Anda di halaman 1dari 145

BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Siddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum Redaksi Pelaksana Ellia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: buletinhukum_dhk@bi.go.id Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi

Halaman ini sengaja dikosongkan

DARI MEJA REDAKSI

Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 1, Edisi Januari April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel. Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini. Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H., MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H. Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.
Jakarta, April 2013

Redaksi

Halaman ini sengaja dikosongkan

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI APRIL 2013
Halaman Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... Daftar Isi................................................................................................................................................. Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.................... Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum. Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.......................................... Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H. Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan....................................... Alex Kurniawan S.H., M.H. Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal.................................................................... Josua Sitompul, S.H., IMM. Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah.................................................................................... Dayanto, S.H., M.H. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.......................... 107 - 110 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.................... 111 - 137 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia) 95 - 105 71 - 94 39 - 69 19 - 38 1 - 18 i iii

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
1

Oleh : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum2
Abstrak Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai theory of combines process intitutionalized (teori kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan. Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.

A. Pendahuluan Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang berkaitan dengan posisi kelembagaan dan

independensinya amat dipengaruhi oleh theory of delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh

Sebagian Analisis Penelitian Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta

kepada decetion making role of governing bodies dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(market) yang berkembang dalam dinamika masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang demikian ini juga mempengaruhi penyusunan konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara yang menganut paham demikian, kecuali Inggris, selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai ekonomi sama sekali. Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali. Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan secara serentak dan sering dikenal sebagai Bill of Rights karena isinya menyangkut hak asasi. Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem perekonomian seperti yang lazim diatur dalam konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan, perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian, ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuanketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan dalam manajemen kekayaan alam yang secara langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau sosialisme. Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai sekarang tidak pernah mengatur mengenai
3

perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan, ketentuan mengenai perekonomian bukanlah merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan American exeptionalism, yang terwujud dalam absennya gerakan sosial yang mempengaruhi konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas, dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang berhubungan dengan perekonomian tersebut.3 Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan pengelolaan sumber daya perekonomian dan pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah. B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of Delegation Monetery menuju Theory of Combines Process Intitutionalized Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh 6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama di negara-negara yang berpendapatan rendah, menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga

Cass R. Sunstein, Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara berkembang, Bank Sentral mengarah kepada instrumen moneter dengan campur tangan politik yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya. Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat politik menciptakan lingkungan negara yang lemah akan memberikan dorongan yang besar untuk menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral. Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya, struktur Bank Sentralrelasi dengan Parlemen, kepala negara, kabinet, atau kementerianakan ditentukan oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut. Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum, sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh UndangUndang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan saham pribadi. Struktur pemerintahan akan menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana dan organ pengawas.5 Kelima, faktor konstitusi. Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi. Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan

peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi di negara-negara yang mengalami transisi biasanya mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas. Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai The Federal Reserve System di Amerika Serikat termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai ketentuan semacam itu. Di negara lain, UndangUndang diubah beberapa kali dalam kurun waktu tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral 1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun 2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7 Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai theory of combines process intitutionalized (teori kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi

Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok). Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, The Very Uncertain Prospect of Global Convergence in Corporate Governance, Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321362.

Lihat: Eva Gutirrez, Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean, IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund). Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence, European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 15691593.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah emnciptakan keseimbangan baru. Berdasarkan argumen menurut theory of combines process intitutionalized, maka relasi antara parlemen dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut. Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika berselisih dengan Pemerintah. Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5 (lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia, Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia, Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua, Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima) tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8, Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,

Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18, Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22, Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27, Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima) tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,

14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992. 17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003. 18 Bank of Slovenia Act of July 2002. 19 Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001. 20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002. 21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001. 22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002. 23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendmentRT I 1999,16, 271. 24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001. 27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003. 28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999. 29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002. 30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001. 31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780). 32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780). Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002. 11 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995. 12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001. 13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37, Hongaria38, Latvia39, Lithuania40, dan Filipina.41 Peru43, Kelima, dan tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan Gubernur seperti di Afrika Thailand.44 Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurangkurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara berkembang, kecenderungan campur tangan Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso, Cte dIvoire, Guine Bissau, Mali, Niger, Senegal danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara menganut ketentuan ini kecuali negara seperti Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar Selatan42,

ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh, Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i) Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan umum di Parlemen seperti di Selandia Baru. Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45 mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat masingmasing isu tersebut. Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang, sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil dan yang besar tetap saja mampu melakukan

33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002. 34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002. 35 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995. 36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001. 37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002. 38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001. 41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992. 42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000. 43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993. 44 Bank of Thailand Act 2485.

pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur (Governor) secara otomatis merupakan Ketua (Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam) anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam) anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang

45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya. 46 Berger et al (2006) 47 Istilah lain adalah Presiden.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur, dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang mewakili Menteri Keuangan. Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuanketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional, misalnya pengalaman dalam sektor perbankan, keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan internasional seperti persyaratan di Kolumbia. Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman 8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela, calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya 40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendahrendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun. Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi, ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan

warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh International Monetery Fund dan diambil dari negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas setempat memberikan kewargenaraan dan mereka dicalonkan kembali. Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme fit and proper test untuk tercapai standar moralitas tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan. Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama. Sebagai contoh di The Federal Reserve System mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua anggota Executive Board (termasuk Presiden dan wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur maksimal 2 (dua) periode masa jabatan. Masalah pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Dewan Gubenur masingmasing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank Sentral, sementara untuk anggota masing-masing dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1 orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing 1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen, sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur. Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria, Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali Parlemen. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek dan Jo Anne Morrist48 terhadap 100 Bank Sentral menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut: (i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak 31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12 negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak 17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak 12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara. Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii) memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23 negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan

Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi) memerlukan persetujuan yang menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49 Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut: (i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii) mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara. Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama diantara banyak negara, yang pada garis besarnya mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat nonpolitik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko, Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria. Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan kondisi tertentu seperti di Rumania. C. Praksis di Indonesia Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal 15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau 7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi

48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, Central Bank Governance: A Survey of Board and Management, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.

49 Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17 menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political independence terbatas. Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968, rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan dilakukan oleh Presiden secara pribadi50 seperti yang berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii) pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi; (iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian dilakukan oleh Presiden secara pribadi51; (vi) terdapat ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan (vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali karena kedudukannya. Political independence bagi Bank Indonesia meningkat cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.

Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia, juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan pengalaman terutama berhubungan dengan karier calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat karir di Bank Sentral. Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan, dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior merupakan wewenang penuh dari Presiden, sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyakbanyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (19671973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998). 51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (19671998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya, Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik; atau karena kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan Gubernur tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43 mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa hak suara atau veto. Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan

itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calonAgus Martowardoyo55 dan Raden Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian memancing perdebatan seru di balik drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai upaya politis untuk mempengaruhi independensi BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan dalam hubungan antarlembaga negara. Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-

menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI. 54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126. 55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. 56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.

53 YPPI diduga mengalirkan dana gelap sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang bank sentral yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis oleh Kwik Kian Gie57, proses perubahan undangundang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah mencapai keberhasilan. Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.58 Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) yang beruntung karena pada masa jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak

mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR. Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan, pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden; (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i) pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan secara berkala. Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung

57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81. 58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (19881993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (19982003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang berprestasi karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.

norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat

10

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil Pemerintah dalam Dewan Gubernur. Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara, kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2 (dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk dalam kualifikasi persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri. Apalagi persetujuan tidak semata-mata kata akhir, akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah klausula undang-undang mengenai mempunyai keahlian dan pengalaman utnuk kompetensi profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga politik? Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang hendak dicari adalah the values an individualplaces on the benefits of a central bank position. Seperti dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori ini maka, This is a series of decisions that takes into

account the effects switching jobs might have on both his personal and professional lives.59 Dengan adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka akan timbul suatu penilaian bahwa Rational candidates seeking to maximize their electoral prospects must go hunting where the ducks are, tailoring their appeal to those prospective voters who are both likely to turn out and susceptible to conversion.60 Selanjutnya, The important question here is whether the candidates know where there are ducks and, having found them, if they can distinguish the live birds from the decoys. More specifically, if a potential candidate does not think that there are enough voters in the area where he lives who will support his candidacy, he will likely choose not to run for office.61 Di dalam praktik, persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan mekanisme fit and proper test untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan fit and proper test itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masingmasing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut; (iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan terkait untuk melaksanakan fit and proper test dan ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc. 60 Ibid. 61 Ibid.

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kemudian melaksanakan kegiatan fit and proper test yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait kemudian menetapkan keputusan untuk menerima atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden, yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait kemudian menyampaikan secara resmi keputusan fit and proper test kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden. Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai mekanisme dan pelaksanaan fit and proper test persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat pengujian yang tidak tegas apakah mencakup kompetensi moralitas atau kompetensi profesional calon. Sebuah fit and proper test yang menilai calon yang sudah memenuhi persyaratan UndangUndang untuk jabatan tertentu seperti anggota Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji kompetensi moralitas guna menemukan calon yang mempunyai kepribadian dan kecakapan yang tidak tercela seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme hearing di Senat Amerika Serikat dalam menentukan calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa fit and proper test oleh lembaga politik semacam Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian terhadap penilaian komptensi profesional calon. Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik

kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi dasar pendapat untuk menyatakan validitas fit and proper test. Sebagai sebuah realitas politik yang kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen, akan tetapi persoalan yang sangat penting di Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63 Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap makna persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64 Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65 Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional

63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011. 64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) DaI Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).

62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

12

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2008 dan 2010.66 Sekalipun pada awalnya dikritik oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali. Artinya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang diajukan oleh Presiden hanya satu. Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calonAgus Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut. Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober 2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon akan menjadi konvensi ketatanegaraan.

Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan independensi itusekurang-kurangnya terhadap 3 (tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan, meskipun terpisah namun kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya. Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan. Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior, hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan masing-masing hanya satu calon untuk kemudian dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur, dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden. Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan

66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satusatunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).

Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan. Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

sebagai organ konstitusi dengan status yang independen, maka tugas dan wewenang Gubernur dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas moneter menurut ketentuan Undang-Undang. Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan baru berdasarkan theory of combines process intitutionalized, penting untuk dilakukan prosedur pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan political appointee, dapat saja diatur bahwa calon Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/ Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu, penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. D. Kesimpulan Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama, walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau

kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.

14

DAFTAR PUSTAKA

Abner S. Greene, Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking, 1994, University Chicago Law Review Vol. 61. Adam N. Steinman, A Constitution for Judicial Lawmaking, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64. Adam Posen, Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics, dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University Press, 2003. Amy J. Weisman, Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10. Alison Marston Danner, Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the Independent Counsel, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55. Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave. Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila. Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita. Allan Drazen, Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization, Journal of Applied Economics, Vol. V, No. 1, May 2002. Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bernard Schwartz, Curiouser and Curiouser: The Supreme Courts Separation of Powers Wonderland, Notre Dame Law Review, 1990, Vol. 65. Bill Orr, Are the IMF and the World Bank on the right tack?, ABA Banking Journal, Marc 1990. Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations, Economic History, 2005, Vol. 32, No. 4. Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.

15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press. Brucke Ackerman, The New Separation of Power, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000. B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, Inflation targeting: A new framework for monetary policy?,The Journal of Economic Perspectives, Vol.11, No. 2 1997. Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American Congress, 17741789, Stanford, Stanford University Press. Carl Levin, The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance, 1987, Hofstra Law Review, No. 16. C.D. Romer, Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?, The American Economic Review, 2006, Vol. 76, No. 3. Christopher A. Ford, The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience, Case West of Journal International Law, 1996, Vol. 28 No. 3. Clive B. Briault, et.al., Independence and Accountability, Bank of England Working Papers Series, No. 49. Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy, New York, Cambridge University Press, New York, 2002. John Ferejohn and Charles Shipan, Congressional Inuence on Bureaucracy, Journal of Law, Economics, and Organization, 1990, Vol. 6. John Ferejohn, Judicializing Politics, Politicizing Law, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65. Maqdir Ismail, Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September 2006. Marc Flandreau, The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 18701880, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04. M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius. Martin A. Rogoff, The French (R)evolution of 19581998, Columbia Journal of Europe, Vol. 3. Martin S. Flaherty, The Most Dangerous Branch, 1988, Yale Law Journal No. 105. P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press. R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western Ontario, Canada. R.B. Barsky, The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation, Journal of Monetary Economics, 2007, Vol. 19, No. 1. R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model, Journal of Political Economy, 2003, Vol. 91. Rett R. Ludwikowski, Mixed Constitutions Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot, Birmigham International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16. Robert Elgie, Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3. Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press. Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard University Press. Stanley Fisher, Central Bank Independence Revisited, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2. Stephen G Cecchetti, Making Monetary Policy: Objectives and Rules, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16, No. 4. Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company, New York. Sain Gailmard dan John W. Patty, Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure, Working Paper Series September 2008. Skully Ahsan & Wickramanayake, Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006. Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York, Oxford University Press. Stephen L. Carter, The Independent Counsel Mess, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni. Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia. Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press. Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown. Thomas W. Merrill, The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising, New York University Law Review, Vol. 93, 1999. Thomas O. Sargentich, The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers, Cornell Law Review, 1997, Vol. 72. T.J. Jordan, Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence, Weltwirschaftliches Archive Vol 133. Ubdaibir S. Das, et.al., Financial Regulators, A Quartley Magazine of the IMF, 2002. V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , Institutions and Policies, Economic Policy , 1991, Vol. 6. V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial Countries, Economic Policy, 1991, Vol. 6. Wahyudi Djafar, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010. William B. Gwyn, The Indeterminacy of Separation of Powers, George Washington Law Review, 1999. William Poole, Central Bank Transparancy: Why and How?, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2001, No. 30.

18

OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN


1

Oleh : Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2

Abstrak Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi normal maupuan kondisi krisis. Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.

A. Pendahuluan Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan, maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand yang kemudian berimbas pada penambahan beban perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan

perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan ke kondisi sebelum krisis.3 Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan kesulitan solvabilitas serta berdampak pada dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negaranegara besar yang ada di dunia, yang antara lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat ke belahan Asia terutama negaranegara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4

Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia, pada Agusutus 2012. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III, Jakarta, hal. 1. Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa salah satu penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter. Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan yang dinamis dan saling terkait antar masing masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun lembaga pembiayaan non bank lainnya secara sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari6.

financial conglomerates, which is likely to produce important changes in the nature and dimensions of the individual intermediaries, as well as in the degree of consolidation of the banking and financial industri; and (2) growing securitization of the traditional forms of banking activity and the proliferation of sophisticated ways of bundling, repackaging, and trading risks, which weaken the classic distinction between equity, debt, and loans, bringing changes in the nature and dimensions of the financial markets7. Dengan adanya blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya, yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia, maka bentuk Single Financial Authority merupakan solusi yang terbaik.8 Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004, dimana dikatakan bahwa; Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro mengatakan bahwa The blurring effect causes two interdependent phenomena: (1) the emergence of Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi

Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, hal. 9.

DonatoMasciandaro, 2005, Financial Supervision Architectures And The Role Of Central, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1. Ibid, hal. 2

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 20109 namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22 November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya lembaga ini. Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan microprudential dan macroprudential.

negara berkembang adalah fungsi pengawasan yang tetap berada di bawah Bank Sentral. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik struktur finansial antara negara berkembang dengan negara maju seperti adanya penggunaan sistem perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa dan Jepang, menggunakan Universal Banking System sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara terintegerasi. Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan

Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya, haruslah memiliki informasi yang cukup atas pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya. Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil, dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak akan optimal. Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano mengemukakan bahwa The Central Bank of 48 Countries (57% of total) have the authority of banking supervison and of these 48 countries, 39 (81%) are developing and emerging economies.10 Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara

juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang dilakukan akan berupa pengawasan yang tebang pilih dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan baru. B. Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tujuan tunggal yakni untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran yang

Vide Pasal 34 ayat (2) UU 3/04 tentang Bank Indonesia.

10 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, Regulating Systemic Risk, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute, hal. 10.

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

aman dan efisien serta pengaturan dan pengawasan bank. Sebagai evaluasi atas dua krisis keuangan besar yang menimpa Indonesia, yakni krisis keuangan asia 1997/1998 dan krisis keuangan global 2008/2009, maka sebagai upaya untuk menghindarkan krisis atau setidaknya meminimalkan dampak ketika krisis di masa akan datang, sekaligus membantu Bank Indonesia untuk fokus dalam tugasnya mencapai kestabilan moneter maka pengaturan dan pengawasan bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Namun demikian, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dengan serangkaian ketentuannya, dirasa memiliki potensi untuk menimbulkan konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia. 1. Konflik dalam Sumber Pendanaan Otoritas Jasa Keuangan Anggaran pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu hal yang cukup banyak disoroti oleh berbagai kalangan, baik akademisi, praktisi perbankan maupun dari pihak Bank Indonesia sendiri. Hal tersebut dikarenakan di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menarik pungutan terhadap setiap pelaku di sektor jasa keuangan yang mana salah satunya berasal dari sektor perbankan, dan sehubungan dengan kewenangan itu pula maka setiap pelaku di sektor jasa keuangan kemudian dibebani dengan kewajiban untuk membayar pungutan tersebut.

lebih independen karena akan membuat Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak tergantung pada pemerintah. Hal tersebut, sejalan dengan yang disampaikan oleh Sigit Pramono, dimana ia mengatakan bahwa jika dana operasional Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN, maka independensi Otoritas Jasa Keuangan tentu akan sangat minim.11 Namun demikian, dengan adanya konsep pungutan yang dilakukan oleh lembaga pengawas terhadap objek pengawasannya, maka tentu akan berpotensi sangat besar untuk menimbulkan suatu ekses, yang pada gilirannya akan memberikan dampak negatif pada independensi, akuntabilitas serta kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan. a) Timbulnya Moral Hazards Salah satu permasalahan yang berpotensi untuk muncul apabila Otoritas Jasa Keuangan mengenakan pungutan adalah adanya pandangan bahwa pungutan tersebut akan berpotensi menimbulkan moral hazard antara Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas dengan para pelaku sektor jasa keuangan, dalam hal ini perbankan misalnya, selaku objek yang diawasi, sehingga sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan akan berupa pengawasan yang tebang pilih dan tidak Independen. Pemberlakuan kewenangan untuk melakukan

Secara filosofis, pungutan yang dikenakan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini pada hakikatnya ditujukan sebagai sumber alternatif dalam pendanaan operasional Otoritas Jasa Keuangan, yang mana pada awalnya, sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN. Sehingga dengan adanya pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tentunya diharapkan akan membuat Otoritas Jasa Keuangan

pungutan ini, diawali oleh pandangan bahwa apabila mengacu kepada bentuk pendanaan operasional BaFin di Jerman maupun APRA di Australia, maka dapat diketahui bahwa para auditee juga melakukan pembayaran kepada lembaga pengawas tersebut, sehingga

11 Sigit Pramono, Otoritas Jasa Keuangan, diakses dari www.adpi.or.id.

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

independensi dari lembaga pengawas menjadi lebih independen karena tidak tergantung dari anggaran negara. Namun disini penulis berpendapat bahwa, meskipun sisi positif dari ketentuan mengenai pungutan ini adalah akan memberikan independensi terhadap Otoritas Jasa Keuangan, khususnya dalam hal financial independence, namun pembentuk Undangundang juga seharusnya memperhatikan bahwa kondisi sosial-bisnis di suatu negara tentu berbeda dengan kondisi sosial-bisnis di negara lainnya. Sementara apabila melihat Indonesia sendiri, dapat diketahui bahwa kondisi sosial-bisnis di Indonesia sebagai Negara berkembang, khususnya di dalam industri sektor jasa keuangan seperti perbankan misalnya, masih sangat rentan terhadap moral hazards yang berkembang. Moral Hazard yang penulis maksud dalam hal ini adalah bahwa tingkat kedisiplian seperti dalam hal pelaksanakan Good Corporate Governance oleh para auditee akan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya celahcelah hukum dalam ketentuan perundangundangan, sehingga nantinya akan memberikan dampak pada kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan. Pasal 37 UU Otoritas Jasa Keuangan yang memberikan ketentuan adanya pungutan ini, dapat dikatakan merupakan celah hukum yang sangat berpotensial menimbulkan moral hazards tersebut. Hal ini dikarenakan dengan adanya pungutan ini, maka dikhawatirkan bahwa para auditee akan lebih cenderung untuk berpikir bahwa lebih baik membayar untuk tidak diawasi, daripada membayar namun diawasi dengan lebih ketat, dan sekalipun memang harus diawasi maka auditee yang membayar dengan nilai yang lebih tinggi tentu memiliki daya tawar untuk menekan Otoritas Jasa Keuangan agar melakukan pengawasan secara lebih longgar

daripada pengawasan yang dilakukan terhadap auditee yang membayar dengan nilai yang lebih kecil. Sehubungan dengan pendapat di atas, dan seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, perbankan merupakan sektor jasa keuangan yang memiliki 2 (dua) karakteristik utama. Pertama, perbankan merupakan sektor jasa keuangan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kepercayaan dari masyarakat, yang mana terlihat dari adanya penghimpunan dana yang berasal dari masyarakat. Sementara karakteristik kedua, adalah bahwa perbankan merupakan sektor jasa keuangan yang sangat rentan terhadap berbagai macam risiko, baik risiko kredit, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko operasional maupun risiko sistemik. Apabila dengan adanya pungutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini kemudian mengakibatkan pengawasan menjadi lebih longgar atau tidak prudent, maka nantinya fungsi pengawasan yang pada hakikatnya ditujukan untuk dapat meminimalisir risiko-risiko di sektor perbankan sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan, tidak akan tercapai. Sehingga pada gilirannya nanti, akan memberikan dampak terhadap stabilitas sistem keuangan yang merupakan tanggung jawab macroprudential dari Bank Indonesia. b) Biaya Ekstra Selain potensi moral hazards yang akan mungkin ditimbulkan, permasalahan lainnya adalah dengan adanya pungutan ini, maka nantinya akan membebani industri perbankan. Hal ini dikarenakan, sebagai sektor yang sangat rentan terhadap risiko, maka Bank Indonesia selaku bank sentral memiliki kewenangan untuk menentukan besaran jumlah Giro Wajib Minimum yang harus disediakan oleh setiap

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bank,12 sementara Lembaga Penjamin Simpanan selaku lembaga penjamin dalam sektor perbankan, juga mewajibkan kepada setiap bank untuk membayar premi secara berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagai bentuk penjaminan.13 Apabila sektor perbankan kemudian dibebani lagi dengan biaya tambahan berupa adanya kewajiban pungutan yang harus dikeluarkan oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu akan sangat membebani operasional perbankan, yang mana hal tersebut tentunya akan berimbas pada jumlah dana yang dapat dikucurkan oleh bank kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Permasalahan alokasi kredit tersebut patut untuk dikhawatirkan, karena hingga saat ini, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Bank Indonesia adalah terkait kurang optimalnya alokasi kredit yang dilakukan oleh perbankan, karena meskipun Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate secara signifikan, namun pertumbuhan Loan to Deposit Ratio (LDR) belum meningkat sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga Bank Indonesia selalu mencari jalan untuk mengarahkan perbankan agar dapat menekan biaya operasionalnya, serta menurunkan bunga pinjaman. Dengan demikian, alokasi kredit dapat lebih ditingkatkan, sehingga dapat mendorong perkembangan ekonomi. Permasalahannya adalah apabila industri perbankan kemudian harus dibebani lagi dengan biaya ekstra untuk membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan LDR perbankan akan terganggu,

lebih dari sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, dikhawatirkan tanggung jawab Bank Indonesia di bidang moneter nantinya akan terganggu. 2. Konflik dalam Disparitas Kewenangan Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tanggung jawab untuk mencapai dan menjaga stabilitas moneter sekaligus stabilitas sistem keuangan. Kedua stabilitas tersebut merupakan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan harus selalu disinergikan untuk mencapai kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan kebijakan moneter memiliki dampak terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, dimana stabilitas keuangan merupakan pondasi dasar dalam penentuan arah kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas moneter. Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa secara umum stabilitas sistem keuangan memperlihatkan ketahanan keuangan terhadap goncangan perekonomian, sehingga fungsi intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap berjalan dengan semestinya. Sementara stabilitas moneter hanya dapat terwujud dengan adanya stabilitas sistem keuangan, karena sistem keuangan merupakan media transmisi kebijakan moneter.14 Selanjutnya, dikatakan pula bahwa stabilitas menjadi penting karena sistem keuangan yang stabil akan menciptakan kepercayaan para penyimpan dana dan investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan. Dengan kestabilan sistem keuangan, akan mendorong fungsi intermediasi keuangan yang efisien, sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, mendorong semakin beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya perekonomian.15

12 Vide PBI No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. 13 Vide Pasal 6 ayat (1) butir a jo. Pasal 9 butir c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan 14 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 136. 15 Ibid., hal. 137.

