membedakan antara aspek tak langsung dan aspek langsung dari hukum dalam
perubahan sosial. Dror (1968: 673) mengatakan bahwa, “Hukum memainkan peranan tak
langsung dalam perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada
gilirannya mempunyai dampak langsung terhadap masyarakat“. Ia menggunakan
ilustrasi sistem wajib belajar yang memainkan peranan penting tidak langsung dalam
perubahan dengan memperkuat operasi institusi-institusi pendidikan, yang pada
gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam perubahan sosial. Ia menekankan
bahwa hukum berinteraksi secara langsung dalam banyak kasus dengan institusi-institusi
sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum dan perubahan sosial.
Sebagai contoh, hukum yang diundangkan untuk melarang poligami mempunyai
pengaruh besar langsung terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya perubahan
dalam pola-pola perilaku yang penting. Namun ia mewanti-wanti, bahwa “perbedaannya
tidaklah absolut tapi relatif: pada banyak kasus penekanannya lebih kepada dampak
langsung dan kurang pada dampak tidak langsung terhadap perubahan sosial, yang dalam
kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku“ (Dror, 1968: 674).

Dror berargumen bahwa hukum berfungsi sebagai pengaruh tidak langsung terhadap
perubahan sosial pada umumnya dengan mempengaruhi kemungkinan-kemungkinan
perubahan dalam berbagai institusi sosial. Sebagai contoh, adanya hukum patent yang
melindungi hak-hak dari penemu (inventors) untuk mendukung penemuan (inventions),
dan perubahan lebih lanjut dalam lembaga-lembaga teknologi, yang pada gilirannya akan
membawa sejenis perubahan sosial.

F. Resistensi terhadap Perubahan

Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial
yang didiskusikan dalam seksi sebelumnya, efikasi hukum (begitu pula mekanisme
perubahan lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai kekuatan. Dalam dunia
modern, situasi resisten terhadap perubahan lebih banyak terjadi daripada situasi
menerima perubahan. Seringkali perubahan dihambat karena perubahan bertentangan
dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau perubahan tertentu menyebabkan
biaya besar, dan kadang-kadang orang bertahan terhadap perubahan karena hal itu
bertentangan dengan kebiasaannya atau membuatnya merasa ketakutan atau terancam.
Walaupun hukum mempunyai keuntungan tertentu dibandingkan dengan agen perubahan
lainnya, untuk mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah sangat
membantu untuk mengidentifikasi beberapa kondisi umum dari resistensi terhadap hal –
hal yang berkenaan dengan hukum. Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu
prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efisien sebagai metode rekayasa sosial.
Literatur sosiologi mengenai berbagai tendensi untuk menghambat perubahan yang
secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai efek terhadap hukum sebagai suatu
instrumen perubahan. Maksud dari seksi ini adalah untuk mendiskusikan secara singkat,
daripada untuk menganalisis secara mendalam, serangkaian kekuatan yang bertindak
sebagai penghambat perubahan. Demi untuk memperjelas, saya akan
mempertimbangkan resistensi terhadap perubahan melalui hukum di dalam konteks
faktor-faktor sosial, psikologi, budaya, dan ekonomi. Kategori-kategori ini hanyalah
ilustrasi belaka, dan perbedaan ini hanyalah untuk maksud analisis belaka, karena banyak
faktor ini beroperasi dalam berbagai kombinasi dan intensitas yang berbeda-beda,
tergantung kepada besaran dan ruang lingkup dari usaha perubahan tertentu. Jelas
bahwa, ada sejumlah tumpang tindih di antara faktor-faktor ini. Mereka itu tidak saling
terpisah, dan banyak di antaranya, tergantung kepada tujuannya, dapat ditentukan sebagai
kategori yang berlainan.

1) Faktor-Faktor Sosial

Ada sejumlah faktor-faktor sosial yang dapat digolongkan sebagai hambatan potensial
bagi perubahan. Yaitu kelompok kepentingan (vested interest), kelas sosial, resistensi
ideologi, sentimen moral, dan oposisi terorganisasi.

