Anda di halaman 1dari 9

No. ID dan Nama Peserta : No. ID dan Nama Wahana: Topik: susp.

SLE Tanggal (kasus) : 12 Juli 2013 Nama Pasien : Nn. H Tanggal presentasi : Agustus 2013

/ dr. Amalia Ridhayana. Z / UGD RSUD Massenrempulu Enrekang

No. RM : 051228 Pendamping: dr. Hj. Sitti Syuwarni Silipu, M.Kes dr. Hj. Indrawati Kaelan

Tempat presentasi: RSUD Massenrempulu Enrekang Obyek presentasi : Keilmuan Diagnostik Neonatus Bayi Keterampilan Manajemen Anak Remaja Penyegaran Masalah Dewasa Lansia Tinjauan pustaka Istimewa Bumil

Deskripsi: Seorang perempuan, 15 tahun datang dengan keluhan bercak merah dan krusta di kedua pipi, dahi, dagu, dan mukosa bibir serta hidung yang dialami sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Keluhan ini diawali mata dan muka yang terasa panas dan gatal, nyeri pada bibir dan mulut, kemudian timbul bintik-bitik merah pada muka. Keluhan ini semakin jelas jika terkena panas matahari. Saat pagi hari pasien sulit embuka mata karena anyak kotoran/belek. Selain itu mulut juga terasa anas, pecah-pecah, dan mudah berdarah. Riwayat pasien dengan keluhan yang sama sebelumnya dua kali, 2 tahun yang lalu. Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan sering timbul bintik merah pada wajah jika terkena panas matahari. Riwayat alergi obat tidak ada. Tujuan: memberikan penanganan pertama pada pasien dengan tetanus Bahan bahasan: Cara membahas: Tinjauan pustaka Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos Riset Kasus Audit

Data Pasien: Nama klinik

Nama: Nn. H UGD RSUD Massenrempulu Enrekang

No.Registrasi: 051228

Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis/gambaran klinis: Seorang perempuan, 15 tahun datang dengan keluhan bercak merah dan krusta di kedua pipi, dahi, dagu, dan mukosa bibir serta hidung yang 1

dialami sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Keluhan ini diawali mata dan muka yang terasa panas dan gatal, nyeri pada bibir dan mulut, kemudian timbul bintik-bitik merah pada muka. Keluhan ini semakin jelas jika terkena panas matahari. Saat pagi hari pasien sulit embuka mata karena anyak kotoran/belek. Selain itu mulut juga terasa anas, pecah-pecah, dan mudah berdarah. Riwayat pasien dengan keluhan yang sama sebelumnya dua kali, 2 tahun yang lalu. Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan sering timbul bintik merah pada wajah jika terkena panas matahari. Riwayat alergi obat tidak ada. 2. Riwayat pengobatan: riwayat minum kortikosteroid 3. Riwayat kesehatan/penyakit: pernah dirawat dengan keluhan yang sama sebelumnya, 2 tahun yang lalu. 4. Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga yang menderita penyakit sama dengan pasien 5. Riwayat pekerjaan: pelajar 6. Lain-lain: Daftar Pustaka: a. b. Hasil pembelajaran: 1. Menegakkan diagnosis tetanus 2. Memberikan penanganan awal tetanus di unit gawat darurat

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio: 1. Subyektif: Seorang perempuan, 15 tahun dengan keluhan bercak merah dan krusta di kedua pipi, dahi, dagu, dan mukosa bibir serta hidung yang dialami sejak 2 minggu sebelum masuk RS. Keluhan ini diawali mata dan muka yang terasa panas dan gatal, nyeri pada bibir dan mulut, kemudian timbul bintik-bitik merah pada muka. Keluhan ini semakin jelas jika terkena panas matahari. Saat pagi hari pasien sulit membuka mata karena banyak kotoran/belek. Selain itu mulut juga terasa panas, pecah-pecah, dan mudah berdarah. Nyeri sendi (+). Riwayat pasien dengan keluhan yang sama sebelumnya dua kali, 2 tahun yang lalu. Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan sering timbul bintik merah pada wajah jika terkena panas matahari. Riwayat alergi obat tidak ada. 2. Obyektif: Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh, N = 83 kali/menit, P = 24 kali/menit, S = 37,4 C. Kepala Mata Hidung Mulut Leher Wajah Dada Jantung Abdomen : tanda-tanda trauma (-) : konjungtivitis (+), sekret (+) : krusta (+) : stomatisis (+), krusta (+) : nyeri tekan (-), Massa tumor (-), kaku kuduk (-) : bercak kemerahan (+) krusta (+) pada dahi, kedua pipi, dan dagu : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal

Ekstremitas : bercak kemerahan (+) Genital 3. Assesment Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah : tidak ada kelainan

atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.. Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pemah terbukii adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever). Defmisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan. Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal, atau multipel (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neuroiogi atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga.

Epidemiologi. Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kej ang demam sedikit lebih sering pada laki-laki.

Faktor Risiko Faktor risiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Etiologi Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pemapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Manifestasi Klinis Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonikklonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurng dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Elektroensefalografi 5

(EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.

Diagnosis Banding Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau ensefalitis. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.

Penatalaksanaan Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu: (1) pengobatan fase akut; (2) mencari dan mengobati penyebab; dan (3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. 1. Pengobatan fase akut. Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkah untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit,

gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, hams dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan-1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuskular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital dosis rumat. 6

Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk bari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200 mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8 mg/kgBB/ hari, 1224 jam setelah dosis awal. 2. Mencari dan mengobati penyebab. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. 3. Pengobatan profilaksis. Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat

demam dan (2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB < 10 kg) dan 10 mg (BB > 10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5C. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia. Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu: 1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau

perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal). 2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis

sementara atau menetap. 3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung. 4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang

multipel dalam satu epidose demam. 7

Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik. Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya terjad pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah. Penanganan pada pasien ini: Bedrest Oksigen 2-4 lpm IVFD RL 20 tetes/menit Dexametason 1 amp/8jam/IV Ranitidin 1 amp/8jam /IV Nistatis drops 3 gtt 1 Metilprednisolon 8 mg 3 dd 1

4. Plan: Diagnosis: Pemeriksaan Darah Hasil Laboratorium Darah Rutin WBC : 10.000 /mL RBC : 5.000.000/mL Hb : 11.0 g/dL HT :34.3 % PLT : 268.000 MCV: 68.5 fl MCH: 22.0 pg MCHC: 32.1 g/dL

Pemeriksaan Punksi lumbal untuk menegakkan diagnosis (membedakan antara meningitis dan

encefalitis) Pendidikan: Kita menjelaskan prognosis dari pasien, serta komplikasi yang mungkin terjadi. Konsultasi: Dijelaskan adanya indikasi rawat ICU dan konsultasi dengan spesialis anak untuk penanganan lebih lanjut. Rujukan: Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harusnya ditangani di rumah sakit dengan sarana dan prasarana yang lebih memadai.

Enrekang, Peserta Pendamping

Agustus 2013

dr. Amalia Ridhayana. Z

dr. Hj. Sitti Syuwarni Silipu, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai