Anda di halaman 1dari 29

LAPORANKASUS

APRIL

2016

KRIPTORKISMUSUNILATERALDISERTAI
HERNIAINGUINALISLATERALISDEXTRA
REPONIBEL

Oleh:
FARAMITANURANIABIDIN,S.Ked
N11114040

Pembimbing:
Dr.ALFRETHLANGITAN,Sp.B
DIBUATDALAMRANGKATUGASKEPANITERAANKLINIK
ILMUBEDAH
FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASTADULAKO
PALU
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa janin, testis berada di rongga abdomen dan beberapa saat sebelum bayi
dilahirkan, testis mengalami desensus testikulorum atau turun ke dalam kantung skrotum.
Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum,
antara lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis dan refleks dari otot kremaster,
(2) perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3) dorongan
dari tekanan intraabdominal.1
Oleh karena sesuatu hal, proses desensus testikulorum tidak berjalan dengan baik
sehingga testis tidak berada di dalam kantong skrotum (maldesensus). Dalam hal ini
mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang
normal, keadaan ini disebut kriptorkismus.1
Kriptorkismus merupakan kegagalan penurunan testis normal ke dalam scrotum.
Testis dapat berada di peritonium anulus inguinalis internus, canalis inguinalis atau anulus
inguinalis eksternus. 1
Resiko yang mungkin dapat timbul pada kriptorkismus yaitu hernia inguinalis ,
keganasan, gangguan fertilitas, torsio tetstis .2
Pada kasus ini akan dibahas kriptorkismus yang disertai dengan hernia inguinalis
lateralis yang terjadi pada pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Testis
P
enentuan jenis kelamin dari mudigah atau embrio adalah suatu proses yang
rumit yang ditentukan oleh ekspresi gen. Kromosom Y yang memiliki gen
penentu testis SRY (Sex determining region on Y) merupakan kunci dari dismorfisme
seksual. Terdapatnya SRY protein atau disebut testicular determining factor
19,20

tersebut akan mengarahkan perkembangan kelamin pria.


P
embentukan gonad, dimulai dari adanya gonad primitif di genital ridge
pada setiap sisi embrio. Sampai dengan minggu keenam perkembangan gonad belum
menunjukkan karakteristik morfologis pria atau wanita, gonad ini disebut gonad
indeferen. Gen SRY yang terdapat pada kromosom Y akan memacu proses
diferensiasi gonad indiferen menjadi testis dan merangsang sel interstitial Leydig
untuk menghasilkan testosteron melalui proses steroidogenesis dan pada sel
sustentakuler

Sertoli

untuk

memicu

keluarnya

Anti-Mullerian

Hormone

19,20

(AMH).
T
estosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig akan merangsang perubahan
duktus mesonefrikus (duktus Wolfii) menjadi duktus efferen, epididimis, duktus
deferens, dan vesikula seminalis. Turunan testosteron yaitu dehidrotestosteron
(DHT) akan merangsang pertumbuhan genitalia eksterna pria dan prostat. AMH
yang

disekresi

oleh

sel

Sertoli

akan

menyebabkan

paramesonefrikus (duktus Mulleri) melalui apoptosis.

19

regresi

duktus

Testis adalah organ reproduksi primer pada pria. Organ ini berbentuk ovoid
yang berperan sebagai organ reproduksi dan kelenjar endokrin. Testis terdapat di
dalam sebuah kantong yaitu kavum skroti oleh jaringan skrotum yang terdiri dari:
kulit, tunika Dartos, fascia spermatica externa, otot cremaster, dan fascia spermatica
interna.3
L
etak testis kiri pada umumnya lebih rendah dibanding dengan testis
kanan. Permukaan testis bagian anterior, medial, dan lateral dilapisi oleh jaringan
skrotum,

tunika

vaginalis

lamina

parietalis,

lamina

visceralis, sedangkan

20

permukaan posterior hanya dilapisi sebagian serosa.


