Anda di halaman 1dari 21

Referat Ilmu Bedah

Undescencus Testiculorum
(UDT/Cryptorchidism)

Disusun oleh:

Stephen Theasal (1115022)


Michelle Augustine (1115030)
Oscar Miguna (1115144)
Timothy Imanuel (1115201)
Febe Novia (1115089)

Pembimbing:
dr. Eduard P. Simamora, Sp.B, Sp.BA

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

EMBRIOLOGI DAN ANATOMI


Perkembangan Sistem Genital
Kromosom seks dari embrio ditentukan dari jenis sperma (X atau Y) yang membuahi
oosit. Karakteristik morfologi pria dan wanita tidak mulai berkembang sampai minggu
ketujuh. Tahap awal dari sistem genital pada kedua jenis kelamin adalah sama.

Perkembangan Gonad
Gonad (testis atau ovarium) adalah organ yang memproduksi sel-sel kelamin (spema
atau oosit). Gonad berasal dari 3 sumber :
 Mesothelium (epitel mesoderman) yang melapisi dinding posterior abdomen
 Mesenkim dibawahnya (jaringan ikat embrionik)
 Sel germinal primordial (awal dari sel kelamin yang belum terdiferensiasi)
Tahap awal dari perkembangan gonad terjadi saat minggu kelima ketika daerah yang
menebal dari mesothelium terbentuk pada sisi medial dari mesonephros, ginjal primitive.
Proliferasi dari epitel ini dan mesenkim dibawahnya memproduksi tonjolan pada sisi
medial dari mesonephros, gonadal ridge dan gonadal cords. Sekarang gonad yang belum
terdiferensiasi terdiri dari korteks dan medulla. Pada embryo dengan kromosom XX,
korteks dari gonad terdiferensiasi menjadi ovarium, dan medullanya mengalami regresi.
Pada embryo dengan kromosom XY, medulla berdiferensiasi menjadi testis, dan korteks
mengalami regresi (Moore, Persaud, & Torchia, 2013).
Gambar 1.1 A, Embryo berusia 5 minggu yang mengilustrasikan migrasi dari sel-sel
germinal primordial. B, Potongan transversus. C, Potongan transversus yang
menunjukkan glandula suprarenal primordial, gonadal ridges, migrasi dari sel-sel
germinal primordial. D, Potongan transversus dari embryo berusia 6 minggu
menunjukkan gonadal cords. E, Gambaran lebih lanjut dari gonad yang belum
terdiferensiasi.
Sel Germinal Primordial
Sel kelamin besar dan bulat ini pertama dikenali pada 24 hari setelah pembuahan diantara
sel-sel endodermal dari vesikel umbilical dekat dari allantois. Saat pelipatan dari embryo,
bagian dorsal dari vesikel umbilical berubah menjadi embryo. Saat ini terjadi, sel-sel
germinal primordial bermigrasi ke sepanjang mesenterium dorsalis dari hindgut kearah
gonadal ridges. Saat minggu ke 6, sel germinal primordial memasuki mesenkim
dibawahnya dan tergabung kedalam gonadal cords. Mingrasi dari sel germinal primordial
diregulasi oleh stella gen, fragilis, dan BMP-4.

Determinasi Jenis Kelamin dari Kromosom


Jenis kelamin dari kromosom ditentukan dari apakah sperma X atau sperma Y yang
membuahi oosit X. Sebelum minggu ketujuh, gonad dari kedua kelamin adalah identik
dari penampilannya Pembentukan dari fenotip dari pria membutuhkan kromosom Y. Gen
SRY (sex-determining region on the Y) untuk penentuan factor testis (TDF) sudah
diterjemahkan didalam kromosom Y. TDF yang diregulasi oleh kromosom Y
mendeterminasi diferensiasi testikular. Dibawah pengaruh dari factor ini, gonadal cords
berdiferensiasi menjadi korda seminiferus (primordial dari tubulus seminiferous).
Ekspresi dari gen Sox9 dan Fgf9 berperan dalam pembentukan korda seminiferus. Absen
dari kromosom Y menghasilkan pembentukan formasi dari ovarium. Testosteron, yang
diproduksi oleh testis fetus, dihidrotestosteron dan hormone antimullerian (AMH),
mendeterminasi diferensiasi dari seksual pria normal, yang dimulai dari minggu ke-7.
Perkembangan ovarium terbentuk ketika tidak ada kromosom Y, dan dimulai dari minggu
ke-12. Diferensasi dari seksual wanita tidak bergantung pada hormon, bahkan tetap terjadi
walaupun ovarium tersebut tidak ada.