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap stabilitas sistem keuangan dilakukan dengan dua pendekatan, yakni macroprudential dan microprudential. Dalam prakteknya otoritas yang melaksanakan macroprudential membutuhkan akses yang cepat dan mudah terhadap data microprudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data tambahan lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi telah membrikan pelajaran bahwa sangat diperlukan hubungan yang erat antara kewenangan dalam microprudential dan kewenangan dalam macroprudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada saat genting. Namun dengan adanya otoritas jasa keuangan, berarti ada pemisahan secara tegas antara pengawasan yang bersifat microprudential dan pengawasan yang bersifat macroprudential terhadap lembaga keuangan/bank di Indonesia. Padahal kedua aspek microprudential dan macroprudential adalah aspek yang sulit untuk dipisahkan karena keduanya akan saling mempengaruhi sehingga dalam perkembangan pemikiran di beberapa negara yang menerapkan pemisahan justru ada upaya untuk menyatukan kembali.16 Di Korea Selatan misalnya, pemisahan kelembagaan otoritas pemangku kewenangan makromoneter dan mikroperbankan yang dilakukan pada tahun 1999, atas saran dari IMF, justru berujung pada kurang pekanya institusi pemangku otoritas keuangan di negara tersebut dalam merespon guncangan krisis pada tahun 2008. Bank of Korea (BoK), sebagai institusi pemegang otoritas makromoneter menjadi lemah dan tidak memiiliki akses langsung pada kondisi perbankan pada saat yang krusial. Sebab akses pada data dan kondisi perbankan dimonopoli oleh satu institusi lain, yakni Financial Supervisory

Services (FSS) yang memiliki kedudukan sejajar dengan BoK.17 a) Arah Kebijakan Selama ini, kebijakan Bank Indonesia di sektor moneter dibuat dengan memperhatikan kebijakan di sektor perbankan dan sistem pembayaran, sehingga kebijakan di ketiga sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan saling mendukung. Hal ini dapat dilakukan karena Bank Indonesia memiliki kewenangan baik kewenangan secara macroprudential, maupun secara microprudential, sehingga Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dari masing-masing sektor secara cepat dan menyeluruh, dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengeluarkan kebijakan. Ferguson menyatakan bahwa hubungan antara kebijakan moneter, kelancaran sistem pembayaran dan kondisi perbankan merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena informasi yang diperoleh Bank Sentral dari pengawasan bank memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan moneter, begitupun sebaliknya dimana stabilitas sektor moneter memberikan kontribusi yang sangat besar bagi arah pengembangan sektor perbankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Bank Sentral dapat mengeluarkan kebijakan moneter yang baik karena memiliki kewenangan terhadap pengawasan bank, dan sebaliknya Bank Sentral dapat pula mengeluarkan peraturan yang tepat terhadap pengembangan perbankan, karena Bank Sentral memiliki kewenangan di bidang moneter.18

17 Ibid.,hal. 168. 18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .

16 Ibid.,hal. 167.

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Sehubungan dengan pendapat diatas, penulis berpendapat bahwa apabila kewenangan microprudential dipisahkan dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral, maka dikhawatirkan arah perkembangan kebijakan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, akan cenderung dilakukan tanpa melihat bagaimana dampak dari kebijakan perbankan tersebut terhadap sektor moneter. Hal ini dikarenakan arah kebijakan moneter dan perbankan cenderung untuk bertolak belakang antara satu dengan lainnya. Ini dapat dilihat dimana otoritas moneter cenderung untuk menaikan rate, yang mana hal tersebut ditujukan agar target inflasi dapat dicapai dengan baik ataupun dijaga kestabilannya. Sementara disisi lain, perbankan ingin agar rate yang rendah agar bank dapat melakukan investasi dengan lebih banyak. Penyesuaian dari kedua pandangan seperti ini diperlukan, karena apabila ratenya telalu tinggi, maka investasi tidak akan lancar, sehingga pergerakan dan pertumbuhan perekonomian negara menjadi lambat. Sementara apabila ratenya terlalu rendah, maka pergerakan arus ekonomi dapat menjadi terlalu cepat, sehingga tidak bagus pula bagi pertumbuhan ekonomi negara. Oleh karenanya, maka Bank Sentral pada dasarnya memerlukan kewenangan microprudential dan macroprudential agar kebijakan yang dikeluarkan dapat mensinergikan antara kebijakan moneter dan kebijakan sistem keuangan. Pendapat penulis diatas juga didukung oleh pendapat Haubrich yang juga mengatakan bahwa permasalahan adanya pemisahan kewenangan microprudential tidak hanya terletak pada keterbatasan Bank Sentral untuk

secara cepat dan tepat waktu dalam mengakses dan mendapatkan informasi perbankan yang dibutuhkan, tetapi juga terletak pada pengumpulan infomasi yang digunakan lembaga pengawas, sangat berbeda dengan informasi yang dibutuhkan oleh Bank Sentral selaku otoritas moneter. Hal ini dikarenakan lembaga pengawas hanya akan terfokus untuk menjaga kesehatan industri perbankan, sehingga secara alamiah akan memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan dari otoritas moneter.19 Pihak dari Bank Indonesia mengatakan bahwa, selama ini ketika kewenangan microprudential masih dimiliki oleh Bank Indonesia, maka Bank Indonesia akan terbantu dalam menentukan arah kebijakannya, karena dalam setiap kebijakan moneter yang dikeluarkan atau dalam perhitungan risiko didalam sistem pembayaran, khususnya terkait kebijakan macroprudential yakni stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia selalu mempertimbangkan kondisi micro yang ada di sektor perbankan. Contohnya adalah ketika negara sedang menghadapi krisis ekonomi, maka BI Rate yang ditentukan pun akan menyeseuaikan dengan kondisi micro dari sektor perbankan. Hal ini dapat dilihat ketika kondisi perbankan sedang baik atau kondisi perekonomian sedang lesu, maka BI Rate akan dipertahankan atau diturunkan, dengan demikian penyaluran kredit dari bank akan lebih lancar. Sementara ketika perbankan sedang tidak sehat atau pertumbuhan perekonomian terlalu cepat, maka BI Rate akan dinaikan, dengan demikian kondisi permodalan dari perbankan dapat senantiasa terjaga, dengan terjaganya permodalan dari bank, maka potensi untuk collapse-nya bank akan terminimalisir.

18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .

19 Joseph G. Haubrich, 2005, Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland, hal. 8.

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dengan berbagai pendapat diatas, maka penulis berpendapat bahwa dengan adanya pengalihan kewenangan microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka potensi konflik yang paling rentan terjadi adalah kondisi dimana masing-masing otoritas, yakni Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan Otoritas Jasa Keuangan selaku otoritas perbankan, akan mengeluarkan kebijakan yang cenderung yang saling bertentangan satu sama lainnya apabila informasi yang dimiliki oleh masingmasing otoritas tidaklah secara menyeluruh. b) Sistem Pembayaran Sistem pembayaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan dan perbankan suatu negara. Keberhasilan sistem pembayaran akan menunjang perkembangan sistem keuangan dan perbankan, sebaliknya risiko ketidaklancaran atau kegagalan sistem pembayaran akan berdampak negatif pada kestabilan ekonomi secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem pembayaran perlu diatur dan dijjaga keamanan serta kelancarannya oleh bank sentral, sekaligus sebagai otoritas sistem pembayaran.20

Penulis menilai bahwa, potensi terjadinya konflik dalam pengalihan kewenangan microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan juga dapat dilihat dari sistem pembayaran ini, dimana risiko-risiko dalam perbankan hanya dapat diketahui oleh Bank Indonesia apabila Bank Indonesia memiliki informasi yang cukup terkait perbankan, dan informasi yang dibutuhkan tersebut hanya dapat diakses secara penuh apabila Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam microprudential. Apabila kewenangan microprudential tersebut kemudian dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan, maka di khawatirkan Bank Indonesia selaku lembaga settlement tidak akan dapat melakukan penilaian terhadap risiko secara penuh terhadap bank peserta kliring, sehingga ditakutkan nantinya Bank Indonesia tidak dapat/terlambat dalam mengatasi kesulitan bank, apabila tiba-tiba terdapat bank yang mengalami gagal bayar atau terlambat bayar. Salah satunya adalah terkait kontrol terhadap risiko sistemik, yaitu risiko yang muncul ketika suatu bank tidak dapat mengatasi atau terlambat mengatasi risiko kredit atau risiko likuiditas yang berkepanjangan, dan ketika hal tersebut berdampak pada bank-bank lainnya, dan terlambat untuk diantisipasi secara cepat oleh bank sentral, maka tentu akan berdampak pada stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh. Jika dengan pengalihan microprudential ini mengakibatkan Bank Indonesia tidak dapat atau terlambat mengakses informasi-informasi yang diperlukan dalam pengaturan risiko, maka tentu akan memicu timbulnya potensi kekacauan stabilitas keuangan yang seharusnya dijaga oleh Bank Indonesia, karena salah satu

Sejalan dengan hal diatas, Bank Indonesia selaku Bank Sentral dan otoritas sistem pembayaran di Indonesia tentu kemudian memiliki kewenangan dan tanggung jawab sebagai lembaga settlement,21 yang mana bertugas untuk mengatur mekanisme transaksi atau pelunasan warkat antar bank, serta melakukan penilaian terhadap risiko-risiko yang sedang/atau akan dihadapi oleh bankbank selaku peserta kliring.22

20 Bank Indonesia, 2004, Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta, hal. 209 21 Vide Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 22 Bank Indonesia, Op.Cit., hal. 210.

pilar dari kestabilan sistem keuangan adalah kelancaran sistem pembayaran.

27

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c) Lender of Last Resort Potensi konflik yang sangat dikhawatirkan oleh Bank Indonesia maupun berbagai praktisi perbankan lainnya apabila terjadi pemisahan microprudential dan macroprudential dari Bank Indonesia adalah kekhawatiran akan menjadi kurang optimalnya fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort (LoLR) ketika negara sedang menghadapi krisis. Haubrich mengatakan bahwa dalam kondisi krisis keuangan, peran Bank Sentral menjadi sangat penting. Hal tersebut didukung dengan adanya kewajiban dari Bank Sentral untuk mengatasi krisis keuangan, sehingga untuk dapat menjalankan kewajiban tersebut dengan baik, Bank Sentral tentu harus memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai aspek microprudential, yakni berupa informasi mengenai kondisi perbankan dan bagaimana perbankan beroperasi secara harian.23 Hal tersebut dikarenakan, meskipun aspek microprudential hanya berkutat dalam upaya menjaga kesehatan individual perbankan, namun konsekuensi dari kegagalan individual perbankan dapat meruntuhkan perekonomian negara secara menyeluruh, oleh karenanya Bank Sentral harus dapat memiliki dan mengakses informasi yang cukup dalam aspek microprudential agar dapat meminimalisir dampak krisis yang sedang/akan terjadi.24

oleh Bank Indonesia ini diwujudkan dalam berbagai fasilitas yang diberikan, baik FPJP/S, FLI/S, maupun FPD. Hal yang kemudian dikhawatirkan ketika terjadi pengalihan kewenangan microprudential adalah bahwa LoLR dikhawatirkan tidak akan dapat dijalankan dengan maksimal apabila Bank Indonesia tidak memiliki atau terlambat untuk mengolah data bank yang harus segera diselamatkan. Dengan adanya keterlambatan atau kelalaian tersebut, maka penanganan krisis pun akan menjadi bermasalah, dan pada gilirannya akan membahayakan sistem keuangan negara secara keseluruhan. Keterlambatan dan kelalaian dalam menangani krisis ini dapat dilihat dari kasus Northern Bank di Inggris, dimana kondisi pada saaat itu adalah dengan adanya pemisahan microprudential dari Bank of England (BoE) yang dialihkan kepada Financial Services Agency (FSA), maka mengakibatkan BoE tidak memiliki informasi yang cukup terkait kondisi Northern Bank, hal tersebut dikarenakan seluruh informasi yang dimiliki terkait aspek microprudential dari perbankan hanya terdapat di FSA. Alhasil, ketika terjadi krisis, BoE tidak dapat menjalankan LoLR tepat pada waktunya, karena BoE harus mengkaji ulang kondisi bank sebelum dapat memberikan bantuan likuiditas darurat sehingga akhirnya Northern Bank telah di rush terlebih dahulu oleh nasabahnya, sebelum sempat diantisipasi oleh BoE. Dari pengalaman dari BoE ini, maka dapat dilihat bahwa pada saat kondisi krisis, kecepatan memperoleh informasi yang lengkap merupakan faktor yang sangat penting, sehingga apabila Bank Sentral memiliki informasi yang lengkap, maka Bank Sentral dapat mengambil kebijakan yang tepat sesegera mungkin untuk mengatasi permasalahan yang ada dan sekaligus mencegah memburuknya keadaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia, memiliki fungsi sebagai lender of last resort sebagai upaya untuk menyelamatkan bankbank yang mengalami kesulitan likuiditas, ataupun solvabilitas. Fungsi LoLR yang dimiliki

23 Haubrich, Op.Cit., hal. 9. 24 Aviliani, 2010, Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 13.

28

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dengan beralihnya kewenangan microprudential dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan Bank Indonesia akan menjadi kurang responsif dalam mengatasi krisis khususnya terkait pelaksanaan LoLR ini, sehingga sangat dikhawatirkan pengalaman yang menimpa BoE dan FSA, akan turut dialami oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Konflik dalam Dewan Komisioner

Namun dengan keberadaan ex-officio didalam keanggotan DK inilah yang penulis khawatirkan akan berdampak pada kinerja masing-masing lembaga, baik Otoritas Jasa Keuangan maupun Bank Indonesia. Kekhawatiran tersebut dilandasi pemikiran bahwa dengan adanya ex-officio ini, maka nantinya dalam setiap pengambilan keputusan tidak akan lepas dari conflict of interest di dalam Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri, sehingga akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Potensi timbulnya conflict of interest yang

Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini, namun independensi tersebut menjadi sedikit dipertanyakan dikala di dalam Pasal 1 jo. Pasal 10 UU Otoritas Jasa Keuangan, diatur bahwa Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komiisioner (DK), berjumlahkan 9 (sembilan) orang dan 2 (dua) anggota diantaranya merupakan ex-officio dari Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia. Salah satu landasan adanya ex-officio pada keanggotaan DK ini adalah adanya pemikiran bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, yakni otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, maka diperlukan keterwakilan dari kedua otoritas tersebut secara ex-officio. Hal tersebut dimaksudkan agar koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus, ex-officio dirasa diperlukan untuk memastikan kebutuhan koordinasi dan pertukaran informasi untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.25

dimaksud dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan, dimana dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh DK yang bersifat kolektif dan kolegial. Sifat kolektif dan kolegial ini, apabila berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan, memiliki artian bahwa setiap pengambilan keputusan DK dilakukan secara bersama-sama dan didasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota DK. Permasalahan yang timbul adalah apabila ternyata dalam musyawarah tersebut tidak mendapatkan satu suara, atau terdapat pertentangan diantara anggotanya, maka menurut pasal 24 ayat (7) UU Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan bahwa keputusan akan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, maka tentu memberikan akibat yakni setiap anggota yang kalah suara harus tunduk dan turut serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan suara terbanyak. Konsekuensi itulah, yang menurut Harry Azhar akan berpotensi menimbulkan gejolak di dalam DK Otoritas Jasa Keuangan, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, terdapat 2 (dua) ex-officio yang terdiri dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Dengan adanya kedua ex-officio ini, maka dikahawatirkan akan

25 Vide Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

29

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengakibatkan timbulnya perdebatan mengenai arah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dikarenakan, Bank Indonesia dan Kementrian Keuangan dapat diumpamakan sebagai dua kubu raksasa, yang mana telah berkembang dengan culture yang berbeda selama bertahun-tahun, sehingga tentu pola pikir atau pandangan yang menjadi pegangan dari kedua unsur ini tentu akan berbeda, dan dengan sifat kolektif kolegial ini, maka tiap kubu ini dikhawatirkan akan mempertahankan argument yang menguntungkan lembaganya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan pun akan tergantung dari bagaimana tarik ulur dari kedua belah pihak ini. Selain itu pula, dengan adanya tarik ulur dalam argumentasi terkait keputusan di dalam Otoritas Jasa Keuangan ini pula, maka dikhawatirkan pengambilan keputusan di Otoritas Jasa Keuangan akan mandek sehingga berakibat pada inefisiensi kinerja Otoritas Jasa Keuangan yang tentunya berakibat pada keterlambatan koordinasi dan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, khususnya ketika sedang mengalami krisis. Disisi lain, apabila mengacu pada Pasal 4 UU Bank Indonesia, dapat diketahui bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa dengan adanya exofficio dari Bank Indonesia yang diwakili oleh anggota dewan gubernur Bank Indonesia, yang mana kemudian diketahui bahwa ex-officio ini merupakan anggota dalam struktur keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, akan menimbulkan konsekuensi juridis berupa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh DK Otoritas Jasa Keuangan, tentu akan mengikat pula terhadap setiap anggota DK Otoritas Jasa Keuangan, termasuk di dalamnya Bank Indonesia sebagai anggota ex-officio. Dengan demikian, penulis menilai bahwa dengan

adanya ex-officio dari Bank Indonesia ini, maka secara tidak langsung dapat berimbas pada terlanggarnya Independensi Bank Indonesia yang seharusnya bebas dari campur tangan pihak manapun. C. Upaya Optimalisasi Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Sungguh ironis, ketika Indonesia tengah sibuk membangun Otoritas Jasa Keuangan, negara lain yang sebelumnya telah memisahkan pengawasan banknya dari Bank Sentral, kini mulai mengarah untuk mengembalikan wewenang pengawasan bank kepada bank sentralnya. Inggris sebagai pelopor berdirinya lembaga sejenis Otoritas Jasa Keuangan, bahkan telah mengembalikan peran FSA ke dalam BoE. Selain itu, Jerman pun, dicanangkan tengah serius menggodok rencana mengembalikan fungsi pengawasan Bafin kepada Bundesbank.26 Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa penggunaan sistem pengawasan perbankan dan pengelolaan moneter yang terpisah diarasa tidak efisien dalam mewujudkan sistem keuangan yang sehat dan stabil. Misalnya ketika terjadi likuiditas, Bank Sentral akan bergerak kurang cepat karena keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga pengawas.27 Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, dapat diketahui bahwa Negara-negara berkembang lebih memilikih sistem pengawasan yang berada di bawah Bank Sentral.28 Memang harus diakui bahwa pembentukan suatu lembaga baru selalu menimbulkan konsekuensi tersendiri, khususnya mengenai Otoritas Jasa Keuangan ini sendiri. Meskipun demikian, pembentukan Otoritas

26 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 241. 27 Loc.Cit. 28 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, Loc.Cit.