Kelompok kepentingan (vested interest). Perubahan akan dihambat oleh individu-individu


atau kelompok-kelompok yang ketakutan akan kehilangan kekuasaannya, prestisenya,
ataupun kekayaannya, bila ada proposal / usulan baru yang diterima. Terdapat banyak
tipe kelompok kepentingan kepada siapa status quo dapat diuntungkan dan dapat disukai.
Mahasiswa yang kuliah di universitas negeri mempunyai kelompok kepentingan dalam
pendidikan tinggi yang dibayari oleh pajak. Pengacara perceraian (divorce lawyers)
membentuk suatu kelompok kepentingan, dan sejak lama telah berusaha keras untuk
mereformasi hukum-hukum perceraian. Dokter-dokter yang tidak setuju dengan berbagai
macam “obat yang tersosialisasi“ (socialized medicine) membentuk suatu kelompok
kepentingan. Warga dari suatu lokasi tempat tinggal (neighborhood) mengembangkan
kelompok kepentingan di dalam lokasi tempat tinggalnya. Mereka seringkali
mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-perubahan zoning, jalan raya antar
negara bagian (interstate highways), konstruksi fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga
pemasyarakatan, atau penetapan bis untuk anak-anak mereka. Pada kenyataannya hampir
semua orang mempunyai kelompok kepentingan – dari orang-orang kaya yang dengan
lembar pengecualian pajak sampai orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.

Penerimaan terhadap hampir semua perubahan melalui hukum akan secara drastis
mempengaruhi status dari beberapa individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam
masyarakat, dan pada suatu derajat dimana orang-orang yang statusnya terancam akan
dengan sadar akan bahaya bila mereka melawan perubahan. Sebagai contoh, Gregory
Massell (1973) melaporkan bahwa usaha-usaha Soviet pada awal tahun 1920an di Asia
Tengah untuk membujuk wanita muslim agar menyatakan kebebasannya terhadap
dominasi pria dianggap oleh para pria sebagai mengamcam interest status tradisional
mereka. Para pria bereaksi dengan membentuk kelompok kontra revolusioner dan
membunuh beberapa wanita yang patuh terhadap hukum-hukum baru itu.

Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan pola-pola kasta pada umumnya
cenderung untuk menghambat penerimaan perubahan. Di masyarakat yang sangat
terstratifikasi, orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil aturan-aturan
(take orders) dari mereka yang ada pada posisi otoritas atau kekuasaan di atas. Hak-hak
prerogatif dari strata atas dijaga dengan irihati (jealously guarded) dan usaha-usaha untuk
menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial ekonomi rendah sering dihambat dan
disingkirkan. (resented and repulsed). Sebagai contoh, di bawah sistem kasta yang kaku
di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta lainnya tidak boleh mengambil air dari
sumur yang sama, pergi ke sekolah yang sama, makan bersama, atau bergaul secara
bercampur (mingle). Pada hampir semua kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan
untuk mengagung-agungkan (cherish) cara-cara lama dalam melakukan sesuatu dan
bersandar (adhere) kepada status quo.

Di Amerika Serikat, mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelas pekerja
cenderung untuk cepat menyetujui bahwa intervensi hukum diperlukan untuk
memperkuat kondisi-kondisi sosial yang lebih baik (deleterious) seperti menjamin
kemungkinan pekerjaan dan pemberian pelayanan kesehatan yang memadai (Beeghley,
1978: 114). Kontras sekali dengan orang-orang kelas menengah atas yang cenderung
untuk melawan intervensi pemerintah pada masalah ini. Untuk program-program
pemerintah lainnya (seperti bantuan pendidikan), perbedaan kelas cenderung untuk
ditiadakan.

Resistensi ideologi. Resistensi perubahan melalui hukum berdasarkan ideologi sangatlah


nyata. Contoh bagus untuk kasus ini adalah perlawanan Gereja Katolik untuk legislasi
dan keputusan pengadilan yang berkenaan dengan penghilangan beberapa pembatasan
terhadap keluarga berencana dan aborsi. Ilustrasi lainnya tentang resistensi ideologi
(yang seiring sejalan dengan kelompok kepentingan) adalah oleh para profesional
kedokteran tentang sesuatu yang menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat generik,
termasuk pengundangan Undang-Undang Pelayanan Medis tahun 1965 (the Medicare
Law of 1965) (Allen, 1971: 278-279). Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual
dan religius dasar mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan, dan keamanan yang ada
cenderung agak konsisten dan secara aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh
(Vago, 1980: 229).