T
estis masuk ke dalam kavum skrotum melalui proses descensus testiculorum.
Pada waktu awal kehidupan fetal, terdapat suatu jaringan yang disebut sebagai
gubernaculum testis. Gubernaculum testis ini berikatan pada tiga tempat, yaitu:
testis, bagian peritoneum, dan duktus Wolfii yang akan berkembang menjadi
epididimis dan duktus deferens. Semua itu akan tertarik menuju ke skrotum,
sehingga bagian peritoneum ini akan membentuk suatu tabung yang disebut
processus vaginalis peritonei. Testis akan melekat pada bagian terluar tabung ini,
dan tertarik menuju ke skrotum. bagian atas dari tabung ini akan mengalami
obliterasi, sedangkan bagian bawah yang menempel pada testis akan mengalami
invaginasi dan membentuk tunika vaginalis. Pada umur tujuh bulan kehamilan testis
sudah berada pada kanalis inguinalis, dan berada pada dasar skrotum setelah
lahir.

Testis memiliki tiga lapisan dari bagian luar hingga dalam, yaitu tunika
vaginalis, tunika albuginea, dan tunika vaskulosa.

Tunika albuginea adalah

lapisan jaringan ikat yang tebal dan membagi testis menjadi lobulus-lobulus kecil.

ada

bagian

posterior

membentuk mediastinum testis.

jaringan

ikat

ini

akan

menebal

dan

Mediastinum testis adalah tempat masuk


6

pembuluh darah, pembuluh limfatik, saraf, dan rete testis. Rete testis merupakan
tempat muara dari tiap lobulus testis yang nantinya akan dibawa menuju ke
epididimis melalui duktus efferen untuk keluar dari testis.

Testis memiliki peranan yang penting pada sistem reproduksi pria, yaitu
sebagai organ reproduksi dan kelenjar endokrin. Spermatogenesis adalah proses
pembelahan untuk menghasilkan spermatozoa yang terjadi pada testis dalam
menjalankan perannya sebagai organ reproduksi. Proses ini dimulai dari
pembelahan

dan

Spermatogenesis

diakhiri

dengan

memilki

empat

pembentukan
tahap

spermatozoa

utama,

yaitu:

matur.
mitosis

(spermatogoniogenesis), meiosis, spermiogenesis, dan spermiasi. Waktu yang


diperlukan untuk spermatogenesis adalah 74 hari.

permatogenesis

dimulai

dari

tahap

proliferasi

dan

diferensiasi

spermatogonia. Spermatogonia adalah sel benih primitif yang terletak pada


membran basalis tubulus seminiferus. Sel ini memiliki dua tipe, yaitu tipe A dan
tipe B. Spermatogonia tipe B berkembang dari tipe A. Proses ini berlangsung
dengan satu spermatogonia tipe B menyebrang blood testis barrier dan melanjut
sebagai satu spermatosit primer yang memiliki 46 kromosom (44+XY) dan DNA
mengandung 4N (tetraploid) melalui proses mitosis.

Terbentuknya spermatosit primer merupakan awal dari fase meiosis.


Satu spermatosit primer akan mengalami meiosis I dan menjadi dua spermatosit
sekunder yang memiliki 23 kromosom (23+X, 23+Y) dan tiap sel memiliki dua
kromatid jadi jumlah DNA 2N (diploid). Spermatosit sekunder ini sangat cepat
masuk pada fase meiosis II, sehingga sel ini sukar untuk diteliti.

23,29

Hasil dari

meiosis II adalah empat spermatid. Karena antara meiosis I dan II tidak terdapat

fase S (replikasi DNA), sehingga jumlah DNA berkurang menjadi setengah ketika
kromatid memisah dan jumlah DNA 1N (haploid). Spermatid berdasarkan bentuk
19

nukleusnya diklasifikasikan menjadi spermatid awal, pertengahan, dan akhir.