30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Jasa Keuangan sudah saatnya disambut dengan baik dan pola konstruksi pemikiran yang harus dibangun kedepannya adalah pemikiran mengenai upaya yang harus dilakukan agar dapat mendorong optimalisasi pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya. 1. Pembangunan Koordinasi antar Lembaga Terkait Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Hal tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan, potensi benturan antara Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lainnya, khususnya Bank Indonesia. Oleh karenanya diperlukan mekanisme koordinasi yang perlu dibangun dengan baik. Selain itu, untuk mencapai sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi normal maupun kondisi krisis. Pihak BAPEPAM LK mengungkapkan bahwa koordinasi tersebut akan dibangun dengan membangun mekanisme komunikasi secara rutin antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian Keuangan, dengan demikian diharapkan akan terbangun sarana pertukaran informasi yang terintegrasi sehingga Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat berbagi seluruh informasi tentang perbankan dengan menjaga kerahasiaan secara optimal. Dengan demikian, pertukaran informasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia ketika menangani bank yang mengalami kesulitan likuiditas dapat dilakukan dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan secara bertahap, dimana pada awalnya akan dibentuk berbagai macam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga-lembaga terkait, baik yang bersifat Nasional maupun yang bersifat Internasional.

Sementara menurut penulis, koordinasi yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat mencontoh keberhasilan yang dilakukan oleh FSA dan BoE di Jepang. Hal tersebut dapat dilihat, dimana dengan adanya pengalihan fungsi pengawasan kepada Financial Supervision Agency (FSA), maka Bank of Japan (BoJ) hanya menangani mengenai perumusan dan implementasi dari ketentuan dan kebijakan sistem moneter. Namun demikian, BoJ tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dan oleh karenanya maka BoJ memiliki kewenangan untuk melakukan on-site examination terhadap bank maupun lembaga keuangan non-bank. Dengan kewenangan tersebut, BoJ bisa mendapatkan informasi yang lengkap terkait kesehatan lembaga keuangan secara harian, sehingga fungsi lender of last resort yang diemban oleh BoJ dapat dijalankan dengan baik. Selain itu, koordinasi yang dibangun juga berupa adanya kewenangan dari BoJ untuk memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan ketika diperlukan, begitupun sebaliknya.29 Selain itu, koordinasi yang dilakukan oleh APRA dengan RBA di Australia pun dapat dijadikan contoh, hal ini dapat dilihat dimana ketika fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan kepada APRA, RBA kemudian memiliki fokus dalam menentukan kebijakan moneter, menjaga stabilitas sistem keuangan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Khusus mengenai stabilitas sistem keuangan dan kelancaran sistem pembayaran, RBA selaku Bank Sentral kemudian membentuk 2 (dua) Department baru yang mana secara struktural berada di bawah Bank Sentral, yakni a) Financial Stability Department yang bertugas untuk melakukan analisis sistem keuangan di Australia dan sistem keuangan secara global; dan b) Payment Policy Department yang

29 The Group of Thirty, Op.Cit., hal. 150.

31

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bertugas untuk menangani sistem kliring, menganalisa sistem pembayaran dan mendukung kerangka/mekanisme sistem pembayaran. Sementara kordinasi dengan APRA dibangun dengan membentuk The RBA/APRA Coordination Committee, dimana dalam satu tahun terdapat jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan untuk membahas perkembangan sistem keuangan dan perbankan di Australia. Selain itu, RBA dan APRA dapat pula melakukan pertemuanpertemuan informal manakala kedua lembaga tersebut merasa membutuhkan pertukaran informasi.30

sejumlah penyesuaian di dalam Bank Indonesia, khususnya terkait upaya meningkatkan kinerja dalam kebijakan moneter dan kelancaran sistem pembayaran; dan c) Menjaga Kualitas SDM, artinya bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang dibentuk untuk mewujudkan suatu mekanisme yang lebih profesional dan kredibel. Oleh karenanya, pola rekrutmennya terhadap pegawai perlu dijaga secara baik. Salah satunya adalah dengan menerapkan competency-based recruitment system yang terbuka dan dilakukan oleh pihak yang independen. Selain ketiga hal diatas, permasalahan kompetensi

2. Alokasi Sumber Daya Manusia Salah satu aspek terpenting agar kinerja pengaturan dan pengawasan perbankan adalah dengan meningkatkan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan, baik terhadap kepemimpinan DK, maupun terhadap setiap pegawai, khususnya yang berugas sebagai pengawas. Sehubungan dengan hal itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan agar kinerja pengaturan dan pengawasan perbankan dapat lebih dioptimalkan, yakni: a) Kepemimpinan, artinya bahwa apabila terdapat pemimpinan yang memiliki karakter yang kuat dan independen, maka kinerja Otoritas Jasa Keuangan akan dapat terjaga dengan baik; b) Pembenahan Organisasi. Dalam hal ini, pembenahan tidak hanya dilakukan terhadap kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, namun diperlukan juga pembenahan terhadap kelembagaan Bank Indonesia. Artinya bahwa dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, maka struktur di dalam Bank Indonesia tentu akan berubah, oleh karenanya diperlukan

dan kecukupan jumlah SDM juga merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam rangka optimalisasi kinerja Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dikarenakan dalam melakukan pengawasan perbankan, diperlukan jumlah pengawas yang cukup dan memiliki kompetensi yang baik. Permasalahannya adalah apabila semua pengawas Bank Indonesia ditarik menjadi pegawai Otoritas Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan pengawasan yang dilakukanpun tidak akan berbeda dengan yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia. Padahal alasan didirikannya Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya ketidakpercayaan terhadap kemampuan pengawas Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan bank. Sehingga apabila kemudian pengawas Otoritas Jasa Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan bank, hanya merupakan pegawai yang di eksodus dari pengawas Bank Indonesia, maka pengawasan yang dilakukan pun tidak akan ada bedanya, sehingga bentuk alokasi SDM seperti ini hanya akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia.31

30 K.I.T.A, 2011, Bercermin pada FSA dan APRA, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta, hal. 11.

31 Nindyo Pramono, 2010, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta, hal. 7.

32

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Oleh karenanya penulis berpendapat, diperlukan suatu pembaharuan atau revitalisasi mekanisme atau standarisasi terhadap metode pengawasan yang dilakukan oleh pengawas. Dengan demikan maka celah-celah yang selama ini dianggap tidak berhasil diatasi oleh pegawai Bank Indonesia, akan dapat diatasi oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Peningkatan Good Corporate Governance Bismar Nasution mengungkapkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi industri keuangan, khususnya perbankan saat ini, sebenarnya bukanlah dikarenakan telah menyatunya berbagai produk lintas sektoral, namun lebih terkait lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG), dan permasalahan GCG tidak akan selesai hanya dengan beralihnya kewenangan pengawasan.32 Hal tersebut dapat dilihat dimana kasus BLBI maupun kasus Bank Century, sebenarnya berasal dari permasalahan internal dari bank-bank itu sendiri. Salah satunya adalah dikarenakan bankbank tersebut tidak melaksanakan GCG di dalam manajemen bank itu sendiri dengan baik, sehingga terpaksa Bank Indonesia harus menanggulangi penyelesaian permasalahan atas krisis insolvensi yang menimpa bank-bank bermasalah tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila krisis tersebut tidak segera ditangani. Saat ini, seperti kata Halim Alamsyah, upaya untuk memperkuat GCG pada bank-bank, mutlak diperlukan. Hal tersebut ditujukan agar kepentingan nasabah dan industri perbankan dapat terlindungi, karena tanpa GCG maka industri perbankan tidak dapat berkembang secara cepat dan sehat.33

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja Otoritas Jasa Keuangan untuk menciptakan GCG dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional, mutlak diperlukan agar Perbankan Nasional dapat melihat bahwa GCG bukan hanya sekedar aksesori belaka, tetapi merupakan suatu sistem nilai dan praktek yang sangat fundamental agar berbagai kasus yang menimpa dunia perbankan tidak terulang kembali di kemudian hari. 4. Penyesuaian Sistem Perbankan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat dua sistem perbankan yang berlaku di dunia, yaitu commercial banking system dan universal banking system. Di dalam commercial banking system, terdapat aturan yang melarang bank melakukan kegiatan non-bank seperti asuransi. Sementara universal banking system, membolehkan bank melakukan kegiatan usaha non-bank seperti investasi dan asuransi. Layaknya negara-negara berkembang pada umumnya, saat ini apabila berdasarkan Pasal 10 jo. Pasal 14 UU Perbankan, dapat dilihat bahwa bentuk sistem perbankan yang berlaku di Indonesia adalah commercial banking system, dimana kegiatan usaha perbankan masih harus terpisah dengan kegiatan usaha non-bank lainnya. Oleh karenanya, struktur pengawasan yang dilakukanpun pada umumnya berupa institutional approach ataupun functional aproach, dimana contohnya adalah seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia, yakni dengan BI untuk pengawasan perbankan dan BAPEPAM-LK untuk pengawasan non-perbankan. Namun seiring dengan globalisasi yang terjadi di sektor jasa keuangan, maka perkembangan produk-produk jasa keuangan pun semakin

32 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 219. 33 Halim Alamsyah dalam Donald Banjarnahor, 2011, Perkuat GCG, BI akan Sempurnakan Aturan.

berkembang, sehingga menyebabkan terjadinya konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait

33

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

pengaturan dan pengawasan, karena produkproduk yang dihasilkan sudah sedemikian menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus diakui bahwa meskipun Indonesia menganut commercial banking system, namun dengan seiring perkembangan bisnis di dalam industri keuangan, maka penulis menilai bahwa secara perlahan Indonesia telah memasuki era universal banking system. Kemudian dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, khususnya terkait pengaturan di dalam Pasal 5 UU Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat bahwa struktur pengawasan yang dianut oleh Indonesia telah berubah menjadi integerated approach, padahal sistem pengawasan tersebut pada umumnya hanya diterapkan di negaranegara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, yang mana hal tersebut dikarenakan negaranegara tersebut secara konstitusionil memang menganut universal baniking system. Oleh karenanya, agar pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya dapat dijalankan dengan lebih optimal, harus diadakan suatu pembaharuan sistem perbankan, yang mana pembaharuan tersebut secara konstitusionil harus dinyatakan secara tegas bahwa industri perbankan dapat melakukan usaha diluar perbankan, atau universal banking system. Hal ini haruslah dilakukan, agar dapat memberikan peluang investasi yang lebih besar kepada para pelaku sektor jasa keuangan, sekaligus memberikan kepastian hukum terkait perlindungan kepada para nasabah/konsumen sektor jasa keuangan apabila dikemudian hari terjadi kasus seperti Antaboga Sekuritas dan Bank Century. D. Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian memberikan beberapa saran dan pendapat, sehingga

diharapkan pelaksanaan kinerja Otoritas Jasa Keuangan dapat berjalan dengan baik dikemudian hari: 1. Meskipun berdasarkan Pasal 7 UU Otoritas Jasa Keuangan dikatakan bahwa pengawasan microprudential sepenuhnya telah beralih dari Bank Indonesia menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan, namun penulis berpendapat bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan agar dapat menjalankan fungsi lender of last resort tepat pada waktunya, maka penulis berpendapat bahwa seperti halnya BoJ, Bank Indonesia selayaknya memiliki kewenangan untuk melakukan daily on-site examination, yang mana ketentuan tersebut harus dituangkan kedalam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan, dengan demikian potensi terhambatnya pertukaran informasi akan lebih diminimalisir. 2. Pungutan yang akan dikenakan Otoritas Jasa Keuangan merupakan hal yang sangat krusial, oleh karenanya harus secepatnya diatur lebih lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan, khususnya terkait besaran nominal yang harus dikeluarkan oleh para pelaku sektor jasa keuangan. Penulis sendiri berpendapat bahwa agar pungutan ini nantinya tidak membebani industri perbankan, maka sebaiknya sumber pungutan ini merupakan dana yang dibagi dua dengan premi yang harus dikeluarkan kepada LPS. 3. Masih mengenai pungutan tersebut, di dalam pasal 37 ayat (5) UU Otoritas Jasa Keuangan, dikatakan bahwa apabila pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan kepada kas negara. Ketentuan di dalam pasal ini menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri, yang mana membuat Otoritas Jasa Keuangan seakanakan menjelma sebagai suatu BUMN sehingga pungutan yang diterima apabila berlebih akan menjadi pemasukan bagi negara. Penulis berpendapat bahwa, ketentuan pasal ini kurang

34

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tepat, karena selama ini ketentuan biaya yang harus dikeluarkan oleh bank, baik GWM di Bank Indonesia maupun premi kepada Lembaga Penjamin Simpanan, merupakan pengeluaran yang sifatnya untuk menjaga likuiditas bank sehingga hak-hak nasabah dapat terlindungi, artinya dana yang dikeluarkan oleh bank pun pada saat diperlukan akan berfungsi untuk menolong bank tersebut pula. Sehingga apabila terdapat kelebihan pembiayaan di dalam GWM dan Premi, tentu akan memberikan keuntungan kepada industri perbankan. Sementara di dalam Pasal 37 ayat (5) ini, mengharuskan kelebihan pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan haruslah disetor ke negara, maka penulis merasa hal tersebut tentulah tidak memberikan manfaat apa-apa, khususnya kepada pihak perbankan. Selain itu, ketentuan mengenai pungutan, pada dasarnya ditujukan agar Otoritas Jasa Keuangan mendapatkan financial independence sehingga tidak tergantung pada APBN. Apabila terdapat kelebihan dana yang kemudian harus diserahkan kepada negara, dikhawatirkan financial independence ini akan sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, penulis berpendapat ketentuan di dalam pasal 37 ayat (5) harus diatur lebih lanjut, atau dilakukan judicial review. 4. Berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, ditentukan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah memberikan suatu kejelasan tujuan, sehingga tidaklah boleh menimbulkan suatu ambiguitas ataupun multitafsir. Namun, ternyata di dalam UU Otoritas Jasa Keuangan, masih terdapat beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir, yang mana dirasa penulis bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat didalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa .pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan sektor jasa keuangan di industri keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional... Pasal ini dirasa penulis bertentangan dengan Penjelasan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa ..Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran Otoritas Jasa Keuangan yang tidak dibiayai APBN... Kedua penjelasan pasal tersebut bertentangan, karena di dalam penjelasan pasal 34 ayat (2), dapat disimpulkan bahwa sumber pendanaan utama Otoritas Jasa Keuangan adalah pungutan, sehingga APBN hanya digunakan ketika pungutan tersebut belumlah cukup membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan. Sementara di dalam penjelasan pasal 37 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan adalah APBN, sehingga pungutan hanya dikenakan ketika pendanaan dari APBN belumlah cukup membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan. Dari pengaturan kedua pasal ini, penulis menilai bahwa kedua pasal ini menimbulkan multitafsir dan ambiguitas sehingga penilaian tiap orang akan berbeda-beda, padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah tidak menimbulkan multitafsir. Oleh karenanya, ketentuan terkait kedua pasal ini perlu diatur lebih lanjut atau dilakukan judicial review. 5. Sehubungan dengan pembentukan suatu otoritas jasa keuangan yang ditujukan untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan secara terintegerasi, maka tentu diperlukan pula suatu mekanisme yang mengatur mengenai penanganan pada saaat negara menghadapi krisis keuangan, yakni dengan mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). JPSK maupun Otoritas Jasa Keuangan merupakan dua hal yang sama-sama penting, tanpa adanya pengaturan lebih jelas mengenai JPSK yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka penulis khawatir Indonesia akan kurang tanggap dalam

35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

memitigasi gejolak krisis yang suatu saat akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya, pengaturan mengenai JPSK harus segera dibentuk. 6. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dibentuk sebagai acuan Bank Indonesia dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri perbankan, tentu menjadi tidak relevan lagi hal tersebut dikarenakan keenam pilar API telah menjadi tugas dan kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan, oleh karenanya perlu restrukturisasi lebih lanjut mengenai API, apabila API masih diberlakukan oleh Bank Indonesia, maka tentu pilar-pilar di dalamnya harus dirubah dan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan. Sementara apabila API kemudian dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu API harus direstrukturisasi ulang dikarenakan Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya berfungsi untuk membangun dan menjaga industri perbankan, melainkan mencakup seluruh industri di sektor jasa keuangan.

36

DAFTAR PUSTAKA

Aviliani, 2010, Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta. Bank Indonesia, 2004, Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Donato Masciandaro, 2005, Financial Supervision Architectures And The Role Of Central, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco. Joseph G. Haubrich, 2005, Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland. K.I.T.A, 2011, Bercermin pada FSA dan APRA, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta. Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, Regulating Systemic Risk, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute. Nindyo Pramono, 2010, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta. Roger W. Ferguson Jr., 2000, Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Sigit Pramono, Otoritas Jasa Keuangan, diakses dari www.adpi.or.id Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III, Jakarta. Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009 UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

37

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing

38

KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN LIKUIDASI BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
Oleh : Alex Kurniawan S.H., M.H.

Abstrak Akibat tekanan krisis pada tahun 1997, 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL). Selain likuidasi 16 Bank pada tahun 1997 juga terdapat pencabutan ijin usaha bank yang terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005. Dalam prakteknya pelaksanaan likuidsi untuk 16 BDL menghadapi beberapa kendala, khususnya pada saat likuidasi telah melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah. Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likudasi menghadapi berbagai permasalahan hukum, akibatnya untuk penyelesaian 4 bank dalam likuidasi yang dicabut izin usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (enggan) untuk menerima penyerahan aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 BDL tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama. Kata Kunci : Likuidasi, BLBI, Perbankan, Bank Dalam Likuidasi

A. PENDAHULUAN Sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi nasional meningkat secara pesat. Kurs Rupiah cenderung stabil, investasi asing terus meningkat. Swasta diberi kesempatan meminjam kepada kreditur asing. Stabilnya nilai rupiah itu membuat para peminjam merasa tak perlu untuk melindungi nilainya terhadap mata uang asing. Tidak ada perlindungan terhadap rupiah itu belakangan menimbulkan masalah besar pada saat Indonesia dihantam krisis moneter. Permasalahan ekonomi dunia diawali pada Juli 1997, pada saat itu mata uang sejumlah negara asia, yaitu Korea Selatan, Thailand, Malaysia merosot drastis, nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama
1

Dollar terus memburuk. Permasalahan itu berdampak kepada perekonomian Indonesia. Hal tersebut diawali dengan merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat. Gejolak kurs itu membuat sejumlah bank mengalami kerugian, terutama bank yang mempunyai pinjaman dalam mata uang asing dan tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cashflow) menyebabkan kesulitan likuiditas.1

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

39

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Akibat semakin banyak bank mengalami saldo debet yang bersifat sistemik, Bank Indonesia menganggap, kewenangan yang dimilikinya sebagai lender of the last resort, sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, tak cukup untuk mengatasi likuiditas. Bank Indonesia lalu membawa permasalahan ini kepada Pemerintah. Pemerintah mengambil jalan menutup bank yang tidak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, simpanan nasabah di bank yang ditutup diberikan bantuan likuditas melalui Bank Indonesia.2

4. Seluruh biaya yang berkaitan dengan penutupan bank dan rehabilitasi bank Pemerintah menjadi beban Pemerintah melalui APBN. Caranya dengan menerbitkan surat utang (bond) yang dijamin Pemerintah. Dalam rangka menindaklanjuti LoI IMF tanggal 31 Oktober 1997 juga, pada 1 November 1997 Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan, mencabut izin usaha 16 Bank, sehingga berstatus Bank Dalam Likuidasi. Pengurus bank diperintahkan mengadakan RUPS Luar Biasa guna membubarkan badan hukum bank. Tim Likuidasi masing-masing bank dibentuk, yang pembentukannya diatur dalam Surat Menteri Keuangan RI Nomor Peng-86/MK/1997 tentang pencabutan izin usaha bank umum. Sebagai tindak lanjut LoI IMF tersebut selain 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL)3, juga 4 bank dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO), 10 bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan 39 bank sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Selain itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap 10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank umum. Sementara likuidasi 16 Bank yang dicabut ijin usahanya pada tahun 1997 belum selesai, Bank Indonesia mencabut lagi ijin usaha bank pada tahun 2004 yaitu PT. Bank Dagang Bali dan PT. Bank Asiatic yang dicabut ijin usahanya secara bersamaan oleh Bank Indonesia yaitu pada tanggal 8 April 2004. Di samping itu terdapat 2 bank yang sebelumnya merupakan bank BBKU yaitu PT. Bank Ratu dan PT. Bank Prasidha yang tidak dapat diselesaikan oleh BPPN karena terdapat gugatan dari pemegang sahamnya, sehingga baru

Namun mengingat tekanan krisis semakin berat dan kepercayaan terhadap perekonomian nasional semakin merosot, akhirnya Pemerintah mengundang IMF untuk memberikan bantuan teknis dan pinjaman. Pada tanggal 31 Oktober 1997 letter of intent (LoI) Indonesia-IMF ditandatangani. Letter of Intent berisi sejumlah langkah yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menyehatkan perekonomian. LoI Oktober 1997 itu antara lain berisi sebagai berikut: 1. Restrukturisasi yang dilakukan secara komprehensif merupakan kunci keberhasilan; 2. Bank-bank insolvent yang tidak sanggup membayar kewajibannya yang tak mungkin diselamatkan, ditutup. Bank-bank lemah namun masih bisa diselamatkan diharuskan menyusun dan melaksanakan rencana rehabilitasinya. 3. Program restrukturisasi terdiri dari empat bagian. Pelaksanaannya dibantu IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Due dillingence terhadap bank dilakukan untuk mengetahui derajat kesehatannya. Bank sehat tetap di bawah Bank Indonesia, sedangkan yang tidak sehat disembuhkan di BPPN.
3

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

Ke-16 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi pada 1 November 1997 itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, Anrico Bank, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Sejahtera Bank Umum, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta Dhanamanunggal.