Sentimen moral. Ketakutan dan kecemasan (fear and apprehension) seringkali


berhubungan dengan konsekuensi moral tentang penerimaan sesuatu yang bagus
(accepting something novel). “Di sini resistensi umumnya mempunyai alasan untuk
mengklaim bahwa yang baru melanggar dan begitu mengobrak-abrik prinsip atau resep
moral, yang dipandang penting untuk tetap hidupnya sistem sosial atau kemanusiaan pada
umumnya“ (La Piere, 1965: 179). Sebagai contoh, hukum-hukum yang membuat
kontrasepsi tersedia, dilawan di beberapa kelompok karena mereka melanggar kesucian
hidup. Resistensi terhadap perubahan berdasarkan moral didasarkan fakta bahwa di
setiap masyarakat, individu-individu kurang lebih telah tersosialisasi secara efektif ke
dalam pertimbangan bahwa bentuk-bentuk perilaku (conduct) yang ada , khususnya yang
bersifat organisasional, adalah satu-satunya yang benar dan tepat. Dalam hal ini, ide-ide
tentang benar dan tepat dimasukkan secara emosional ke dalam kepribadian
(personality). Perubahan yang akan menghasilkan kekacauan emosional akan dihambat.
Oposisi terorganisasi. Kadang-kadang, resistensi individu-individu yang menyebar
terhadap perubahan mungkin dapat dimobilisasikan ke dalam oposisi terorganisasi yang
dapat berbentuk struktur organisasi formal. Sebagai contoh, Asosiasi Menembak Amerika
(the American Riffle Association) melawan dikontrolnya penggunaan senjata, atau
mungkin disalurkan lewat suatu gerakan sosial, sebagai contoh, aktivitas-aktivitas “pro-
life“ akhir-akhir ini (pro-life, kelompok yang tidak setuju dengan tindakan aborsi –
penerjemah). Dalam masyarakat modern, dengan banyaknya organisasi informal dan
formal yang bertentangan satu dengan yang lainnya, berbagai organisasi baru telah
mengakibatkan ancaman tertentu bagi status quo. Misalnya, anggota-anggota John Birch
Society memperjuangkan berbagai macam perubahan sosial dari integrasi rasial sampai
penerimaan dan perlindungan hukum terhadap pornografi. Sejalan dengan John Birch
Society, munculnya kembali Ku Klux Klan didasarkan kepada adanya perlawanan publik
terhadap perubahan sosial, namun terutama fokus kepada perubahan hubungan-hubungan
rasial. Organisasi-organisasi ini dan juga organisasi sejenis telah melawan perubahan
yang sedang terjadi, dan walaupun kebanyakan dari mereka telah melawan namun kalah,
efek penundaannya sering diperhitungkan. Namun kadang-kadang ketika oposisi
terorganisasi tentang perubahan melalui hukum tidak juga terjadi, akibatnya bisa sangat
merusak. Sebagai contoh, lebih daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh di dalam
kamp konsentrasi selama Perang Dunia II sebagian karena mereka tidak
mengorganisasikan perlawanan terhadap perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an
di masa rezim Jerman Nazi.

2) Faktor-Faktor Psikologis

Goodwin Watson (1969: 48 berpendapat bahwa “semua kekuatan yang berkontribusi


terhadap stabilitas dalam personalitas atau di dalam sistem sosial dapat dianggap sebagai
menghambat perubahan“. Diskusi mendetail tentang kekuatan-kekuatan ini jelas ada di
luar ruang lingkup dari buku ini. Untuk maksud di dalam buku ini saya hanya akan
membahas mengenai : kebiasaan, motivasi, keacuhan, persepsi selektif, dan
pengembangan moral.
Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu asal muasal dari perubahan
adalah masalah kebiasaan saja. Ketika suatu kebiasaan telah terbentuk, operasinya
seringkali memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi terbiasa berperilaku
atau bertindak dalam tatakrama tertentu dan mereka akan merasa nyaman dengan semua
itu. Sekali suatu bentuk perilaku tertentu menjadi rutin dan terbiasa, hal itu akan memberi
perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff (1957: 62) berpendapat bahwa adat
(customs) dari suatu masyarakat adalah kebiasaan kolektif; khususnya ketika sentimen
melebihi adat, yaitu adat terlalu lambat ketika ada perlawanan terhadap suatu ide atau
praktek tertentu. Untuk menggambarkan satu contoh, usaha untuk mengenalkan „sistem
metriks“ telah menemui perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah
pengukuran berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume dalam “liter“; yang
berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya
yaitu berat dalam “pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“ –
penerjemah). Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa tidak nyaman dengan
“kilometer“; kita lebih suka mengukur dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu
“liter“. Ketika hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk
mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk mencapai laju kepatuhan
yang dapat diterima akan memerlukan suatu reorientasi aktif terhadap nilai-nilai dan
perilaku-perilaku dari sebagian besar populasi yang menjadi target (Zimring dan
Hawkins, 1975: 331).