S

permatid akhir ini yang akan mengalami kondensasi dan perubahan

nukleus, pembentukan flagel, serta pelepasan sebagian besar sitoplasma melalui


proses spermiogenesis. Tahapan pertama dari proses morfologik ini adalah fase
golgi, terkumpulnya granula badan golgi spermatid membentuk granula akrosom
yang berada di vesikula akrosom. Selama fase akrosom, vesikula akrosom akan
menutupi setengah bagian anterior nukleus spermatid yang memadat disebut
akrosom. Akrosom mengandung beberapa enzim hidrolitik, seperti hialuronidase,
neuraminidase, fosfatase asam, dan protease yang memiliki aktivitas seperti
tripsin. Enzim-enzim inilah yang memudahkan sperma menembus corona radiata
dan zona pelusida sel ovum. Pada fase ini membran plasma menuju ke posterior
nukleus menutupi flagel dan mitokondria beragregasi membentuk suatu selubung
pada bagian proximal dari flagel. Fase maturasi ditandai dengan pelepasan sisa
sitoplasma spermatid menjadi badan residual yang akan difagositosis oleh sel
Sertoli.

25

Fase akhir spermatogenesis adalah spermiasi, yaitu pelepasan

spermatozoa dari epitel tubulus seminiferus.

20

Gambar 3. Skema spermatogenesis.

2.2 Kriptorkismus
2.2.1 Definisi
Kriptorkismus adalah kelainan genitourinaria ditandai dengan testis tidak turun
secara normal kedalam skrotum. Bila testis kanan tidak turun disebut kriptorkismus
kanan, begitupun sebaliknya. Jika kedua testis yang tidak turun disebut dengan
kriptorkismus bilateral. Berdasarkan lokasi dimana teraba, di inguinal, perskrotal,
sliding dan tidak teraba. Disebut sliding/gliding testis apabila testis teraba di bagian atas
skrotum dan bisa ditarik turun tetapi tidak bisa sampai kedasar dan memerlukan terapi
2.2.2

hormonal.10
Epidemiologi
Dari laporan scorer yang telah banyak dikutip penulis lain, telah diketahui bahwa
insiden terjadinya kriptorkismus sangat dipengaruhi oleh umu kehamnilan dan tingkat
kematangan.11

2.2.3 Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut diatas akan berpotensi
menimbulkan kriptorkismus. Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi
pada gen INSL3 dan GREAT dapat menyebabkan kriptorkismus. INSL3 dan GREAT
merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga terbukti
menyebabkan kritorkismus, antara lain gen reseptor androgen yang akan menyebabkan
AIS serta beberapa gen yang bertanggung jawab pada differensiasi testis semisal :
PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan MIS.11

Kriptorkismus dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri ataupun


bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex dan kelainan bawaan
lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia kemungkinan
lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom.11

Terdapat faktor keturan terjadinya kriptorkismus pada kasus-kasus isolated,


disamping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami kriptorkismus. Sekitar 4%
anak-anak mempunyai ayah yang kriptorkismus, dan 6-8% mempunyai saudara lakilaki yang kriptorkismus atau secara umum terdapat resiko 3x terjadi kriptorkismus pada
laki-laki yang mempunyai anggota keluarga yang mengelami kriptorkismus dibanding
poulasi umum.12
2.2.4 Klasifikasi3
Terdapat 3 tipe kriptorkismus atau yang biasa disebut dengan kriptorsidism, yaitu :
-

Ttrue undescended: testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal,

tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis, menjadi:
abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2).4 Gliding testis atau sliding testis
adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi
hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.

Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus vaginalis
yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko terjadinya torsi.

Dengan melakukan overstrecht selama + 1 menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk
melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam
skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-kanalis inguinalis.
2.2.5

Diagnosis14
- Anamnesis
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi
prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen),
riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah
teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile
akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun).
Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih
besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak
menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia.
-

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom
tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg
position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila
menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis kearah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk
diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan menarik terkadang
testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis
didalam skrotum selama 1 menit, otot- otot cremaster diharapkan akan mengalami
fatigue; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis
yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.

Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.

Gambar 3. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari SIAS.
B&C: Bila teraba testis,menggiring testis dengan ujung-ujung jari. D: Memanipulasi
ke-dalam skrotum. (Dikutip dari : Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended
Testicle: Diagnosis and Management. Am Fam Physician 2000; 62: 203744)
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal
akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.3

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti


supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang
baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut.5
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan
kromosom XX yang mengalami female pseudo- hermaphroditism yang berat; atau
Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero. Sedangkan simple UDT
merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur,
akan

tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama

kehidupannya.
Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis
yang dapat dipakai pegangan untuk menentukan kemungkinan penyebab pada
pemeriksaaan fisik..

Tabel 3: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak teraba testis
Tanda Klinis Penyerta
Tanpa kelainan lain

Kemungkinan Penyebab
Simple UDT, anorchia, female pseudo-hermaphroditsm

Mikro penis dengan atau tanpa hipospadia

Gangguan sintesis androgen partial atau Androgen

Anosmia dan mikro penis


Gangguan intelektual atau dismorfik
Mikro penis dan defek midline
Mikro penis dan hipoglikemi neonatal
Perawakan tinggi (testis mungkin teraba di

Sindrom Kallmann
Sindrom tertentu
Defisiensi gonadotropin
Multiple pituitary hormone deficiency
Sindrom Klinefelter

(Dikutip dari : Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD, eds. Pediatric
Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York: Saunders, 2003: 173-4)

Pemeriksaan laboratoirum12
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut.3 Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal
(yang

terpenting

adalah

17-hydroxyprogesterone)

untuk

menyingkirkan

kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila
umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan
dengan

melakukan

stimulasi

gonadotropin hormone).

test

Ketiadaan

menggunakan

hCG

peningkatan kadar

(human
testosteron

chorionic
disertai

peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.


Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon
testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi
hCG hanya sekitar 2-3x.

Tabel 4: Beberapa macam hCG test yang bisa digunakan.


Test

Age

hCG regimen

Timing of androgen samples

1
2

Infancy and childhood 1000 IU im daily x 3


Infancy and childhood 1000 IU im twice weekly x

Adolescence

2000 IU im on days 0 and 3

Days 0 and 3
Day 0 and 24 h after the last
injection
Days 0, 3 and 5

(Dikutip dari : Honour JW, Savage MO. Testicular Endocrine Function. In: Ranke MB, ed. Diagnostics of
Endocrine Function in Children and Adolescents. Heidelberg, Leipzig: Johan Ambrosius Barth Verlag, 1996:
314-25)

Pemeriksaan pencitraan

USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal,
di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.3 Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya
dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi
testis intra-abdomen.17
Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan
USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih
besar (belasan tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan
testis.5

Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi

vanishing testis ataupun anorchia.17


Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia.4,5

Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus

pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).5
Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih
besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.4,5

Laparoskopi

Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba
testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman
oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar
dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal.3,4,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.3

2.2.6

Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy)3,6
- Terapi Hormonal
Terapi hormonal pada UDT telah dimulai semenjak tahun 1940-an, terutama banyak
digunakan di Eropa.3,9

Hal ini didasarkan fakta bahwa defisiensi aksis

hipotalamus-pituitary-gonad merupakan penyebab terbanyak UDT.1,9

Hormon

yang biasa digunakan adalah hCG, gonadotropin-releasing hormone (GnRH)


atau LH-releasing hormone (LHRH).3
Hormon hCG mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan
merangsang sel Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen
pada penurunan testis belum diketahui pasti, tapi diduga mempunyai efek pada cord
testis atau otot cremaster.3

Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan. Rekomendasi yang


sering digunakan adalah dari International Health Foundation dan WHO yang
merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 16 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur
diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.3,4 Angka keberhasilan terapi hCG
berkisar 25-55 % pada penelitian tanpa kontrol, dan sekitar 6-21% pada
penelitian buta acak. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah:
makin distal lokasi testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin
respon terhadap terapi hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi
hormonal daripada unilateral.3,4
GnRH hanya digunakan di Eropa, diberikan secara intranasal dengan dosis 1-1,2
mg per-hari selama 4 minggu. Lebih simple dan tidak menimbulkan nyeri, di
samping itu tidak ada efek samping, akan tetapi tidak lebih efektif dari hCG.1,3
-

Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila
operasi tersebut ditunda.1
Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis spontan sampai
umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun.1
Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan morfologis
degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.9
Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita,
ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.3

2.2.7 Komplikasi
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis, di
samping itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.1
- Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika.
Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan
UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan
testis normal.2,3,7
Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis
abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding
testis inguinal.3,7
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita

yang telah dilakukan orchiopexy.2,3


Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal.2,3,7

Penderita UDT bilateral mempunyai risiko

infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal (38% infertil


pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi normal),
sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.2,3
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
UDT. Biopsi pada anak- anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis

yang

normal. Biopsi testis

pada

anak

dengan UDT

unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang


tidak berbeda bermakna dengan testis yang normal. Perubahan gambaran
histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1 tahun, semakin

memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan,


penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.18

2.2.8

Prognosis6
Menurut Docimo kesuksesan operasi UDT letak distal anulus inguinalis
internus sebesar 92%, letak inguinal (89%), orchidopexy teknik mikrovaskuler
(84%),

orchidopexy

abdominal

standar

(81%)

staged

Fowler-Stephens

orchidopexy (77%), Fowler-Stephens orchidopexy standar (67%) UDT biasanya


turun spontan tanpa intervensi pada tahun pertama kehidupan. Resiko terjadinya
keganasan lebih tinggi di banding testis normal. Fertilitas pada UDT bilateral:
50% punya anak, sedang UDT unilateral 80%.

BAB III
STATUS PASIEN
1. Identitas
Nama

: Tn.M

Tanggal Masuk : 15-03-2016

Umur

: 45 tahun

Berat Badan

: 48 kg

JK

: Laki-laki

Ruangan

: Garuda

Agama

: Islam

Rumah Sakit : RSU Anutapura

2. Anamnesis
Keluhaan utama

: Buah zakar sebelah kanan naik ke arah perut

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk dengan keluhan buah zakar sebelah kanan sering naik ke perut dan tidak
teraba di dasar buah zakarnya, yang dialami sejak kecil dan memberat sejak seminggu yang
lalu. Keluhan ini disertai dengan keluhan nyeri hebat jika buah zakar kanannya naik ke
perut dan nyeri menghilang jika mulai turun. Keluhan lain yaitu muncul benjolan di lipatan
paha kanan yang muncul kurang lebih sebulan yang lalu, benjolan ini tidak nyeri dan dapat
dimasukkan kembali dengan menggunakan tangan. Benjolan ini muncul jika mengedan ,
beraktivitas dan batuk , hilang jika didorong dengan tangan dan berbaring. Pasien tidak
mengeluhkan mual, muntah dan demam., BAB dan BAK lancar.

Riwayat penyakit sebelumnya

Pasien mengaku bahwa sejak kecil buah zakar kanannya tidak pernah mencapai dasar,
dan biasanya teraba diatas pertengahan antara pangkal paha dan pangkal penis. Keluhan ini
tidak pernah diobati sebelumnya karena pasien tidak merasa terganggu.
Riwayat pengobatan

Pasien seminggu lalu berobat dipoli karena terjadi serangan nyeri hebat karena buah
zakar kanannya naik dan muncul benjolan dilipatan paha.
Riwayat trauma

Tidak ada riwayat trauma


Riwayat keluarga

Pasien mengaku pamannya juga mengalami hal yang sama namun dikedua buah
zakarnya. Sekarang pasien mempunyai seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang diakui
pasien anak ini sangat diidam-idamkan.
Status generalisata

