Anda di halaman 1dari 5

BRANI NGOMONG BRANI BUKTIIN

Justifikasi dan Kritik; Upaya Mencari Format Generasi Muda

Oleh Saumi Rizqiyanto

Dipublikasikan oleh
Saumilab™ a divison from Saumission Life Foundation
Yang bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan demi
kemajuan peradaban manusia
saumiere@gmail.com http://saumiere.co.cc
BRANI NGOMONG BRANI BUKTIIN
Justifikasi dan Kritik; Upaya Mencari Format Generasi Muda

Oleh Saumiere

Judul di atas tak bisa dipungkiri memang sebuah tagline suatu produk pasta gigi yang ditayangkan tiap
harinya melalui televisi. Sangat persuatif dan mampu membangkitkan animo masyarakat dalam hal
kepedulian terhadap ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Tadinya saya menganggap hal yang demikian itu
biasa-biasa saja, namun setelah melihatnya berulang kali, saya jadi kepikiran, dan setelah lama bergelut
dengan pemikiran tersebut, eureka, ilham itu datang dan menjelaskan semuanya.
Bahwa tagline di atas merupakan representasi identitas suatu kelompok dalam masyarakat yang
selama ini mungkin dipandang sebelah mata, dipinggirkan peranannya dan hanya dijadikan objek pasar
oleh produsen tertentu. Yang sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa, berkompeten menjadi
penggerak dan subjek perubahan dalam masyarakat. Kelompok ini komunitas anak muda yang sekarang
seiring bergulirnya jarum jam, menunjukkan identitasnya lebih agresif (bukan radikal), mengusung
idealisme berupa kreativitas, kebersamaan, sembari terus mengukir prestasi.
Untuk memperjelas uraian diatas, alangkah lebih baik jikalau kita mencermati kembali polemik
menghebohkan minggu-minggu ini. Barisan anak muda berbakat yang menamakan kelompoknya
dengan Masyarakat Film Indonesia ramai-ramai mengembalikan 34 Piala Citra sebagai bentuk protes
terhadap bobroknya kinerja dan birokrasi penyelenggara Festifal Film Indonesia, serta lembaga-lembaga
terkait lainnya semisal BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), PARFI (Persatuan Artis Film
Indonesia) dan LSF (Lembaga Sensor Film Indonesia). Mereka menilai UU perfilman dan seluruh instansi
terkait harus diperbaharui atau diganti, kalau tidak mereka mengancam akan memboikot
penyelenggaraan FFI tahun mendatang. Polemik ini hingga sekarang layaknya bola salju yang terus
menggelinding, menyita perhatian banyak pihak, walaupun belum diketahui ending dari polemik ini,
namun sensasi ini berhasil memberi tahu bahwa dibalik gemerlapnya Festifal Film Indonesia, ada
sesuatu yang membusuk yang harus dibenahi.
Dua contoh di atas merupakan representasi nyata anak muda saat ini. Mereka sangat kreatif, dan
mampu menghembuskan ide pembaharuan dengan cara yang sama sekali berbeda. Gerakan MFI yang
pentolannya (Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Di Nata) yang merupakan penggerak bangkitnya perfilman
Indonesia, ingin mengubah kondisi perfilman dengan cara frontal namun aksinya sangat terstruktur.
Dalam kasus pasta gigi di atas, kita juga menemukan hal serupa, mereka mengajak anak-anak muda
sekarang untuk lebih peduli terhadap HIV/AIDS. Pesan-pesan mereka yang terwujud dalam kata-kata