40

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dilakukan pencabutan izin usaha dan dilakukan proses likuidasi pada tahun 2004. Selanjutnya terdapat bank yang dicabut izin usahanya pada tanggal 13 Januari 2005 yaitu PT. Bank Global Internasional Tbk. Penyebab bank-bank tersebut dicabut ijin usahanya berbeda dengan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tahun 1997. Penyebab bank tersebut dicabut ijin usahanya bukan akibat krisis tetapi karena kondisi kesehatan bank yang memburuk dan terjadinya fraud yang dilakukan oleh pemegang saham bank. Dalam prakteknya pelaksanaan likuidasi untuk 16 Bank Dalam Likuidasi menghadapi baberapa kendala, yaitu antara lain: 1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggungjawaban kepada RUPS karena masih adanya aset dan kewajiban BDL yang belum dapat diselesaikan. 2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa likuidasi dan masa lelang 3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang masih tersisa apabila batas waktu likuidasi berakhir. 4. Pertanggungjawaban likuidasi yang diajukan kepada pemegang saham, apabila pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh pemegang saham maka likuidasi menjadi tidak selesai. Selanjutnya dalam menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian likuidasi 14 BDL4 dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah. Adapun pertimbangan digunakannya penyelesaian dengan cara tersebut adalah:

a. Harus segera diambil langkah penyelesaian agar biaya operasional tidak bertambah. b. Kreditur dalam hal ini yang terbesar adalah Pemerintah karena telah membayarkan dana penjaminan, berhak memperoleh pembayaran secara maksimal. Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas, Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likuidasi menghadapi berbagai permasalahan, yaitu: a. Berbagai permasalahan hukum yang melekat pada aset. b. Dokumen yang tidak sempurna. c. Permasalahan penetapan harga jual aset dan nilai tagih piutang. Akibatnya untuk penyelesaian 4 bank5 dalam likuidasi yang dicabut izin usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (enggan) untuk menerima penyerahan aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 bank dalam likudasi tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama. B. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dan untuk memfokuskan pembahasan pada topik Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, maka perlu dirumuskan mengenai pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian likudasi bank dengan cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur mayoritas? 2. Bagaimanakah kekuatan hukum Tim Likuidasi dalam penyelesaian likuidasi tersebut?

Dari 16 BDL terdapat 2 BDL yaitu PT. Bank Andromeda (DL) telah selesai likuidasinya karena telah menyelesaikan kewajiban dana talangan Pemerintah dan PT. Bank Umum Majapahit (DL) yang sudah menyelesaikan likuidasi karena sudah tidak mempunyai aset yang dapat dicairkan.

Dari Bank yang dilkuidasi pada tahun 2004/2005 terdapat 1 bank yang telah menyelesaikan proses likudasinya yaitu Pt. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi)

41

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Alternatif penyelesaian likuidasi bank selain dengan cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur mayoritas? C. PEMBAHASAN 1. Analisa Hukum Terhadap Penyelesaian Likuidasi 16 Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Pada Tahun 1997 Penyelesaian likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi adalah dengan cara menyerahkan sisa aset Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas, sebelum RUPS mengenai pertanggungjawaban akhir Tim Likuidasi. Dengan berbagai ragam permasalahan hukum yang terjadi dalam penyelesaian Bank Dalam Likuidasi, dan dengan memperhatikan bahwa hukum positif tidak mengatur permasalahan yang ada, penyelesaian likuidasi dengan cara demikian merupakan solusi hukum yang dapat diterapkan untuk menambah penerimaan negara sebagai pengembalian dana penjaminan yang telah diberikan. Alternatif penyelesaian likuidasi bank ini terdapat beberapa nilai positifnya walaupun terdapat beberapa kendala atau kelemahan dalam pelaksanaanya. a. Penyelesaian aset kredit Ditinjau dari hukum perdata kedudukan Pemerintah atas aset yang diserahkan oleh Tim Likuidasi dapat dilihat berdasarkan jenis aset yang berikan yaitu: Untuk jenis aset berupa aset kredit secara perdata merupakan piutang bank kepada nasabah debiturnya, piutang ini merupakan piutang atas nama. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang
6 Ibid.

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam UU Perbankan istilah kredit memiliki arti khusus yaitu meminjamkan uang dengan menunjuk perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit.6 Perjanjian pinjam meminjam dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1754, yaitu: Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Dalam pemberian kredit bank akan mengikat debitur dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok, dengan perjanjian jaminan merupakan acessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Dalam perjanjian kredit apabila debitor menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian tersebut. Seperti telah diuraikan di atas bahwa kredit merupakan piutang atas nama, maka apabila jenis piutang ini akan dialihkan kepada pihak lain maka menurut Pasal 613 KUHPerdata yang mengatur tentang cessie menyebutkan bahwa penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

atau di bawah tangan, dengan mana hakhak atas kebendan itu dilimpahkan kepada orang lain Tagihan tertentu disebut sebagai tagihan atas nama berdasarkan ciri, krediturnya tertentu dan diketahui dengan baik oleh debitur.7 Tagihan kepada order adalah tagihan-tagihan yang menunjuk orang tertentu kepada siapa tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan hak untuk memindahkannya kepada orang lain melalui endosemen, sedangkan tagihan atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihantagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi untuk memnudahkan pengalihannya) tidak tertentu.8 Karena dalam Pasal 613 KUHPerdata objek penyerahan yang diatur adalah tagihan atas nama dan benda benda tak bertubuh lainnya, maka pasal tersebut sebenarnya mau memberikan petunjuk bagaimana kepemilikan suatu tagihan atas nama dan benda tak bertubuh lainnya bisa beralih dari pemilik yang satu (pemilik asal/ceden) kepada pemilik yang baru (cessionaris). Jadi apabila cessie itu dilakukan oleh Tim Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 613 KUHPerdata, maka terjadi peralihan hak atas piutang tersebut dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah. Jadi Pemerintahlah yang menjadi pemilik piutang itu. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yaitu Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena

perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata adalah:9 1. Adanya penyerahan; 2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata; 3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak milik; 4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu. Tindakan menyerahkan tidak pernah berdiri sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan buntut dari suatu peristiwa perdata/rechtitel. Peristiwa perdata/rechtitel adalah dasar dari tindakan menyerahkan yang bisa timbul dari undang-undang, seperti kewajiban mengganti rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal 1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas dasar adanya pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 BW dan 1360 BW). Kewajiban penyerahan juga bisa timbul berdasarkan perjanjian yaitu pada perjanjian obligatoir.10 Dalam cessie, karena cessie merupakan perjanjian, maka sesuai dengan ciri perjanjian terhadap penyerahan oleh cedent harus ada penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya penyerahan dan penerimaan, maka cessie telah terlaksana dengan baik.

Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959). Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

10 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya yang melalui suatu penyerahan bisa menjadikan orang lain sebagai pemilik benda yang diserahkan adalah mereka yang mempunyai kewenangan tindakan pemilikan, yang pada umumnya adalah sipemilik benda atau kuasanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak milik atas suatu tagihan nama, berdasarkan penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika penyerahan itu:11 1. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata (rechetitel) 2. Dituangkan dalam suatu akta; 3. Diserahkan oleh pemilik benda yang bersangkutan. Apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan tindakan Tim Likuidasi menyerahkan aset kredit kepada Pemerintah, perlu dilihat apakah Tim Likuidasi merupakan pihak yang berhak atau pihak yang secara hukum dapat dianggap sebagai pemilik pituang. Terkait dengan hal tersebut ketentuan likudasi (Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank) mengatur sebagai berikut: Pasal 10 (1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi. (3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Likuidasi berwenang mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dalam penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut.

Ketika bank masih beroperasi aset kredit merupakan aset milik bank, pada saat bank tersebut dilikuidasi maka aset tersebut menjadi aset Bank Dalam Likuidasi. Begitupun dengan kepengurusannya. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 diatas mengatur Tim Likuidasi merupakan pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi. Mengacu pada ketentuan likudasi tersebut maka Tim Likuidasi merupakan pihak yang berhak dan berwenang untuk menyerahkan aset kredit tersebut kepada Pemerintah. Selanjutnya untuk kepentingan penagihan piutang itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata yaitu: Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Jadi penyerahan piutang dari Bank Dalam Likuidasi yang dalam hal ini dilakukan oleh Tim Likuidasi kepada Pemerintah cq Kementerian Keuangan baru mengikat debitur setelah terjadi pengalihan itu diberitahukan kepada debitur sesuai Pasal 613 (KUHPerdata). b. Penyelesaian Aset Properti Aset properti yang diserahkan terdiri dari 2 macam: a. Barang Jaminan Yang Diambil Alih (BJDA) b. Aset tetap milik pemegang saham bank, baik yang diserahkan oleh pemegang saham maupun yang disita Tim Likuidasi dari pemegang saham. Tindak lanjut atas serah terima aset tetap/BJDA dilakukan pembuatan Akta Kuasa Jual. Selanjutnya atas aset tetap/Barang Jaminan Yang Diambil Alih pencairannya dilakukan melalui mekanisme penjualan lelang. Hasil bersih lelang tersebut akan menjadi pengurang kewajiban dari Bank Dalam Likuidasi.

11 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010).

44

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Barang Jaminan Yang Diambil Alih atau dikenal pula dengan istilah Agunan yang Diambil Alih (AYDA) adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. Barang Jaminan Yang Diambil Alih ini merupakan aset milik bank sehingga setelah bank dilikuidasi merupakan aset Bank Dalam Likuidasi, oleh karena itu Tim Likuidasi sebagai pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi berwenang untuk menyerahkan aset tersebut kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah. Jaminan dalam kredit bank dapat berupa hak tanggungan atas tanah, surat-surat berharga ataupun fiducia atas barang-barang bergerak. Dengan penyerahan yang dilakukan oleh Tim Likuidasi maka BJDA itu beralih kepada Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berhak untuk mengambil pelunasan yang diambil alih tersebut. Untuk mengambil alih jaminan itu haru diperhatikan ketentuan Pasal 16 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang mengatur bahwa (1) Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru. (2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan. Berdasarkan ketentuan tersebut peralihan jaminan dari Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah didaftarkan oleh Pemerintah. Demikan pula halnya dengan BJDA yang diikat dengan fiducia. Pemerintah sebagai kreditur baru wajib mendaftarkan peralihan tersebut.

Jika pendaftaran ini belum dilakukan maka peralihan tersebut tidak mengikat bagi pihak ketiga. c. Penyerahan Aset Pemegang Saham Kepada Pemerintah Apakah aset milik pemegang saham dapat diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada Pemerintah. Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, mengatur sebagai berikut: Pasal 24 (1) Dalam hal harta kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota dewan komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank. (2) Dalam hal direksi bank yang dicabut izin usahannya tidak bersedia melaksanakan tugas dan kewajiban berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank, atau direksi dalam keadaan tidak hadir, maka tanpa mengurangi tanggung jawab direksi yang bersangkutan, untuk kepentingan nasabah penyimpan dana Bank Indonesia membentuk Tim Pengelola Sementara untuk menjalankan fungsi direksi sampai dengan terbentuknya Tim Likuidasi. (3) Direksi yang tidak bersedia melaksanakan tugas dan kewajiban berkaitan dengan pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, atau yang dengan sengaja tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah ini, dan dapat dikenakan ancaman pidana dan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 23.

45

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan ketentuan di atas, bukan hanya pemegang saham bahkan pengurus pun apabila menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank maka mereka bertanggung jawab untuk membayar kewajiban bank apabila aset bank dalam likuidasi tidak mencukupi untuk membayar kewajiban bank dalam likuidasi. Mengenai apakah pemegang saham dapat diminta pertanggungjawaban untuk membayar kewajiban bank. Dr. Zulkarnain Sitompul berpendapat bahwa ada dua pendekatan hukum yang dapat digunakan. Menggunakan hukum perusahaan, Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dengan pemegang sahamnya. Sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas memiliki utang dan kewajiban lainnya atas namanya sendiri. Hal tersebut berarti bahwa baik utang maupun kewajiban perusahaan bukan merupakan tanggung jawab pemegang saham. Demikian pula sebaliknya perseroan tidak bertanggung jawab terhadap utang dan kewajiban para pemegang sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat dikecualikan apabila terdapat kondisi yang dalam hukum perusahaan disebut pierce the corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis adalah pertama, terjadi penipuan (fraud) atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan perseroan. Kedua, pemegang saham tidak memperlakukan perseroan sebagai badan yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Ketiga, perseroan kekurangan modal. Keempat, kondisi lainnya yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness) apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Piercing the corporate veil dapat pula dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan untuk mencegah terjadinya penipuan atau untuk menciptakan keseimbangan (equity).

Sementara itu teori hukum perusahaan mengajarkan bahwa Perseroan Terbatas harus dikelola sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anggaran dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan dengan Pemerintah. Terkait erat dengan tujuan perusahaan. Direksi wajib menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable discretion yang harus dijalankan dengan iktikad baik untuk mencapai tujuan perusahaan. Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu kecuali mereka bersalah karena melakukan penipuan (fraud) dan misappropriation. Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan atau kewenangannya maka secara hukum direksi telah melakukan ultra vires (di luar kewenangan). Konsekwensinya membayar ganti rugi dan ancaman pidana serta keterkaitannya dengan keabsahan perjanjian.12 Terkait dengan prinsip piercing the corporate veil ini, M Yahya Harahap, SH berpendapat bahwa dakam rangka meningkatkan tegaknya keadilan dan mencegah ketidakwajaran, pada keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip keterpisahan perseroan dari pemegang saham secara kasuistik perlu disingkirkan dan dihapus dengan cara menembus tembok atau tabir perseroan atas perisai tanggung jawab terbatas.13 Konsekuensi hukum atas penyingkapan tabir atau piercing the corporate veil ini adalah:

12 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diambil dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf. 13 M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

46

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Hilang atau hapus perlindungan tanggungjawab terbatas pemegang saham yang digariskan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.14

hukumnya jelas. Pertama, bahwa terbatasnya tanggung jawab pemegang saham telah hilang sehingga mereka bertanggung jawab secara pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus diambil untuk membayar seluruh kewajiban bank. Kedua, komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya yang bukan pemegang saham juga bertanggung jawab secara pribadi karena tidak mengurus bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka juga dapat diambil untuk membayar kewajiban bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu diterapkan. Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka dalam kasus Bank Dalam Likuidasi yang terkait dengan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan dana Penjaminan Pemerintah dapat dipastikan bahwa terdapat beberapa pemegang saham Bank Dalam Likuidasi yang dapat diminta pertanggungjawaban untuk membayar kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah. d. Kedudukan Pemerintah Sebagai Pihak Yang Menerima Aset Bank Dalam Likudasi Pasal 584 KUHPerdata mengatur bahwa Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka

Dengan sendirinya pemegang saham ikut memikul risiko bersama-sama dengan perseroan dari harta pribadi pemegang saham yang bersangkutan.

Menggunakan pendekatan hukum perbankan15 yang secara tegas mengatur pemilik bank bertanggung jawab penuh atas kewajiban bank apabila mereka ikut menyebabkan terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undangundang Perbankan mengancam pemegang saham dengan pidana penjara minimal 7 tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar, apabila pemegang saham menyuruh dewan komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap hukum perbankan. Ancaman pidana yang sama juga berlaku bagi komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan bank. Faktanya bank yang dicabut ijin usahanya banyak yang tidak mentaati rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan, misalnya bank melakukan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit dan melakukan transaksi fiktif. Dengan kondisi seperti itu dan ketentuan hukum perusahaan dan perbankan sebagaimana dikemukakan di atas konsekwensi

14 Pasal 3 ayat (1) berbunyi Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. 15 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf

unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata adalah:16

16 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: National Legal Reform Program, Gramedia 2010).

47

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

1. Adanya penyerahan; 2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata; 3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak milik; 4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu. Menurut Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan dapat diperoleh antara lain karena penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata termasuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.

obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau mengubah isi daripada perikatan. Penggantian perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu. 2. Kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir Berbeda dengan dengan penyelesaian 16 Bank

Dalam proses penyerahan aset Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah, peristiwa perdatanya adalah pembayaran dana talangan Pemerintah dalam hal ini dapatlah dikatakan bahwa bank telah melakukan in betaling geving (pelunasan) untuk menutup hutangnya kepada Pemerintah. In betaling geving (pelunasan) ini pada hakekatnya dapat juga dikatakan suatu novasi objektif.17

Dalam Likuidasi, penyelesaian 4 Bank Dalam Likuidasi19 sampai tulisan ini dibuat masih belum mendapatkan solusi penyelesaian mengingat: 1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggungjawaban kepada Rapat Umum Pemegang Saham karena masih adanya aset dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi. 2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa likuidasi dan masa lelang 3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang masih tersisa apabila batas waktu likuidasi terlewati. 4. Kementerian Keuangan selaku kreditur mayoritas dan selaku pihak yang telah memberikan dana talangan untuk membayarkan kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada nasabah penyimpan belum bersedia melakukan serah terima sisa aset dari 4 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi tahun 2004/ 2005.

J. Satrio berpendapat bahwa Novasi objektif didasarkan pada Pasal 1413 sub 1, jelasnya atas dasar kata-kata membuat perikatan hutang baru dan disini kata perikatan hutang harus diartikan sebagai kewajiban perikatan atau prestasi perikatan atau dengan perkataan lain objek perikatannya. Objek perikatan antara lain meliputi objek prestasi daripada perikatan yang bersangkutan dan penggantian yang dimaksud di sini adalah penggantian objek prestasi perikatan.18 Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain. Novasi

17 Prof. Dr. Siti Ismijati, Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. 18 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).

19 Pada tahun 2004/2005 sebenarnya ada 5 bank yang dicabut ijin usahanya yaitu: PT. Bank Ratu, PT. Bank Prasidha, PT. Bank Dagang Bali, PT. Bank Asiatic, dan PT. Bank Global. Namun PT. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi) sudah menyelesaikan likuidasinya dengan cara menyerahkan sisa aset kepada Pemerintah.

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Penyelesaian dengan cara penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah menurut penulis merupakan alternatif penyelesaian atau merupakan solusi yang cukup ideal walaupun terdapat beberapa kelemahan/permasalahan yang dihadapi Pemerintah selaku pihak penerima aset. Namun demikian dalam hal Pemerintah memutuskan untuk tidak dapat menerima aset 4 Bank Dalam Likuidasi sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi tersebut, maka perlu dicari solusi penyelesaian lain mengingat proses penyelesaian likuidasi yang sudah hampir berjalan selama sekitar 8 tahun, padahal ketentuan likuidasi yang berlaku hanya memberi batas selama 5 tahun 180 hari. Untuk itu sebelum dikaji mengenai solusi dengan cara apa penyelesaian likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi, perlu terlebih dahulu dikaji mengenai kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir termasuk bagaimana memperkuat kewenaagan Tim Likuidasi dari sisi hukum. a. Pemberian Kewenangan Tim Likuidasi Setelah Jangka Waktu Likuidasi Berakhir. Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 mengatur sebagai berikut: (1) Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya Tim Likuidasi. (2) Dalam hal likuidasi bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan secara lelang. Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR diatur sebagai berikut: (1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif sehingga dapat menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu singkat.

(2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat kesulitan yang tinggi maka jangka waktu yang diperkenankan adalah selama- lamanya 5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim Likuidasi. (3) Apabila Likuidasi Bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penjualan harta Bank dilakukan secara lelang. (4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang Negara atau lembaga lain atas permohonan Tim Likuidasi dengan menggunakan metode harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diselesaikan selambatlambatnya dalam jangka waktu 180 hari sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Salah satu permasalahan yang cukup krusial dalam penyelesaian likuidasi bank baik bank yang dilikuidasi pada tahun 1997 maupun 2004/2005 adalah masalah kewenangan Tim Likuidasi setelah jangka waktu likudasi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan likuidasi telah berakhir. Setelah jangka waktu likuidasi berakhir Tim Likuidasi mulai mendapat hambatan dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam melakukan upaya penagihan kepada para debiturnya. Hambatan tersebut antara lain muncul pada saat Tim Likuidasi melakukan gugatan untuk melakukan penagihan kepada debitur. Terkait dengan permasalahan ini salah satu contoh adalah kasus gugatan dari PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) kepada debiturnya PT. AMF (sebuah lembaga keuangan non-bank yang salah satu usahanya adalah menerbitkan menerbitkan promisory note). Dalam mengelola dana pada PT. Bank Pinaesaan (dalam Likuidasi),

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Tim Likuidasi menempatkan sebagian dananya dengan membeli promisory note kepada PT. AMF, namun pada saat Tim Likuidasi akan mencairkan promisory note tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati, PT. AMF melakukan wanprestasi yaitu tidak dapat menyediakan dana untuk mencairkan promisory note milik PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi). Karena wanprestasi tersebut Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) menggungat PT. AMF. Namun dalam putusan Pengadilan Jakarta Pusat No. 121/PDT.G/2005/PN.JKT.PST gugatan tersebut di tolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) tidak dalam kapasitasnya sebagai Tim Likuidasi karena berdasarkan ketentuan likudasi jangka waktu likuidasi telah berakhir. Dengan memperhatikan permasalahan di atas, pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi untuk tetap melaksanakan tugasnya menyelesaikan proses likuidasi (melakukan penjualan aset dan membayar kewajiban Bank Dalam Likuidasi) setelah berakhirnya jangka waktu likuidasi menjadi sangat diperlukan untuk kelancaran proses likuidasi.

(1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif sehingga dapat menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu singkat. (2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat kesulitan yang tinggi maka jangka waktu yang diperkenankan adalah selama-lamanya 5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim Likuidasi. (3) Apabila Likudasi Bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penjualan harta Bank dilakukan secara lelang. (4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang Negara atau lembaga lain atas permohonan Tim Likuidasi dengan menggunakan metode harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diselesaikan selambatlambatnya dalam jangka waktu 180 hari sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Berdasarkan ketentuan di atas sudah tegas

Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal 12 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya Tim Likuidasi. Dalam hal likuidasi bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan secara lelang. Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KE/DIR tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum mengatur bahwa:

bahwa jangka waktu likuidasi adalah paling lama 5 Tahun dan apabila tidak selesai maka dapat dilanjutkan dengan melakukan pelelangan. Dengan ketentuan tersebut apakah otomatis Tim Likuidasi juga sudah tidak berwenang untuk menyelesaikan tugasnya dalam proses likuidasi bank. Atas permasalahan tersebut Prof. DR. Phillipus M. Hadjon berpendapat bahwa20 Ketentuan 5 Tahun 180 hari merupakan persoalan cacat di dalam pengaturannya. Berakhirnya jangka

20 Prof. DR. Philipus M. Hadjon, Diskusi Terbatas Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, (Jakarta: Bank Indonesia, 8 November 2004).