: Sakit Ringan / Composmentis / Gizi cukup

Tanda vital

TD

120/80 mmHg

Pernapasan

20x/m

Nadi

80x/m

Suhu aksilla

36,8 C

Kepala
Leher

: Normocephal, anemis -/-, ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/+


: Pembesaran KBG

Thorax

Paru-paru
Inspeksi

: Pergerakan simetris, retraksi tidak ada

Palpasi

: Vocal fremitus simetris kiri dan kanan

Perkusi

: sonor dikedua lapang paru

Auskultasi

: Bronchovesikular +/+, Rh -/-, Wh -/-

Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung normal

Auskultasi

: Bunyi jantung I/II murni reguler , tidak terdengan murmur

Abdomen
Inspeksi

: Kesan datar, massa -, skar -,

Auskultasi

: Peristaltik usus + kesan normal, tidak terdengar peristaltik d inguinal


dextra, bising aorta -,

Perkusi

: Timpani di 4 kuadran, tidak ada nyeri ketok

Palpasi

: Teraba massa diinguinal dextra uk. 4x2cm , berbentuk lonjong

mobile,

tidak ada nyeri dapat didorong kembali, tidak ada nyeri tekan dibagian
abdomen lain, hepatosplenomegali tidak ada.

Genitalia

: Inspeksi terlihat ukuran skrotum dextra mengecil, teraba testis sebesar


kelereng di subscrotalis, skrotum sinistra dalam batas normal. Alat
genitalia lain dalam batas normal

Ekstermitas

Superior

: Akral hangat +/+, edema -/-

Inferior

: Akral hangat +/+, edema -/-

Status lokalisasi : Massa teraba diregio inguinal dextra, teraba lunak, mobile, tidak nyeri jika
ditekan, mudah dimasukkan kembali dengan jari, warna sama dengan kulit
sekitar. Teraba testis dextra sebesar kelereng di suprascrotalis.
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
Darah Rutin
RBC : 4,6 x 1012/L

(4,5-6,5)

WBC : 10,3 x 1012/L

(4,0-10,0) (N)

Hb

: 11,3 g/dL

(12-18)

(N)

Hct

: 31,6 %

(35-32)

(N)

Plt

: 535 ribu/ul

(150-450) (N)

(N)

4. Resume
Lakilaki usia 45 tahun masuk RS dengan keluhan nyeri akibat retraktsi testis ke arah
abdomen, dan tidak teraba didasar . Testis teraba sebesar kelereng disubscrotalis, keluhan
lain yaitu massa di inguinal dextra, mobile, tidak nyeri, muncul jika batuk, mengedan dan
berkativitas berat, hilang jika baring dan dimasukkan. Nausea - , vomitus -, febris -, BAB
dan BAK lancar. Riwayat keluhan ini sudah dialami sejak kecil oleh pasien namun tidak
diobati, paman pasien juga mengalami hal yang sama.
TD 120/80 mmHg

N 80x/m

Pemeriksaan Fisik

R 20x/m

S 36,8 C

Abdomen teraba massa lonjong di inguinal dextra uk.4x2cm, lunak, mobile dan tidak nyeri.
Genitalia terlihat ukuran skrotum yang tidak simetris, testis dextra teraba sebesar kelereng, di
subscrotalis dextra
5. Diagnosis Kerja
Kriptorkismus dextra + Hernia Inguinalis lateralis reponibilis dextra
6. Rencana Penatalaksanaan
Herniorahpy dan Orchidopexy
7. Prognosis
Dubia

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus kali ini penentuan diagnosis


didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaa fisik. Pada
anamnesis pasien mengeluhkan testis kanannya naik
dan jika turun tidak sampai ke dasar. Keluhan ini
disertai dengan nyeri hebat jika testisnya naik dan
nyeri menghilang bila turun. Hal ini merupakan tandatanda terjadinya kriptorkismus. Kriptorkismus adalah
kelainan genitourinaria ditandai dengan testis tidak
turun secara normal kedalam skrotum. Bila testis
kanan tidak turun disebut kriptorkismus kanan,
begitupun sebaliknya. Jika kedua testis yang tidak
turun

disebut

dengan

kriptorkismus

bilateral.

