Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem reproduksi pria terdiri atas testis, saluran dari testis, kelenjar-kelenjar yang
berhubungan dengan sistem reproduksi dan penis. Pada bahasan undesensus testis
ini, akan dibahas lebih banyak mengenai testis.
Testis merupakan kelenjar ganda, karena secara fungsional bersifat eksokrin dan
juga endokrin. Fungsi eksokrin testis yang terutama adalah menghasilkan sel-sel
kelamin pria, sehingga dianggap sebagai kelenjar sitogenik. Sekresi endokrin
yang utama dari testis adalah testosterone, yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial.
Testis tergantung di dalam skrotum dan dibungkus oleh simpai testis yang terdiri
dari 3 lapis, yaitu lapisan terluar (tunika vaginalis), lapisan tengah (tunika
albuginea) dan lapisan terdalam (tunika vaskulosa). Simpai testis bukan
merupakan suatu pembungkus yang lembam melainkan merupakan suatu selaput
dinamis yang mampu berkerut secara berkala. Kerutan-kerutan tersebut mungkin
bertujuan untuk mempertahankan tekanan yang sesuai di dalam testis, megatur
gerakan keluar masuknya cairan ke dalam kapiler-kapiler dan untuk memijat
sistem saluran, sehingga membantu gerakan spermatozoa kearah luar, memiliki
sifat-sifat selaput yang semipermeable dan turut berperan dalam beberapa faal
testis.

Gambar 1. Anatomi

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan


seksual aktif, sebagai akibat dari rangsangan oleh hormone gonadotropin hipofisis
anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup.
Sperma diproduksi di dalam testis melalui proses spermatogenesis. Proses ini
diatur oleh sumbu hipotalamo-hipofisis-gonad. Hipotalamus mengeluarkan
hormone gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang merangsang kelenjar
hipofisis anterior untuk memproduksi hormone gonadotropin yaitu folikel
stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH).
Produksi hormone testosterone oleh sel-sel Leydig di dalam testis diatur oleh LH,
dan pada kadar tertentu, testosterone memberikan umpan balik negative kepada
hipotalamus/hipofisis sebagai kontrol terhadap produksi LH. FSH merangsang
tubuli seminiferi (terutama sel-sel sertoli) dalam proses spermatogenesis, di
samping itu sel-sel ini memproduksi inhibin yaitu suatu substansi yang
mengontrol produksi FSH melalui mekanisme umpan balik negative. Proses
produksi sperma (spermatogenesis) berlagsung di dalam testis dimulai dari
differensiasi sel stem primitive spermatogonium yang terdapat pada membrane

basalis tubulus seminiferus testis. Spermatogonium kemudian mengalami mitosis,


meiosis, dan mengalami transformasi menjadi spermatozoa sesuai dengan urutan
mulai dari:
Spermatogoniumspermatosit Ispermatosit IIspermatidspermatozoa
Sel-sel spermatogonium mengalami mitosis menjadi sel-sel diploid spermatosit I
(mempunyai 46 kromosom) dan mengalami miosis menjadi sel-sel haploid
spermatosi II (mempunyai 23 kromosom) dan selanjutnya mengalami mitosis
menjadi sel-sel spermatid. Sel-sel spermatid ini mengalami transformasi menjadi
spermatozoa sehingga terbentuk akrosom dan flagella serta hilangnya sebagian
sitoplasma. Proses transformasi pembentukan spermatozoa yang siap disalurkan
ke epididimis disebut spermiogenesis. Seluruh proses spermatogenesis ini
berlangsung kurang lebih 74 hari.
Terdapat beberapa hormone yang memiliki peranan yang sangat penting dalam
spermatogenesis, yaitu sebagai berikut:
1. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstitium
testis, hormone ini penting bagi pertumbuhan dan pembagian sel-sel
germinativum dalam membentuk sperma.
2. Hormon Lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofifis anterior,
merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosterone.
3. Hormon perangsang folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar
hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli, tanpa rangsangan ini,
pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan
terjadi.
4. Estrogen, dibentuk dari testosterone oleh sel-sel sertoli ketika sel sertoli
sedang dirangsang oleh hormone perangsang folikel, yang mungkin juga
penting untuk spermiogenesis. Sel-sel sertoli juga menyekresi suatu
protein pengikat androgen yang mengikat testosterone dan estrogen serta
membawa keduanya ke dalam cairan dalam lumen tubulus seminiferus,
membuat kedua hormone ini tersedia untuk pematangan sperma.
5. Hormon pertumbuhan (GH), seperti juga pada sebagian besar hormone
yang lain, hormone ini diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi

metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan


pembelahan awal spermatogenia sendiri. Bila tidak terdapat hormone
pertumbuhan, seperti pada Dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat
berkurang atau tidak ada sama sekali.
Undesensus testis atau biasa disebut kriptorkismus merupakan kelainan bawaan
genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Sepertiga kasus anakanak dengan undesensus testis adalah bilateral sedangkan dua pertiganya adalah
unilateral. Insiden undesensus testis terkait erat dengan umur kehamilan,dan
maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun
pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti
dengan penurunan insiden undesensus testis.
Insidensnya 3 - 6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan meningkat
menjadi 30% pada bayi prematur. Setelah 100 tahun penelitian mengenai
undesensus testis, Masih terdapat beberapa aspek yang menjadi kontroversial.
Faktor predisposisi terjadinya undesensus testis adalah prematuritas, berat bayi
baru lahir yang rendah, kecil untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian
estrogen pada trimester pertama. Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan
masih berada dijalurnya mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga
abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus.
Alasan utama dilakukan terapi adalah meningkatnya risiko infertilitas,
meningkatnya risiko keganasan testis, meningkatnya risiko torsio testis, resiko
trauma testis terhadap tulang pubis dan faktor psikologis terhadap kantong
skrotum yang kosong. Penatalaksanaan yang terlambat pada undesensus akan
menimbulkan efek pada testis di kemudian hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Undesensus testis (UDT) atau kriptorkismus merupakan suatu kelainan
bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki.
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos yang dalam bahasa yunani disebut
tersembunyi dan orchis yang dalam bahasa latin berarti testis. Undescended
testis adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan gagalnya
penurunan salah satu atau kedua testis secara komplit ke dalam skrotum yang
sering ditemukan pada anak kecil. Testis yang tidak turun ke skrotum dapat
berada pada saluran yang normal di antara ginjal dan bagian dalam skrotum,
tetapi tidak mencapai tempat kedudukannya yang normal di dalam skrotum.
2.2 Epidemiologi
UDT merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada anak
laki-laki. Pada kebanyakan 30% bayi laki-laki yang prematur mempunyai
testis yang tidak turun. Insiden ini turun menjadi 3 sampai 5% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Penurunan testis pada bayi setelah lahir kebanyakan
karena pengaruh testosteron neonatus dalam usia 3 bulan pertama. Walaupun
sebelumnya testis dapat turun sampai usia satu tahun setelah lahir,
kebanyakan testis akan turun secara spontan dalam 3 bulan pertama kelahiran.
Selain itu, tidak ditemukan adanya perbedaan insiden antara ras. Penelitian
prospektif mendapatkan prevalen UDT pada bayi dengan berat lahir lebih
atau sama dengan 2500 gram, meningkat di United Kingdom dari 2,7%
menjadi 4,1% antara tahun 1950 dan tahun1990. Pada negara lain dengan