Motivasi. Penerimaan perubahan melalui hukum juga dipersyaratkan oleh kekuatan


motivasi. Beberapa motivasi adalah berbentuk budaya, dalam arti kehadirannya atau
ketidakhadirannya menjadi ciri dari suatu kebudayaan. Misalnya, kepercayaan agama di
beberapa kebudayaan memberikan motivasi-motivasi untuk sejenis perubahan tertentu,
sementara di kebudayaan yang lainnya movitasi ini terpusat kepada status quo. Jenis-
jenis motivasi lainnya lebih bersifat universal, atau hampir universal, karena melintas
antar masyarakat dan antar kebudayaan (Foster, 1973: 152). Contoh-contoh dari motivasi
ini termasuk keinginan untuk prestise atau untuk pencapaian ekonomi dan niat untuk
patuh dengan kewajiban pertemanan (friendship obligation). Perubahan-perubahan yang
mungkin mengancam keinginan untuk pencapaian ekonomi atau ketertarikan akan
prestise dan status tinggi pada umumnya akan dipandang sebagai sesuatu yang
mengancam dan kemungkinan besar akan dilawan.

Keacuhan (ignorance). Keacuhan adalah faktor psikologis lainnya yang berhubungan


dengan penghambatan perubahan. Kadang-kadang, keacuhan muncul bersamaan dengan
ketakutan akan datangnya hal-hal baru. Hal ini seringkali benar dalam kasus adanya
makanan-makanan baru. Beberapa tahun yang lalu, banyak orang beranggapan bahwa
buah sitrus / jeruk membawa sejenis asam dalam organ pencernaan. Ketika terbukti tidak
benar, resistensi berdasarkan masalah asam ini hilang dengan sendirinya. Keacuhan bisa
menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan (noncompliance) terhadap hukum yang
dirancang untuk mengurangi praktek-praktek diskriminasi. Sebagai contoh, perusahaan-
perusahaan (employers) seringkali mengamati orang-orang non kulit putih sebagai
kelompok relatif terhadap orang kulit putih dan kemudian berdasarkan pengamatan
tersebut segan untuk merekrut individu yang non kulit putih (Beeghley, 1978: 242).
Keacuhan tidak diragukan lagi sebagai faktor yang penting dalam prasangka (prejudice)
ketika perilaku yang ada terlalu kuat dan tidak lentur (inflexible) yang secara serius
merusak persepsi dan pertimbangan.

Persepsi. Hukum, menurut rancangan dan maksudnya, cenderung untuk universal.


Namun persepsi tentang maksud adanya hukum (intent of the law), adalah selektif
menurut variabel-variabel ekonomi, budaya, dan demografis. Pola unik dari kebutuhan,
sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai orang diturunkan melalui sosialisasi menentukan apa
yang mereka akan perhatikan secara selektif, apa yang mereka akan terjemahkan secara
selektif, dan apa yang akan mereka lakukan secara selektif. Pada umumnya orang akan
lebih bisa menerima ide-ide baru jika itu berhubungan dengan interestnya, konsisten
dengan sikapnya, sejalan dengan kepercayaannya, dan mendukung nilai-nilainya.
Persepsi yang berlainan dengan maksud hukum dapat menghambat perubahan. Sebagai
contoh, di India berkat hukum distribusi tentang informasi dan pasokan barang-barang
keluarga berencana dapat dilakukan. Namun penggunaan kontrasepsi masih banyak
ditentang oleh orang-orang di pedesaan India karena mereka berpikir hukum bermaksud
untuk menghentikan sama sekali kelahiran bayi-bayi baru. Di Amerika Serikat,
pemberian “fluor“ (zat pemutih – penerjemah) di dalam air PAM dianggap perbuatan
“konspirasi komunis“ dan oleh karena itu banyak ditentang di banyak masyarakat pada
waktu itu.

