Anda di halaman 1dari 3

Kunang-Kunang dan Rintik Hujan Oleh: Dikpa Sativa

Nyala lampu seperti ribuan kunang-kunang. Malam sedikit basah. Gerimis. Kau menatapku lekat, lalu mengisahkan banyak cerita. Aku hanya diam, menikmati desah angin yang merayu pelan. Aroma tubuhmu tak berubah. Pagi, siang, malam, selalu membuatku rindu. Kau mengalihkan pandangan. Menunjuk satu gedung tinggi dengan kilauan cahaya mengagumkan. Mataku mengikuti gerak tanganmu. Aku tersenyum. Kau kembali mengalihkan pandangan, kali ini, padaku. Aku tertunduk. Aku suka cahaya lampu-lampu itu. Seperti ribuan kunang-kunang, bukan? aku mengangguk. Menyetujui ucapanmu. Tapi kau menarik napas. Aku menoleh. Menunggu kalimatmu berikutnya, kau tahu, ternyata ada yang lebih indah dari itu. Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti. Aku menatapmu, bertanya, apa? Memandangmu. Aku lagi-lagi tertunduk. Kurasakan pipiku sempurna memerah. Kau mengerling jahil. Tutup matamu. Aku akan bercerita. Seramah mungkin, kau mengulas senyum padaku. Aku menurut. Menutup mata dan mulai mendengarkanmu. Ada seorang pria beruntung. Tampan dan kaya bukan miliknya, tapi dia tak pernah mengeluh. Baginya, tak ada yang lebih penting selain memiliki kekasih yang tulus seperti kekasihnya. Mereka bahagia, saling mencintai. Kau menatapku. Aku merasakannya, dalam gelap sekali pun. Aku hapal dengus napasmu. Kau menggenggam jemariku. Erat. Mereka tinggal di sebuah bukit. Di sana rumput masih hijau, air sungai mengalir jernih dan pepohonan berbaris rapi. Besar, kecil, semua menawarkan kesejukan. Dalam malam yang menjingkat, akan ada ribuan kunang-kunang menyilaukan. Ah, bukan kunangkunang tapi nyala lampu kota. Di bukit itu, ada sebuah rumah. Tidak terlalu besar. Ada bebungaan menghiasi tamannya, segala rupa, segala warna, indah. Oh ya, di samping rumah, ada kolam kecil. Ikan berenang-renang di dalamnya, ada orange, putih keemasan, juga hitam. Kau melihatnya? aku mengangguk. Kau tetap menggenggam jemariku. Aku masih menutup mata. Kau beranjak. Menuntunku. Kita melewati jalan setapak. Tanpa alas kaki, menginjak rumput hijau yang basah. Aku tersenyum, berkali-kali. Aku yakin kau juga tersenyum sepertiku. Merona. Ya, kita sama-sama merona. Penuh cinta. Kau dengar suara itu? kau bertanya lagi. Aku mengerutkan dahi. Bingung.

Perhatikan, sayang. Kau dengar, kan? Mereka sedang bermain. Lelaki itu, kekasihnya, dan kau tertawa, anak mereka. Kau lihat, anak mereka lucu bukan? kau menarik napas. Menyuruhku membuka mata. Bergumam, laki-laki beruntung itu adalah aku, kau kekasihnya dan anak itu, adalah anak kita. Kau membungkukkan badan, mengelus perutku. Sebentar lagi kau lahir, sayang. Papa akan mengajakmu bermain bola. Apa? Kau tak suka? Mmmbagaimana kalau kita main mobil-mobilan? kau mengernyitkan dahi. Aku tertawa melihat tingkahmu. Anak kita ingin jadi penulis seperti Ibunya. Kau tersenyum. Menatapku lamatlamat. Aku tersenyum. Mengusap kepalamu. Kau kembali menuntunku. Menyusuri jalan setapak. Gerimis merintik, jatuh satu-satu. Aku tahu kau suka hujan. Tapi sudah saatnya masuk, sayang. Kau menggenggam jemariku. Kita melangkah ke dalam rumah. Di sini, kau akan menghabiskan waktu untuk menulis. Kau menunjuk sebuah meja di ruang tengah, tepat di samping jendela. Kau menarik napas bahagia, lalu aku dan anak kita akan bermain di dekatmu, berkejaran, mengganggu Ibunya yang cantik. Aku tertawa. Kau benar-benar meresapi khayalanmu. Hujan masih merintik. Kaca-kaca jendela mengembun, tapi tak ada gigil. Kau sempurna menghangatkan tiap sendiku. Genggamanmu erat. Matamu lekat memandangi bola mataku. Kau, anak-anak kita, dan rumah ini adalah mimpi cintaku yang sempurna. Kau mengulas senyum. Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas. Kunang-kunang dan rintik hujan memang satu gugusan yang menawan. Seperti kau dan aku. Aku melihatmu, mendengarkan semua ceritamu, tapi aku tak mampu walau sekedar berkata aku mencintaimu. Aku bisu. Tak akan ada kata cinta keluar dari bibirku. Tapi aku yakin, kau melihat lukisan cinta di mataku. Kau masih menggenggam erat jemariku. Kita menatap ke luar jendela. Nyala lampu kota seperti ribuan kunang-kunang, kau suka itu. Rintik hujan mencipta ritmik yang sempurna, aku suka itu. Kau memandangku. Kita bicara dalam tatap, dalam diam. Kadang cinta tak perlu dibahasakan. Aku tak punya mimpi tentang cinta. Harapan-harapan sudah lama tak menyambangi otakku. Kau tahu kenapa? Karena kau telah sempurna menghadirkannya untukku. Kau adalah mimpi dan harapan itu. Aku menatap lekat bola matamu. Aku mencintaimu.

***

Dikpa Sativa adalah nama pena dari Dian Kurniati Padandi. Dikpa saat ini aktif sebagai mahasiswi Jurusan Biologi di Universitas Negeri Makassar. Juga merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) UNM dan Pacarita (Persatuan Cendolers Makassar dan Sekitarnya). Yang mau share atau berbagi ilmu dengan Dikpa, bisa add akun Dikpa Sativa.

Anda mungkin juga menyukai