penelitian yang sama selama dua decade bervariasi antara 2,1% menjadi
8,4%. Selanjutnya terjadi penurunan testis spontan dan tinggal 0,9% sampai
1,8% pada usia 3 bulan.
Insidensi kasus ini juga meningkat pada keadaan defisiensi gonadotropin,
disamping terdapat juga pada beberapa sindrom dengan gangguan biosintesis
testosteron. Pada saat usia bertambah menjadi 1 tahun, insidennya menurun
menjadi 0,8%, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa. Pada UDT
sebanyak dua pertiga kasus merupakan UDT unilateral dan sisanya bilateral.
Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami
desensus testis secara spontan.
2.3 Embriologi dan Proses Penurunan Testis
Pada mulanya testis hanya berupa penebalan pada bagian ventral dari genital
ridge yang belum dapat diterminasi. Karena pengaruh gen Y maka penebalan
ini akan memperlihatkan karakteristik histologi dan fungsional sebagai testis.
Kemudian sebagian mesonefron akan berdegenerasi, dan sebagian lagi yang
berdekatan dengan testis akan membentuk epididimis yang akan menjadi
saluran yang membawa spermatozoa dari testis ke vas deferens. Jika
mesonefron gagal tumbuh menyatu dengan testis, maka testis tidak akan turun
ke skrotum, tetapi vas deferens dan pembuluh darah yang turun sepanjang
prosesus vaginalis.

Pada kehamilan 4 bulan testis berkembang menjadi bulat seperti bentuk yang
normal dan mulai berpindah ke kaudal dan mencapai annulus inguinalis
internus pada kehamilan 5 bulan. Selama bulan ke 7, testis melewati kanalis
inguinalis dan akan menonjol di samping tonjolan peritoneum yang disebut
prosesus vaginalis peritonei. Selama bulan ke 8 dan bulan ke 9, testis
sudah berada dalam skrotum. Kurang lebih 5% dari bayi aterm lahir dengan
desensus testis inkomplit. Dan sampai 30% bayi prematur lahir dengan
undesensus testis. Testis berkembang bersama mesonefron yang terpisah dari
vas deferens yang berkembang baik sedangkan sedangkan testis tidak ada.
Perkembangan testis yang baik disertai dengan perkembangan vas deferens
yang terganggu dijumpai pada penyakit fibrosis sistika.

Kedua testis dalam scrotum digantung oleh tangkai fibrovaskuler, funiculus


spermaticus, yang meninggalkan canalis inguinalis melalui annulus inguinalis
profunda. Testis kiri sering tergantung lebih rendah daripada yang kanan.
Scrotum berfungsi mengatur temperature testis. Scrotum berasal dari 2 genital
ridge yang ditunjukkan oleh adanya lapisan tengah, raphe scrota.
Testis matur bentuknya kira kira seperti buah plum, panjangnya 4 5 cm.
konsistensi kenyal dan biasanya dalam scrotum posisi permukaan luas
menghadap ke belakang dan yang sempit menghadap depan. Testis dibagi
menjadi kutub atas dan kutub bawah, permukaan medial dan lateral. Pada tepi
posterior, mediastinum testis, pembuluh pembuluh darah, saraf dan ductus
deferens

masuk

dan

meninggalkan

epididymis

bersama

funiculus

spermaticus. Testis dan epididymis sebagian besar ditutupi oleh lapisan


visceral peritoneal sheath, tunica vaginalis testis. Lapisan ini pada
mediatinum testis dan epididymis melipat menjadi lapisan parietal, lapisan
visceral membentuk alur di bagian lateral, bursa testicular terletak antara
testis dan epididymis.

Testis dibungkus dengan rapat oleh kapsul jaringan ikat tebal, keputihputihan, tunica albuginea. Septa septa jaringan ikat (septula testis)
menyebar dari kapsul menuju mediastinum testis membagi jaringan testis
menjadi 200 300 lobulus (lobuli testis). Tiap lobulus mengandung beberapa
tubulus seminiferous yang berkelok kelok (tubuli seminiferi contorti). Tiap
tubulus pada testis matur (secara seksual) tebalnya 140 300 m, dan jika
dibentang panjangnya 30 -60 mm. tubulus masuk rete testis di mediastinum.
Rete testis terdiri atas saluran saluran seperti celah saling berhubungan dari
mana ductuli efferentes menyalurkan sperma (spermatozoa) menuju ductus
epididymis. Selanjutnya ductus epididymis melanjutkan diri sebagai ductus
deferens.
2.4 Etiologi

Mekanisme

terjadinya

UDT

berhubungan

dengan

banyak

faktor

(multifaktorial) yaitu perbedaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus


spermatikus atau gubernakulum, peningkatan tekanan abdomen, faktor
hormonal, perkembangan epididimis, perlekatan gubernakulum, penyebab
sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat. Beberapa
penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig
insulin-like hormone 3) dan gen GREAT (G protein-coupled receptor
affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT.INSL3 dan GREAT
erupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga
terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan
menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen
yang bertanggung-jawab pada differensiasi testis.