Bagaimana cara hukum ditulis, seperti telah saya bahas sebelumnya, juga mempengaruhi
persepsi orang. Sebagai contoh, dalam tahap awalnya banyak hukum tentang hak
persamaan rasial (civil rights laws) yang ambigu dan lemah. Keputusan Brown adalah
contohnya. Menyebut usaha “desegregasi“ (tidak memisahkan antara kulit putih dan
kulit hitam di sekolah-sekolah – penerjemah) “dengan kecepatan yang setinggi-
tingginya“ (“with all deliberate speed“) adalah terlalu tidak jelas (too vague), terlalu
tidak tegas (too indifinite) untuk membuat perubahan yang berarti, “Keambiguan selalu
tergantung kepada persepsi individu“ (Rodgers dan Bullock, 1972: 199), dan individu-
individu akan menginterpretasikan dan menerjemahkan arti dari hukum sesuai dengan
keuntungan yang akan diterimanya.

Pengembangan moral. Pada dasarnya, kepatuhan (obedience) terhadap hukum berasal


dari suatu perasaan kewajiban moral (a sense of moral obligation), sebagai produk dari
sosialisasi. Namun hanya di akhir-akhir ini saja, ada semacam kesadaran terhadap
aturan-aturan moral yang tidak harus dikaitkan dengan standar konvensional eksternal
tentang perilaku baik dan buruk, namun secara internal menggambarkan prinsip-prinsip
konsisten dimana orang mengatur kehidupannya.

Barangkali peneliti yang telah bekerja keras meneliti tentang pengembangan moral
adalah Lawrence Kohlberg (1964: 1967). Ia menggarisbawahi tentang 6 tahap
pengembangan moral. Tahap pertama, digambarkan sebagai arahan “kepatuhan dan
hukuman“ (“obedience and punishment“ orientation). Tahap ini mencakup “kepedulian
terhadap kekuatan atau prestise atasan / pemimpin“ dan tentang suatu arahan untuk
menghindari masalah. Tahap kedua, “relativisme instrumental“ dicirikan oleh pendapat
berlawanan yang naif (naive notion od reciprocity). Dengan arahan ini, orang akan
berusaha untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dengan negosiasi sederhana dengan
orang-orang lainnya atau dengan bentuk primitif dari persamaan derajat
(equalitarianism). Ia menyebut kedua tahap ini sebagai “premoral“. Tahap ketiga,
disebut “persetujuan pribadi“ (“personal concodance“), adalah suatu arahan yang
didasarkan kepada persetujuan dan pemuasan pihak-pihak lainnya (based on approval
and pleasing others). Hal itu dicirikan dengan kepatuhan (conformity) terhadap
kepercayaan mayoritas. Orang seperti ini patuh terhadap norma-norma yang dianut
banyak orang (such people adhere to what they consider to be prevailing norms). Tahap
keempat adalah tahap “hukum dan keteraturan“ (“law and order“ stage). Orang dengan
arahan seperti ini bertekad (committed) untuk “melakukan tugasnya“ (doing their duty),
dan menghargai orang yang mempunyai wewenang. Tahap ketiga dan keempat bila
digabung memberntuk arahan moral konvensional.

Tahap kelima dan keenam menunjukkan arahan prinsip internalisasi (the internalized-
principle orientation). Kohlberg menyebut tahap kelima sebagai tahap “kontrak sosial“
(“social contract“ stage); yang mencakup arahan legalistik. Komitmen dipandang sebagai
istilah-istilah kontrak, dan orang di dalam tahap ini akan menghindari usaha-usaha untuk
menggagalkan persetujuan implisit dan eksplisit. Tahap terakhir dan tertinggi dari
pengembangan moral adalah “prinsip-prinsip individu“ (“individual principle“). Tahap
ini menekankan kesadaran (conscience), kepercayaan bersama (mutual trust), dan
penghargaan (respect) sebagai pemandu prinsip-prinsip perilaku.

