APRIL
2016
KRIPTORKISMUSUNILATERALDISERTAI
HERNIAINGUINALISLATERALISDEXTRA
REPONIBEL
Oleh:
FARAMITANURANIABIDIN,S.Ked
N11114040
Pembimbing:
Dr.ALFRETHLANGITAN,Sp.B
DIBUATDALAMRANGKATUGASKEPANITERAANKLINIK
ILMUBEDAH
FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASTADULAKO
PALU
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa janin, testis berada di rongga abdomen dan beberapa saat sebelum bayi
dilahirkan, testis mengalami desensus testikulorum atau turun ke dalam kantung skrotum.
Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum,
antara lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis dan refleks dari otot kremaster,
(2) perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3) dorongan
dari tekanan intraabdominal.1
Oleh karena sesuatu hal, proses desensus testikulorum tidak berjalan dengan baik
sehingga testis tidak berada di dalam kantong skrotum (maldesensus). Dalam hal ini
mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang
normal, keadaan ini disebut kriptorkismus.1
Kriptorkismus merupakan kegagalan penurunan testis normal ke dalam scrotum.
Testis dapat berada di peritonium anulus inguinalis internus, canalis inguinalis atau anulus
inguinalis eksternus. 1
Resiko yang mungkin dapat timbul pada kriptorkismus yaitu hernia inguinalis ,
keganasan, gangguan fertilitas, torsio tetstis .2
Pada kasus ini akan dibahas kriptorkismus yang disertai dengan hernia inguinalis
lateralis yang terjadi pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Testis
P
enentuan jenis kelamin dari mudigah atau embrio adalah suatu proses yang
rumit yang ditentukan oleh ekspresi gen. Kromosom Y yang memiliki gen
penentu testis SRY (Sex determining region on Y) merupakan kunci dari dismorfisme
seksual. Terdapatnya SRY protein atau disebut testicular determining factor
19,20
Sertoli
untuk
memicu
keluarnya
Anti-Mullerian
Hormone
19,20
(AMH).
T
estosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig akan merangsang perubahan
duktus mesonefrikus (duktus Wolfii) menjadi duktus efferen, epididimis, duktus
deferens, dan vesikula seminalis. Turunan testosteron yaitu dehidrotestosteron
(DHT) akan merangsang pertumbuhan genitalia eksterna pria dan prostat. AMH
yang
disekresi
oleh
sel
Sertoli
akan
menyebabkan
19
regresi
duktus
Testis adalah organ reproduksi primer pada pria. Organ ini berbentuk ovoid
yang berperan sebagai organ reproduksi dan kelenjar endokrin. Testis terdapat di
dalam sebuah kantong yaitu kavum skroti oleh jaringan skrotum yang terdiri dari:
kulit, tunika Dartos, fascia spermatica externa, otot cremaster, dan fascia spermatica
interna.3
L
etak testis kiri pada umumnya lebih rendah dibanding dengan testis
kanan. Permukaan testis bagian anterior, medial, dan lateral dilapisi oleh jaringan
skrotum,
tunika
vaginalis
lamina
parietalis,
lamina
visceralis, sedangkan
20
Testis memiliki tiga lapisan dari bagian luar hingga dalam, yaitu tunika
vaginalis, tunika albuginea, dan tunika vaskulosa.
lapisan jaringan ikat yang tebal dan membagi testis menjadi lobulus-lobulus kecil.
ada
bagian
posterior
jaringan
ikat
ini
akan
menebal
dan
pembuluh darah, pembuluh limfatik, saraf, dan rete testis. Rete testis merupakan
tempat muara dari tiap lobulus testis yang nantinya akan dibawa menuju ke
epididimis melalui duktus efferen untuk keluar dari testis.
Testis memiliki peranan yang penting pada sistem reproduksi pria, yaitu
sebagai organ reproduksi dan kelenjar endokrin. Spermatogenesis adalah proses
pembelahan untuk menghasilkan spermatozoa yang terjadi pada testis dalam
menjalankan perannya sebagai organ reproduksi. Proses ini dimulai dari
pembelahan
dan
Spermatogenesis
diakhiri
dengan
memilki
empat
pembentukan
tahap
spermatozoa
utama,
yaitu:
matur.