Penurunan Testis
Penurunan testis berhubungan dengan :
 Pembesaran dari testis dan atrofi dari mesonephroi, yang mengijinkan pergerakan
testis secara kaudal sepanjang dinding abdomen posterior
 Atrofi dari duktus paramesonephri diinduksi oleh Mullerian-inhibiting substance
(MIS), memperbolehkan testis untuk pindah secara transabdominal menuju cincin
inguinalis profunda.
 Pembesaran dari prosesus vaginalis membimbing testis memasuki canalis
ingunalis menuju skrotum.
Dalam 26 minggu, testis seharusnya sudah turun secara retroperitoneal dari region
lumbar superior ke dinding abdomen posterior kemudian ke cincin inguinalis profunda.
Perubahan posisi ini terjadi seiring pembesaran pelvis fetus dan batang tubuh dari embryo
memanjang. Pergerakan transabdominal dari testis juga akibat dari terbentuknya organ-
organ di dalam abdomen. Penurunan testis melalui canalis ingunalis menuju skrotum
dikontrol oleh androgen (contoh : testosteron) yang diproduksi oleh testis fetus.
Gubernakulum membentuk jalan melalui dinding abdomen anterior untuk prosesus
vaginalis. Gubernakulum adalah sebuah struktur yang menggabungkan bagian bawah
prosesus vaginalis dengan dasar skrotum. Struktur tersebut membantu penurunan testis
dengan melebarkan canalis inguinalis sehingga testis dapat mencapai skrotum.
Perkembangan lebih jauh dari organ viscera abdomen menyebabkan peningkatan tekanan
intra-abdomen sehingga membantu penurunan testis melalui canalis inguinalis.

Gambar 1.2 Penurunan testis.

Penurunan testis melalui canalis inguinalis kedalam skrotum biasanya dimulai pada
minggu ke-26 dan pada kebanyakan fetus membutuhkan 2 atau 3 hari. Pada minggu ke-
32, kedua testis terdapat di skrotum pada kebanyakan kasus. Setelah testis memasuki
skrotum, canalis inguinalis di sekitar spermatic cord berkontraksi (Rosai, 2011).
Gambar 1.3 Fase-fase penurunan testis.
Lebih dari 97% neonates full-term memiliki kedua testis didalam skrotum. Saat 3
bulan pertama setelah kelahiran, kebanyakan testis yang belum turun akan turun kedalam
skrotum. Proses dari penurunan penis menjelaskan mengapa duktus deferens terletak
didepan ureter. Pembuluh darah terbentuk ketika testis berlokasi di dinding abdomen
posterior. Ketika testis turun, mereka membawa duktus deferens dan pembuluh darah
bersama mereka. Ketika testis dan duktus deferens turun, mereka dilapisi oleh ektensi
fascia dari dinding abdomen.
 Perpanjangan dari fascia transversalis membentuk fascia spermatica interna.
 Perpanjangan dari musculus obliquus internus abdominis dan fascia menjadi
musculus cremaster dan fascia.
 Perpanjangan dari aponeurosis musculus obliquus externus abdominis menjadi
fascia spermaticus externa.
Gambar 1.4 Lapisan Spermatic Cord dan Testis.

Saat periode perinatal, proses vaginalis akan terobliterasi membentuk suatu membrane
serosa yang disebut tunica vaginalis dan melapisi bagi depan dan lateral dari testis.
Perkembangan dan pembentukan selanjutnya dari testis manusia terbagi menjadi 3 fase
mayor : (1) statis, dari lahir sampai umur 4 tahun; (2) perkembangan, dari usia 4-10 tahun;
dan (3) maturasi, dari usia 10 tahun sampai pubertas (Moore, Persaud, & Torchia, 2013).