Jika teori pengembangan yang diajukan oleh Kohlberg benar, hukum kurang lebih
terbatas tergantung kepada tahap pengembangan moral dari anggota-anggota suatu
masyarakat. Dalam konteks ini, David J. Danelski (1974: 14-15) menyarankan bahwa
pertimbangan kuantitatif dan kualitatif adalah sama pentingnya. Kita ingin tahu tahap
modal (modal stage) dari pengembangan moral dari kaum elit, warganegara rata-rata, dan
kelompok-kelompok terpinggirkan. Jika kebanyakan anggota masyarakat berada pada
tahap pertama dan kedua dari tahap pengembangan moral, penegakan institusional
sangatlah penting untuk memelihara keteraturan dan keamanan. Hukum akan sedikit
terbatasi jika kebanyakan anggota masyarakat berada pada tahap ketiga dan keempat dari
tahap pengembangan moral. Hukum pada tahap kelima dan keenam mungkin lebih
terbatas daripada pada tahap ketiga dan keempat, “namun akan menjadi kebalikannya jika
dipandang disetujui secara demokratis dan konsisten dengan prinsip-prinsip individu
tentang kesadaran. Jika tidak, kemungkinan hukum akan lebih terbatas“ (Danelski, 1974:
15). Dengan kata lain, batasan-batasan hukum adalah tidak linear (curvilinear) dengan
istilah-istilah pengembangan moral.

3) Faktor-Faktor Budaya

Ketika perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan terancam, resistensi terhadap
perubahan biasanya sangat kuat, seringkali berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai
tradisional. Status quo dilindungi tapi perubahan dihambat. Sebagai contoh, pada orang
Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius tradisionalnya, menolak hukum yang
mengancam perkawinan poligami mereka. Begitu pula di India, ketika kelaparan adalah
suatu masalah besar, lebih dari 3 juta sapi yang disucikan oleh orang Hindu tidak hanya
diampuni untuk disembelih untuk dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk
berjalan-jalan di desa dan tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan kerusakan
tanaman pangan yang parah. Makan daging sapi akan bertentangan dengan kepercayaan
tradisional mereka, dan sebagai hasilnya adalah tidak mungkin untuk memelihara sapi
untuk dijadikan daging untuk makanan di India. Faktor-faktor budaya lainnya juga
bertindak seringkali sebagai penghambat perubahan, termasuk fatalisme, etnosentrisme,
pendapat ketidakcocokan, dan superstisi / tabu.

Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui budaya-budaya yang
mendukung kepercayaan bahwa orang tidak mempunyai sebab akibat dari masa depannya
atau masa depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan nasib orang….
Sulit untuk membujuk orang seperti ini untuk menggunakan pupuk, atau untuk
menyimpan benih terbaik untuk ditanam, karena orang hanya bertanggung jawab untuk
kinerja / kerja saja, dan adalah tanggung jawab Tuhan (the divine) untuk suksesnya
sebuah tindakan“ (Mead, 1953: 201). Pada dasarnya, fatalisme adalah suatu perasaan
tentang kurangnya penguasaan terhadap alam. Orang tidak mempunyai kontrol terhadap
kehidupannya sendiri dan semua hal yang terjadi pada mereka karena Tuhan atau karena
makhluk jahat. Pandangan fatalistik seperti itu tentu saja menghambat perubahan, karena
perubahan dianggap sebagai disebabkan oleh manusia (human-initiated) dan bukan
berasal dari Tuhan (having a divine origin).
Etnosentrisme. Banyak sub kelompok di masyarakat memandang mereka sendiri sebagai
“superior“, satu-satunya yang memiliki hak tentang cara berpikir tentang dunia dan cara
memperlakukan lingkungan. Perasaan superioritas terhadap suatu kelompok akan
membuat orang untuk tidak bisa menerima (unreceptive) ide-ide dan metode-metode
yang digunakan di kelompok-kelompok lainnya. Sebagai hasilnya, etnosentrisme
seringkali menyebabkan orang (a bulwark) tidak setuju dengan perubahan. Sebagai
contoh, perasaan superioritas seperti itu oleh orang-orang kulit putih telah menghambat
usaha-usaha integrasi dalam hal perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.