50

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

waktu 5 tahun 180 hari tidak secara otomatis Tim Likuidasi bubar sebab Tim Likuidasi mempunyai legalitas. Oleh karena itu selama Tim Likuidasi belum dibubarkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham maka Tim Likuidasi masih memiliki kewenangan untuk melakukan pencairan aset dan menyelesaikan kewajiban Bank Dalam Likuidasi. Berangkat dari pendapat tersebut penulis berpendapat bahwa secara hukum kewenangan Tim Likuidasi untuk melakukan tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi Bank Dalam Likuidasi harus diperkuat dengan dasar hukum yang memadai. Oleh karena itu untuk memperkuat kedudukan hukum Tim Likuidasi adalah dengan memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi untuk dapat melakukan tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi walaupun jangka waktu likuidasi telah berakhir (memperpanjang jangka waktu tugas Tim Likuidasi). Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang jangka waktu pelaksanaan tugas Tim Likuidasi, yaitu: a. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi. c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi melalui penetapan pengadilan. b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Dalam ketentuan likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR) diatur bahwa Tim Likuidasi dibentuk dan dibubarkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.

Pasal 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi RUPS sebagai lembaga yang cukup sentral dimana bank setelah izin usahanya dicabut oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan untuk mengadakan RUPS guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian melaui dilakukan proses likuidasi.21 Hal ini berbeda dengan ketentuan likuidasi yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mengatur bahwa ketika bank bermasalah dan diputuskan untuk tidak diselamatkan, dan oleh karenanya LPS membayarkan dana penjaminan kepada nasabah Bank Dalam Likuidasi, LPS mengambil alih wewenang RUPS. Untuk keperluan pemberesan atas aset dan kewajiban BDL tersebut LPS membentuk Tim Likuidasi yang akan bertanggungjawab kepada LPS (bukan kepada RUPS). Selain pada saat pembentukan Tim Likuidasi dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa kewenangan Tim Likuidasi juga dalam hal pembubaran atau pengakhiran likuidasi. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 mengatur dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham, Tim Likuidasi wajib menyusun Neraca Akhir Likuidasi guna dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipertanggungjawabkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.

21 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)

51

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dalam hal neraca akhir likuidasi telah disetujui Bank Indonesia, dan Rapat Umum Pemegang Saham telah menerima pertangungjawaban Tim Likuidasi maka Rapat Umum Pemegang Saham: a. meminta Tim Likuidasi: mengumumkan berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan menempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; memberitahukan kepada instansi yang berwenang; memberitahukan kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan agar nama badan hukum bank tersebut dicoret dari Daftar Perusahaan; b. membubarkan Tim Likuidasi. Berdasarkan ketentuan di atas dalam proses likuidasi Rapat Umum Pemegang Saham berperan dalam proses pengakhiran likuidasi yaitu dalam bentuk menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi dan juga melakukan pembubaran Tim Likuidasi. Selanjutnya terkait dengan kedudukan Tim Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi diatur sebagai berikut: Pasal 10 mengatur bahwa: (1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi. (3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Likuidasi berwenang mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dalam penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut.

Selanjutnya Pasal 13 mengatur sebagai berikut: (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Tim Likuidasi dilarang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. (2) Anggota Tim Likuidasi bertanggung jawab secara pribadi apabila dalam melaksanakan tugasnya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Selanjutnya dalam Pasal 20 SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR diatur bahwa tanggung jawab pengelolaan bank beralih dari pengurus bank kepada Tim Likuidasi. Pasal 25 ayat (2) mengatur wewenang Tim Likuidasi antara lain: mewakili Bank Dalam Likuidasi di dalam dan di luar pengadilan. memutuskan hubungan kerja terhadap pegawai. Memperhatikan ketentuan likuidasi di atas, sebagian tugas dan wewenang Tim Likuidasi menurut penulis hampir sama dengan tugas dan wewenang Direksi pada Bank yang masih beroperasi. Begitupun dengan pengangkatannya, Tim Likuidasi dan Direksi sama-sama diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Sehubungan dengan itu maka wajar apabila disebutkan bahwa dalam ketentuan likuidasi ini kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham masih cukup sentral. Berdasarkan uraian di atas, maka perpanjangan tugas Tim Likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir dapat dilakukan melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, adapun jangka waktu perpanjangan tersebut disesuaikan dengan kondisi Bank Dalam Likuidasi tersebut. Namun demikian perpanjangan jangka waktu atau pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi melalui keputusan Rapat Umum

52

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Pemegang Saham sangat tergantung dari itikad baik para pemegang saham untuk menyelesaikan likuidasi. Tanpa itikad baik dari para pemegang saham untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham tidak akan terjadi, dan tidak ada pihak lain termasuk otoritas pengawas bank dalam likuidasi dalam hal ini Bank Indonesia yang bisa memaksa para pemegang saham untuk melakukan rapat. c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi melalui penetapan pengadilan. Peranan pengadilan dalam ketentuan likuidasi antara lain adalah atas permohonan dari Bank Indonesia, mengeluarkan penetapan pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal para pemegang saham tidak dapat menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk memutuskan hal tersebut. Mengingat peranan pengadilan dalam menetapkan pembentukan Tim Likuidasi, apakah pengadilan juga dapat mengeluarkan putusan/penetapan untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi (menetapkan perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi) guna menyelesaikan tugasnya dalam proses likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir. Untuk mengajukan pernetapan tersebut pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan. Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata22 yang diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh

pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal pemohon.23 Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberikan suatu penetapan. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan (penetapan), apabila hal itu ditentukan dalam undangundang atau yurisprudensi.24 Dalam undang-undang tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi ataupun ketentuan yang mengatur mengenai proses likuidasi ketika jangka waktunya berakhir, namun dalam yurisprudensi setidaknya telah ada 2 penetapan Pengadilan Negeri yang mengeluarkan penetapan perpanjangan masa tugas Tim Likuidasi, yaitu Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 321/PDT.P/2003/ PN.JAKSEL tanggal 17 Nopember 2003 adalah penetapan untuk perpanjangan masa tugas Tim Likuidasi Bank Industri (DL) dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 20/PDT.P/2004/PN.JAKSEL tanggal 9 Februari 2004 untuk perpanjangan masa tugas Tim Likuidasi PT. Bank Harapan Sentosa (DL). Berdasarkan yurisprudensi di atas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi adalah dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri.

23 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). 22 M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). 24 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).

53

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

d. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi Kedudukan Bank Indonesia dalam ketentuan likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1999 dan SK Dir Bi No. 32/53/KEP/DIR) adalah sebagai berikut: melakukan pengawasan atas pelaksanaan pembubaran badan hukum dan likuidasi bank. memberikan persetujuan terhadap calon anggota Tim Likuidasi. meminta kepada Pengadilan untuk melakukan pembubaran badan hukum Bank, penunjukan Tim Likuidasi, memerintahkan pelaksanaaan likuidasi sesuai dengan ketentuan dan memerintahkan agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia, dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak dapat diselenggarakan. memberhentikan Tim Likuidasi apabila tidak dapat menjalankan tugas dengan baik dan atau terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku. memberikan persetujuan Neraca Akhir Likuidasi. menerima laporan dan pertanggungjawaban Neraca Akhir Likuidasi yang disusun oleh Tim Likuidasi, dalam hal Tim Likuidasi dibentuk berdasarkan penetapan pengadilan. meminta Tim Likuidasi: mengumumkan berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan menempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas; memberitahukan kepada instansi yang berwenang; memberitahukan kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan agar nama badan hukum bank tersebut dicoret dari daftar perusahaan. membubarkan Tim Likuidasi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, Rapat Umum Pemegang Saham memang masih mempunyai kedudukan yang cukup sentral karena masih berperan dalam pembentukan Tim Likuidasi dan sekaligus pembubarannya. Namun demikian peraturan likuidasi tersebut sudah mengantisipasi dalam hal pemegang saham tidak kooperatif dalam pelaksanaan likuidasi (karena biasanya likuidasi bank merupakan sesuatu yang dihindari oleh para pemegang saham). Dalam prakteknya hampir selalu pemegang berusaha untuk melawan tindakan penutupan bank tersebut. Tidak jarang pula pemegang saham yang menggugat Bank Indonesia sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk mencabut izin usaha bank. Berangkat dari pemikiran tersebut dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa apabila pemegang saham tidak dapat mengadakan rapat umum pemegang saham untuk melakukan pembubaran badan hukum dan pembentukan Tim Likuidasi, maka Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank dalam likuidasi diberikan wewenang untuk meminta ke pengadilan untuk menetapkan pembentukan Tim Likuidasi. Bahkan untuk pengakhiran likuidasi dan pembubaran Tim Likuidasi bagi Tim Likuidasi yang dibentuk berdasarkan Penetapan Pengadilan, Bank Indonesia lah yang melakukan pembubaran Tim Likuidasi tersebut. Dalam proses likuidasi bank, kedudukan Bank Indonesia selain sebagai pengawas juga bertindak sebagai regulator untuk Bank Dalam Likuidasi. Dengan posisi Bank Indonesia tersebut Bank sebagai lembaga negara mempunyai kewenangan publik dalam melaksanakan tugasnya termasuk dalam menyelesaikan permasalahan likuidasi bank.

54

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Bank Indonesia sebagai lembaga administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara peraturan terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi. S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi Pemerintahan yang berupa dokumen-dokumen yang mengandung materi penetapan yang bersifat konkrit, individual dan final dalam hukum administrasi disebut dengan keputusan (Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen yang mengandung materi pengaturan yang bersifat umum disebut peraturan (regeling). Sedangkan peraturan kebijaksanaan adalah (beleid regels), adalah merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies ermessen.25

Likuidasi. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa diskresi digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan mendesak serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif. Penyelesaian likuidasi merupakan permasalahan yang bersifat penting dan mendesak. Penting karena terkait dengan kepastian hukum dalam penyelesaian likuidasi termasuk penyelesaian pengembalian uang penjaminan Pemerintah yang digunakan bank untuk mengembalikan dana nasabah. Bersifat mendesak karena proses likuidasi bank telah berlangsung lama dan telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh ketentuan. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank dalam likuidasi punya cukup landasan hukum untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likudasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir. 3. Alternatif Penyelesaian Likuidasi 4 Bank Yang Dicabut Ijin Usahanya Tahun 2004/2005 Seperti telah diuraikan di atas, pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah masa likuidasi berakhir atau pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi untuk menyelesaikan likuidasi Bank Dalam Likuidasi diperlukan untuk memberikan landasan hukum bagi Tim Likuidasi dalam menyelesaikan likuidasi Bank Dalam Likuidasi. Baik dengan cara penyelesaian likuidasi melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah maupun dengan alternatif penyelesaian yang lain. Terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan proses likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi dalam hal penyelesaian dengan jalan penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan terori yang diuraikan di atas Bank Indonesia sebagai badan admintrasi negara mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan diskresi atau peraturan kebijaksanaan untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi atau memperpanjang jangka waktu kerja Tim

25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.

55

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan adalah unit pelaksana penyelenggara hukum di bidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan Departemen Kehakiman, yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Hukum dan Peraturan Perundangundangan melalui Direktur Perdata.26

a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan anak-anak yang belum dewasa selama belum ditunjuk seorang wali atas mereka (Pasal 359 KUHPerdata atau disebut juga Wali Sementara). b. Sebagai wali pengawas (Pasal 356 KUHPerdata) c. Mewakili kepentingan anak-anak belum dewasa dalam hal ada pertentangan dengan kepentingan wali (Pasal 370 KUHPerdata) d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (Pasal 338 KUHPerdata) e. Pengampuan atas anak yang masih dalam kandungan (Pasal 348 KUHPerdata) f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat wasiat (Pasal 41 dan 42 OV dan Pasal 937 dan Pasal 942 KUHPerdata). g. Pengurusan harta peninggalan yang tidak ada kuasanya (onbeheerde nalatenschappen; Pasal 1126, Pasal 1127 dan 1128 KUHPerdata), demikian pula pengurusan barang-barang peninggalan dari penumpang-penumpang dan awak kapal yang meninggal dunia, hilang atau tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stb. 1886/131). h. Pengurusan boedel-boedel dari orangorang yang tidak hadir (boedel van afwezigen), (Pasal 463 KUHPerdata). Tugas Balai Harta Peninggalan mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang (badan hukum) yang karena hukum atau putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat terpenuhi perlindungan atau terayominya

Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan adalah unit pelaksana teknis dalam lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selanjutnya membidangi perwalian, pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat keterangan waris, dan kepailitan.27 Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini secara struktural Balai Harta Peninggalan merupakan unit organisasi sekaligus unit kerja yang berada dibawah dan oleh karenanya bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Direktorat Perdata. Tugastugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia diatur secara terpisah di berbagai peraturan perundangan yang ada, yang pada pokoknya antara lain sebagai berikut:

26 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.0180 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan 27 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

hak asasi manusia, khususnya yang karena hukum dan penetapan pengadilan dianggap tidak cakap bertindak di bidang hak milik (personal right) berdasarkan peraturan

56

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

perundang-undangan yang berlaku.28 Secara lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu melakukan pengawasan dalam hal Perwalian, Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan tugas baru yang merupakan amanah dari Bank Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil transfer dana secara tunai yang tidak diklaim oleh pihak yang mentransfer maupun pihak yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perbankan29, sehingga secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan merupakan lembaga yang diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum di bidang harta peninggalan bagi yang membutuhkan.30

Dengan memperhatikan tugas-tugas dari Balai Harta Peninggalan, baik yang berlaku sekarang maupun yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang. Terdapat beberapa tugas dari Balai Harta Peninggalan yang bisa dikaitkan dengan pengurusan sisa aset Bank Dalam Likuidasi, yaitu mengurus harta peninggalan yang tidak terurus, dan mengurus harta kekayaan orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak hadir. b. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan untuk mengurus harta kekayaan orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak hadir Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid) diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab UndangUndang Hukum Perdata mulai Pasal 463 - 465. Abdul Kadir Muhammad mengemukakan unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut:32 1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin suami, mungkin istri, mungkin anak. 2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya tidak ada di lingkungan keluarga dimana mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan berada di tempat lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan. 4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga. 5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana

Dalam Rancangan Undang-Undang Balai Harta Peninggalan, tugas Balai Harta Peninggalan adalah:31 Melaksanakan penyelesaian masalah perwalian, pengampuan, ketidakhadiran, dan harta peninggalan tidak terurus. a. Melaksanakan penyelesaian pembukaan dan pendaftaran surat wasiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Membuat surat keterangan waris. c. Melaksanakan penyelesaian masalah kepailitan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

29 Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. 30 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 31 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

ia berada tidak diketahui sama sekali,

32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).

57

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

karena yang bersangkutan tidak memberi kabar atau karena sulit berkomunikasi. Tidak memberi kabar mungkin karena ada halangan, misalnya terjadi perang, pemberontakan, kecelakaan, bencana alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang dengan sengaja supaya tidak berurusan lagi dengan keluarganya (putus asa). Ketidakhadiran tidak hanya berlaku untuk orang perseorangan namun dalam prakteknya berlaku juga untuk subjek hukum (badan hukum). Unsur-unsur suatu obyek tertentu untuk dapat dinyatakan ketidakhadiran seseorang sehubungan dengan pengurusan hartanya yaitu:33 1. Adanya orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya; 2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak hadir untuk memenuhi kepentingannya atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah berakhir; 3. Adanya harta kekayaan dari orang yang dinyatakan tak hadir; 4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan itu; 5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidakhadiran (afweizigheid) seseorang; 6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan. Setelah menerima salinan Penetapan dari Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus harta orang yang dinyatakan tidak hadir diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 456, 463, 464, KUHPerdata.

Dalam penetapan ketidakhadiran dapat sekaligus ditunjuk Balai Harta Peninggalan setempat yang akan bertugas mengurus dan yang mewakili serta membela segala kepentingan si tak hadir itu selama ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menunjuk seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir atau kepada isteri atau suaminya untuk keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata). Selanjutnya setelah penetapan tentang ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka pengurus atau wakilnya akan melaksanakan segala tindakan pengurusan maupun tindakan pemilikan bila perlu sesuai dengan kepentingan atau kekayaan tak hadir dimaksud. Permohonan itu bisa karena permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan harta kekayaan tak hadir itu sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang diperlukan, yang tentu saja sebelum keputusan dikeluarkan sangat diperlukan adanya tahapantahapan yang harus dilalui oleh baik organ negara di satu pihak maupun warga masyarakat di pihak lain. Dalam praktek tahapan itu didahului dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman selama 3 x 2 minggu berturut-turut di papan pengumuman yang terdapat di Pengadilan Negeri setempat dan sesudah lampau waktu tersebut maka Pengadilan Negeri akan memutuskan untuk menerbitkan penetapan (beschikking) ketidakhadiran dimaksud. Penetapan Hakim yang dimaksudkan menjadi dasar bagi Balai Harta Peninggalan setempat dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengurus harta kekayaan serta yang mewakili dan yang membela segala kepentingan dari si tak hadir

33 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

tadi, akan tetapi penetapan hakim dimaksud baru dapat dilaksanakan oleh Balai Harta Peninggalan setempat sesudah penetapan itu

58

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mempunyai kekuatan hukum (in kracht van gewijsde).34 Apabila dikaitkan dengan penyelesaian likuidasi sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan subjek hukum ini termasuk Pemerintah yang dalam hal ini merupakan kreditur Bank Dalam Likuidasi. Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka Pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn, negara, propinsi, kotapraja dan lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis.35 Pemerintah dianggap sebagai badan hukum, karena Pemerintah menjalankan kegiatan komersial (acts jure gesionis). Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang menyebutkan: Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga di akui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau di akui sebagai demikian, entah pula badan hukum itu di terima sebagai yang di perkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung penyelesaian likudasi dengan

penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan, yaitu: 1. Adanya subjek hukum yang tidak hadir, dalam hal ini kreditur Bank Dalam Likuidasi. Untuk menentukan ketidak hadiran ini harus dilakukan pengumuman bagi para kreditur atau apabila krediturnya Pemerintah, Pemerintah dapat menyatakan tidak hadir dan pernyataan tersebut yang dijadikan sebagai dasar penetapan hakim mengenai ketidakhadiran tersebut. 2. Adanya harta kekayaan dari orang yang dinyatakan tak hadir, dalam hal ini sisa aset Bank Dalam Likuidasi. 3. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan itu, alasan yang mendesak dalam hal ini adalah penyelesaian likuidasi bank yang berlarut-larut, ketentuan yang ada tidak mengaturnya dan terdapat potensi pengembalian keuangan negara. 4. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidakhadiran (afweizigheid) seseorang; 5. Adanya permintaan dari yang berkepentingan dalam hal ini bisa dilakukan oleh Tim Likuidasi ataupun oleh Bank Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pemikiran penyelesaian likuidasi bank dengan cara menyerahkan pengurusan kepada Balai Harta Peninggalan patut dipertimbangkan diatur dalam Undang-undang tentang Balai Harta Peninggalan yang saat ini sedang dilakukan pembahasan oleh Pemerintah. c. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan dalam mengurus harta peninggalan yang tidak terurus Pengertian peninggalan yang tidak terurus (Onbeheerde) adalah tidak ada yang menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126

34 Syuhada, Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan) (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). 35 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)

59

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128 KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan yaitu Jika suatu warisan terbuka, tidak seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang dikenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus. Berdasarkan ketentuan di atas, Unsur-unsur harta tak terurus antara lain:36 1. Adanya orang yang meninggal dunia; 2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah; 3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli waris menolak adanya warisan tersebut; 4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu; Dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan, definisi Harta Peninggalan tidak terurus adalah suatu warisan yang tidak seorangpun menggugat atau semua ahli waris yang dikenal menolaknya.37 Proses pengurusan harta peninggalan diawali dengan adanya Penetapan dari Pengadilan Negeri Setempat akan adanya ketidakhadiran maupun harta tak terurus. Pengurusan harta tak terurus dilakukan dengan adanya proses pemeriksaan harta peninggalan seseorang yang telah meninggalan dunia yang akta kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta Peninggalan. Setelah menerima laporan kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta tersebut dengan

melakukan langkah-langkah antara lain:38 1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu; 2. Melakukan penyegelan terhadap budel tersebut; 3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat; 4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan; 5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar pengumuman mengenai pemanggilan para ahli waris atau pihak yang berkepentingan; Terkait dengan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan diatur bahwa: 1. Apabila suatu warisan terbuka, tidak ada seorangpun yang menggugat atau semua ahli waris yang dikenal menolaknya maka warisan tersebut merupakan harta peninggalan tak terurus. 2. Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap harta peninggalan tidak terurus dan wajib memberitahukannya kepada kejaksaan. 3. Dalam hal ada perbedaan pendapat mengenai harta peninggalan terurus atau tidak terurus maka atas permintaan yang berkepentingan atau atas usul jaksa demi kepentingan umum, pengadilan mengeluarkan penetapan. 4. Dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah adanya penetapan, pengadilan wajib menyampaikan salinan penetapan tersebut kepada Balai Harta Peninggalan.

36 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 37 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

38 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

60

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

5. Balai Harta Peninggalan wajib mengumumkan adanya harta tidak terurus sebagaimana dalam surat kabar dan Berita Negara. Apabila dikaitkan dengan permasalahan penyelesaian likuidasi bank, setelah Tim Likuidasi diberikan perpanjangan waktu untuk menyelesaikan likuidasi namun masih terdapat aset yang tidak dapat dicairkan dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank dalam likuidasi sudah memandang likuidasi harus segera diakhiri. Aset tersebut ditawarkan kepada kreditur, dalam hal kreditur melakukan penolakan atau menolak untuk menerima aset bank dalam likuidasi tersebut. Tim Likuidasi dapat meminta pengadilan untuk mengeluarkan penetapan bahwa aset tersebut merupakan harta yang tidak terurus. Atas dasar penetapan pengadilan tersebut maka pengurusan aset tersebut diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan.