Gambar 1.5 Asal-asal lapisan spermatic cord dan testis.


Anatomi Testis
Testis normal orang dewasa memiliki berat 15-19 gram, kanan biasa lebih berat 10%.
Testis dilapisi oleh 3 lapisan : tunica vaginalis, tunica albuginea dan tunica vasculosa.
Bagian posterior dari kapsul, disebut mediastinum, terdapat pembuluh darah dan lymph,
syaraf-syaraf, dan bagian mediastinal dari rete testis. Parenkim testis terbagi menjadi kira-
kira 250 lobulus, setiap lobules memiliki 4 tubulus seminiferus. Didalam tubulus ini
terdapat sel germinal diberbagai tahap perkembangan dan sel Sertoli. Tubulus seminiferus
terikat oleh membrane yang terbentuk dari lamina basalis, sel-sel myoid, dan jaringan ikat
kolagen.

Gambar 1.6 Anatomi Testis dan Adneksa.

Fungsi Testis
Testis berperan sebagai sistem reproduksi dan sistem endokrin. Sebagai sistem
reproduksi yaitu menghasilkan sperma (spertozoa) dan sebagai sistem endoktrin yaitu
menghasilkan hormos seks pria seperti testosteron. Kerja testis dibawah pengawasan
hormon gonadotropik dari kelenjar pituitari anterior yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan
Follicle Stimulating Hormone (FSH) (Tortora & Derrickson, 2012).
Anatomi Penis

Gambar 1.7 Anatomi Penis (Tortora & Derrickson, 2012).


UNDESENSCUS TESTICULOTUM
DEFINISI
Undesensus testis (UDT) / cryptorchidism adalah gangguan perkembangan dimana
terjadi kegagalan turunnya satu / dua testis ke dalam skrotum. Cryptorchidism berasal
dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis (latin) yang berarti testis.
Chryptorchdism murni adalah suatu keadaan dimana setelah usia satu tahun, satu atau dua
testis tidak berada didalam kantong skrotum, tetapi berada di salah satu tempat sepanjang
jalur penurunan testis yang normal. Sedang bila diluar jalur normal disebut testis ektopik,
dan yang terletak di jalur normal tetapi tidak didalam skrotum dan dapat didorong masuk
ke skrotum serta naik lagi bila dilepaskan disebut pseudocryptorchidism atau testis
retraktil.

INSIDENSI
Undesensus testis terjadi 30% pada bayi preterm dan 1-3% pada bayi aterm. Bayi dengan
berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800
gram sekitar 68,5 % UDT.

KLASIFIKASI
Terdapat 3 tipe UDT :
1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial melalui
jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba
(impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera kekanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya. Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi
terhentinya testis, menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal.
PATOFISIOLOGI
1. Kelahiran premature
Kelahiran premature mengurangi waktu bayi untuk tumbuh dan berkembang. Testis
terletak di abdomen sampai kehamilan bulan ketujuh, lalu pindah dari abdomen melalui
canalis inguinalis ke dalam skrotum.
2. Berat badan lahir rendah
Ini disebabkan karena kelahiran premature / intrauterine growth retardation
3. Paparan alcohol yang dikonsumsi ibu saat hamil
4. Paparan bahan kimia seperti pestisida
Pestisida dapat mengganggu fungsi fisiologis hormone
5. Gestational diabetes
6. Konsumsi kafein selama hamil
7. Genetik
Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig
insulinlike hormone 3) dan gen GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis
descent) dapat menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan
reseptor yang mempengaruhi perkembangan gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-
gen tertentu yang lain juga terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen
yang akan menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen yang
bertanggung-jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan
MIS.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur
mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi
inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada
saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang
berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan
mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan
penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT,
infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu,
dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan
pada posisi terlentang dengan ”frog leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang
hangat dan akan lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS
menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis
harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi ”menyapu” dan ”menarik”
terkadang testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis
didalam skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami
”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran
dan tekstur testis.
Teknik pemeriksaan testis.
A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai
dari SIAS. \
B&C: Bila teraba testis, ‘menggiring ‘
testis dengan ujung-ujung jari.
D: Memanipulasi ke-dalam skrotum

Lokasi UDT tersering terdapat pada


kanalis inguinalis (72%), diikuti
supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik akan
dapat menentukan lokasi UDT tersebut.

Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak teraba testis

Pemeriksaan Penunjang
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih
lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan
virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting
adalah 17-hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex. Setelah
menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3
bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat membantu
menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan
pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test
menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan
kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi
mengindikasikan anorchia. Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah
mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi.
Respon testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-
kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan
meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya
sekitar 2-3x.
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di
mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada penelitian
terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi
37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intra-abdomen. 17
Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama
diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang
lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga
dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis.

Laparoscopy
Metode ini merupakan metode invasif yang cukup aman dilakukan oleh ahli yang
berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan
lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal. Beberapa hal yang dapat dievaluasi
selama laparoscopy adalah: kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent
atau non-patent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang
sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang
mengindikasikan anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan
vas deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi UDT yang utama adalah memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan
keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan
terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).

Terapi Hormonal
Hal ini didasarkan fakta bahwa defisiensi aksis hipotalamus-pituitary-gonad
merupakan penyebab terbanyak UDT. Hormon yang biasa digunakan adalah hCG,
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Hormon
hCG mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan merangsang sel
Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen pada penurunan testis
belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord testis atau otot cremaster.
Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan. Rekomendasi yang sering
digunakan adalah dari International Health Foundation dan WHO yang
merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 1-6
tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur diberikan 2x
seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilan terapi hCG berkisar 25-55 % pada
penelitian tanpa kontrol, dan sekitar 6-21% pada penelitian buta acak. Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan terapi adalah: makin distal lokasi testis makin tinggi
keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap terapi hormonal, UDT
bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada unilateral. GnRH hanya
digunakan di Eropa, diberikan secara intranasal dengan dosis 1-1,2 mg per-hari selama 4
minggu. Lebih simple dan tidak menimbulkan nyeri, di samping itu tidak ada efek
samping, akan tetapi tidak lebih efektif dari hCG.

Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchidopexy. Keputusan untuk melakukan orchidopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila operasi
tersebut ditunda. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis spontan
sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun.
Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan morfologis degeneratif
testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan orchidopexy berkisar 67-
100 % bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis, dan
keterampilan ahli bedah.

Pria dengan UDT bilateral biasanya infertil. Ketika testis tidak berada dalam skrotum,
testis mengalami peningkatan suhu sehingga mengurangi spermatogenesis. Di abdomen
suhu lebih tinggi 10 derajat daripada di dalam skrotum. Ini dapat merusak sel-sel epitel
germinal testis. Sekarang direkomendasikan bahwa UDT harus direposisi dengan operasi
pada umur 2 tahun karena menurut penelitian telah terjadi penurunan spermatogonia
setelah umur 2 tahun. Pada usia 2 tahun sudah terjadi kerusakan sekitar 1/5 sel epitel
germinal testis. Pemberian chorionic gonadotropin efektif pada pasien dengan UDT
bilateral karena kemungkinan pasient tersebut mengalami kekurangan hormon daripada
anak-anak dengan UDT unilateral. Jika tidak terjadi penurunan testis setelah 1 bulan
terapi endokrin, maka harus dilakukan operasi. Anak-anak dengan UDT unilateral harus
menjalani operasi. Operasinya berupa insisi kombinasi pada inguinal dan skrotum.
Pembuluh darah dapat digerakkan, dan testis ditempatkan di dalam kantung dartos dalam
skrotum. Hernia inguinalis sering bersamaan dengan UDT. Ini harus diperbaiki saat
orchidopexy.
Pasien dengan testis yang tidak teraba harus dilakukan laparoscopy untuk mengetahui
lokasi testis. Jika spermatic cord ditemukan melintasi cincin interna / testis ditemukan
pada cincin dan dapat dipindahkan ke skrotum, insisi inguinal dibuat dan orchidopexy
dilakukan. Jika testis terdapat pada abdomen dan letaknya terlalu jauh untuk sampai ke
skrotum, maka digunakan pendekatan two-stage Fowler-Stephens. Pada tahap pertama,
A. testicularis dan V. spermatica interna diligasi lewat laparotomy / laparoscopy sehingga
akan terjadi neovasculogenesis. Beberapa bulan kemudian, tahap kedua dilakukan saat
testis intraabdomen dipindahkan ke dalam skrotum beserta dengan suplai darah
kolateralnya. Ini dilakukan dengan laparoscopy.

PHIMOSIS DAN BURIED PENIS


DEFINISI
Phimosis adalah suatu keadaan dimana kulit penis (preputium) melekat pada glans
penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran kemih, sehingga bayi dan anak
menjadi kesulitan dan rasa kesakitan pada saat buang air kecil.
Buried penis adalah kelainan kongenital dimana ukuran penis normal namun
tersembunyi di bawah kulit abdomen, cruris, atau skrotum.

KLASIFIKASI
Phimosis secara fisiologis terjadi secara alami pada bayi laki-laki yang baru lahir.
Patologis dari phimosis didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menarik kulup
setelah sebelumnya yang dapat ditarik kembali dan terjadi setelah masa pubertas,
biasanya sekunder oleh karena scar pada preputium. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi
kronis yang disebabkan oleh kurangnya memperhatikan kebersihan pada penis. Phimosis
seringkali terjadi pada anak-anak.
Phimosis terdiri dari dua macam yaitu phimosis yang sebenarnya (true phimosis) dan
phimosis palsu (pseudo phimosis). Phimosis yang sebenarnya adalah phimosis yang
disebabkan oleh sempitnya muara di ujung kulit kemaluan secara anatomis sedangkan
phimosis palsu adalah phimosis yang bukan disebabkan oleh kelainan anatomi melainkan
karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis bagian depan dengan glans
penis orificium urethra externa seakan-akan terlihat sempit.

a. Phimosis fisiologis b. phimosis patologis

ETIOLOGI
Phimosis dapat terjadi pada umur berapapun, biasanya pada pria yang belum
disirkumsisi. Pada pria tua yang diabetes, balanoposthitis kronik dapat menyebabkan
phimosis. Anak-anak < 2 tahun jarang mengalami true phimosis, preputiumnya yang
sempit akan membuka perlahan-lahan dan akhirnya akan terjadi retraksi preputium yang
normal pada glans penis. Pria dewasa yang mengalami phimosis kemungkinan
disebabkan karena balanitis, balanoposthitis, diabetes, atau keganasan.

PATOFISIOLOGI
Phimosis fisiologis terjadi karena adanya adesi lapisan epitel pada preputium dengan
glans. Adesi ini akan hilang secara spontan dengan retraksi preputium intermiten dan
ereksi, sehingga seiring dengan bertambahnya umur, phimosis fisiologis akan sembuh
dengan sendirinya.
Kebersihan yang buruk dan balanitis/balanoposthitis rekuren dapat menyebabkan
terbentuknya scar pada preputium sehingga menyebabkan phimosis patologis. Retraksi
preputium yang dipaksakan dapat menyebabkan luka kecil pada orificio preputium yang
juga dapat menimbulkan scar dan phimosis. Orang tua berisiko mengalami phimosis
sekunder karena berkurangnya elastisitas kulit dan jarangnya ereksi. Pasien dengan
phimosis, baik fisiologis dan patologis, bersiko berkembang menjadi paraphimosis ketika
preputium ditarik secara paksa melewati glans penis.
Buried penis kongenital disebabkan karena gangguan perkembangan dimana fascia
dartos tidak elastic sehingga kulit penis tidak dapat bergerak dengan bebas melewati
jaringan di bawahnya pada corpus penis. Fascia dartos yang tidak elastis ini mencegah
penis ekstensi ke depan dan menyebabkan penis tersembunyi di bawah pubis. Faktor lain
yang menyebabkan buried penis kongenital adalah prepubic fat yang berlebihan, loose
skin, posisi terpisahnya cruris yang abnormal (posisi rendah), fascia Buck dan tunica
albuginea yang terlekat abnormal, lekatan yang kurang antara fascia dartos dan kulit
dengan fascia Buck.

