Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Nama Ayah Pekerjaan/pangkat Suku bangsa Nama Ibu Pekerjaan/ pangkat Suku bangsa Alamat Rumah Agama : An.M : 6,5 th : Perempuan : Tn.M : Buruh : Padang : Ny. F : IRT : Padang : jl. Tomang banjir kanal rt 004 no.4 : Islam

Masuk Rumah Sakit Tanggal : 13 November 2012 Datang sendiri / dikirim oleh : Datang sendiri

II. ANAMNESA (Alloanamnesa) Keluhan utama Keluhan tambahan : Demam 7hari : Lemas, pusing,BAB cair, mual disertai muntah, Tidak nafsu makan Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke RS MRM dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS, demam dirasakan naik turun dan demam dirasakan semakin tinggi terutama sore dan malam hari. Keluhan disertai badan terasa lemas, pasien tidak mau makan karena selalu merasa mual dan muntah setiap makan, muntah berisi makanan yang dimakan dengan frekuensi 4-5 kali sehari. Selain itu pasien juga mengeluh BAB cair seperti air, ampas (-), lendir (-), darah (-) sebanyak 3-4 kali sehari selama 7 hari banyaknya lalu menjadi konstipasi selama 2 hari. BAK normal seperti biasa. Pasien juga mengaku tidak pernah melakukan perjalannan keluar kota selama setahun ini. Batuk dan pilek (-), penurunan berat badan secara drastis (-), keringat
1

dingin pada malam hari (-). Pasien juga mengaku sering jajan disekolahannya. Pasien sudah pernah berobat ke klinik namun panasnya tidak turun dan keluhan semakin memberat, akhirnya pasien dibawa ke rumah sakit M.Ridwan Meureksa.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga : Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan pasien. Didalam keluarga pasien tidak ada yg terinfeksi penyakit TBC

Riwayat Kehamilan: Riwayat Kehamilan Perawatan antenatal Tempat lahir Ditolong oleh Cara persalinan Berat badan lahir Panjang badan lahir Usia gestasi Keadaan bayi saat lahir lengkap Kelainan bawaan (sebutkan ) : Tidak ada : G2 P2 A0 : Teratur : Rumah sakit : dokter spesialis : Sc sungsang : 3200 gram : 51 cm : Cukup bulan : Langsung menangis, anggota tubuh

Riwayat perkembangan: o Pertumbuhan Gigi I o Psikomotor : 10 bulan : Tengkurap Duduk Berdiri Bicara Berjalan : 4 bulan : 10 bulan : 11 bulan : 2 tahun : 13 tahun
2

Riwayat Makanan Umur 0 2 bulan 2 4 bulan 4 6 bulan 6 8 bulan 8 10 bulan 10-12 bulan ASI / PASI ASI ASI ASI ASI +PASI PASI PASI Buah/biscuit Pisang Pisang, biscuit Pisang, biscuit Bubur susu Bubur susu Bubur susu Bubur susu Nasi Tim Nasi tim saring Nasi tim saring

Di atas 1 tahun Makanan biasa Nasi Sayur Daging,telur,ikan Tahu,tempe Susu, merk, dan takaran Kesulitan makanan : 3x sehari : 3x sehari : 3x sehari : 3 hari sekali, selang seling : hampir setiap hari : Bendera, takaran 2 - 3 x sehari :-

Kesan (pola, kualitas dan kuantitas) : cukup

Riwayat Imunisasi Hepatitis BCG DPT Polio Campak : 3 x (usia 1, 2, dan 7 bulan) : 1 x (usia 1 bulan) : 3 x (usia 2, 4, 6 bulan) : 3 x (usia 2, 4, 6 bulan) : 1 x (usia 9 bulan)

Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap.

Riwayat Keluarga Masalah dalam keluarga Perumahan : tidak ada : cukup padat
3

Keadaan rumah Daerah lingkungan Sumber air lingkungan Sumber air lain

: ventilasi baik : bersih : pompa air : sumur

II.