Ketidakcocokan (incompatibility). Ketidaksetujuan terhadap perubahan sering


dikarenakan karena di kelompok target terdapat material dan sistem yang, atau dipandang
sebagai, tidak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru. Ketika
ketidakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan, perubahan akan menemui kesulitan.
Sebagai contoh, kontras antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis
(berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima suatu nabi baru (a new deity)
hanya dengan menolak yang telah ada sebelumnya (the previous incumbent), yang akan
meminta banyak pengorbanan dari mereka. Untuk menggambarkan hal ini, orang Indian
Navajo telah tidak setuju terhadap Kristianiti karena kepercayaan agama mereka tidak
cocok dengan yang ditawarkan oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu
contoh konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law) yang diundangkan di
Israel dalam suatu usaha untuk memulai perubahan di dalam populasi imigran melalui
hukum. Hukum tersebut menyebutkan umur 17 tahun sebagai umur minimum untuk
perkawinan kecuali adanya kehamilan, dan memberikan sanksi pidana bagi seseorang
yang mengawini seorang gadis di bawah umur 17 tahun tanpa persetujuan pengadilan
negeri. Dengan menset umur minimum 17 tahun, hukum berusaha untuk memberlakukan
suatu aturan perilaku yang tidak cocok dengan adat dan kebiasaan dari beberapa seksi
dari populasi orang Yahudi Israel yang datang dari negara-negara Arab dan negara-negara
Timur (Rusia, Polandia, dsb – penerjemah), dimana perkawinan biasanya dilaksanakan
sebelum umur 17 tahun. Tindakan itu hanya mempunyai efek terbatas, dari masyarakat
yang sebelumnya membolehkan perkawinan dari perempuan yang belum berumur 17
tahun (Dror, 1968: 678).
Superstisi / tabu. Supestisi didefinisikan sebagai suatu penerimaan tidak kritis dari suatu
kepercayaan yang tidak didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang, supestisi bertindak
sebagai penghambat perubahan. Sebagai contoh, di suatu situasi di Rhodesia, usaha-
usaha pendidikan nutrisi terhambat karena fakta bahwa banyak perempuan yang tidak
makan telur. Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur menyebabkan
ketidaksuburan / infertilitas, membuat bayi botak, dan membuat wanita menjadi sulit
hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina, ada suatu kepercayaan bahwa jeruk
(squash) yang dimakan dengan ayam akan menyebabkan penyakit lepra. Di beberapa
tempat, wanita hamil tidak diberi makan telur karena bayinya akan membesar yang
mempersulit kelahirannya, dan di tempat lainnya lagi, seorang bayi tidak akan diberi air
untuk beberapa bulan setelah kelahiran karena kualitas “dingin“ dari air akan merusak
perimbangan panas si bayi. Di beberapa bagian dari Ghana, anak-anak tidak boleh
makan daging atau ikan karena dipercaya daging dan ikan akan menyebabkan cacing
perut (Foster, 1973: 103-104). Jelas bahwa, jika ada kepercayaan superstisi, usaha-usaha
perubahan melalui hukum atau agen-agen lainnya akan menemui hambatan.

4) Faktor-Faktor Ekonomi

Walaupun di masyarakat yang kaya raya (affluent society), sumberdaya ekonomi yang
terbatas berfungsi sebagai hambatan terhadap perubahan yang mestinya telah diadopsi.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, hampir setiap orang akan menerima kesiapan untuk
adanya kontrol yang efektif terhadap polusi, sistem transportasi publik yang lebih murah
dan lebih nyaman, program kesejahteraan yang efektif, dan pelayanan kesehatan yang
cukup bagi semua. Fakta bahwa perubahan dalam bidang ini sangatlah lambat tidak
hanya karena masalah prioritas, namun juga masalah biaya. Biaya dan sumberdaya
ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat berakibat memberikan sumber hambatan
terhadap perubahan.