DIAGNOSIS
Dari anamnesis dapat diketaHui beberapa hal. Orang tua dari pasien yang
menderita phimosis fisiologis biasanya membawa pasien ke dokter setelah mengetahui
ketidakmampuan anaknya untuk menarik kulup selama pembersihan rutin atau pada saat
memandikan sang anak. Orangtua juga mungkin merasa khawatir karena “ballooning”
pada preputium pada saat proses miksi, yang sebenarnya hal itu normal pada anak-anak
laki-laki. Dari segi phimosis patologis bisa diketahui dari anamnesis pada laki-laki yang
mengalami nyeri pada saat ereksi, ada pula gejala hematuria, infeksi saluran kemih yang
berulang, nyeri pada preputium atau melemahnya pancaran urin pada saat miksi. Dari
pemeriksaan fisik, pada phimosis didapatkan bahwa preputium yang tidak dapat ditarik
kearah proksimal hingga melewati glans penis. Pada phimosis fisiologis, orificio
preputium tidak terdapat scar atau jaringan parut dan terlihat sehat/baik-baik saja.
Sedangkan pada phimosis yang patologis dapat terlihat kontraksi dari cincin putih fibrosa
di sekitar orificio preputium.

PENATALAKSANAAN
Kortikosteroid topikal
Ointment ini digunakan untuk melunakkan preputium sekitar penis sehingga
preputium dapat dengan mudah diretraksi. Ointment ini dioleskan 2x / hari selama 6-8
minggu bersamaan dengan retraksi manual 2x/hari. Ketika preputium dapat sepenuhnya
diretraksi, ointment dihentikan dan lakukan retraksi manual harian (selama mandi dengan
air hangat dan buang air kecil) akan mencegah phimosis dari rekurensi. Kortikosteroid
yang digunakan adalah hidrokortison 2,5%, betametason 0,05%, triamsinolon 0,01%, dan
fluticasone propionate 0,05%.

Sirkumsisi
Sirkumsisi pada pria yaitu dilakukan operasi pembuangan dari preputium.
Indikasi sirkumsisi : phimosis, paraphimosis, balanoposthitis rekuren/severe, infeksi
traktus urinarius rekuren
Komplikasi sirkumsisi : perdarahan, infeksi (local/sepsis), ulkus pada glans/meatus,
deformitas penis
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. C. (2010). Schwartz's Principles of Surgery, Ninth Edition. New York:


McGraw-Hill.
Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD, eds. Pediatric
Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York: Saunders, 2003:
173-4.
Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended Testicle: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician 2000; 62: 2037-44.
Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular Descent and
Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75.
Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long-term
prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31 (3): 469-80.
Moore, K. L., Persaud, & Torchia, M. G. (2013). The Developing Human : Clinically
Oriented Embryology. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Richard A Santucci, MD, FACS, Chief of Urology, Detroit Receiving Hospital ;
Phimosis, Adult Circumcision, and Buried Penis
(http://emedicine.medscape.com/article/442617-overview)
Rosai, J. (2011). Surgical Pathology. Philadelphia: Elsevier.
Tortora, J. G., & Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy & Physiology 13th
Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
USCF. (2015). Phimosis. Retrieved from University of California, San Francisco:
https://urology.ucsf.edu/patient-care/children/phimosis
Wilcox DT, Creighton S, Woodhouse CRJ, Mouriquand PDE. Urogenital Implications of
Endocrine Disorders in Children and Adolescents. In: Brook CGD, Hindmarsh
PC, eds.
Clinical Pediatric Endocrinology. London: Blackwell Science Ltd, 2001: 222-6.

Anda mungkin juga menyukai