PEMERIKSAAN FISIK Berat badan sekarang Berat badan sebelum sakit Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu tubuh Turgor Cyanosis Icterus Dispneu : 18 kg : 20 kg : 100 x / menit, reguler, isi cukup : 30 x / menit : 36,5 C : kembali cepat : (-) : (-) : (-)
0

Keadaan Umum Keadaan sakit Kesadaran Gizi : Tampak sakit sedang : Compos mentis : Baik

Kepala Bentuk kepala Rambut : Normocephal : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut Ubun-ubun besar : sudah menutup

Mata Palpebra Konjungtiva Sklera Cekung Air mata : udem -/: anemis -/: ikterik -/: tidak cekung : +/+
4

Telinga Serumen Liang Gendang : tidak ada : tampak lapang : tampak intak

Hidung Septum Sekret : deviasi -/: sekret -/-

Mulut Bibir Gusi Lidah : mukosa bibir basah : bekuan darah (-) :coated tongue (-),tepi hiperemis(-), tremor (-) Tonsil Faring : T2-T2 hiperemis, permukaan rata : hiperemis

Leher Kelenjar getah bening : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax Paru : Inspeksi : Pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis pada kedua lapang paru, retraksi (-) Palpasi Perkusi Auskultasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris : Sonor pada kedua lapang paru : suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung: Inpeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis tidak teraba : Batas jantung dalam batas normal
5

Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-) : simetris : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik : Tidak teraba pembesaran : Tidak teraba pembesaran : Timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-) : Bising usus (+) N : Tidak ada pembesaran kelenjar (-) : Laki-laki, tidak ada kelainan : Akral hangat, edem (-/-) dan sianosis (-/-) : Positif pada keempat anggota gerak : Tidak ada pada keempat anggota gerak

Abdomen Inspeksi Palpasi Hepar Lien Perkusi Auskultasi

Kelenjar-kelenjar Genitalia Ekstremitas atas & bawah Refleks fisiologis Reflek patologis

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG WAKTU MASUK Hb Leukosit Trombosit Ht SGOT SGPT : 12,2 g/dl : 5000 /mm3 : 167.000/mm3 : 36 % : 17 : 17

Widal ( 13-11-2012 ) S.Typhi (O) : 1/320 S. Typhi (H) : (-) S.Paratyphi (OA) : 1/160 S.Paratyphi (HA) : (-) S.Paratyphi (OB) : 1/320 S.Paratyphi (HB) : (-) S.Paratyphi (OC) : 1/320 S.Paratyphi (HC) : (-)

IV. RESUME Berdasarkan anamnesis didapatkan data bahwa pasien : Seorang anak perempuan, umur 6,5 tahun dengan BB 18 kg demam sejak 7 hari SMRS yang disertai dengan badan terasa lemas, BAB cair 7hari kemudian menjadi konstipasi 2hr, mual dan muntah. Muntah setiap makan, muntah berisi makanan yang dimakan dengan frekuensi 4-5 x sehari. Nafsu makan dan minum menenurun sejak sakit Sebelumnya pasien pernah berobat ke klinik tetapi tidak ada perubahan dan kondisi semakin berat. Dari pemeriksaan fisik didapatkan :

peningkatan suhu tubuh yaitu 39,5C pada malam hari lidah kotor (coated tongue) (-), tepi hiperemis(-), tremor (-) nyeri tekan epigastrium (+) dan tidak ditemukan adanya pembesaran hepar dan lien.

Dari pemeriksaan penunjang


S.Typhi (O) : 1/320 S. Typhi (H) : (-) S.Paratyphi (OA) : 1/160 S.Paratyphi (HA) : (-) S.Paratyphi (OB) : 1/320 S.Paratyphi (HB) : (-) S.Paratyphi (OC) : 1/320 S.Paratyphi (HC) : (-)

V.

DIAGNOSA KERJA
Demam typhoid

VI. DIAGNOSA BANDING


Demam malaria ISK TBC
7

VII. PENATALAKSANAAN IVFD RL 20 tetes/ menit (makro) (10 kg x 100) + (10 kg ke 2 x 50) 24jam /60menit Chloramphenicol 4x250mg Parasetamol tab 3x 250 mg Domperidon syrup 3x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm x20

VIII.

PROGNOSIS Quo ad Vitam Quo ad Functoinam Quo ad Sanationam : ad bonam : ad bonam : ad bonam

IX. FOLLOW UP 14 november 2012


S

15 november 2012 Demam (-), muntah (-), mual (-), nyeri ulu hati (+),BAB konstipasi, BAK(+) N.