Berdasarkan lokasi dimana teraba, di inguinal,


perskrotal,

sliding

dan

tidak

teraba.

Disebut

sliding/gliding testis apabila testis teraba di bagian


atas skrotum dan bisa ditarik turun tetapi tidak bisa
sampai kedasar dan memerlukan terapi hormonal.
Pada pasien ini testisnya mengalami sliding atau
gliding dimana testis pasien teraba disuprascrotalis
dan bisa ditarik turun namun tidak bisa sampai ke
dasar.

Gliding testis harus dibedakan dengan testis


yang retraktil, gliding testis terajadi akibat tidak
adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai
processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat
mobile dan meningkatkan risiko terjadinya torsi.
Kriptorkismus biasanya terdiagnosis pada saat
usia bayi namun pada pasien ini tidak menyadari
bahwa hal ini merupakan kelainan genital bawaan
yang membutuhkan penanganan. Pasien ini sekarang
berumur 45 tahun, menurut pengakuan pasien sejak
kecil testisnya tidak teraba didasar namun belum ada
keluhan nyeri. Maka dari itu pasien tidak pernah
memeriksakan hal tersebut.
Dari riwayat keluarga pasien juga mengaku
bahwa paman pasien mengalami hal yang sama
namun terjadi dikedua testis. Hal ini sudah sesuai teori
dimana

terdapat

faktor

keturunanan

terjadinya

kriptorkismus pada kasus-kasus isolated, disamping


itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami
kriptorkismus. Sekitar 4% anak-anak mempunyai
ayah yang kriptorkismus, dan 6-8% mempunyai
saudara laki-laki yang kriptorkismus atau secara
umum terdapat resiko 3x terjadi kriptorkismus pada
laki-laki yang mempunyai anggota keluarga yang
mengelami kriptorkismus dibanding poulasi umum.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan testis ukuran skrotum dextra mengecil, teraba testis
sebesar kelereng di subscrotalis, kemudian testis ditarik ke skrotum dan dipertahankan selama 1
menit, kemudian dilepas lalu testis dengan segera kembali ke supraskrotalis. Hal ini sudah sesuai
teori dimana pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg
position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan jelly
atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum. Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan
menarik terkadang testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi
testis didalam skrotum selama 1 menit, otot- otot

cremaster diharapkan akan

mengalami

fatigue; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Pada

pemeriksaan

laboratorium

penting

dilakukan pemeriksaan hCg namun pemeriksaan ini


tidak bermakna pada pasien dewasa seperti pada kasus
ini. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan
pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan
dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG
(human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan
peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan
LH/FSH

setelah

dilakukan

stimulasi

mengindikasikan anorchia.1,3
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron
pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada hCG
test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG test bervariasi
antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada
masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah
stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
Untuk pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan pencitraan seperti USG, CT-Scan dan
MRI, namun beberapa pemeriksaan tersebut memiliki indikasi masing-masing.
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil risiko terjadinya infertilitas
dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan
terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). Mengingat 75 % kasus UDT

akan mengalami penurunan testis spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya
dilakukan setelah umur 1 tahun.1

Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi

perubahan morfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.9 Keberhasilan
orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis,
dan keterampilan ahli bedah.
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama
yang

dapat

terjadi

pada

kriptorkismus

adalah

keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi


testis, di samping itu disebut juga terjadinya torsi
testis, dan hernia inguinalis. Pada pasien ini terjadi
komplikasi hernia inguinalis lateralis dextra reponibel
yang terdiagnosis sebulan sebelum pasien masuk
rumah sakit. Menurut teori Sekitar 90% penderita
UDT mengalami hernia inguinalis lateralis ipsilateral
yang

