Anda di halaman 1dari 9

UNDESENSUS TESTIS (testis tidak turun)

UNDESENSUS TESTIS

1.1 Epidemiologi Insiden UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa.1 UDT unilateral lebih sering ditemukan daripada UDT bilateral. Testis yang tidak turun di skrotum biasanya disertai prosesus vaginalis yang tetap terbuka. Pada UDT, testis tidak turun ke dalam skrotum. Pada hernia inguinalis, yang umumnya menyertai keadaan tertinggalnya testis, tidak menimbulkan gejala atau tanda.2 Desensus total biasanya sudah berlangsung pada waktu lahir aterm. Desensus lengkap ditemukan pada 80% anak yang lahir prematur. Dari testis yang tertinggal, 70% menyelesaikan proses penurunan sebelum anak mencapai usia satu tahun.1 1.2 Pengertian UDT atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Sepertiga kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan, dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti dengan penurunan insiden

UDT. Prevalensinya menjadi sekitar 0,8 % pada umur 1 tahun dan bertahan pada kisaran angka tersebut pada usia dewasa.1

1.3 Embriologi dan Penurunan Testis Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Mllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Sel- Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.1, 3 Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural.Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda. 1, 3 Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.1

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.1

1.4 Etiologi Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan berpotensi menimbulkan UDT. Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig insulin-like hormone 3) dan gen GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan

menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen yang bertanggung jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan MIS. UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 25 %). Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,29,8% mempunyai saudara laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.1 1.5 Klasifikasi Terdapat 3 tipe UDT: 1, 3 a) UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable). b) Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal. c) Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya. Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:3 a) Mekanis / anatomik (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis dll) b) Endokrin / hormonal (kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis) c) Disgenetik (kelainan interseks multipel) d) Herediter / genetik Klasifikasi berdasarkan lokasi :3 a) Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40% b) Inrakanalikular (inguinal) : 20% c) Intraabdominal (abdominal) : 10% d) Terobstruksi : 30%

Adapun klasifikasi berdasarkan gambaran histopatologik:3 a) Tipe I:kelainan minimal b) Tipe II:hipoplasia germinal berat dan hipoplasia tubular ringan sampai berat, sel sertoli normal c) Tipe III:hipoplasia germinal dan tubular berat, hipoplasia sel sertoli d) Tipe IV:hipoplasia germinal dan tubular, hiperplasia sel sertoli

Gambar 2. Berbagai letak kelainan testis pada Undesensus testis 1.6 Komplikasi Komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis, di samping itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.1

1.7 Diagnosis 1.7.1 Anamnesis Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal. 1, 3

1.7.2

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan keskrotum, dengan kombinasi menyapu dan menarik terkadang testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami fatigue; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi. Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut. Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero. Sedangkan simple UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya. 1, 3, 4 1.7.3 Pemeriksaan Penunjang Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex. Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia. Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test

a. Pemeriksaan Laboratorium

adalah mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x. 1, 3

b. Pemeriksaan Radiologi USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia. Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia). Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad. 1, 3 c. Laparoskopi Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal. Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau nonpatent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorchia

(44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens) yang keluar kedalam cincin inguinalis interna. 1, 3 1.8 Terapi Tujuan terapi adalah untuk mencapai posisi orthotopik testis pada skrotum sebelum usia dua tahun untuk mencegah terjadinya kerusakan spermatogenesis yang permanen. Terapi hormon (opsional) hanya diberikan untuk testis yang retensi karena terapi ini tidak efektif untuk testis ektopik. Obat yang diberikan adalah suntikan HCG intramuskular (1500 IU/m2 dua kali seminggu selama 4 minggu) atau luteinizing hormone releasing hormone (LHRH) berupa semprotan nasal (400 g, tiga kali sehari). Kedua metode terbukti efektif pada 20-30% kasus. Penting untuk melakukan follow-up karena dapat terjadi kegagalan setelah beberapa waktu {reascend 10 - 25%). Pembedahan orkhidofunikulolisis dan orkhidopeksi merupakan penatalaksanaan pilihan pertama. Testis pendulosa (retraktil) tidak diindikasikan untuk koreksi bedah. Indikasi absolut untuk operasi primer adalah retensi testis setelah gagal terapi hormonal atau setelah operasi di daerah inguinal, ektopik testis dan seluruh maldesensus testis yang disertai dengan kelainan patologis lainnya (hernia dan atau prosesus vaginalis yang terbuka). Akses inguinal funikulus spermatikus dicapai setelah membuka kanalis inguinalis. Kondisi patologis lain yang berhubungan (seperti prosesus vaginaiis yang terbuka, hemia inguinalis) dikoreksi pada saat yang bersamaan. Setelah funikulus spermatikus dan testis dibebaskan dari jaringan ikat dan serat kremaster telah direseksi, testis diletakkan tension free secara peksi ke dalam skrotum. Jika tidak ditemukan testis atau jaringan funikulus spermatikus pada saat eksplorasi kanalis inguinalis, peritoneum dibuka dan dilakukan orkhido-funikulolisis intraperitoneal. Jika funikulus spermatikus terialu pendek, dapat dilakukan teknik Fowler-Stephens (ligasi dan diseksi pembuiuh darah spermatika). Syaratnya adalah duktus deferens dan pembuluh darah epididimis yang intak; hal ini dapat dites dengan melakukan klem sementara pada arteri testikularis.5

Anda mungkin juga menyukai