2 | Halaman
safe sex, stay away from HIV/AIDS begitu melekat. Alhasil pada tanggal 1 Desember yang lalu semua
orang mengenakan pita merah sebagai lambang kepedulian ditambah aksesori lain semisal tag, hadiah
dari pasta gigi itu. Secara common-sense, ada suatu kesamaan bahwa mereka tak hanya berani
menyatakan sikap, namun juga berani membuktikan sikapnya atas hasil kerja kreatif mereka selama
ini.
***
Mahasiswa Indonesia Masa Kini; Have Fun Yes, Hedonis Tunggu Dulu
Kalau selama ini banyak pihak di INDONESIA yang merasa cemas dengan menurunnya aktivitas-
aktivitas intelektual semisal kajian dan seminar berbobot, menurut saya itu adalah kecemasan yang
tidak berdasar. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya merasa tidak senada dengan suara-suara sumbang
yang menyatakan bahwa mahasiswa sekarang tak ubahnya mahasiswa KUPU (kuliah-pulang), bahkan ada
yang menyatakan mahasiswa sekarang benar-benar hedonis, yang hanya sekedar kuliah, pacaran,
nongkrong, trekking sampai clubbing. Saya sampai berfikir “ah mungkin pencibir-pencibir ini memang
tidak disiapkan untuk menghadapi dunia anak muda sekarang, atau mungkin juga shock mereka
kehilangan kendali atas anak-anak muda enerjik ini” mereka (pencibir-pencibir ini) memang dididik
untuk hidup di Era 80-an, menjadi mahasiswa yang hanya baca buku, kuliah dan demonstrasi. Buat saya
itu bukan zamannya lagi.
Sekarang kita hidup di era pasca perang dingin. Thomas L Friedman menyebutnya sebagai era
globalisasi, di mana orang-orang mungkin lebih memilih pohon zaitun (olive tree) yang berarti
kebahagiaan dibanding mobil lexus yang berarti persaingan (baca; perang). Dan John Naisbitt serta
Patricia Abundance menafsirkan Olive Tree sebagai kecenderungan utama dalam Megatrends 2000,
disimbolkan dengan food, fashion dan fun.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kelakuan mahasiswa sekarang tidak sepenuhnya salah.
Mereka memang hidup di era global, mereka menjadi mahasiswa yang berwajah baru. Saya sangat
senang dengan ilustrasi kata yang digunakan oleh Gustaf Iskandar dalam menggambarkan realitas anak
muda sekarang “pagi kuliah, siang main basket, sore nongkrong di kafe, malam clubbing di nightclub”.
Justru heran jikalau saat ini masih ada mahasiswa yang menganggap gondrong adalah identitas sejati
mahasiswa, pun dengan demonstrasi dan beragam identitas lainnya yang berasal dari abad sebelumnya.
Memang terkesan hedonistis namun hal-hal yang sedemikian itu tak lain dan tak bukan adalah
untuk having fun semata. Mereka sebenarnya masih meluangkan waktu untuk mengembangkan
kreativitas dan kemampuan mereka. Yang justru hasil kreasi mereka lebih baik dibanding hasil kreasi
mahasiswa jadul.
Lalu untuk apa mereka menghabiskan banyak waktu hanya untuk bersenang-senang. “because life
is suck” begitu kata Nadine Chandrawinata dalam film Realita, Cinta dan Rock n’ Roll. Kenyataan ini
menggambarkan begitu banyak anak muda saat ini yang mengalami reality shock, mereka dididik
dengan cara yang salah, begitu banyak kontradiksi antara apa yang dipelajari dengan kenyataan hidup
yang ada di luar sana. Kalau sudah seperti ini siapa yang mau disalahkan?