disebabkan

oleh

kegagalan

penutupnan

processus vaginalis. . Hernia repair dikerjakan saat


orchydopexy . Hernia inguinal yang menyertai UDT
segera dioperasi untuk mencegah komplikasi, jika
terjadi hernia maka pembedahan segera dilakukan
yaitu hernioraphy untuk mengata hernia dan dilakukan
orchidopexy untuk mengatasi kriptorkismusnya.
Infertilitas merupakan tidak mendapatkannya
keturunan lewat dari 1 tahun dengan syarat melakukan
seks aktif. Pada pasien ini terjadi kriptorkismus
unilateral dimana infertilitas bisa terjadu namun
resikonya hanya 2x lebih besar dibanding dengan
populasi normal sedangkan untuk kriptorkismus
bilateral mempunyai resiko 6x lebih besar dibanding
populasi normal. Pasien memiliki satu orang anak
yang didapatkan setelah 8 tahun menikah hal ini telah
sesuai teori.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta.
2. Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
3. Danon M, Friedman SC. Ambiguous Genitalia, Micropenis, Hypospadias, and
Cryptorchidism. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker,
1996: 281-301.
4. Kolon TF. Cryptorchidism. In: http://www.emedicine.com/med/topic2707.htm ( diakses
11 Nopember 2004 ).
5. Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long-term
prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31 (3): 469-80.
6. Gill B, Kogan S. Cryptorchidism Current Concept. Pediatr Clin North Am 1997; 44
(5):1211-27.
7. Dogra

VS,

Mojibian

H.

Cryptorchidism.

In:

http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm (diakses 11 Nopember 2004 )


8. Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended Testicle: Diagnosis and Management.
AmFam Physician 2000; 62: 2037-44.
9. Wilcox DT, Creighton S, Woodhouse CRJ, Mouriquand PDE. Urogenital Implications of
Endocrine Disorders in Children and Adolescents. In: Brook CGD, Hindmarsh PC, eds.
Clinical Pediatric Endocrinology. London: Blackwell Science Ltd, 2001: 222-6.
10. John Radcliffe Hospital Cryptorchidism Study Group. Cryptorchidism: a prospective
study of 7500 consecutive male births, 1984-8. Archives of Disease in Childhood
1992; 67: 892-9. (Abstract)
11. Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular Descent
and Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75.
12. Styne DM. The Testes Disorders of Sexual Differentiation and Puberty in the Male.
In: Sperling MA, ed. Pediatric Endocrinology. Philadelphia: Saunders, 2002: 570-73.
13. Ferlin A, Simonato M, Bartoloni L et al. The INSL3-LGR8/GREAT Ligand-Receptor
Pair in Human Cryptorchidism. J Clin Endocrinol Metab 2003; 88: 42739.

14. Kubotal Y, Temelcos C, Bathgate RAD, Smith KJ et al. The role of insulin 3,
testosterone, Mllerian inhibiting substance and relaxin in rat gubernacular growth.
Molecular Human Reproduction 2002; 8 (10): 9005.
15. Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD, eds.
Pediatric
16. Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York: Saunders, 2003: 173-4.
17. Zhang RD, Wen XH, Kong LS et al. A quantitative (stereological) study of the effects of
experimental unilateral cryptorchidism and subsequent orchiopexy on spermatogenesis in
adult rabbit testis. Reproduction 2002; 124: 95105.
18. Ritzen M, Hintz RL. Hypospadias/virilization. In: Hoechberg Z, Haifa, eds.
Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Druck, Basel (Switzerland): Karger AG,
1999: 38-9.
19. Honour JW, Savage MO. Testicular Endocrine Function. In: Ranke MB, ed. Diagnostics
of Endocrine Function in Children and Adolescents. Heidelberg, Leipzig: Johan Ambrosius
Barth Verlag, 1996: 314-25.
20. Jack S. Elder. Ultrasonography Is Unnecessary in Evaluating Boys With a Nonpalpable
Testis.Pediatrics 2002; 110 (4):

Anda mungkin juga menyukai