Penyebab UDT yang multiple dan berbeda antara kasus yang satu dan lainnya
diperkirakan ditentukan oleh beberapa hal seperti kelainan axis hipotalamushipofisis-testis.Hipotalamus

menghasilkan

GnRH,

Hipofise

anterior

menghasilkan FSH, dan LH sedangkan testis terdiri dari sel sertoli yang
menghasilkan AMH, dan sel leydig yang menghasilkan hormon testosteron
dan hormon INSL3.Densensus testis tidak terjadi pada mamalia yang
hipofisenya telah diangkat, ini menandakan bahwa kekurangan FSH dan LH
menyebabkan terjadinya kriptorkismus.
Kekurangan hormon INSL3 akan mengakibatkan kriptorkismus karena
hormon INSL3 menyebabkan pertumbuhan gubernakulum dan terjadinya

desensus testis transabdominal, demikian juga kekurangan AMH akan


menyebabkan kriptorkismus karena AMH menyebabkan regresi duktus
mulleri, demikian juga halnya kekurangan hormon testosteron akan
menyebabkan kriptorkismus juga karena hormon testosteron menyebabkan
regresi CSL dan regresi gubernakulum untuk desensus testis transinguinal.
Peningkatan hormon estrogen dicurigai akan menekan rangsangan untuk
turunnya testis karena hormon tersebut dicurigai menekan sel leydig testis
dalam memproduksi INSL3 dan testosteron.
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di
samping itu testissebelah kanan lebih sering mengalami UDT.Sekitar 4,0 %
anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,29,8% mempunyai
saudara laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadiUDT
pada laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan
populasi umum.
2.5 Klasifikasi
Undescended testis (UDT) diklasifikasikan menjadi: testis teraba dan testis
tidak teraba, testis teraba terdiri dari testis retraktil, testis ektopik dan murni
UDT sedangkan testis tidak teraba diklasifikasikan menjadi testis
intraabdominal dan canaliculer ( di dalam canalis inguinalis) .

UDT

umumnya kebanyakan inguinal (63%) diikuti preskrotal (24%), ektopik


(12%) dan intraabdominal (8%).Perlu dibedakan antara murni kriptorkismus,
testis retraktil dan testis ektopik untuk penanganan dan implikasi prognosis.

Gambar 2. Letak Undesensus Testis. Gambar di sebelah kanan adalah beberapa letak
testis kriptorkismus yaitu 1. Testis retraktil, 2. Inguinal, dan 3. Abdominal, sedangkan
gambar di sebelah kiri menunjukkan testis ektopik, antara lain: 4. Inguinal superfisial, 5.
Penil, 6. Femoral

Testis ektopik merupakan penyimpangan turunnya testis dari saluran yang


normal,

tidak melalui cincin inguinalis ekterna dan tidak berhubungan

dengan kerusakan testis atau transformasi keganasan. Umumnya yang


menjadi tempat dari testis ektopik adalah bagianluar dari kantong inguinal,
pada perineum, kanalis femoralis, daerah suprapubik dan kontralateral dari
skrotum.Testis ektopik bisa dibedakan dengan kriptorkismus oleh adanya
pertumbuhan skrotum yang normal dan tidak adanya hernia inguinalis. Testis
retraktil merupakan bentuk lain dari penurunan testis ke dalam skrotum
dimana aktipnya reflek otot kremaster menyebabkan