Demam (-), Lemas (+),pusing (+), mual (-), muntah (-) 5, nafsu makan berkurang, BAK (+) N, BAB konstipasi

O Ku/Ks : sakit sedang / CM

Ku/Ks : sakit sedang / CM N : 120 x / menit reguler, isi cukup R : 20 x / menit S : 37,40 C Mata : CA -/- , SI -/-, mata cekung -/THT : T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-) Thorax : jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : datar, NTE (+), tympani, BU (+) N Turgor : Kembali cepat
8

N : 104 x / menit reguler, isi cukup, R : 30 x / menit S : 37,60 C Mata : CA -/-, SI -/-, mata cekung -/THT : T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-), Mukosa bibir lembab, lidah kotor (-) Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : supel, datar, NTE (+), timpani,

BU (+) N, Turgor : Kembali cepat Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-),sianosis (-) Rumpeleed (-)

Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-)

Demam typhoid

Demam typhoid

Infus RL 20 tetes/menit chloramphenicol 4 x 250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Paracetamol tab 3x250 mg Vitamin syrup 2x1 sdm Diet lunak, rendah serat, tinggi protein,tinggi kalori

Infus RL 20 tetes/menit chloramphenicol 4 x 250 mg Paracetamol tab 3x250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm Diet lunak, rendah serat, tinggi protein,tinggi kalori

16 november 2012
S

Pusing, nyeri pada ulu hati (+)

O Ku/Ks : sakit sedang / CM

N : 64 x / menit reguler, isi cukup R : 24 x / menit S : 37,0 0 C Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra -/THT :T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-), mukosa bibir basah Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : supel, datar, NTE (-), BU (+), timpani, Turgor : Kembali cepat Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-),sianosis (-)
9

Demam typhoid

Infus RL 20 tetes/menit chloramphenicol 4 x 250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm Diet lunak, rendah serat, tinggi protein,tinggi kalori

17 november 2012
S O

Lemas, nyeri pada ulu hati (+) Ku/Ks : sakit sedang / CM N : 120 x / menit reguler, isi cukup R : 20 x / menit S : 36,1 0 C Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra -/THT :T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-), mukosa bibir basah Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : supel, datar, NTE (-), BU (+), timpani, Turgor : Kembali cepat Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-),sianosis (-)

Demam typhoid

chloramphenicol 4 x 250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm


10

Diet lunak, rendah serat, tinggi protein,tinggi kalori

18 november 2012
S O

Lemas Ku/Ks : sakit sedang / CM N : 110 x / menit reguler, isi cukup R : 22 x / menit S : 36,5 0 C Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra -/THT :T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-), mukosa bibir basah Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : supel, datar, NTE (-), BU (+), timpani, Turgor : Kembali cepat Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-),sianosis (-)

Demam typhoid

chloramphenicol 4 x 250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm Diet lunak, rendah serat, tinggi protein,tinggi kalori

19 november 2012
S O

Tidak ada keluhan Ku/Ks : sakit sedang / CM


11

N : 119 x / menit reguler, isi cukup R : 24 x / menit S : 36,1 0 C Mata : CA -/-, SI -/-, oedem palpebra -/THT :T1-T1 hiperemis permukaan rata, faring hiperemis (-), mukosa bibir basah Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g () Paru : SN vesikuler, rh -/-, wh /Abd : supel, datar, NTE (-), BU (+), timpani, Turgor : Kembali cepat Hepar : tidak teraba membesar Lien : tidak teraba membesar Ekst : akral hangat, udem (-),sianosis (-)

