Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

I.1 ANATOMI HIDUNG A. Anatomi Hidung1 1. Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah : 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis parstransversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : - Superior : os frontal, os nasal, os maksila - Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor
1

Gambar 1 Bagian-bagian pembentuk hidung luar Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel. Pendarahan : 1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna). 2 . A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A.Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna) 3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis) Persarafan : 1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis) 2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior) 3. Nervus Olfaktorius (N I) untuk fungsinya sebagai organ penghidu.
2

2. Kavum Nasi Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa cranial anterior dan fossa kranial media. Batas batas kavum nasi : Posterior : berhubungan dengan nasofaring. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dariseptum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Gambar 2 Septum nasi


3

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinus sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.

Gambar 3 Konka nasalis Septum membagi kavurn nasi menjadi dua ruang, kanan dan kiri. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang membentuk septum adalah lamina

perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis maksila dan Krista nasalis palatum. Bagian tulang rawan adalah karrilago septum (lamina kuadraangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian terbesar dari septum nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior dan tulang rawan septum

anterior; vomer membentuk bagian posterior dari septum nasi, sementara krura medial dari kartilago alar mayor dan prosesus nasal bawah (krista) maksila membentuk bagian anterior septum.

Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau lebih septum nasi; ini berhubungan dengan bagian horizontal os eternoid. Di bagian anterior dan superior berhubungan dengan os frontal dan os nasal, di posterior berhubungan dengan tonjolan os sfenoid, di postero-inferior dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago septum. Uluran kartilago septum berbanding terbalik dengan ukuran lamina perpendikularis os etmoid. Vomer terletak di septum nasi bagian posterior dan inferior. Dibagian superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina perpendikularis os etrnoid, dan di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os palatina. Tulang rawan septum bagian posterior mempunyai pinggir yang tipis dan masuk ke dalam alur dari lamina perpendikularis os etmoid, dan pinggir posterior juga masuk celah krista nasalis. Periosteum dan perikondrium dari tulang rawan septum dihubungkan oieh jaringan konektif yang dibentuk oleh ligamentum yang memungkinkan terjadinya gerakan dari tulang tersebut. Apabila jaringan konektif itu tidak ada atau salah satu sisi alur atau celah dari krista nasal tidak tumbuh dengan baik maka dislokasi tulang rawan septum mudah terjadi. Septum nasi didarahi oleh a.etmoidalis anterior dan posterior, a.sfenopalatina,a palatina mayor dan alabialis superior. A.stenopalatina mendarahi bagian posterior septum nasi dan dinding lateral hidung, khusus yana posterior. A.etmoidalis anterior dan posterior adalah cabang dari oftalmika yang berasal dari a.karotis intema. A.etmoidalis anterior adalah pembuluh darah kedua terbesar yang mendarahi hidung bagian dalam, yang mendarahi kedua bagian antero-superior dari septum dan dinding lateral hidung. Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri.

Pendarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A.Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri. Persarafan :
5

1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior 2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar 4 Vaskularisasi hidung

Gambar 5 Persarafan hidung

Gambar 6 Skematik perdarahan di septum nasalis 3. Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi selepital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

Mukosa penghidung terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Gambar 7 Mukosa hidung yang terdiri atas mukosa respiratori dan mukosa penghidu

Gambar 8 Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung B. Fisiologis hidung1 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
8

sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b . Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia c. Palut lendir (mucous blanket ). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. FISIOLOGIS PENCIUMAN2 Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama.

Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.

10

Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.

Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel. Indera penciuman mendeteksi zat yang melepaskan molekul-molekul di udara. Dia atap rongga hidung terdapat olfactory epithelium yang sangat sensitif terhadap molekul-molekul bau, karena pada bagian ini ada bagian pendeteksi bau (smell receptors). Receptor ini jumlahnya sangat banyak ada sekitar 10 juta. Ketika partikel bau tertangkap oleh receptor, sinyal akan di kirim ke the olfactory bulb melalui saraf olfactory. Bagian inilah yang mengirim sinyal ke otak dan kemudian di proses oleh otak bau apakah yang telah tercium oleh hidung.

11

Gambar 9 Epitelium olfaktori di atap rongga hidung

12

BAB II PEMBAHASAN

II.1 DEFINISI Abses septum adalah salah satu kelainan septum yang sering ditemukan selain deviasi septum dan hematoma. Abses septum nasi adalah kumpulan pus yang terdapat antara tulang rawan atau tulang pada septum nasi dengan mukoperikondrium atau muko periosteum. Abses akut pada septum jarang terjadi, dapat disebabkan oleh trauma paska bedah atau sebagai komplikasi penyakit infeksi, seperti thypoid, influenza, sinus supurativ, smallpox, dan tuberkulosis. Kebanyakan juga disebabkan karena trauma yang tidak disadari pasien.3 Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang dari septum terdiri dari lamina perpendikularis tulang etmoidalis disebelah atas, vomer dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan krista palatina. Sedangkan bagian tulang rawan terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior dan kolumela.