mitosis
permatogenesis
dimulai
dari
tahap
proliferasi
dan
diferensiasi
23,29
Hasil dari
meiosis II adalah empat spermatid. Karena antara meiosis I dan II tidak terdapat
fase S (replikasi DNA), sehingga jumlah DNA berkurang menjadi setengah ketika
kromatid memisah dan jumlah DNA 1N (haploid). Spermatid berdasarkan bentuk
19
25
20
2.2 Kriptorkismus
2.2.1 Definisi
Kriptorkismus adalah kelainan genitourinaria ditandai dengan testis tidak turun
secara normal kedalam skrotum. Bila testis kanan tidak turun disebut kriptorkismus
kanan, begitupun sebaliknya. Jika kedua testis yang tidak turun disebut dengan
kriptorkismus bilateral. Berdasarkan lokasi dimana teraba, di inguinal, perskrotal,
sliding dan tidak teraba. Disebut sliding/gliding testis apabila testis teraba di bagian atas
skrotum dan bisa ditarik turun tetapi tidak bisa sampai kedasar dan memerlukan terapi
2.2.2
hormonal.10
Epidemiologi
Dari laporan scorer yang telah banyak dikutip penulis lain, telah diketahui bahwa
insiden terjadinya kriptorkismus sangat dipengaruhi oleh umu kehamnilan dan tingkat
kematangan.11
2.2.3 Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut diatas akan berpotensi
menimbulkan kriptorkismus. Beberapa penelitian terakhir mendapatkan bahwa mutasi
pada gen INSL3 dan GREAT dapat menyebabkan kriptorkismus. INSL3 dan GREAT
merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen tertentu yang lain juga terbukti
menyebabkan kritorkismus, antara lain gen reseptor androgen yang akan menyebabkan
AIS serta beberapa gen yang bertanggung jawab pada differensiasi testis semisal :
PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan MIS.11
Ttrue undescended: testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal,
tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis, menjadi:
abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2).4 Gliding testis atau sliding testis
adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi
hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus vaginalis
yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko terjadinya torsi.
Dengan melakukan overstrecht selama + 1 menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk
melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam
skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-kanalis inguinalis.
2.2.5
Diagnosis14
- Anamnesis
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi
prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen),
riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah
teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile
akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun).
Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih
besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak
menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia.
-
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom
tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg
position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila
menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis kearah medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk
diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan menarik terkadang
testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis
didalam skrotum selama 1 menit, otot- otot cremaster diharapkan akan mengalami
fatigue; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis
yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Gambar 3. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari SIAS.
B&C: Bila teraba testis,menggiring testis dengan ujung-ujung jari. D: Memanipulasi
ke-dalam skrotum. (Dikutip dari : Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The Undescended
Testicle: Diagnosis and Management. Am Fam Physician 2000; 62: 203744)
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal
akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.3
kehidupannya.
Berikut adalah berapa petanda klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis
yang dapat dipakai pegangan untuk menentukan kemungkinan penyebab pada
pemeriksaaan fisik..
Tabel 3: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral tidak teraba testis
Tanda Klinis Penyerta
Tanpa kelainan lain
Kemungkinan Penyebab
Simple UDT, anorchia, female pseudo-hermaphroditsm
Sindrom Kallmann
Sindrom tertentu
Defisiensi gonadotropin
Multiple pituitary hormone deficiency
Sindrom Klinefelter
(Dikutip dari : Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD, eds. Pediatric
Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York: Saunders, 2003: 173-4)
Pemeriksaan laboratoirum12
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut.3 Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal
(yang
terpenting
adalah
17-hydroxyprogesterone)
untuk
menyingkirkan
kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila
umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan
dengan
melakukan
stimulasi
gonadotropin hormone).
test
Ketiadaan
menggunakan
hCG
peningkatan kadar
(human
testosteron
chorionic
disertai
Age
hCG regimen
1
2
Adolescence
Days 0 and 3
Day 0 and 24 h after the last
injection
Days 0, 3 and 5
(Dikutip dari : Honour JW, Savage MO. Testicular Endocrine Function. In: Ranke MB, ed. Diagnostics of
Endocrine Function in Children and Adolescents. Heidelberg, Leipzig: Johan Ambrosius Barth Verlag, 1996:
314-25)
Pemeriksaan pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal,
di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.3 Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya
dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi
testis intra-abdomen.17
Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan
USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih
besar (belasan tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan
testis.5
Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).5
Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih
besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.4,5
Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba
testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman
oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar
dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal.3,4,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.3
2.2.6
Terapi
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy)3,6
- Terapi Hormonal
Terapi hormonal pada UDT telah dimulai semenjak tahun 1940-an, terutama banyak
digunakan di Eropa.3,9
Hormon
Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila
operasi tersebut ditunda.1
Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami penurunan testis spontan sampai
umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun.1
Pertimbangan lain adalah setelah 1 tahun akan terjadi perubahan morfologis
degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.9
Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita,
ukuran testis, contralateral testis, dan keterampilan ahli bedah.3
2.2.7 Komplikasi
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis, di
samping itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.1
- Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika.
Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan
UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan
testis normal.2,3,7
Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis
abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding
testis inguinal.3,7
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita
yang
pada
anak
dengan UDT
2.2.8
Prognosis6
Menurut Docimo kesuksesan operasi UDT letak distal anulus inguinalis
internus sebesar 92%, letak inguinal (89%), orchidopexy teknik mikrovaskuler
(84%),
orchidopexy
abdominal
standar
(81%)
staged
Fowler-Stephens
BAB III
STATUS PASIEN
1. Identitas
Nama
: Tn.M
Umur
: 45 tahun
Berat Badan
: 48 kg
JK
: Laki-laki
Ruangan
: Garuda
Agama
: Islam
2. Anamnesis
Keluhaan utama
Pasien masuk dengan keluhan buah zakar sebelah kanan sering naik ke perut dan tidak
teraba di dasar buah zakarnya, yang dialami sejak kecil dan memberat sejak seminggu yang
lalu. Keluhan ini disertai dengan keluhan nyeri hebat jika buah zakar kanannya naik ke
perut dan nyeri menghilang jika mulai turun. Keluhan lain yaitu muncul benjolan di lipatan
paha kanan yang muncul kurang lebih sebulan yang lalu, benjolan ini tidak nyeri dan dapat
dimasukkan kembali dengan menggunakan tangan. Benjolan ini muncul jika mengedan ,
beraktivitas dan batuk , hilang jika didorong dengan tangan dan berbaring. Pasien tidak
mengeluhkan mual, muntah dan demam., BAB dan BAK lancar.
Pasien mengaku bahwa sejak kecil buah zakar kanannya tidak pernah mencapai dasar,
dan biasanya teraba diatas pertengahan antara pangkal paha dan pangkal penis. Keluhan ini
tidak pernah diobati sebelumnya karena pasien tidak merasa terganggu.
Riwayat pengobatan
Pasien seminggu lalu berobat dipoli karena terjadi serangan nyeri hebat karena buah
zakar kanannya naik dan muncul benjolan dilipatan paha.
Riwayat trauma
Pasien mengaku pamannya juga mengalami hal yang sama namun dikedua buah
zakarnya. Sekarang pasien mempunyai seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang diakui
pasien anak ini sangat diidam-idamkan.
Status generalisata
Tanda vital
TD
120/80 mmHg
Pernapasan
20x/m
Nadi
80x/m
Suhu aksilla
36,8 C
Kepala
Leher
Thorax
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
mobile,
tidak ada nyeri dapat didorong kembali, tidak ada nyeri tekan dibagian
abdomen lain, hepatosplenomegali tidak ada.
Genitalia
Ekstermitas
Superior
Inferior
Status lokalisasi : Massa teraba diregio inguinal dextra, teraba lunak, mobile, tidak nyeri jika
ditekan, mudah dimasukkan kembali dengan jari, warna sama dengan kulit
sekitar. Teraba testis dextra sebesar kelereng di suprascrotalis.
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
Darah Rutin
RBC : 4,6 x 1012/L
(4,5-6,5)
(4,0-10,0) (N)
Hb
: 11,3 g/dL
(12-18)
(N)
Hct
: 31,6 %
(35-32)
(N)
Plt
: 535 ribu/ul
(150-450) (N)
(N)
4. Resume
Lakilaki usia 45 tahun masuk RS dengan keluhan nyeri akibat retraktsi testis ke arah
abdomen, dan tidak teraba didasar . Testis teraba sebesar kelereng disubscrotalis, keluhan
lain yaitu massa di inguinal dextra, mobile, tidak nyeri, muncul jika batuk, mengedan dan
berkativitas berat, hilang jika baring dan dimasukkan. Nausea - , vomitus -, febris -, BAB
dan BAK lancar. Riwayat keluhan ini sudah dialami sejak kecil oleh pasien namun tidak
diobati, paman pasien juga mengalami hal yang sama.