testis tertarik ke

pangkal paha. Testis retraktil biasanya bilateral dan sering ditemukan pada
anak usia 2-6 tahun, kejadiannya 20% dari anak laki-laki yang normal dimana
testis masih dapat dimanipulasi samapi ke bagian bawah skrotum. Dengan
membesarnya volume testis pada pase pubertas kejadian ini akan menjadi
normal. Kejadian ini perlu dibedakan dengan kriptorkismus karena
pertumbuhan skrotum normal dan tesis bisa turun ke skrotumMaksimum 20%
kriptorkismus testisnya tidak teraba pada pemeriksaan klinis, testis
kebanyakan berada disebelah kiri. Dari testis yang tidak teraba 50%-60%
kasus testisnya masih utuh dan berada pada posisi intraabdominal atau
inguinal dan yang sungguh-sungguh tidak ada sekitar 20% dari kasus. Testis

yang naik atau kriptorkismus yang didapat sering ditemukan pada anak yang
sebelumnya testis sudah turun di skrotum. Pada anak laki-laki yang testisnya
sudah turun saat dilahirkan, tetapi selama masa anak-anak sering antara usia
4-10 tahun testis tidak masih ada di skrotum. UDT dapat diklasifikasikan
berdasarkan etiopatogenesisnya dan lokasinya.
Klasifikasi Undesensus testis berdasarkan etiopatogenesisnya:
1. Mekanis / anatomik ( perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis)
2.
Endokrin/hormonal (kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis)
3.
Disgenetik (Kelainan interseks multipel)
4.
Herediter/ genetik

Undesensus testis dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi:


1.
2.
3.

Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40 %


Intrakanalikuler ( inguinal ) : 20 %
Intraabdominal (abdominal) : 10%

Undesesus testis dikelompokkan menjadi 3 tipe:

1. Undesensus testis sesungguhnya ( true undescended) : testis mengalami


penurunan parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan
menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba ( impalpable)
2. Testis ektopik : testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3.Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

2.6 Patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen 1C lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih
tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel sel epitel
germinal testis. Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel sel germinal
testis telah mengalami kerusakan sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel
sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif
dan akhirnya testis menjadi mengecil.
Karena sel sel leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak ikut rusak,
maka potensi seksual tidak mengalami gangguan.Akibat lain yang
ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah mudah
terpelintir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami
degenerasi maligna.
2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh
karena infertilitasnya yaitu belum mempunyai anak setelah menikah beberapa
tahun.
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi
prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil

(estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah


sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama
kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering
terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan mental
anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan
penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang
UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.
b. Pemeriksaan fisis
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung
skrotum melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat
melakukan palpasi untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa
harus berada dalam keadaan hangat hangat untuk menghindari tertariknya
testis ke atas.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog
leg position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik
bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis
inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus
dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan
menarik terkadang testis dapat

didorong ke-dalam skrotum. Dengan

mempertahankan posisi testis di dalam skrotum selama 1 menit, otot


cremaster diharapkan akan mengalami fatigue; bila testis dapat bertahan di
dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan
segera kembali begitu testis dilepas.Tentukan lokasi, ukuran dantekstur testis.

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal.Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat
torsi. Testis kontra lateralnya biasanyamengalami hipertrofi.
Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti
supraskrotal (20%), danintra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik
yang baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut.
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi,harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu
dengan

kromosom

XX

pseudohermaphroditismyangberat;

yang
atau

mengalami

female

Anorchiakongenitalsebagai

akibattorsi testis inutero. Sedangkansimple UDT merupakan hal yang


seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan tetapimasih dapat
terjadi penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya.
c. Pemeriksaan laboratorium
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testoteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin hormone).
Tidak terjadi peningkatan kadar testosterone disertai peningkatan LH/FSH
setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorkismus.

Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
pada keadaan basal dan 24 - 48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron
normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon
normal setelah hCG test bervariasi antara 2 - 10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5 -10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah
stimulasi hCG hanya sekitar 2 - 3x.
d. Pemeriksaan Pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana halini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan
tangan.Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukandengan UDT tidak teraba
testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal;
dantidak dapat mendeteksi testis intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat
tergantung dari pengalaman dankualitas alat yang digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutamadiperuntukkan

testis

intra-abdomen

(tak

teraba

testis).MRI

mempunyai sensitifitas yang lebih baik untukdigunakan pada anak-anak yang


lebih besar (belasan tahun).MRI juga dapat mendeteksi kecurigaankeganasan
testis.aik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi
vanishingtestis ataupun anorchia.
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi)untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi
semakin berkurang.Metode ini paling baik digunakanuntuk menentukan
vanishing testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi
pleksuspampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis
(pada anorchia).Kelemahannya selaininfasif, juga terbataspada umur anakanak yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-venagonad.

e. Laparoskopi
Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman dilakukan oleh ahli
yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan
setelah

pemeriksaan

lain

tidak

dapat

mendeteksi

adanya

testis

diinguinal.Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah:


kondisi annulus inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau nonpatent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfiannya.
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai testis
yang biasanya berada di kantung skrotum tiba tiba berada di daerah di
inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi
karena refleks otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau
setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu
undesensus testis perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang
tidak ada. Hal ini biasa terjadi secara kongenital memang tidak terbentuk
testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada
saat neonatus.

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi undesensus testis yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormone
ataupun dengan cara pembedahan (orkidopeksi). Penatalaksanaan yang
terlambat pada undesensus testis akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun
sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan
testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi
adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum
harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun
pembedahan.

Undesensus testis meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan


risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 - 10 kali. Atrofi testis terjadi pada
usia 5 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 - 2
tahun. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya
pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan
preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%.
a. Medikamentosa
Hormon yang diberikan adalah hCG,gonadotropin releasing hormone
(GnRH)

atau

LH-releasing

hormone

(LHRH).

Terapi

hormonal

meningkatkan produksi testosterone dengan menstimulasi berbagai tingkat


jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi
bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen. Tingkat
testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin
rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
hormonal.

terapi

International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250IU/


kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada
anak lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5
minggu. Angka keberhasilannya 6 55%. Secara keseluruhan, terapi
hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di
leher skrotum atau undesensus bilateral. Efek samping adalah peningkatan
rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis.
Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat menginduksi fusie piphyseal
plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.(1) Pemberian hormonal pada
kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada kelainan bilateral,
sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum memuaskan.
Obat yang sering digunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan
intranasal.
b. Pembedahan
Apabila terapi hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk
kasus undesensus testis adalah orkidopeksi. Keputusan untuk melakukan
orkidopeksi harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis,
risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.

Gambar 3. Orkidopeksi
Orkidopeksi digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu
insisi dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain
dibuat pada skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan
dikeluarkan dari insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis
kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas,
(2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan
terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara
psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai
testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis
ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos.
Prinsip dasar orkidopeksi :
1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum

Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.


Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan
beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 12 bulan. Penelitian
melaporkan spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.
Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah.
1. kegagalan terapi hormonal
2. testis ektopik
3. terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis
yang terbuka
2.10 Komplikasi Undesensus Testis
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
undesensus testis adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi
testis. Disamping itu disebut juga terjadinya torsio testis, dan hernia
inguinalis.
a. Risiko Keganasan
Terdapat hubungan yang erat antara undesensus dan keganasan testis.
Insiden keganasan testis sebesar 1 - 6 pada setiap 500 laki-laki undesensus
testis di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada
anak dengan undesensus testis dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan
pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi undesensus makin
tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi
ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
Orkidopeksi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita
yang telah dilakukan orkidopeksi.
b. Infertilitas
Penderita undesensus testis bilateral mengalami penurunan fertilitas yang
lebih berat dibandingkan penderita undesesus unilateral, dan apalagi
dibandingkan dengan populasi normal. Penderita undesesus bilateral
mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal

(38% infertil pada undesesus bilateral dibandingkan 6% infertil pada


populasi normal), sedangkan pada undesesus unilateral berisiko hanya 2x
lebih besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
undesensus testis. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba undesensus
testis menunjukkan adanya penurunan volume testis, jumlah germ cells dan
spermatogonia dibandingkan dengan testis yang normal. Biopsi testis pada
anak dengan undesesus testis unilateral yang dilakukan sebelum umur 1
tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis
yang normal. Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak
setelah umur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur.
Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah
proses degenerasi lebih lanjut.
c. Hernia Inguinalis
Maksimum 90% dari UDT disertai menetapnya prosesus vaginalis.Hernia
inguinalis tidak langsung ditemukan banyak pada kasus penurunan testis
yang minimaldan dengan epididimis yang abnormal.Testis ektopik insiden
hernia inguinalisnya rendah.Walaupun menetapnya prosesus vaginalis
sering kecil pada operasi hernia sebaiknya digabungkan dengan orkidopeksi.
d. Torsio Testis
Torsi

testis

merupakan

komplikasi

kriptorkismus

yang

juga

penting.Kejadian ini bahkan dapat terjadi sebelum lahir.Diperkirakan bahwa


insidennya mungkin lebih tinggidibandingkan testis scrotal normal.Torsi
testis yang berhubungan dengan kriptorkismus biasanya torsi intravaginal,
yang

mungkin

diinduksi

banyaknya

kelainan

pada

persambungan

epididimis-testis, maupun karena kemungkinan terkena trauma pada testis


inguinal lebih tinggi dibandingkan testis skrotal.Torsi funikulus spermatikus
juga dapat terjadi sekunder terhadap suatu tumor pada testis kriptorkid.

BAB III
PENUTUP

Undescendcus

testis

(UDT)

atau

Kriptorkismus

adalah

gangguan

perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunansalah satu atau


kedua testis secara komplit ke dalam skrotum.Insiden UDT terkait erat
dengan umur kehamilan, dan maturasi bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3
% dan sekitar 3,4 % padabayi cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan
diikuti dengan penurunan insiden UDT. Prevalensinya menjadi sekitar 0,8
%pada umur 1 tahun dan bertahan pada kisaran angka tersebut pada usia
dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their
surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbells Urology Vol 1.
8thedition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000.
Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System.
Dalam:Tanagho EA, McAninch JW.Smiths General Urology . Edisi 17.
California:The McGraw Hill companies; 2000. h.23-45.
Basuki Purnomo. Testis Maldesensus. Dalam: Dasar Dasar Urologi. Edisi 2.
Jakarta: Sagung Seto. 2009 h. 137-140.
Michael JM, Herbert S, dkk. The Undecended Testis: Diagnosis, Treatment
and Long-Term Consequences. Dalam :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2737432/
( diakses: 1 April 2016)
Faizi M, Netty EP. Penatalaksanaan Undescendcus Testis Pada Anak. Dalam :
http://old.pediatrik.com/pkb/20060220-g2wryu-pkb.pdf
(diakses 1 April 2016)
Adi S, Any R. Tjahjodjati, dkk. Panduan Penatalaksanaan Pediatrik Urologi
di Indonesia. Dalam : http://www.iaui.or.id/ast/file/pediatric_urology.doc
(diakses 1 April 2016)

Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and longterm prognosis.Urol Clin North Am 2004; 31 (3): 469-80.
Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:
//www.emedicine.com/radio/topic201.htm
Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended Testicle: Diagnosis and
Management. AmFam Physician 2000; 62: 2037-44.

Ferlin A, Simonato M, Bartoloni L et al. The INSL3-LGR8/GREAT LigandReceptor Pair inHuman Cryptorchidism. J Clin Endocrinol Metab
Bajpai,A., Menon,P.S.N. 2008. Undescended Testis.in: Desai,M.P.,
Menon,P.s.N., Bhatia,V., editors. Pediatric Endocrine Disorders. 2ndEd. India:
Orient Longman Private, p.432-441.

Anda mungkin juga menyukai