Tugas Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan kepailitan telah diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kepailitan Stb. 1905 No. 217. Kemudian sekarang diatur dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 70 ayat (1) huruf a UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. Secara esensial terdapat persamaan karakter antara kepailitan dan likuidasi bank. Keduanya merupakan lembaga exit policy dengan fokus menyelesaikan hak dan kewajiban atas suatu badan hukum yang tidak dapat lagi menjalankan usahanya.39 Terkait dengan permasalahan ini Zulkarnain

Atas dasar pemikiran tersebut maka pengaturan penyelesaian likuidasi bank dalam likuidasi dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan merupakan salah satu solusi penyelesaian permasalahan likuidasi bank. d. Memberikan tugas penyelesaian likuidasi bagi Balai Harta Peninggalan Selain pemikiran yang telah diuraikan di atas, terdapat alasan lain yang dapat digunakan sebagai landasan usulan penyelesaian permasalahan likuidasi melalui Balai Harta Peninggalan, yaitu dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan diberikan tugas tambahan yaitu melaksanakan penyelesaian asset eks bank dalam likuidasi. Dasar pemikiran tersebut adalah dengan melihat bahwa salah satu tugas dari Balai Harta Peninggalan dapat bertindak selaku kurator dalam kepailitan.

Sitompul40 berpendapat bahwa secara teoritis, terdapat dua mekanisme penyelesaian bank bermasalah yaitu melalui proses kepailitan dan melalui proses likuidasi. Pada awalnya di banyak negara, hukum perbankan tidak mengatur kepailitan bank. Bank bermasalah diselesaikan dengan hukum kepailitan umum. Bank yang ijin usahanya dicabut dilikuidasi berdasarkan ketentuan hukum perusahaan. Kemudian, di negara-negara yang hukum kepailitannya tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi nasabah dan kreditur lainnya atau tidak memberikan perlindungan bagi sistem perbankan, prosedur likuidasi khusus

39 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) 40 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

61

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

diberlakukan bagi bank dan diatur dalam hukum perbankan. Alasannya adalah penerapan hukum kepailitan umum kepada bank bermasalah menimbulkan kesulitan. Pada saat krisis perbankan misalnya, pengadilan akan kewalahan menyelesaikan banyaknya bank bermasalah. Kondisi ini menjadi pembenaran terhadap pengecualian bank dari prosedur kepailitan melalui pengadilan. Oleh karena itu bank-bank bermasalah diselesaikan melalui mekanisme extra judicial. Berdasarkan pendapat di atas ditinjau dari sisi lembaganya likuidasi dan kepailitan mempunyai beberapa kesamaan. Selanjutnya dari sisi pelaksanaanya dapat kita perbandingkan antara tugas kurator dengan tugas Tim Likuidasi. Berdasarkan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Begitupun dengan Tim Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Tugas Tim Likuidasi adalah melakukan tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Terdapat beberapa kesamaan antara tugas dan wewenang kurator dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yaitu:41

a. Pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam ketentuan likuidasi diatur juga bahwa Tim Likuidasi bertugas untuk pemberesan aset Bank Dalam Likuidasi. b. Mengumumkan putusan hakim tentang pernyataan pailit dalam berita negara dan surat kabar yang ditetapkan hakim pengawas. Begitupun dalam ketentuan likuidasi diatur mengenai kewajiban mengumumkan. c. Menyelamatkan harta pailit. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang untuk melakukan penyelamatan aset Bank Dalam Likuidasi termasuk melakukan gugatan. d. Menyusun inventaris harta pailit. Tim Likuidasi juga diwajibkan untuk menyusun neraca berupa neraca verifikasi dan neraca akhir likuidasi. e. Menyusun daftar hutang dan piutang harta pailit. Dalam likuidasi hal ini tercantum dalam neraca verifikasi. f. Berwenang membuka surat yang ditujukan pada si pailit (yang berkaitan dengan harta pailit). Kedudukan Tim Likuidasi adalah bertindak untuk dan atas nama Bank Dalam Likuidasi oleh karena itu Tim Likuidasi berwenang untuk melalukan segala tindakan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi. g. Memindahtangankan harta pailit, menyimpan harta pailit dan membungakan uang tunai. Dalam ketentuan likuidasi hal ini termasuk dalam wewenang Tim Likuidasi dalam menyelesaian pencairan aset dan pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi. h. Berwenang untuk membuat perdamaian. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang untuk melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan harta kekayaan dan penagihan terhadap para debitur.

41 Perbandingan antara tugas dan kewenagan kurator sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR.

62

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 bulan. Untuk Tim Likuidasi penyampaian pelaporan kepada Bank Indonesia. j. Selama menjalankan tugasnya dapat diganti dengan kurator oleh pengadilan setiap waktu setelah memanggil dan mendengar Kurator, dan mengangkat kurator lain dan atau mengangkat kurator tambahan. Dalam ketentuan likudasi kewenangan untuk mengganti Tim Likuidasi merupakan kewenangan Bank Indonesia. k. Sebagai pengemban tugas pengurusan terhadap harta pailit, kurator mempunyai hak untuk mendapatkan imbalan sebagaimana ketentuan Pasal 76 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), bahwa imbalan jasa yang dibayarkan kepada kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan perundang-undangan. Pedoman imbalan jasa kurator berpedoman pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator dan Pengurus. Ketentuan mengenai pemberian honor dan fee kepada Tim Likuidasi juga diatur dalam ketentuan likuidasi. Dengan memperhatikan uraian di atas, terdapat beberapa kesamaan antara likuidasi dengan kepailitan juga antara tugas kurator dan tugas Tim Likuidasi. Sehubungan dengan itu apabila Balai Harta Peninggalan yang selama ini telah melakukan tugas sebagai korator, dan mengingat karakteristik yang sama antara tugas kurator dengan Tim Likuidasi, maka secara praktek Balai Harta Peninggalan juga dalam melakukan tugas Tim Likuidasi dalam menyelesaikan proses likuidasi. Oleh karena

itu cukup berdasar apabila dalam undangundang tentang Balai Harta Peninggalan yang sedang disusun diatur juga mengenai tugas Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan likuidasi dan dapat bertindak sebagai Tim Likuidasi. e. Penyelesaian likudasi melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Pemegang Saham. Alternatif penyelesaian ini merupakan salah satu alternatif yang pernah ditawarkan oleh Bank Indonesia kepada Kementerian Keuangan dalam rangka penyelesaian likuidasi bank yang disampaikan melalui surat Bank Indonesia Nomor 6/4/GBI/DPIP Tanggal 9 Juni 2004 Tentang Penyelesaian Akhir Likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi. Yaitu alternatif penyelesaian dengan cara Tim Likuidasi mengagendakan penyelesaian sisa aset yang merupakan hak Pemerintah dalam pelaksanaan RUPS dan meminta RUPS menetapkan sisa aset diserahkan kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas. Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 mengatur bahwa setelah pelaksanaan tahap pembayaran yang terakhir, masih terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan sisa dimaksud kepada para pemegang saham secara pro rata. Selanjutnya tagihan yang timbul setelah proses likuidasi dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang saham. Kemudian Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 mengatur dalam hal harta kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup untuk memenuhi seluruh kewajiban bank dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota dewan komisaris serta pemegang saham yang turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank.

63

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Selanjutnya dalam Pasal 32 SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 diatur Dalam rangka melakukan tugas untuk membagikan sisa harta kepada pemegang saham berlaku ketentuan: a. Apabila setelah pelaksanaan tahap pembayaran terakhir masih terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan sisa harta dimaksud kepada para pemegang saham secara pro rata sesuai dengan kepemilikan jumlah saham. b. Tagihan yang timbul setelah proses likuidasi dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang saham. Ketentuan likuidasi mengatur penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada pemegang saham dilakukan dalam hal seluruh kewajiban bank dalam likuidasi telah diselesaikan dan masih terdapat sisa aset. Tentunya kondisi tersebut akan jarang ditemui dalam kasus bank dalam likuidasi. Karena kondisi bank dalam likuidasi secara umum masih punya banyak kewajiban kepada kreditur dalam hal ini yang paling banyak kepada Pemerintah, dan masih terdapat aset yang tidak dapat dicairkan karena aset bank dalam likuidasi banyak aset yang bermasalah. Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi Rapat Umum Pemegang Saham sebagai lembaga yang cukup sentral dimana bank setelah izin usahanya dicabut oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan untuk mengadakan RUPS guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian melalui dilakukan proses likuidasi. Selain itu pada akhir likuidasi Tim Likuidasi diwajibkan

untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada pemegang saham sebelum Tim Likuidasi tersebut dibubarkan oleh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Sehubungan dengan posisi pemegang saham seperti itu maka terdapat kemungkinan apabila proses likuidasi sudah tidak dapat dilanjutkan oleh Tim Likuidasi karena kewajiban Bank Dalam Likuidasi masih ada dan masih terdapat aset yang tidak dapat dicairkan, maka pada akhir likuidasi yaitu pada saat Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada Rapat Umum Pemegang Saham, sekaligus dalam Rapat Umum Pemegang Saham tersebut, Tim Likuidasi menyerahkan seluruh aset dan kewajiban kepada Pemegang Saham. Namun demikian dalam Rapat Umum Pemegang Saham harus diputuskan bahwa setiap pencairan aset bank dalam likuidasi oleh pemegang saham harus digunakan untuk membayar kewajiban kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah. Untuk memperkuat hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut masing-masing pemegang saham perlu diikat secara hukum yaitu dengan membuat pernyataan bahwa setiap pencairan aset akan digunakan untuk membayar kewajiban kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah. Tentunya pemilihan alternatif penyelesaian seperti ini diperlukan itikad baik dari para pemegang saham untuk menyelesaikan likuidasi dan menyelesaikan kewajiban kepada Pemerintah. Karena apabila pemegang saham tidak beritikad baik dan malah sebaliknya mereka membuat keputusan yang menguntungkan para pemegang saham, maka tindakan tersebut akan menimbulkan potensi hilangnya pengembalian uang Pemerintah.

64

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

4. Pengaturan Pengakhiran Likuidasi Bank Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Tidak seperti halnya ketentuan likuidasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang masih mendudukan posisi pemegang saham dalam posisi yang cukup sentral yaitu berperan dalam pembentukan dan pembubaran Tim Likuidasi dan juga berpengaruh dalam menerima pertanggungjawaban hasil kerja Tim Likuidasi, dalam UU LPS diatur bahwa segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS diambil alih oleh LPS. Dengan dilakukannya pengambilalihan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh LPP. Kewenangan melakukan pemberesan aset dan kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan pengembalian (recovery) dana penjaminan.42

jangka waktu pelaksanaan likuidasi (maksimal 4 tahun), Tim Likuidasi melakukan evaluasi mengenai potensi sisa aset. Dalam hal masih terdapat potensi pencairan aset maka Tim Likuidasi mengajukan perpanjangan jangka waktu likuidasi untuk menyelesaikan pencairan sisa aset tersebut. Adapun syarat perpanjangan tersebut yaitu: a. Perkiraan nilai pencairan aset melebihi biaya yang dibutuhkan untuk pencairan aset tersebut termasuk biaya operasional likuidasi akibat dari perpanjangan tersebut, dan b. jangka waktu pelaksanaan likuidasi bank masih dapat diperpanjang. Dalam hal tidak terdapat potensi pencairan aset, maka Tim Likuidasi dapat melakukan: a. penghapusan aset yang sebelumnya dinilai nihil dalam Neraca Sementara Likuidasi43 (sebelum melakukan penghapusan aset tersebut Tim Likuidasi wajib memberitahukan rencana penghapusan aset tersebut kepada LPS paling lambat 7 hari sebelum tanggal penghapusan aset tersebut dan wajib melaporkan hasilnya kepada LPS); dan b. menawarkan sisa aset selain aset sebagaimana huruf a sebagai pembayaran non tunai kepada LPS selaku kreditur prioritas. Dalam hal LPS menolak penawaran sisa aset tersebut atau masih terdapat sisa aset setelah dilaksanakan pembayaran dalam bentuk non tunai kepada LPS maka Tim Likuidasi menawarkan sisa aset tersebut kepada kreditur selain LPS sesuai urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1).44

Dengan pengambilalihan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS oleh LPS mengakibatkan pelaksanaan likuidasi oleh Tim Likuidasi menjadi terbebas dari pengaruh para pemegang saham sehingga Tim Likuidasi dapat menjalankan tugasnya lebih profesional tanpa adanya campur tangan dari pemegang saham. Begitupun juga halnya terkait dengan pengakhiran likuidasi, Peraturan LPS (PLPS) rupanya telah meminimalkan segala kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam proses pengakhiran likuidasi seperti yang selama ini terjadi. Dalam PLPS Nomor 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank, diatur bahwa dalam hal masih terdapat aset yang belum bisa dicairkan dalam waktu 3 bulan sebelum berakhirnya

43 Neraca sementara likuidasi adalah neraca pertanggal pencabutan ijin usaha yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan neraca penutupan yangtelah diaudit dengan memperhitungkan aset berdasarkan nilai likuidasi (vide Pasal 1 angka 19 PLPS No. 1/PLPS/2011). 44 Pasal 38 PLPS No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank mengatur bahwa ururan pembayaran adalah: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak terutang; f. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak kreditur lainnya.

42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.

65

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Apabila sampai dengan batas waktu yang ditentukan tidak ada kreditur yang bersedia atau tidak memberikan tanggapan untuk menerima sisa aset sebagai pembayaran non tunai maka kreditur yang bersangkutan dianggap melepaskan haknya terhadap sisa aset yang ditawarkan tersebut. Dalam kondisi demikian namun masih terdapat kewajiban yang belum diselesaikan maka Tim Likuidasi mengajukan penghapusan sisa aset kepada LPS sebagai RUPS. Atas sisa aset tersebut LPS dapat melakukan penagihan/pencairan baik oleh LPS sendiri maupun menunjuk pihak 5.1. Simpulan dan Saran Atas dasar hasil analisa dan dengan mengacu dari berbagai literatur, berdasarkan sumber data baik primer maupun sekunder, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan aset dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur mayoritas dan sebagai pihak yang menggantikan kedudukan nasabah penyimpan secara hukum mempunyai dasar yang kuat. Oleh karena itu penyelesaian likuidasi bank dengan cara tersebut merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan untuk penyelesaian likuidasi bank yang dicabut izin usahanya pada periode 2004/2005. 2. Secara hukum pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah berakhirnya jangka waktu likuidasi mutlak diberikan, hal ini diperlukan untuk memberikan legitimasi kepada Tim Likuidasi sehingga menunjang kelancaran Tim Likuidasi dalam melaksanakan tugasnya untuk menyelesaikan likuidasi. 3. Terdapat beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan likuidasi selain dengan pola penyelesaian melalui penyerahan sisa aset bank dalam likuidasi kepada Pemerintah, yaitu dengan cara: lain.45

a. Penyerahan pengurusan likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan. Solusi penyelesaian dengan cara ini secara hukum dimungkinkan, sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk dijadikan materi undang-undang tentang Balai Harta Peninggalan yang sekarang sedang disusun oleh Pemerintah. b. Melalui penyerahan sisa aset bank dalam likuidasi kepada pemegang saham, dimana dalam penyerahan tersebut pemegang saham harus dimintakan komitmen bahwa setiap pencairan aset bank dalam likuidasi tersebuit diprioritaskan untuk membayar kewajiban bank dalam likuidasi kepada para krediturnya yang dalam hal ini kreditur terbesar adalah Pemerintah. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai masukan atas permasalahan tersebut kiranya perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Bank Indonesia dan Pemerintah agar segera mengambil sikap dalam menyelesaikan permasalahan likuidasi bank khususnya penyelesian likuidasi bank yang dicabut izin usahanya pada tahun 2004/2005. 2. Proses likuidasi harus segera diselesaikan karena akan menimbulkan berbagai dampak hukum, yaitu: a. Tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian likuidasi bank. b. Penurunan nilai aset BDL yang berpotensi mengurangi pengembalian uang Pemerintah. c. Biaya Operasional yang tetap harus dibayar oleh BDL termasuk honor TL dan Staf Pendukung sehingga akan mengurangi pengembalian uang Pemerintah. d. Kemungkinan adanya tuntutan dari kreditur dan pemegang saham atas aset yang masih dikelola oleh Tim Likuidasi, sehingga akan berpotensi mengurangi jumlah aset yang dapat dikuasai oleh Pemerintah sebagai pembayaran kewajiban

45 Pasal 45 PLPS No. 1/PLPS/20011.

BDL kepada Pemerintah.

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan pengurusan likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan kiranya perlu dilakukan kajian oleh Pemerintah sehingga dapat dijadikan materi dalam undang-undang tentang Balai Harta Peninggalan yang saat ini tengah disusun oleh Pemerintah.

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000). Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002). L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982) J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti). J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996). M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010). Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177. Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ Siti Ismijati, Prof. Dr., Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. Syuhada, Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan) (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959). Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

69

Halaman ini sengaja dikosongkan

PERLINDUNGAN PRIVASI DAN DATA PRIBADI: SUATU TELAAHAN AWAL


Oleh : Josua Sitompul, S.H., IMM.1

Abstrak Dalam era digital, semakin banyak produk yang diubah dalam bentuk digital dan diperdagangkan melalui berbagai mekanisme transaksi elektronik. Data pribadi telah menjadi komoditas yang harus diserahkan sebelum pengguna atau pelanggan menikmati produk yang ia pilih. Hal ini dapat mengancam privasi seseorang. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan, salah satunya, membangun regulasi yang kuat untuk melindungi privasi dan data pribadi. Artikel ini mendiskusikan konsep perlindungan privasi dalam Konstitusi Indonesia dan penerapannya dalam beberapa undang-undang. Kesimpulannya, perlindungan terhadap privasi bukan suatu perhatian utama para pendiri Republik dalam penyusunan UUD 1945. Akan tetapi, perubahan signifikan terjadi sejak reformasi. Berdasarkan pembahasan perubahan konstitusi Indonesia dan beberapa undang-undang dalam artikel ini, kesimpulan lain yang dapat diangkat untuk dikembangkan ialah bahwa Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi, termasuk privasi, sepanjang sesuai dengan Pancasila. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi, dan perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi. Pengembangan regulasi untuk melindungi data pribadi perlu dititikberatkan pada perlindungan terhadap diri pibadi. Kata Kunci : privasi, data pribadi; perlindungan

A. Latar Belakang Keterhubungan manusia di seluruh dunia dan keteraksesan terhadap informasi secara global adalah dua manfaat perkembangan teknologi informasi yang fundamental. Dengan Internet, informasi dapat diakses dan tersebar secara cepat dan luas. Berbagai informasi yang dahulu sangat sulit diperoleh karena terbentur waktu dan tempat kini dapat diakses dengan mudah di Internet. Lagu-lagu luar negeri era 50-an, 60-an, atau 70-an yang pada zamannya hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang dalam piringan hitam besar kini
2

dapat diakses oleh anak berumur 10 tahun. Video klip serta film-film terbaru sudah dapat dinikmati bahkan diunduh dari berbagai website, seperti 4shared.com, youtube.com, dan onlinewatchmovie.net. Skandal-skandal besar yang dilakukan oleh para birokrat2 dan selebritis maupun peristiwa baik yang penting maupun yang dianggap remeh3 yang terjadi di ujung belahan dunia kini tersedia di cyberspace. Informasi-informasi ini dapat diakses secara bebas

Skandal Silvio Berlusconi misalnya dari http://www.bbc.co.uk/news/worldeurope-14960214, diakses tanggal 29 Desember 2011. Foto bayi pasangan selebritis Bollywood, Aishwarya Raid an Abhishek Bachchan, dihargai Rp2.6 milar, diakses 29 Desember 2011 dari http://www.lintas.me/article/4ecdd3c760e53726a6000899.

3 1 Kasie Penindakan, Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

71

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan gratis; yang dibutuhkan hanya Internet serta komputer, laptop, atau smartphone. Di sisi lain, dengan bantuan Internet, transaksi berbagai produk dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Kita hanya perlu memilih4 barang atau jasa yang dibutuhkan dari berbagai penyedia, mengisi data yang diperlukan pada format yang tersedia, membayarnya dengan menggunakan kartu kredit ataupun uang elektronik seperti paypal, dan menunggu produk. Demikian pula dengan aplikasi-aplikasi menarik dalam smartphone seperti whatsApp, ChatOn, dan Email yang dapat mengintegrasikan semua kontak yang pengguna miliki sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi. Akan tetapi, dalam melakukan transaksi elektronik seperti ini, seseorang memberikan data kepada pihak yang kemungkinan besar ia tidak kenal. Informasi mengenai nama, alamat, email, dan nomor yang dapat dihubungi serta nomor kartu kredit adalah data yang lazim dipersyaratkan dalam suatu transaksi secara elektronik. Begitu juga dengan penggunaan aplikasi atau layanan dalam smartphone. Penyedia layanan aplikasi kerap meminta akses terhadap kontak, SMS, MMS, bahkan gambar atau video yang ada dalam gadget pengguna. Setelah transaksi dilakukan, setelah produk telah diterima oleh pembeli, selama pengguna masih menggunakan layanan aplikasi, apa yang dilakukan oleh penyedia terhadap data yang telah diberikan? As, Neft (2003) mengingatkan [t]here is an enormous amount of information about is in other peoples hands, and one thing is certain some of us will be harmed by it. We just dont know who, when, or how badly.5 Apakah akan segera dihapus, tetap disimpan, atau ditransaksikan dengan pihak lain?
8 7 6

Bagaimana pengguna dapat mendapatkan kepastian bahwa data yang ia berikan tidak disalahgunakan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi isu penting dalam wacana perlindungan terhadap privasi, sebagaimana telah diangkat dalam berbagai media belakangan ini.6 Kondisi ini membawa pada satu pertanyaan penting, yaitu bagaimana sistem hukum di Indonesia perlu dikembangkan untuk melindungi privasi secara khusus data pribadi warga negara dalam dunia siber? Sebagai negara yang memiliki pengguna Internet sebanyak 30 juta dalam regional Asia dan tingkat pertumbuhan internet yang meningkat sebesar 1,400% dalam kurun waktu 2000-20107, privasi dalam cyberspace tentunya harus menjadi concern utama berbagai pihak. Pertumbuhan pengguna facebook8 di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2009 dengan jumlah 2.3 juta meningkat menjadi 20.7 juta pengguna di tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah pengguna menjadi 35.1 juta; dengan kata lain pertumbuhan pengguna facebook di Indonesia dalam kurun waktu 2009-2011 adalah 1,412%. Statistik ini menjadikan Indonesia menjadi negara kedua pengguna facebook terbesar setelah Amerika Serikat.9 Internet juga

Kebocoran Data Pribadi Gawat, Senin 18 Februari 2013, 08:16 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/18/08161710/Kebocoran. Data.Pribadi.Gawat, tanggal 14 Maret 2013; UU Cybercrime Sangat Penting bagi Indonesia, Selasa, 12 Maret 2013, 04:47, diakses dari http://www.beritasatu.com/digital-life/101381-uu-cybercrime-sangatpenting-bagi-indonesia.html, tanggal 14 Maret 2013. Suber Internet World Stats, http://www.internetworldstats.com/stats.htm dan http://www.internetworldstats.com/stats3.htm, diakses pada 11 Januari 2011. Facebook merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memberikan berbagai layanan interaktif. Sebelum dapat menggunakan layanan yang diberikan facebook, seseorang harus melakukan registrasi dengan memberikan informasi nama, alamat email, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Setelah melakukan registrasi, pengguna dapat menambahkan berbagai informasi lainnya dalam akun yang diberikan facebook, seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, kegemaran (buku, makanan, musik, film). Pengguna juga dapat memperbarui status mereka, atau menambahkan foto atau video pribadi. Facebook menghubungkan antara pengguna dan teman-temannya serta kelompok yang diminati. Semua informasi yang diberikan pengguna dapat memberi petujuk mengenai siapa, karakter, termasuk status sosial pengguna. http://www.nickburcher.com/2011/04/facebook-usage-statistics-1stapril.html, diakses tanggal 30 Desember 2011.