3 | Halaman
***

Generasi INDONESIA Masa Kini; Kreatif Oke, Gaul Jalan terus


Pada mulanya, saya bimbang dan belum yakin, apakah sederetan argumen dan kisah-kisah berikut
ini mampu mementahkan nada-nada sumbang pencibir mahasiswa hedonis itu? Walaupun belum
diketahui hasilnya, akhirnya saya memantapkan diri ya insyaallah tulisan ini akan mengubah persepsi
masyarakat Indonesia walaupun tidak seratus persen.
Argumennya adalah memang benar mahasiswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk
have fun, main billiard, party at Saturday night, tetapi mereka tidak lantas lupa mengenai siapa diri
mereka sebenarnya. Mereka masih punya nilai, prestasi dan kreatifitas yang mereka tuangkan dalam
sebuah karya. Mereka bikin album, nulis novel, bikin film indie, aktif di kegiatan sosial, peduli
lingkungan hidup dan mau berbagi pengalaman. Mereka emoh aktif di kajian politik yang sarat dengan
nilai-nilai kekuasaan yang nyata-nyata hanya bisa berkoar namun tak punya aksi. Kalau mau
mengentaskan kemiskinan misalnya mereka dengan rela melelang gitar kesayangan ataupun konser
amal untuk sekadar berbagi dengan kaum papa, yang hasilnya bisa langsung dirasakan dibanding
politikus yang ribut menggodok kebijakan yang so far hanya menguntungkan pribadi dan kelompok.
Argumen ini bukannya tidak berdasar, ada reason de etre yang menjustifikasi hal ini. Saat ini
mungkin tidak ada yang tidak mengenal gerakan independen (indie). Suatu gerakan anak muda yang
emoh terikat pasar apalagi peraturan. Mereka memilih jalan sendiri dalam menentukan nilai dan peran
dalam masyarakat. Gerakan ini seakan menjadi euphoria yang dianut oleh sebagian besar anak muda di
Jakarta, Bandung hingga pelosok Jogjakarta. Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Kaus-kaus bermotif graffiti
yang berukuran body size yang dikeluarkan oleh distro (distribution outlet), yang nota bene merupakan
tempat hasil kreasi anak-anak indie, sekarang seakan menjadi trendsetter mode t shirt masa kini,
membuat produsen-produsen raksasa kewalahan dan membebek mode ini. Mereka berkreasi di gang-
gang sempit sembari mengendus tren-tren fashion yang sedang in di New York, London, Paris hingga
Tokyo, melalui bantuan internet. Lihat juga sneakers yang motifnya graffiti tadinya hanya satu dua
orang yang memakainya, tapi sekarang jutaan anak muda memakainya. Bahkan mulai dari pin, mug
sampai belt, semua membebek hasil kreasi gerakan indie. Fenomena ini bisa menjadi entry point
bahwa tidak selamanya kok anak muda tenggelam dalam dunia gemerlap, mereka juga mampu
mengubah keadaan, mereka mampu menyihir selera pasar, menjungkirbalikkan tatanan mode dengan
cara yang unik dan tentunya “gue banget”.
Perlawanan frontal namun strukturalis yang digalang Masyarakat Film Indonesia bisa menguatkan
argumen ini. Mulanya anak-anak muda yang tergabung dalam MFI juga lahir dari generasi indie. Mereka
melalui karya-karyanya mampu membangkitkan kembali perfilman nasional yang sedang tidur lelap,
mampu menggusur dominasi film-film India sampai Hollywood. Saya tidak ragu jikalau nantinya
perlawanan ini mampu mengubah UU Perfilman saat ini, mampu menggusur BP2N dan mengganti LSF
serta FFI sesuai dengan gaya mereka sendiri.

4 | Halaman
***
See… fakta dan argumen-argumen yang disebutkan tadi harusnya membuat kita berfikir kembali,
mendefinisikan kembali bagaimana seharusnya mahasiswa Indonesia masa kini. Memang benar
mahasiswa adalah agen perubahan, tapi bukan zamannya lagi kita mengubah keadaan suatu Negara
dengan demonstrasi tak beraturan/crowded. Bukan zamannya lagi berdiskusi di kostan sempit dengan
puntung rokok dan segelas kopi yang rasanya tidak bisa dijelaskan. Bukan zamannya lagi mahasiswa
berambut gondrong.
Sekarang adalah zamannya mahasiswa fashionable, yang asyik ngobrol/berdiskusi di coffeeshop
dan memilih aksi elegan dan terstruktur untuk memperbaiki keadaan masyarakat sekitar. Yang masih
meluangkan waktu untuk berkreasi dan having fun, menjelma menjadi party goers.
Bukannya tidak mungkin jika suatu saat gerakan anak muda ini (sering disebut mahasiswa hedonis)
mampu mengubah situasi dan kondisi dalam masyarakat Indonesia. Pesan-pesan potif dalam bahasa
slangekan akan menjadi mainstream, kegiatan-kegiatan yang menawarkan kreativitas akan lebih
diminati, distro-distro akan menjamur, aksi-aksi penggalangan dana untuk HIV/AIDS, Flu Burung dan
penyelamatan lingkungan akan mendapat partisipan lebih banyak. Sementara organisasi
kepemudaan/kemahasiswaan semisal HMI, PMII dan KAMMI terus bertarung memperebutkan pengaruh di
ranah politik, anak-anak muda ini akan terus menggalang massa hingga suatu saat akan ada aksi massif
seperti dicontohkan pariwara pasta gigi dan gerakan MFI di atas, untuk mengubah kondisi Indonesia
menjadi lebih baik.

Dimuat di Tabloid Institut

5 | Halaman

Anda mungkin juga menyukai