Ada suatu kebenaran (truism) seperti yang terjadi pada hal-hal lainnya, yaitu perubahan
melalui hukum mempunyai biayanya sendiri. Dalam banyak hal, interpretasi legislasi,
putusan administratif, atau penetapan pengadilan, membawa harganya sendiri-sendiri.
Sebagai contoh, dampak ekonomis dari regulasi federal tentang institusi pendidikan
tinggi sangatlah signifikan. Berbagai program tindakan afirmative (affirmative action
program, yaitu program yang tidak membeda-bedakan orang berdasarkan ras, golongan,
jenis kelamin, dan agama – penerjemah), mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan
dana dari pemerintah federal terhadap institusi-institusi yang tidak patuh terhadap hukum
anti pembedaan (the anti-bias law). Pada gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan
meningkatnya biaya administratif pada institusi-institusi pendidikan tinggi (karena
banyak orang kulit hitam berasal dari keluarga tidak mampu sehingga ada subsidi silang
dalam biaya operasional sekolah – penerjemah). Philip Boffey (1975) membahas suatu
penelitian terhadap 6 institusi untuk menentukan dampak ekonomis dari regulasi federal
terhadap anggaran operasi institusi. Penelitian tersebut memperhatikan dampak dan
biaya finansial dari syarat-syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment
opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak (the Civil Rights Act),
Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal Pay Act), Program Tindakan Persamaan (the
Affirmative Action Program) berdasarkan perintah eksekutif (semacam Perpres –
penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan, Undang-Undang
Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the Occupational Safety and Health Act) tahun 1970,
undang-undang upah minimum, asuransi pengangguran / jaring pengaman sosial, dan
Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the Environment Protection Law) terhadap
pengeluaran operasional universitas. Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan
beberapa regulasi yang terkait akan minimal pada universitas, namun secara kolektif
dampaknya cukup terasa. Dari 6 kolege dan universitas yang diteliti, kenaikan total
anggaran operasional selama satu dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan
regulasi federal bervariasi dari 1 sampai 4 persen. Biaya ini relatif kecil dibandingkan
dengan total anggaran operasional institusi, namun relatif cukup besar terhadap defisit
operasional yang dialami oleh beberapa institusi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan lebih
besar daripada anggaran dari beberapa departemen akademis yang akan sangat langka
melalui perpindahan (shifts) dalam prioritas anggaran institusi. Selama periode 10 tahun
penelitian, biaya yang ditimbulkan oleh kepatuhan terhadap regulasi federal adalah 20
kali lebih besar (Boffey, 1975: 445). Peningkatan biaya ekonomi terkait dengan
kepatuhan banyak ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah
mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang mempengaruhi pendidikan
tinggi diubah.

Selain adanya biaya langsung terhadap usaha perubahan tertentu, bagaimana biaya dan
manfaat didistribusikan juga mempengaruhi resistensi. Sebagai contoh, ketika biaya dan
manfaat didistribusikan secara meluas seperti dalam Jaring Pengaman Sosial (Social
Security), maka resistensi terhadap program akan minimal. Biaya untuk setiap pembayar
pajak akan relatif kecil, sedangkan keuntungannya akan disebarkan secara meluas
“sehingga mereka hampir seperti barang kolektif; yang berhak akan menikmati
keuntungannya, namun hanya membutuhkan sedikit kontribusi terhadap retensi / batasan
pertumbuhannya“ (Handler, 1978: 15). Resistensi akan ada pada situasi dimana
keuntungan didistribusikan sementara biaya dikonsentrasikan. Sebagai contoh, pabrik
mobil melawan walaupun tidak sukses, terhadap usaha hukum untuk mewajibkan adanya
alat pengendali polusi pada mobil.

Walaupun suatu perubahan tertentu melalui hukum mungkin diinginkan, seperti rencana
asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang efektif dan komprehensif, terbatasnya
sumberdaya ekonomi seringkali bertindak sebagai penghambat dari usaha-usaha
perubahan sosial. Dari empat sumber resistensi terhadap perubahan, faktor ekonomi
adalah faktor yang paling menentukan (the most decisive). Tidak peduli keinginan untuk
berubah, kecocokannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan dari penerima keuntungan
dan banyak pertimbangan lainnya, hal itu akan menimbulkan resistensi jika pengorbanan
ekonomi terlalu besar. Dengan kata lain, tidak peduli seberapa banyak orang dalam
masyarakat ingin sesuatu, jika mereka tidak bisa membayarnya, kemungkinan besar
mereka tidak akan dapat menerimanya. Sesuai dengan yang disarankan oleh George M.

Foster (1973: 7 : “Hambatan-hambatan budaya, sosial, dan psikologi dan rangsangan


terhadap perubahan ada di suatu seting ekonomi… (dan) faktor-faktor ekonomi….
kelihatannya telah menset batasan absolut untuk perubahan…“..

Anda mungkin juga menyukai