Anda di halaman 1dari 5

Mewaspadai Resesi, Menanti Obama

Oleh Saumi Rizqiyanto

Bisa dibilang Masyarakat Amerika Serikat dan Dunia pada umumnya sedang berharap-harap
cemas. Di satu sisi mereka sedang panik menghadapi kondisi perekonomian Negara yang bisa
menyeret dunia ke dalam pusara resesi, dan di sisi lainnya sedang menanti keajaiban, apakah
pemilihan umum AS kali ini bisa membawa Amerika Serikat keluar dari tepi jurang resesi dan
menjauhkan mereka dari perang irak yang tak berkesudahan! Membawa pulang tentara AS dengan
damai.
Kepanikan-kepanikan itu memang sangat beralasan dan sangat bertalian erat dengan
penantian mereka! Sudah sejak awal 2007 yang lalu, masyarakat Amerika Serikat sedang dilanda
krisis akibat Subprime Mortgage, yakni kredit perumahan murah yang diberikan kepada orang-
orang tunawisma (homeless) yang memiliki catatan kredit buruk! Dengan iming-iming cicilan dan
bunga yang ringan bahkan tanpa agunan, akhirnya banyak sekali orang berbondong-bondong
menerima pembiayaan rumah model semacam ini, mereka yang tidak punya agunan-pun menerima
kredit yang sama!
Berbagai analisis dari para ahli mengatakan kalau subprime mortgage aman! Namun ternyata
sesuatu yang tidak diduga terjadi, pada waktu itu The Federal Reserve (bank sentral Amerika
Serikat Serikat) menaikan suku bunga untuk menekan inflasi, hal ini tentu berimbas pada naiknya
rate (bunga) dari pinjaman subprime mortgage. Walhasil banyak orang yang tidak bisa membayar
rumahnya dan mengakibatkan pembayaran tersendat atau kredit macet. Hal ini turut menyeret
beberapa penyedia KPR yang memberikan pinjaman tinggi dan bunga tinggi bagi konsumen,
akibatnya peminjam tidak bisa membayar dan rumah mereka disita.

1
Tidak berhenti sampai situ, perusahaan keuanganpun turut bermasalah karena peminjam
tidak bisa mengembalikan uang pinjaman. Banyak yang bangkrut, dan dampaknya, memunculkan
sentimen negatif untuk berinvestasi di pasar ini. Sejurus kemudian, para pemilik modal melakukan
aksi untung dengan menarik dana-dana mereka dari perusahaan keuangan tersebut dan
melarikannya keluar negeri! Otomatis hal ini mengganggu kesehatan ekonomi Amerika Serikat! Di
tambah dengan harga minyak mentah dunia yang menyentuh level 110 per barrel, diperparah
dengan kebijakan George W Bush yang menghabiskan tiga triliun dollar untuk perang di Irak, plus
AS merupakan negara dengan hutang luar negeri terbesar, maka perekonomian negara paman sam
kalau bisa dikatakan seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak.

Resesi menghantui Indonesia?


Masyarakat Amerika Serikat pernah merasakan pahit getirnya situasi di mana Negara bekas
jajahan Inggris ini pernah mengalami resesi paling serius yakni pada saat AS dan Eropa dilanda
great depression pada masa Ronald Reagan, harga pangan membumbung tinggi, pengangguran di
mana-mana, sampai-sampai untuk mengganti konsumsi daging sapi, masyarakat Amerika Serikat
menggantinya dengan daging anjing yang sampai sekarang santapannya terkenal dengan istilah hot
dog! Dan sekarang mereka seperti diingatkan kembali akan bahaya resesi yang berujung pada
depresi!
Pada saat itu Dunia mungkin tidak terlalu sensitif dengan isu-isu resesi karena tidak banyak
memiliki ekses terhadap perekonomian negara-negara lain! Tapi itu dulu, saat dunia belum
terhubungkan oleh jaring-jaring maya bernama globalisasi. Sekarang saat dimana antar negara
saling terkait satu dengan lainnya, alangkah naif kalau kemudian seseorang berujar Indonesia tidak
akan terkena imbas dari Krisis Subprime Mortgage ini!
Amerika Serikat yang turut menyumbang sekitar 30 persen dari PDB dunia, dengan adanya
krisis ini pastinya akan mengakibatkan ketidakseimbangan global. Pasalnya AS menguasai lebih
dari seperempat daya beli dunia. Ketika daya beli masyarakat AS turun hal ini akan mendorong
sentimen kebijakan proteksi, dan penurunan angka ekspor-impor dari negara lain! Maka banyak
negara lain akan ikut menanggung dampak resesi negara itu, termasuk Indonesia! Analogi yang
menyatakan “ketika AS bersin maka dunia akan demam” masih berlaku disini!
Adapun negara mitra dagang (ekspor-impor) AS seperti Kanada, Jepang, China, Inggris dan
Jerman. Negara-negara mitra utama AS tersebut merupakan negara yang menghasilkan PDB lebih
dari seperempat produksi dunia. Artinya, kalau digabung dengan ekonomi AS, maka hampir dua