II.2 ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI Terjadinya abses septum nasi paling sering ditemukan akibat trauma pada hidung (75%). Trauma ini dapat terjadi akibat kecelakaan, perkelahian maupun olahraga. Selain trauma, abses septum nasi juga dapat terjadi akibat komplikasi dari operasi hidung. Penyebab lain adalah akibat penyebaran dari sinusitis etmoid dan sinusitis sfenoid. Di samping itu abses septum nasi dapat juga terjadi akibat penyebaran dari infeksi gigi. Organisme patogenik yang biasa menyebabkan abses septum nasi adalah Staphylococcus aureus. Pada beberapa kasus ditemukan pula adanya infeksi Pneumococcus pneumoniae, Streptococcus hemolyticus, Haemophilus influenzae, dan organisme anaerob. Abses septum nasi jarang ditemui dan biasanya terjadi pada laki-laki. Sebanyak 74% mengenai umur di bawah 31 tahun dan 42% mengenai umur antara 3-14 tahun. Lokasi yang paling sering ditemukan adalah pada bagian anterior tulang rawan septum. Eavey menemukan
13

tiga kasus abses septum nasi pada penelitian selama 10 tahun di rumah sakit anak di Los Angeles. Rumah sakit Royal Children di Melbourne, Australia melaporkan sebanyak 20 pasien abses septum selama 18 tahun dan di RS Ciptomangunkusumo didapati 9 kasus abses septum selama 5 tahun (1989-1994). Di bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 1999-2004 terdapat 5 kasus abses septum nasi.

II.3 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Penyakit ini sering di awali dengan trauma pada hidung yang menyebabkan pembuluh darah di mukoperitoneum robek, sehingga darah akan berkumpul diantara tulang rawan dan mukoperitoneum yang melapisinya. Hematom ini merupakan media yang sangat mudah terinfeksi dan menimbulkan proses supurasi yang berkembang menjadi abses. Abses septum nasi dapat mengakibatkan nekrosis tulang rawan septum oleh karena menghalangi suplai darah ke tulang rawan septum nasi. jika sudah terjadi nekrosis akan menyebabkan terjadinya perforasi, sehingga proses supurasi yang semula unilateral menjadi bilateral. Destruktif tulang membentuk cavitas yang akan diisi oleh jaringan ikat. Hilangnya sebagian besar jaringan penyokong bagian bawah hidung dan adanya retraksi jaringan parut, akan menyebabkan terjadinya deformitas hidung berupa hidung pelana dan retraksi columela. Abses septum nasal merupakan perkembangan dari hematom nasi. Destruksi tulang rawan merupakan akibat dari iskemik dan nekrosis karena tekanan. Proses peradangan diperberat oleh kematian sel serta pelepasan enzim proteolitik dan kolagenase. Selain dari trauma ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan timbulnya abses septum, yaitu penyebaran langsung dari jaringan lunak yang berasal dari infeksi sinus. Di samping itu penyebaran infeksi dapat juga dari gigi dan daerah orbita atau sinus kavernosus. Pada beberapa kondisi, abses septum bisa diakibatkan oleh trauma pada saat operasi hidung. 4

II.4 GEJALA KLINIK


14

Gejala abses septum nasi adalah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri hebat, terutama terasa di puncak hidung. Juga tedapat keluhan demam dan sakit kepala. Obstruksi umumnya satu sisi setelah beberapa hari karena nekrose kartigalo pus mengalir ke sisi lain menyebabkan obstruksi nasi bilateral dan total. Dengan adanya proses supurasi tersebut akan terjadi penumpukan pus yang semakin lama semakin bertambah banyak sehingga mengakibatkan terjadinya pembengkakan septum yang bertambah besar. Biasanya pasien mengeluh hidungnya bertambah besar.3

II. 5 PEMERIKSAAN a. Inspeksi Tampak hidung bagian luar ( apex nasi) yang hiperemi, oedem, dan kulit mengkilat. b. Palpasi Didapatkan nyeri pada sentuhan c. Rhinoskopi anterior Pembengkakan pada septum nasi berwarna merah keabu-abuan berbentuk bulat pada satu atau kedua rongga hidung, terutama mengenai bagian paling depan tulang rawan septum. Pada perabaan terdapat nyeri tekan, terasa lunak, dan pada pemberian kapas yang dibasahi dengan solutio tetrakain efedrin 1%, pembengkakan tersebut tidak mengempis. d. Pungsi dan aspirasi Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam abses dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.4

Abses septum nasi memiliki penampakan yang khas pada pemeriksaan CT-Scan sebagai akumulasi cairan dengan peninggian pinggiran yang tipis yang melibatkan septum nasi. Hasil pemeriksaan CT-scan pada abses septum nasi adalah kumpulan cairan yang berdinding tipis

15

dengan perubahan peradangan di daerah sekitarnya, sama dengan yang terlihat pada abses di bagian tubuh yang lain.