Demam typhoid

chloramphenicol 4 x 250 mg Domperidon syrup 3 x 1 sdm Vitamin syrup 2x1 sdm

X. DIAGNOSA AKHIR Demam typhoid

12

ANALISA KASUS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan temuan berikut ini : Diagnosa pada kasus ini adalah Demam Typhoid ditegakkan anamnesa dan permeriksaan penunjang : Berdasarkan anamnesa didapatkan demam 7 hari yang dirasakan naik turun dan semakin tinggi pada sore dan malam hari. Panas Keluhan disertai badan terasa lemas, tidak nafsu makan karena merasa mual dan muntah setiap makan, muntah berisi makanan yang dimakan dengan frekuensi 4-5 kali sehari. Selain itu, pasien mengeluh BAB cair seperti air, sebanyak 3-4 kali kemudian menjadi konstipasi. Pasien sering jajan di sekolah. Berdasarkan pemeriksaan fisik pasien : Keadaan umum Suhu waktu datang Frekuensi nadi Frekuensi nafas Lidah Tenggorokan hiperemis. Abdomen pembesaran. :nyeri tekan epigastrium,(+) hepar dan lien tidak teraba :36,5 C : 100 x/menit :30x/menit : coated tongue (-), tepi hiperemis (-), tremor (-) : T2-T2 Hiperemis, permukaan rata, faring tampak : sakit sedang

Berdasarkan pemeriksaan lab : Widal:


S.Typhi (O) : 1/320 S. Typhi (H) : (-) S.Paratyphi (OA) : 1/160 S.Paratyphi (HA) : (-) S.Paratyphi (OB) : 1/320 S.Paratyphi (HB) : (-) S.Paratyphi (OC) : 1/320 S.Paratyphi (HC) : (-)

13

14

BAB I PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. 1,2,3 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 1525 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. 3,5,6 Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.7 Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. 2,3,8 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara
15

menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier. 3

16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi Demam thypoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam dkk,2005 : 152 ). Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang, dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik. Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupu setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, didalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejalagejala dari demam tifoid. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.

17

B. Epidemiologi Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya AsiaTenggara. Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian 10%.Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun. Di Indonesia dilaporkan antara umur 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi

Gambar. Bakteri Salmonella Typhi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
18

membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

D. Patogenesis dan Patofisiologi

19

Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini, kuman di fagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5 9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa baktremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida), yang semula di duga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid. Pada penelitian lebih lanjut terutama endotoksin hanya mempunyai peranan membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut, kuman ini berkembang. Demam tifoid disebabkan oleh salmonella thyposa dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah memengaruhi pusat termuregulator di hipotalamus yang mengekibatkan timbulnya gejala demam. Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis sebagai berikut : makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat

20

menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilasi vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah terdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati sumsum tulang dan organ-organ yang terinfeksi. Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tofoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital. E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
21

remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat

dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen. Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas. Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG . Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

22

1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan

23

positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 7090% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (1015%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

24

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

3.1

UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh
25

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh

3.2

TES TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

26

3.3

METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

27

3.4

METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. 3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
28

G. Diagnosis Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot.
29

Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah. Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.

(2) Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
30

penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu; 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagel kuman) 3. Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti

mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
31

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid. 2. Gangguan pembentukan antibodi. 3. Saat pengambilan darah. 4. Daerah endemik atau non endemik. 5. Riwayat vaksinasi. 6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

b) Faktor teknik, yaitu 1. Akibat aglutinin silang. 2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: 1. Negatif Palsu Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

2. Positif Palsu Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

32

(3) Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi. Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polimerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara sfesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas.

H. Dignosis Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.

I.

Penyulit (Komplikasi) Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 3%, sedangkan perdarahan usus pada 1 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada inggu pertama. Komplikasi di dahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas. Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri
33

dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis tranversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele). Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karies). Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian antiboitik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalsens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.

34

J. Penatalaksanaan Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain : Kloramfenikol Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis yang dianjurkan ialah 50 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari.

Tiamfenikol Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 6 hari. Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan. Dosis oral dianjurkan 50 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 14 hari.

Kotrimoksasol Pendapat mengenai Efektifitas kotrimksasol terhadap demam tifoid masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus
35

yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD, Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 14 hari.

Ampisilin dan Amoksisilin Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap Ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 18%), dan diare (11%). Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 5%) dan karier (0 5%). Dosis yang dianjurkan adalah : Ampisilin 100 200 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

Ceftriakson Dosis yang dianjurkan adalah 50 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam 2 dosis iv.

Cefotaxim Dosis yang dianjurkan adalah 150 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4 dosis iv.
36

Ciprofloksasin Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun.

K. Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

L. Pencegahan Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

37

M. Vaksin Demam Tifoid Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subcutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan

perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

38

39

Anda mungkin juga menyukai