2
pertiga ekonomi dunia terancam resesi AS. Bila resesi berkepanjangan niscaya membuat ekonomi
dunia ikut resesi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan pernah sesekali berujar di pertengahan akhir tahun
2007 bahwa kondisi ekonomi Indonesia seperti pada awal-awal krisis 97, ada capital inflow yang
sangat deras dari negara-negara maju, yakni beralihnya dana-dana investasi Amerika Serikat
Serikat akibat rendahnya suku bunga the fed dalam menanggulangi subprime mortgage, ke
Indonesia karena Suku bunga Indonesia (BI rate) sedang tinggi-tingginya. Yang jikalau tidak
diserap oleh sektor riil bisa membahayakan kondisi ekonomi negara!
Kasus kelangkaan kedelai yang menyebabkan harga tempe menjadi selangit menyusul
kenaikan harga kedelai AS untuk bahan baku tahu dan tempe adalah contoh yang nyata betapa
Indonesia sangat sensitif dengan isu resesi ini! Porsi AS sebagai negara pembeli barang ekspor
Indonesia (9 persen) dan sebagai negara penjual kebutuhan impor Indonesia (12,3 persen) jelas
merupakan faktor yang dapat mengganggu ekonomi nasional.
Ini belum terhitung dengan meroketnya harga minyak dunia yang tiap harinya seperti terus
mencatat rekor. Terhitung per akhir april harga minyak dunia sempat menyentuh level 120 USD
per barrel, yang membuat keder pembuat kebijakan APBN Negara! Jikalau harga BBM dinaikkan,
bisa dibayangkan akan seperti apa reaksi rakyat, apalagi ini menjelang Pemilu 2009, sebuah
keputusan yang terlalu berani yang bisa merontokkan popularitas pembuat kebijakan di negeri ini.

Antisipasi Ala Indonesia


Masyarakat Indonesia hanya bisa menjerit ketika harga minyak goreng curah sempat
menyentuh 15.000 rupiah per liter dan hanya bisa terpana ketika harga-harga pangan merangkak
naik! Harga mie instan yang biasanya terjual sekitar rp. 700 mendadak naik menjadi rp. 1200. Ada
apa ini, demikian pertanyaan yang bersemayam di setiap benak masyarakat! Itu belum seberapa
menjelang akhir maret ini Pemerintah akan mencabut subsidi minyak tanah khusus wilayah
Jakarta, yang berarti harga perliternya bisa mencapai rp. 7000, bisa dibayangkan betapa besar
beban hidup yang akan diderita masyarakat khususnya wilayah Jakarta!
Namun juga bukan bearti pemerintah tidak melakukan antisipatif, Upaya antisipatif
nampaknya telah dilakukan pemerintah merespons potensi krisis yang dialami AS, antara lain
dengan merevisi APBN dan asumsi-asumsinya. Kemudian, negara-negara G-7 plus Indonesia dan
beberapa negara emerging market lainnya telah bertemu di Tokyo. Dari situ dihasilkan paling tidak
enam langkah menata kebijakan keuangan global yang diharapkan segera dapat meminimalisir

3
dampak krisis subprime mortgage dan mencegah dampak negatif lebih jauh. Cukupkah itu bagi
Indonesia?
Ekonomi Indonesia sangat terbuka, sangat rentan dan volatile (tak terprediksi). Volatilitas itu
makin kuat seiiring dengan semakin dekatnya perhetalan politik 2009. Analis pasar menilai krisis
subprime mortgage AS, antara lain dipicu oleh ambisi dan kepemimpinan Bush yang terlalu ngotot
memaksakan kehendaknya sehingga direspons pasar secara negatif, Indonesia, berbeda, memiliki
potensi sebaliknya. Pemerintahan kita kini boleh dikata sangat lemah menggiring ekspektasi pasar
kearah yang lebih positif dan kuat. Lihatlah misalnya penetapan Gubernur Bank Indonesia yang
dibiarkan ditetapkan menjadi tersangka, diperkirakan telah menggerus cadangan devisa kita paling
tidak $ 1 miliar.