Dalam hasil pencarian buku di amazon.com, ada 4.384 textbooks yang memuat kata privacy sebagai judul, sedangkan dalam hasil pencarian aksesoris komputer di ebay.com, ada 30.325 halaman yang masingmasing halaman memuat 50 produk. diakses 29 December 2011. Nehf, James P., Recognizing the Societal Value in Information Privacy (January 20, 2003). Washington Law Review, Vol. 78, pp. 1-92, 2003. Diakses dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=1989235

72

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

memberikan dampak positif pada kegiatan transfer dana di Indonesia. Penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan transaksi dapat dilakukan secara seketika (real-time). Berdasarkan catatan Bank Indonesia, pada tahun 2009 rata-rata transaksi kliring setiap hari di Indonesia tercatat 341 ribu dengan total nominal mendekati Rp6.5 triliun. Berdasarkan Sistem Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, untuk periode yang sama, rata-rata setiap hari mencapai 47 ribu transaksi dengan total nominal hampir Rp178 triliun. Salah satu konsep pengaturan dalam dunia siber ialah perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata diberikan pula dalam dunia siber. Dalam dunia riil terdapat masyarakat yang terdiri dari kumpulan manusia yang saling berinteraksi yang membutuhkan aturan dalam bersikap tindak mulai dari norma sosial sampai hukum, yaitu norma yang memberikan sanksi yang memaksa dari negara. Dunia siber terdiri dari masyarakat yang berasal dari dunia nyata dan akibat aktivitas dalam dunia siber dapat berdampak nyata dalam dunia riil. Oleh karena itu, dalam dunia siber dibutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat yang ada dan berinteraksi di dalamnya. Mengingat dalam dunia riil perlindungan terhadap privasi merupakan isu penting karena privasi merupakan salah satu hak asasi yang diakui dalam konstitusi di banyak Negara, maka seharusnya, privasi seseorang dalam dunia siber juga harus dilindungi sebagai hak asasi. Bagaimana Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia membangun konsep perlindungan privasi dan perlindungan data pribadi? Pemahaman ini akan memberikan dasar yang kuat untuk menentukan konsep perlindungan privasi dalam dunia siber, termasuk pengembangan peraturan perundang-undangan terkait. Privasi merupakan terminologi yang umum digunakan masyarakat dan merupakan subjek yang telah dibahas oleh sarjana dari berbagai sisi.10 Akan tetapi, terlepas

banyaknya tulisan yang telah dihasilkan maupun pembahasan akademis yang diselenggarakan, usaha mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup privasi adalah seperti usaha mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup hukum, yaitu usaha yang perlu meskipun tidak dapat komprehensif dan konklusif. Solove (2002) menilai bahwa penentuan konsep privasi sangat penting dalam pembentukan hukum dan kebijakan; privasi merupakan bagian penting dari kemerdekaan seseorang, demokrasi, dan kesejahteraan sosial.11 Solove mengakui bahwa privasi masih merupakan konsep yang samar karena masih terus berkembang seiring perkembangan waktu, teknologi, dan zaman. Mengingat privasi bukanlah konsep asali yang diatur dalam Konstitusi Indonesia pertama, untuk memahami ruang lingkup dan konsep privasi yang dianut dalam Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia, perlu dibahas terlebih dahulu konsep privasi yang berlaku secara internasional dan mengambil salah contoh best practices yang berlaku di negara Amerika Serikat. Negara ini memiliki sejarah perkembangan privasi dalam sistem hukum common law yang panjang serta didukung dengan literatur yang memadai. Konsep-konsep yang dianut oleh negara tersebut dijadikan pisau analisa dalam memahami privasi dalam Konstitusi dan perundang-undangan. Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sejarah pengaturan privasi dalam Konstitusi serta pengaturan privasi dalam beberapa undang-undang, yaitu UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2008 tentang ITE, UU Perbankan, serta UU KIP. Dalam tulisan ini ditegaskan bahwa perlindungan data pribadi merupakan bagian dari perlindungan privasi seseorang.

10 Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan privasi adalah hak untuk menyendiri (the right to be let alone).

11 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law review, Vol. 90, hal. 1093.

73

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

B. Pengaturan Privasi di Amerika Serikat 1. Sejarah Pengaturan Privasi Pengaturan privasi di Amerika Serikat memiliki sejarah yang panjang.12 Pada masa revolusi di Amerika Serikat, pengaturan privasi ditekankan kepada kebebasan warga negara dari gangguan yang dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan penggeledahan atau penyitaan berdasarkan surat perintah yang tidak spesifik tanpa ada bukti yang cukup untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Akibatnya, munculah pergolakan untuk menegakkan hak privasi yang mendorong diterbitkannya Bill of Rights yang dikukuhkan dalam Amandemen Konstitusi yang Ketiga13, Keempat14 dan Kelima.15,16

memperbaiki informasi jika terjadi kekeliruan. Akan tetapi, pada tahun 1860, pertanyaan bertambah menjadi hampir 150 pertanyaan yang juga meminta informasi pribadi. Kebijakan publikasi hasil sensus tetap berlangsung hingga pada tahun 1870. Ketika sensus tahun 1890, reaksi masyarakat sangat keras karena dalam sensus tersebut dimintakan informasi pribadi mengenai riwayat penyakit, ketidakmampuan, kondisi keuangan seseorang. Menanggapi gejolak tersebut, Kongres mengeluarkan pengaturan untuk merahasiakan hasil sensus penduduk.17 Demikian juga dalam penyelenggaraan telegrafi yang menimbulkan permasalahan privasi. Teknologi telegrafi yang dipatenkan pada tahun 1837 atas nama Samule Morse, berkembang pesat sebagai alternatif media komunikasi. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan teknologi telegrafi, teknologi penyadapanpun semakin berkembang. Pada Perang Sipil (Civil War) yang terjadi dalam kurun waktu 1861 1865, penyadapan terhadap telegraf menjadi salah satu metode penting untuk mengumpulkan informasi mengenai rencana dan kekuatan musuh. Meskipun Perang Sipil telah diselesai, praktik penggunaan penyadapan telegraf untuk mengumpulkan informasi tetap dilaksanakan. Hal ini menimbulkan gejolak yang besar di masyarakat sehingga pada tahun 1880, rancangan undang-undang untuk melindungi privasi telegraf dikemukakan di Kongres.18 Dengan semakin berkembangnya teknologi kamera dan fotografi serta persuratkabaran, usaha perlindungan terhadap privasi menghadapi lingkungan yang baru. Distribusi surat kabar meningkat dengan pesat karena berkembangnya

Selain penggeledahan dan penyitaan, masalah privasi di Amerika Serikat juga muncul terkait dengan sensus penduduk, persuratan, dan telegrafi. Sensus penduduk yang diadakan pertama kali tahun 1790 hanya meminta warga untuk menjawab empat pertanyaan. Hasil sensus dipublikasikan di tempat umum agar warga dapat

12 Daniel J. Solove, 2006, A Brief History of Information Privacy Law, http://papers.ssrn.com/sol3/papers. cfm?abstract_id=914271 diakses 17 November 2010. 13 Third Amendment to the US Constitution: No Soldier shall, in time of peace be quartered in any house, without the consent of the Owner, nor in time of war, but in a manner to be prescribed by law. 14 Foruth Amendment to the US Consitution: The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized. 15 Fifth Amendment to the US Consitution: No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation. 16 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:4-1:5.

17 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:6. 18 Priscilla Regan dalam Robert Ellis Smith, Ben Franklins Web Site: Privacy and Curiosity from Plymouth Rock to the Internet 12 (2000), supra note 18 hal 69, dalam Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1: 7-1:8.

74

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

yellow journalism, yaitu jurnalisme yang memuat berita yang tidak mementingkan kebenaran dan keakuratan informasi, tetapi mementingkan berita utama yang menarik untuk meningkatkan oplah.19 Berita skandal-skandal dan gossip terhadap orangorang tanpa fakta yang akurat menimbulkan keresahan masyarakat yang besar. Hal inilah yang menjadi latar belakang Warren dan Brandeis (1890) menerbitkan sebuah artikel The Right to Privacy. Warren dan Brandeis melihat adanya kekosongan hukum dalam melindungi privasi seseorang. Menurut mereka, sejarah Sistem Common Law telah menunjukkan bahwa hukum melindungi properti dan pribadi seseorang. Akan tetapi, seiring perkembangan waktu, lingkup terhadap properti dan pribadi berubah. Perlindungan terhadap properti mencakup tidak hanya yang berwujud, tetapi juga yang tidak berwujud. Sedangkan perlindungan terhadap pribadi tidak hanya terhadap fisik seseorang, tetapi juga perasaan dan intelektualitas. Sistem hukum Common Law telah mengenal adanya pengaturan mengenai larangan menciderai tubuh seseorang, dan telah memperluas pengaturan tersebut hingga larangan mencoba menciderai seseorang. Selain perlindungan terhadap fisik seseorang, hukum juga melindungi martabat atau nama baik orang dengan melalui pelarangan terhadap penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang (slander atau libel). Tidak hanya itu saja, hukum juga dinilai perlu untuk melindungi inteliktualitas seseorang sehingga dikembangkanlah pengaturan tentang intellectual property yang meliputi hak cipta, paten, merk, dan rahasia datang. Kemudian telah dikembangkan pula pengaturan mengenai the law of nuisance yaitu perlindungan terhadap kenyamanan (easement) yang melarang seseorang untuk melakukan tindakan yang menimbulkan

ketidaknyamanan kepada orang lain, baik berupa bau, kebisingan, asap, dan sebagainya. Warren dan Brandeis menegaskan bahwa hukum juga harus mengatur privasi yaitu the right to be let alone.20 Yang mereka maksud dengan privasi ialah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan diri yang meliputi emosi, pikiran, atau perasaan dalam berbagai bentuk aktivitas tanpa ada gangguan, khususnya gangguan dalam bentuk publikasi atas dan dalam bentuk akses terhadap hasil ekspresinya tanpa ada persetujuan dari orang tersebut. Selain itu, termasuk ruang lingkup privasi ialah segala informasi yang berkaitan dengan seseorang; informasi tersebut biasanya berasal dari ekspresi atau aktivitas sehari-hari, seperti fakta mengenai hubungan seseorang dengan orang lain. Tujuan dari perlindungan privasi menurut mereka adalah the peace of mind or the relief afforded by the ability to prevent any publication at all. Dengan demikian, seseorang dapat mengembangkan kehidupan pribadinya dengan maksimal. Warren dan Brendeis mengemukakan bahwa pada dasarnya sistem common law telah memberikan perlindungan terhadap privasi dengan memberikan hak kepada setiap orang untuk menentukan sampai sejauhmana segala aspek pribadinya akan atau dapat dikomunikasikan kepada pihak lain. Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk mengekspresikan dirinya, dan terhadap hasil ekspresinya dalam bentuk tulisan, lukisan, ucapan atau bentuk lainnya setiap orang juga diberikan hak untuk membatasi publikasi terhadap hasil ekspresinya itu. Lebih lanjut menurut mereka21 perlindungan terhadap privasi berbeda dengan perlindungan terhadap nama baik seseorang karena pada dasarnya nilai perlindungan terhadap

19 http://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_journalism, diakses pada 8 Februari 2011. Dua surat kabar yang pada waktu itu menghadirkan Yello Jurnalism ialah New York World dan New York Journal.

20 Warren dan Brandeis, Ibid. 21 Warren dan Brandeis, Op.cit.

75

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

privasi bersifat spiritual. Sedangkan nilai perlindungan terhadap nama baik (pengaturan mengenai libel dan defamation) bersifat materil. Perlindungan terhadap privasi juga berbeda dengan perlindungan terhadap kekayaan intelektual. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa esensi privasi bersifat spiritual, maka perlindungan yang diberikan oleh hukum seharusnya berupa ketenangan batin seseorang (peace of mind). Di lain pihak, hukum hak atas kekayaan intelektual memberikan perlindungan terhadap hasil intelektualitas seseorang yang bernilai ekonomis berupa keuntungan yang dapat diperoleh dari produksi dan pendistribusian hasil intelektualitas yang dimaksud. Sebuah diary yang berisi rahasia pribadi seseorang dan dipublikasi oleh orang lain tanpa persetujuannya mungkin tidak melanggar hak atas kekayaan intelektual, tetapi dapat melanggar hak privasi pemilik diary karena yang tidak dikehendaki oleh pemilik justeru publikasi terhadap konten yang terdapat dalam diary tersebut, dan bukanlah keuntungan yang timbul dari publikasi buku yang dimaksud.

c. Hak privasi menjadi hilang dalam hal orang yang bersangkutan memberikan persetujuan terhadap publikasi atas informasi pribadinya. d. Yang menjadi esensi dari perlindungan terhadap privasi bukanlah benar atau tidaknya informasi yang dipublikasikan, tetapi perlindungan terhadap publikasi informasi tanpa persetujuan orang yang berhak. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa artikel Warren dan Brendies mempengaruhi sistem hukum common law di Amerika Serikat dengan mulai diterimanya pengaturan hukum privasi dalam bentuk tort (privacy tort). Pada awalnya privacy tort diterapkan dalam kasus seperti publikasi foto seorang perempuan yang sedang menjalani operasi caesar, pemasangan kamera tersembunyi di dalam kamar yang disewa oleh pasangan, publikasi penyakit seorang wanita yang menurutnya memalukan, dan publikasi gambar telanjang yang diambil oleh polisi, serta penggunaan gambar seseorang untuk kepentingan iklan tanpa persetujuan.22 Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, William

Warren dan Brendeis mengakui bahwa ruang lingkup hak privasi perlu diperjelas, tetapi sebagai gambaran, beberapa pedoman pengaturan terhadap hak privasi dapat dilihat dari aspekaspek berikut. a. Hak privasi tidak melarang publikasi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan umum. Akan tetapi, seseorang tetap memiliki hak untuk memilih untuk tidak mempublikasi informasi tanpa persetujuannya. Beberapa aspek yang menurut mereka masuk dalam ruang lingkup privasi ialah kehidupan pribadi, kebiasaan, hubungan atau relasi seseorang. b. Pengaturan terhadap privasi tidak melarang publikasi privasi seseorang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.

Prosser23 mengumpulkan preseden-preseden tort kasus invasi terhadap privasi dan mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori, yaitu: 1) penerobosan (intrusi) ke dalam kehidupan pribadi seseorang, seperti mencari informasi pribadi seseorang dengan melakukan penyadapan; 2) pengungkapan fakta-fakta yang memalukan tentang seseorang kepada publik, misalnya mempublikasikan kebiasaan seseorang memakan kotoran hidung;

22 Danielle Keats Citron, Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. 23 William L. Prosser, Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.

76

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3) publikasi yang membuat masyarakat salah menilai seseorang, seperti gossip-informasi yang tidak lengkap dan cenderung dibuat samar; 4) penggunaan atribut dari identitas seseorang untuk mengambil keungungan tanpa persetujuan, seperti penggunaan foto seseorang untuk iklan tanpa persetujuan; 2. Ruang Lingkup Privasi Solove menegaskan bahwa banyak sarjana berusaha untuk menentukan ruang lingkup privasi dengan memberikan kriteria-kriteria privasi untuk membedakan terminologi tersebut dengan terminologi lainnya. Tujuan memberikan batasan mengenai konsep privasi ialah untuk menentukan karakteristik-karakteristik yang unik dari privasi sehingga penggunaan terminologi privasi dapat mencakup hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup privasi itu sendiri.24

lingkup privasi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah privasi dalam arti ruang fisik, yaitu bahwa seseorang memiliki ruang fisik pribadi yang terpisah dari publik dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Konsep ruang fisik ini didasarkan pada Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat. Kelompok kedua ialah privasi dalam arti kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan tanpa campurtangan atau intervensi dari pemerintah atau orang lain. Kelompok terakhir ialah privasi dalam arti hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengontrol pemrosesan informasi pribadinya; yang termasuk dalam pemrosesan ialah pengumpulan, pengungkapan dan penggunaan. Menurut Kang, ketiga kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara tegas. Menurut Kang, perlindungan terhadap privasi dapat didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam privasi. Pertama, pengaturan mengenai privasi dapat melindungi diri dari hal-hal yang memalukan; dalam budaya tertentu, pengungkapan tindakan atau kelakuan seseorang dapat mempermalukan orang tersebut meskipun kelakuan atau tindakan tersebut tidak dapat disalahkan. Misalnya tindakan buang air kecil; semua orang melakukannya, tetapi mengambil foto orang yang melakukan buang air kecil dan menaruhnya di internet dapat mempermalukan orang tersebut. Kedua, pengaturan terhadap privasi memberikan dasar dalam hubungan yang bersifat intim; kebebasan seseorang untuk memberikan informasi kepada orang lain yang dapat mengungkapkan dirinya sebenarnya dapat menciptakan hubungan yang bersifat intim, seperti persahabatan atau kekasih. Oleh karena itu, privasi terhadap informasi seperti ini perlu dilindungi. Ketiga, perlindungan terhadap privasi melindungi seseorang dari penggunaan informasi pribadi yang tidak sesuai.

Lebih lanjut menurutnya, konsep privasi sangat dipengaruhi secara terus menerus oleh perkembangan sejarah dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, konsep privasi dapat berubah dan meluas cakupannya sehingga apa yang dulu dianggap bagian dari publik dapat menjadi suatu hal yang pribadi. Salah satu bagian penting dalam perkembangan sejarah dan budaya masyarakat ialah perkembangan teknologi yang juga mempengaruhi konsep privasi dari masa ke masa. Hukum, menurutnya, harus memberikan kelenturan yang besar untuk mengkonsepsikan masalah-masalah privasi.25

Perkembangan ruang lingkup privasi juga diangkat oleh Jerry Kang (1998).26 Kang membagi ruang

24 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, 2002, California Law Review, Vol 90, hal. 1095-1096. 25 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Vol. 90: 1087, 1088-1154, Hal. 1146. 26 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, April 1998, Vol. 50, No. 4, hal.202-1203.

Penyalahgunaan tersebut dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, penggunaan informasi yang tidak benar atau sesuai dapat berdampak pada keputusan yang keliru. Informasi mengenai catatan tindakan kriminal seseorang dapat membuat orang

77

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Kedua, pengambilan dan penggunaan informasi yang benar untuk tujuan selain peruntukkannya dapat menimbulkan kerugian. Pengambilan informasi nomor telepon dari buku kuning dan menggunakannya untuk melakukan penipuan atau pengumpulan informasi kartu kredit seseorang yang melakukan transaksi elektronik dengan bantuan skimmer dan menggunakannya untuk melakukan transaksi online adalah contohcontoh yang dimaksud.27 Kang mengambil ruang lingkup privasi informasi dari the National Information Infrastructure tentang Privacy and the National Information Infrastructure: Principles for Providing and Using Personal Information, bahwa yang dimaksud dengan privasi terhadap informasi ialah an individuals claim to control the terms under which personal information information identifiable to an individual is acquired, disclosed, and used.28 Ruang lingkup privasi terhadap informasi ialah: 1. Informasi pribadi (personal information), yang dimaksud dengan informasi pribadi ialah information identifiable to the individual29. Pribadi memiliki makna hubungan antara informasi tertentu dengan seseorang, sehingga terlepas apakah informasi tersebut bersifat sensitif, privat, atau memalukan.30

2. Informasi yang bukan pribadi (nonpersonal information). Untuk ruang lingkup privasi ini, Jerry Kang mengemukakan konsep residual privacy interest31 terhadap informasi yang bukan pribadi, khususnya mengenai anonimitas. Menurutnya, meskipun informasi telah dibuat samar karena individu yang memberikan informasi telah diganti menjadi sosok anonim, orang tersebut masih memiliki hak privasi terhadap sisa informasi sepanjang ia memiliki kepentingan terhadap informasi tersebut karena ia berhak atas seluruh proses, mulai dari pengumpulan, pengungkapan, dan penggunaan informasi. Selain itu, menurut Kang, dalam hal informasi dapat menggambarkan suatu grup secara langsung, tetapi tidak secara langsung menggambarkan seseorang dalam grup tersebut, informasi yang dimaksud termasuk bagian dari informasi pribadi. Akan tetapi ia menegaskan bahwa hak privasi hanya diberikan kepada individu, dan bukan grup atau organisasi. Lebih lanjut, Solove juga mengajukan konsep taksonomi dari privasi dengan menentukan masalah-masalah yang dapat mengganggu privasi, khususnya tindakan-tindakan yang melanggar privasi. Melalui taksonomi ini, diharapkan sistem hukum dapat memahami ruang lingkup privasi dan membentuk aturan-aturan hukum yang melindungi privasi. Dalam taksonomi yang dimaksud, terminologi privasi adalah terminologi

27 Jerry Kang, hal. 1212-1214. 28 Jerry Kang, hal. 1205. Lihat juga Privacy Working Group Information Policy Committee Information Infrastructure Task Force (IITF), 6 Juni 1995, diakses dari http://aspe.hhs.gov/datacncl/niiprivp.htm pada tanggal 2 Januari 2012. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa perhatian utama tentang pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi telah ditegaskan sejak tahun 1995. 29 Diambil dari IITF 30 Jerry Kang, hal. 1206-1207. Informasi dapat mengarahkan kepada atau menggambarkan seseorang dengan tiga cara: (a) hubungan antara penulis informasi dan seseorang. Suatu informasi dapat dibuat atau disiapkan oleh seseorang dalam suatu komunikasi antara dirinya dengan pihak lain. Informasi tersebut dapat berupa surel pribadi, atau foto-foto pribadi; (b) informasi dapat mendeskripsikan seseorang selain berdasarkan hubungan antara penulis dan seseorang. Contohnya adalah informasi mengenai golongan darah, jenis kelamin, tanggal lahir, tinggi dan berat-

payung32 dan model taxonomi yang dibangun

badan, sidik jari, atau DNA. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai seseorang, termasuk hubungan sosial, catatan kriminal, atau tingkat pendidikannya serta aktivitas yang dilakukannya; (c) informasi selain dua kategori tersebut tetapi masih bersifat pribadi jika informasi tersebut dipetakan lebih jauh. Nomor Keamanan Sosial (Social Security Number) bukanlah informasi yang dibuat oleh seseorang dan juga tidak menyatakan aktivitasnya. Akan tetapi, dengan menggunakan alat atau perangkat tertentu, SSN dapat memberikan informasi yang detail mengenai kehidupan seseorang. 31 Jerry Kang, hal. 1209. 32 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review Vol. 154, No. 3, January 2006, pp. 477 s.d. 560.