TD 120/80 mmHg
N 80x/m
Pemeriksaan Fisik
R 20x/m
S 36,8 C
Abdomen teraba massa lonjong di inguinal dextra uk.4x2cm, lunak, mobile dan tidak nyeri.
Genitalia terlihat ukuran skrotum yang tidak simetris, testis dextra teraba sebesar kelereng, di
subscrotalis dextra
5. Diagnosis Kerja
Kriptorkismus dextra + Hernia Inguinalis lateralis reponibilis dextra
6. Rencana Penatalaksanaan
Herniorahpy dan Orchidopexy
7. Prognosis
Dubia
BAB IV
PEMBAHASAN
disebut
dengan
kriptorkismus
bilateral.
sliding
dan
tidak
teraba.
Disebut
terdapat
faktor
keturunanan
terjadinya
Pada pemeriksaan fisik ditemukan testis ukuran skrotum dextra mengecil, teraba testis
sebesar kelereng di subscrotalis, kemudian testis ditarik ke skrotum dan dipertahankan selama 1
menit, kemudian dilepas lalu testis dengan segera kembali ke supraskrotalis. Hal ini sudah sesuai
teori dimana pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg
position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan jelly
atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum. Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi menyapu dan
menarik terkadang testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi
testis didalam skrotum selama 1 menit, otot- otot
mengalami
fatigue; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Pada
pemeriksaan
laboratorium
penting
setelah
dilakukan
stimulasi
mengindikasikan anorchia.1,3
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron
pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada hCG
test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG test bervariasi
antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada
masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah
stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
Untuk pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan pencitraan seperti USG, CT-Scan dan
MRI, namun beberapa pemeriksaan tersebut memiliki indikasi masing-masing.
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil risiko terjadinya infertilitas
dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan
terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). Mengingat 75 % kasus UDT
akan mengalami penurunan testis spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan biasanya
dilakukan setelah umur 1 tahun.1
perubahan morfologis degeneratif testis yang dapat meningkatkan risiko infertilitas.9 Keberhasilan
orchyopexy berkisar 67-100 % bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis,
dan keterampilan ahli bedah.
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama
yang
dapat
terjadi
pada
kriptorkismus
adalah
disebabkan
oleh
kegagalan
penutupnan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta.
2. Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
3. Danon M, Friedman SC. Ambiguous Genitalia, Micropenis, Hypospadias, and
Cryptorchidism. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker,
1996: 281-301.
4. Kolon TF. Cryptorchidism. In: http://www.emedicine.com/med/topic2707.htm ( diakses
11 Nopember 2004 ).
5. Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long-term
prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31 (3): 469-80.
6. Gill B, Kogan S. Cryptorchidism Current Concept. Pediatr Clin North Am 1997; 44
(5):1211-27.
7. Dogra
VS,
Mojibian
H.
Cryptorchidism.
In:
14. Kubotal Y, Temelcos C, Bathgate RAD, Smith KJ et al. The role of insulin 3,
testosterone, Mllerian inhibiting substance and relaxin in rat gubernacular growth.
Molecular Human Reproduction 2002; 8 (10): 9005.
15. Cryptorchidism. Abnormal Genitalia. In: Wales JKH, Wit JM, Rogol AD, eds.
Pediatric
16. Endocrinology and Growth. Edinburgh, London, New York: Saunders, 2003: 173-4.
17. Zhang RD, Wen XH, Kong LS et al. A quantitative (stereological) study of the effects of
experimental unilateral cryptorchidism and subsequent orchiopexy on spermatogenesis in
adult rabbit testis. Reproduction 2002; 124: 95105.
18. Ritzen M, Hintz RL. Hypospadias/virilization. In: Hoechberg Z, Haifa, eds.
Practical Algorithms in Pediatric Endocrinology. Druck, Basel (Switzerland): Karger AG,
1999: 38-9.
19. Honour JW, Savage MO. Testicular Endocrine Function. In: Ranke MB, ed. Diagnostics
of Endocrine Function in Children and Adolescents. Heidelberg, Leipzig: Johan Ambrosius
Barth Verlag, 1996: 314-25.
20. Jack S. Elder. Ultrasonography Is Unnecessary in Evaluating Boys With a Nonpalpable
Testis.Pediatrics 2002; 110 (4):