Apabila hal-hal seperti itu terus dibiarkan hanya untuk menjaga popularitas, mengejar
pencitraan yang berlebihan sebagai persiapan menghadapi agenda 2009, resikonya bagi
perekonomian nasional Indonesia akan terasa sangat mahal. Volatilitas ekonomi Indonesia yang
ringkih akan berbicara anomali. Krisis subprime mortgage, apabila pada saatnya, merambat
mempengaruhi perekonomian nasional, tidak banyak yang bisa kita buat. Pertumbuhan ekonomi
terbalik yang kita alami, pengangguran dan kemiskinan absolut yang makin besar akan
berkombinasi dengan perhelatan politik yang semakin dekat, satu sama lain akan berkontribusi
memicu krisis politik yang jauh lebih berbahaya.
Di AS, krisis subprime mortgage tidak linier dengan kegiatan politik yang kini memasuki
proses suksesi. Tetapi di Indonesia, keduanya berjalan linier. Krisis ekonomi bisa memicu krisis
politik yang jauh lebih destruktif, antara lain bisa menjatuhkan pemerintahan. Demikian halnya
perhelatan politik yang destruktif akan memicu krisis ekonomi karena pasar kehilangan
kepercayaan terhadap pemerintah sebagai pengambil kebijakan ekonomi. Keduanya sangat riskan.
Ketidakpastian hukum yang kita alami, tumpang tindih lembaga penegakan hukum, otonomi daerah
yang rancu dan rumit, banyaknya konflik sebagai ekses daripada Pilkada, kebebasan pers dan
kebebasan mengutarakan pendapat yang kebabablasan tanpa diikuti oleh tanggungjawab yang
memadai, telah menjadi potensi krisis tersendiri bagi Indonesia, lebih-lebih apabila krisis ekonomi
merembet kesini. Bukankah kita juga tengah berjalan menuju krisis?

Menanti Keajaiban
Alam spiritual kita bisa saja berkata kalau-kalau apa yang terjadi di Amerika Serikat adalah
buah simalakama, akibat kepongahan dan kebrutalan pemerintahan Bush yang dengan mudahnya

4
melanggar hak-hak negara lain! Tetapi kejatuhan Bear Stern yang merupakan the big five dari
perusahaan keuangan global membuat masyarakat Amerika Serikat realistis! Kebijakan perang
Amerika Serikat yang menelan biaya lebih dari tiga triliun dollar harus dihentikan! Segera saja AS
menarik seluruh pasukannnya di Irak.
Realistis masyarakat Amerika Serikat segera saja tercermin dalam election tahun ini, hasil
polling maupun pemilu pendahuluan terus menerus menunjukkan kemenangan calon-calon
Demokrat yang moderat dibanding Republik yang konservatif. Nama Obama terus mengencang
seiring kepiawaiannya dalam mengangkat isu-isu sensitif. Belum lagi dukungan dari para pesohor
dunia semisal Bono U2 dan Oprah Winfrey membuatnya diatas angin! Para pengamat ekonomi
dibelahan dunia manapun pasti setuju kalau kunci berakhirnya krisis AS akan bergantung dari
siapa pemenang election kali ini. Kini masyarakat Amerika Serikat dan dunia hanya berharap
siapapun pemenangnya harus bisa mengatasi krisis dunia ini! Masyarakat Indonesia tentu berharap
Obama keluar sebagai pemenang, selain dekat dengan hati masyarakat Indonesia, Obama juga
dikenal dekat dengan kalangan muslim AS. Tapi apakah lobi-lobi Yahudi yang kuat dikalangan
gedung putih akan mendukungnya, ini diluar perhitungan!
Namun selama belum terpilih pemimpin baru, Amerika Serikat Serikat dan dunia belum begitu
saja bisa tidur lelap, harga minyak mentah dunia yang terus mencatat rekor baru, terakhir
menembus level US$ 120 (akhir april) per Barrel bisa saja membuat jantung dunia terus berdegup
kencang sembari berharap kapan krisis ini akan segera reda!

SAUMISSION LIFE FOUNDATION


Jl. Ibnu Rusyd III No 160 Ciputat, Tangerang, Indonesia 15419
Telp. 021-99430459 Email : saumiere@gmail.com Http://saumiere.co.cc

Copyright © 2008 By Saumi Rizqiyanto


Caricature by TIME™ Magazine.
Diterbitkan Dalam Rangka Menyebarkan Ilmu Pengetahuan dan Pemahaman

Anda mungkin juga menyukai