II.6 DIAGNOSIS Diagnosis abses septum ditegakkan apabila terdapat riwayat trauma, riwayat operasi atau infeksi intranasal. Kebanyakan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh penderita. Diagnosa abses septum dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis berupa obstruksi nasi bilateral yang parah dengan rasa nyeri di hidung. Pada pasien juga dapat ditemukan adanya demam dan menggigil serta nyeri kepala di bagian frontal. Diagnosis pasti adalah dijumpai adanya nanah pada aspirasi abses.3 Diagnosis banding adalah Hematoma septum, Septum deviasi, Furunkulosis dan Vestibulitis.

II.7 PENATALAKSANAAN 1. Insisi Insisi dapat dilakukan dengan anestasi lokal atau anestasi umum. Incisi di buat vertikal pada daerah yang paling berfluktuasi. Incisi abses dapat unilateral atau bilateral, kemudian dilakukan evakuasi pus, bekuan darah, jaringan nekrotik dan jaringan granulasi sampai bersih, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan drain. Drain dipertahankan sampai 2-3 hari, jika drain masih diperlukan dapat dipertahankan. 2. Dipasang Tampon Pada kedua rongga hidung dipasang tampon anterior setelah dilakukan incisi dan pemasangan drain, tampon anterior tiap hari diganti, dan dipertahankan selama 2 sampai 3 hari. Bila pus masih ada luka dibuka lagi. 3. Pemberian Antibiotik Antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan gram negatif, serta kuman anaerob dapat diberikan secara parenteral. Sebelum diperoleh hasil kultur dan tes resistensi dianjurkan untuk
16

pemberian preparat penicillin IV dan kloramfenikol IV, serta terapi terhadap kuman anaerob. Pada kasus tanpa komplikasi, terapi antibiotik parenteral diberikan selama 3 sampai 5 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral selama 7-10 hari kemudian.4

II.8 KOMPLIKASI 1. Nekrosis Kartilago Abses septum nasi dapat menyebabkan komplikasi estetis berupa deformitas hidung (lorgnet nose) yang disebabkan oleh karena nekrose kartilago sehingga terjadi kerusakan sebagian besar jaringan penyokong bagian bawah hidung. 2. Perforasi septum nasi Perforasi septum nasi yang disebabkan oleh karena abses dapat menyebabkan terjadinya kavitas yang kemudian diisi jaringan ikat sehingga menyebabkan terjadinya retraksi, jaringan parut, yang kemudian menyebabkan terjadinya retraksi columela. 3. Infeksi Intrakranial Komplikasi Intrakranial dapat berlangsung melalui berbagai jalan yakni melalui saluran limfatik memasuki sirkulasi sistemik dan kemudian masuk ke meningen ataupun melalui seluruh perineural pada lamina cribosa dan area olfaktori sehingga menyebabkan komplikasi meningitis. Selain itu dapat timbul pula trombosis sinus kavernosus dan sepsis.4

II. 9 PROGNOSIS Prognosis tergantung kepada kecepatan di terapi sebelum komplikasi terjadi. Dubia ad bonam jika dilakukan tatalaksana yang adekuat sebelum terjadi perubahan anatomi pada hidung. Gangguan penghidung akibat obstruksi jalan napas dapat terjadi.

17

BAB III KESIMPULAN Kebanyakan abses septum dikarenakan oleh trauma tumpul yang kadang tidak disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman dan menjadi abses. Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif disertai rasa nyeri yang berat, terutama di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Pemeriksaan lebih baik tanpa menggunakan speculum hidung. Tampak pembengkakan septum yang bulat dengan permukaan licin. Abses septum harus segera diobati sebagai kasus darurat karena komplikasinya apat berat yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrose tulang rawan septum. Terapinya, diakukan insisi dan drainase nanah serta diberikan antibiotic dosis tinggi. Untuk nyeri dan demam diberikan analgetika. Untuk mencegah terjadinya defomita hidung, bila sudah ada destruksi tulang rawan perlu dilakukan rekonstruksi septum. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (melesak). Juga dapat menyebabkan komplikasi intracranial atau septikemi.

18

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. Snell S, Ricard. Anatomi klinik edisi 3 diterjemahkan oleh Adji Darmana, Mulyani. Jakarta: EGC;1998. h. 113 2. Ellis H. Clinical anatomy. 11thed. [CD-ROM] Massachusetts : BlackwellPublishing; 2006. h. 159-161 3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restusti RD; editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 4. Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997.

19

Anda mungkin juga menyukai