78

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Solove menempatkan individu sebagai pusat dari privasi. Ia mengajukan empat kelompok tindakan yang dapat melanggar privasi, yaitu pengumpulan informasi, pengolahan informasi, diseminasi informasi, dan invasi. 3. Konstitusionalitas Privasi terhadap Informasi Terkait dengan privasi terhadap informasi, Cate dan Litan (2001)33 memberikan argumen bahwa berdasarkan Konstitusi di Amerika Serikat, perlindungan terhadap hak privasi sebagai hak asasi baik dalam dunia konvensional maupun dunia siber hanya diterapkan terhadap tindakan yang dilakukan Amerika pemerintah.34 Mereka mengangkat fakta bahwa Amandemen Keempat Konstitusi Serikat35 ditujukan untuk melindungi privasi seseorang dari campur tangan pemerintah karena perlindungan yang diberikan hanya ditujukan kepada penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum. Akan tetapi, di sisi lain, berbagai pihak telah melihat perlunya perlindungan terhadap privasi terhadap sektor privat, seperti pembatasan dalam pengumpulan dan penggunaan informasi pribadi dalam bisnis. Sayangnya, konsep tersebut masih belum didukung dalam putusanputusan pengadilan di negara Amerika. Oleh karena itu, mereka mengusulkan bahwa urgensi perlindungan privasi terhadap sektor privat dapat didasarkan pada Amendement Pertama Konstitusi AS.36
33 Fred Cate and Robert E. Litan, Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, tanggal 30 Desember 2011. 34 Cate dan Litan, hal. 4. 35 The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized. 36 Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.

Kang (1998) juga memiliki kesimpulan yang serupa. Ia melihat pengumpulan informasi pribadi oleh para pihak yang bertransaksi secara garis besar tidak diatur oleh undang-undang. Amerika Serikat tidak memiliki satu undang-undang privasi yang komprehensif (omnibus) yang mengatur sektor privat atau swasta dalam mengelola informasi pribadi, seperti dimiliki di beberapa negara Eropa. Pengaturan informasi pribadi di Amerika Serikat beragam, tergantung dari cara penerimaannya, siapa yang melakukan, dan bagaimana informasi tersebut akan digunakan.37 Sayangnya, menurut Kang, hukum federal di Amerika tidak mengatur perlindungan informasi privasi seseorang terhadap invasi yang dilakukan oleh sektor privat atau swasta karena doktrin state action38 yang dianut di Amerika, dan ketidakjelasan sampai sejauh mana Konstitusi melindungi informasi privasi seseorang. Dengan demikian, sistem tort mengenai invasi terhadap privasi di Amerika tidak memberikan pembatasan yang efektif terhadap pengelolaan informasi.39 Ada beberapa statuta yang mengatur sektor tertentu mengenai informasi pribadi, seperti konsumen kartu kredit, pendidikan, komunikasi elektronik, catatan kendaraan bermotor. Akan tetapi, tidak ada dari statuta tersebut yang membatasi para pihak yang bertransaksi untuk mengumpulkan informasi.40

37 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50, 1998 , hal. 1230. 38 Doktron state action adalah konsep hukum di Amerika Serikat yang mengakui bahwa perlindungan yang diberikan Konstitusi seperti dalam Amandement XIV dan I hanya dimaksudkan kepada kewenangan memaksa negara terhadap individu, dan bukan kewenangan memaksa yang dilakukan individu terhadap individu lainnya, http://rationalwiki.org/wiki/State_action_doctrine, diakses 1 Maret 2012. 39 Kang, hal. 1230-1231. Kang mengangkat contoh bahwa Privacy Act Amerika yang diundangkan tahun 1974 juga hanya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan bukan terhadap sektor swasta. 40 Jerry Kang, hal. 1232.

79

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Fan (2011) juga mengangkat wacana bahwa sistem hukum Amerika Serikat masih mencari konstitusionalitas perlindungan privasi terhadap informasi.41 Menurut Fan secara hipotetis Konstitusi memberikan perlindungan tersebut berdasarkan pemahaman bahwa hak privasi terhadap informasi lahir dari intuisi moral masyarakat yang menuntut adanya keseimbangan kewenangan antara negara dan warganya, termasuk pembatasan kewenangan negara dalam melakukan invasi terhadap privasi seseorang. Lebih lanjut menurut Fan, meskipun dalam Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas tertulis eksistensi hak tersebut, perlindungan hak privasi tetap tercakup dalam Konstitusi karena pada dasarnya perlindungan terhadap privasi merupakan perlindungan terhadap kebebasan yang dilindungi Konstitusi, khususnya berdasarkan Amandemen XIV Konstitusi AS.42 Seseorang bebas memutuskan pilihan tanpa ada campur tangan orang lain, termasuk pemerintah. Konstitusi melindungi kebebasan seseorang karena pada dasarnya manusia adalah makhluk otonom, dan ada hubungan yang kuat antara privasi dengan otonomi manusia, yaitu bahwa konsep privasi adalah penegasan dari kebebasan manusia dari interferensi orang lain. Privasi adalah bagian dari

ruang seseorang yang dapat dibawanya dan bagian itu dilindungi dari gangguan yang tidak diinginkan, termasuk hak seseorang untuk mengungkap jati dirinya sebagai bentuk otonomitas seseorang.43 Meskipun dalam Amandemen XIV tidak menyebutkan adanya perlindungan terhadap privasi secara eksplisit, hakim pada kasus Griswold v. Connecticut memberikan pertimbangan bahwa perlindungan privasi dapat ditemukan dalam penumbra44 dan emanasi (pancaran) Konstitusi. Namun demikian, beberapa pengadilan yang menekankan legalitas memberikan pertimbangan bahwa menginterpretasikan secara sangat luas mengenai hak konstitusi yang tidak secara tegas menyatakan hak tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak tepat sistem yurisprudensi.45 Fan mengemukakan bahwa privacy is a transitional lens that helps us view liberty in a new light. Intuisi dapat menjadi salah satu pedoman yang sangat kuat dalam memberikan pertimbangan hukum di pengadilan karena intusi menyatukan pengalaman yang mungkin sulit untuk diterjemahkan secara perkataan. Akan tetapi Fan juga mengingatkan bahwa intuisi dapat menimbulkan bias sehingga penggunaan intuisi perlu dilakukan secara berhati-hati.46 C. Pengaturan Privasi dalam Instrumen Internasional

41 Marry D. Fan, Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. 42 Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika terhadap Griswold v. Connecticut adalah salah satu perlindungan terhadap privasi seseorang dalam menentukan pilihan. Permasalahan dalam sengketa antara Negara Bagian Connecticut dan Grisworld adalah bahwa hukum Negara Bagian Connecticut pada waktu itu melarang segala bentuk penggunaan obat atau alat yang dapat mencegah pembuahan. Griswold membuka klinik kontrol kelahiran di Connecticut yang mengakibatkan ia ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah karena telah menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kelahiran. Terhadap keputusan tersebut, Griswold melakukan banding dengan dasar bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi oleh undang-undang Connecticut telah melanggar Amandemen XIV Konstitusi AS; Supreme Court memutuskan bahwa hukum Connecticut tersebut telah melanggar Konstitusi. Amandemen XIV Konsitusi AS: no state shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law...nor deny any person the equal protection of the laws.

dan Regional 1. The Universal Declaration of Human Rights The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) merupakan pernyataan resmi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa yang berisi pengakuan

43 Fan menyarikan dari pertimbangan Hakim Distrik Robert Carter, hal. 14. 44 Penumbra ialah bayangan kabur yang terjadi pada saat gerhana bulan. 45 The Sixth Circuit in J.P. v. DeSanti, dalam Fan, hal. 14. 46 Fan, hal. 27.

80

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada tahun 1948. UDHR merupakan respons negara-negara terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada waktu Perang Dunia II. Isi deklarasi ini menekankan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai individu. Kemudian, pada tahun 1966, UDHR dijadikan dua instrumen internasional, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Ketiganya disebut sebagai The International Bill of Human Rights. Pada dasarnya ICCPR mengatur pembatasan kewenangan negara terhadap hak-hak asasi individu. Hak-hak sipil dan politik sebagai hak asasi yang diatur dalam ICCPR merupakan hak-hak negatif, yaitu hak-hak yang akan terpenuhi apabila peran negara terbatas. Di lain pihak, ICESCR mewajibkan peranan negara dalam memenuhi hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain, peranan aktif negara dibutuhkan untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia.47

Pasal 17 ICCPR memberikan perlindungan dari gangguan terhadap privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi yang dilakukan secara sewenangwenang dan tidak sah, termasuk pelanggaran terhadap martabat atau reputasi seseorang. Yang dimaksud tidak sah (unlawful) adalah tindakan yang dilakukan tidak berdasarkan perundangundangan. Dengan kata lain, gangguan terhadap privasi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan sewenang-wenang (arbitrary) ialah tindakan yang dilakukan melampaui kewenangan yang diberikan perundang-undangan. Dengan kata lain, meskipun perundang-undangan memberikan kewenangan untuk mengganggu/ melanggar privasi seseorang, kewenangan tersebut tidak boleh digunakan secara subjektif oleh pengemban kewenangan. Kewenangankewenangan yang dapat menimbulkan gangguan atau pelanggaran terhadap privasi harus disebutkan secara eksplisit dan detail dalam perundangundangan, termasuk situasi-situasi yang diizinkan oleh perundang-undangan mengenai gangguan terhadap privasi. Oleh karena itu, tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap alat komunikasi termasuk perekaman percakapan pada dasarnya merupakan hal yang dilarang.49 Penerapan dari ketentuan ini ialah, antara lain, penggeledahan terhadap rumah seseorang harus dibatasi hanya terhadap pencarian alat bukti yang diperlukan dan tidak boleh menimbulkan gangguan atau ancaman. Selain itu, pengumpulan dan penyimpanan informasi dalam komputer, bank data, dan media lainnya, oleh pemerintah, individu, atau institusi harus diatur dengan undang-undang sehingga informasi mengenai kehidupan pribadi seseorang tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak

Perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi dinyatakan dalam Pasal 12 UDHR.48 Lebih lanjut, privasi dikategorikan sebagai hak asasi manusia dalam bidang sipil dan politik yang diatur dalam Pasal 17 ICCPR, yaitu: (1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation. (2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

47 Ifdal Kasim, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, hal. 2, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, pada tanggal 17 Desember 2011. 48 Yaitu no one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang

49 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

81

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

untuk menerima, mengolah dan menggunakan informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap individu harus diberikan hak untuk mengetahui data pribadinya yang dapat disimpan dan untuk tujuan apa. Setiap individu juga berhak untuk memeriksa datanya yang dikontrol oleh instansi pemerintah, individu, atau institusi privat lainnya. Individu juga diberikan hak untuk mengubah atau mengganti informasi yang pernah diberikannya pada pemerintah, instutusi privat, dan individu.50

ekspansi perdagangan serta kesejahteraan individu. Data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi yang terkait dengan individu yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi. Sedangkan yang dimaksud dengan pemrosesan data ialah segala bentuk pengoperasian atau pengelolaan data pribadi baik secara otomatis maupun manual yang mencakup pengumpulan, perekaman, pengorganisasian, penyimpanan, penyesuaian, penggunaan, pengungkapan, pendiseminasian, dan penghapusan data pribadi.

Meskipun ICCPR tidak memberikan definisi atau ruang lingkup privasi, tetapi Pasal 17 ICCPR memberikan dasar bagi perlindungan terhadap informasi pribadi sebagai hak asasi manusia. Selain itu, prinsip penting lainnya ialah bahwa perlindungan terhadap informasi pribadi seseorang menjadi tanggung jawab pihak yang mengumpulkan atau menyimpan informasi yang dimaksud, seperti pemerintah, pelaku usaha, atau komunitas. 2. Directive 95/46/EC Directive 95/46/EC on the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data on the Free Movement of Such Data (Directive 95/46/EC) merupakan instrumen regional Uni Eropa yang ditetapkan pada tahun 1995. Perlindungan terhadap data pribadi, menurut instrumen ini, sebagaimana terlihat dari judulnya, merupakan bagian dari usaha perlindungan terhadap pribadi. Lebih tegasnya menurut instrumen ini, sistem pemrosesan data didesain untuk mengabdi pada manusia dan sistem yang dibangun harus menghormati hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar, khususnya hak privasi. Sistem pemrosesan data dilain pihak juga harus memiliki dampak positif dengan memberikan kontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial, Negara-negara anggota menyadari adanya perbedaan tingkatan perlindungan terhadap privasi yang dapat membatasi transmisi data pribadi dari satu negara anggota ke negara anggota lainnya. Instrumen ini bertujuan untuk menghilangkan hambatan pemrosesan data dengan menyesuaikan tingkat perlindungan data di negara-negara anggota, bukan dengan menurunkan tingkat perlindungan privasi tetapi dengan memastikan bahwa perlindungan privasi diberikan dalam tingkatan yang tinggi. Beberapa prinsip penting dalam pemrosesan data yang diatur dalam instrumen ini ialah, antara lain, pertama pemrosesan data pribadi harus dilakukan secara sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair terhadap individu yang bersangkutan. Pada dasarnya, untuk dapat dikatakan sah dan sesuai hukum, pemrosesan data pribadi harus didasarkan pada persetujuan dari individu tersebut, dan didasarkan pada perlindungan terhadap kepentingan individu yang merupakan bagian penting dari hidupnya. Pemrosesan data disebut fair apabila individu memahami bahwa data pribadinya diolah, dan ia dapat mengetahui proses pengolahannya, serta mengetahui dari mana data tentang dirinya diperoleh, dan mendapatkan informasi tersebut dengan akurat dan lengkap. Kedua, data yang diproses harus secukupnya, relevan, dan tidak berlebihan dalam hubungannya dengan tujuan pemrosesan data. Ketiga, tujuan yang dimaksud
50 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

harus dinyatakan secara eksplisit dan sah serta ditentukan pada saat pengumpulan data.

82

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Negara anggota dapat menentukan secara spesifik kondisi-kondisi dimana data pribadi dapat diungkapkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan marketing. Akan tetapi, terhadap hal ini, individu yang bersangkutan diberikan hak untuk menolak pemrosesan data tersebut dengan tidak dikenakan biaya dan tanpa perlu menyatakan alasan penolakannya. Perlindungan data pribadi warga negara-negara anggota tidak hanya diberikan dalam pemrosesan data dalam lingkup perdagangan negara-negara anggota, tetapi juga dalam hal perdangangan internasional. Maksudnya, perlindungan data pribadi yang diproses di luar negara anggota harus sama dengan standar yang diberikan negara anggota berdasarkan Directive 95/46/EC. Apabila negara ketiga tidak dapat memberikan jaminan yang sama maka transfer data pribadi kepada negara ketiga tidak boleh dilakukan. 3. APEC Privacy Framework Negara-negara anggota APEC menyadari pentingnya perlindungan privasi terhadap informasi (information privacy) dan pengaturan pertukaran informasi negara anggota. Negara anggota juga menyadari bahwa rendahnya kepercayaan dan keyakinan konsumen terhadap perlindungan privasi dan keamanan transaksi secara online adalah kondisi yang dapat menghambat perkembangan perdagangan secara elektronik. Teknologi yang ada memudahkan pengumpulan, penyimpanan, dan pengaksesan informasi secara global yang memberikan manfaat besar baik secara ekonomi maupun sosial bagi pelaku usaha, individu, termasuk pemerintah. Akan tetapi di sisi lain, teknologi yang ada juga membuat individu semakin sulit untuk memiliki kontrol terhadap data pribadi mereka. APEC Privacy Framework merupakan ethical information practices in on- and off-lne context to bolster the confidence of individuals and businesses.

APEC Privacy Framework menegaskan sembilan prinsip dalam perlindungan privasi terhadap informasi. Prinsip pertama ialah harus ada perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan terhadap informasi yang diberikan individu. Sehubungan dengan itu, perlu ada pengaturan mengenai kewajiban yang memperhitungkan resiko dan pengaturan sanksi yang sesuai dengan penyalahgunaan. Kedua, pengelola informasi pribadi harus menyediakan informasi yang jelas dan dapat diakses dengan mudah mengenai kebijakan dan tindakan mereka terhadap informasi pribadi. Ketiga, pengumpulan informasi pribadi harus dibatasi hanya kepada informasi yang relevan dengan tujuan pengumpulan, dan informasi harus diperoleh secara sah dan sesuai hukum (lawful), serta fair dan patut. Pengumpulan informasi harus dilakukan berdasarkan pemberitahuan kepada, atau persetujuan dari individu yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, prinsip keempat menegaskan bahwa penggunaan informasi pribadi yang telah dikumpulkan harus digunakan hanya untuk memenuhi tujuan dari pengumpulan, dan tujuan lain yang sama dengan itu. Prinsip kelima mengatur bahwa sepanjang dimungkinkan, individu harus mendapat mekanisme yang jelas dan dapat dimengerti dan diakses dengan mudah dalam menentukan pilihan terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan pengungkapan informasi pribadi mereka. Keenam, informasi pribadi harus terjaga keakuratan, kelengkapan, dan keterbaruannya sesuai dengan tujuan penggunaan informasi. Ketujuh, pengelola informasi pribadi harus melindungi informasi pribadi yang ada padanya dengan menerapkan berbagai bentuk pengamanan yang proporsional untuk menghadapi resiko seperti kehilanggan atau akses yang tidak sah, perusakan, penggunaan, pengubahan, pengungkapan, serta bentuk penyalahgunaan lainnya. Kedelapan, individu harus dapat menerima konfirmasi dari penggelola informasi mengenai pengelolaan informasi yang ia berikan. Individu juga harus dapat berkomunikasi

83

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dengan pengelola, termasuk mempertanyakan keakuratan informasi, dan dapat meminta pengelola untuk memperbaiki, mengubah, atau menghapus informasi. Terakhir, pengelola informasi harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut di atas. Apabila pengelola akan mentransfer informasi pribadi kepada orang atau organisasi lain, baik dalam lingkup domestik maupun internasional, ia harus memperoleh persetujuan dari individu, atau mengambil langkah-langkah yang hati-hati untuk memastikan bahwa pihak penerima informasi akan melindungi informasi tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip yang dimaksud.51 Menurut Green (2012), APEC Privacy Framework merupakan instrumen regional yang paling lemah melindungi privasi dibandingkan EU Directive atau OECD. Directive 95/46/EC, di lain pihak merupakan instrumen regional yang paling banyak digunakan sebagai acuan dalam penyusunan regulasi privasi. Dari 39 negara di luar Eropa yang ia teliti, 33 diantaranya dipengaruhi oleh Directive 95/46/EC dalam penyusunan regulasi privasi. Bahkan menurutnya, Directive 95/46/EC memiliki potensi untuk dijadikan sebagai instrumen internasional.52

D. Pengaturan Privasi dalam Perundang-undangan di Indonesia 1. Perkembangan Pengaturan Privasi dalam Konstitusi Pengaturan hak privasi sebagai hak asasi manusia dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan di Indonesia telah dimulai pada sidangsidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Persiapan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan menyusun rancangan UUD 1945. Dalam sidangsidang tersebut, pendapat Soekarno dan Soepomo di satu sisi serta pendapat Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin di sisi lain membentuk dua kutub aliran mengenai urgensi pengaturan hak warga negara dalam konstitusi pertama Indonesia. Soekarno dan Soepomo berargumen bahwa hak warga negara tidak perlu dimasukkan dalam konstitusi. Menurut Soekarno, pengaturan hak warga negara dalam konstitusi Indonesia merupakan ciri negara yang berlandaskan paham liberalisme serta individualisme. Paham-paham yang merupakan buah dari revolusi Perancis tersebut telah menyebabkan lahirnya imperalisme dan kapitalisme dan menimbulkan berbagai permasalahan besar di dunia. Konstitusi Indonesia seharusnya tidak berdasarkan liberalisme dan individualism, tetapi berlandaskan paham kekeluargaan, gotong-royong, serta keadilan sosial.53 Soepomo memiliki cara pandang yang berbeda mengenai tidak-perlu-diaturnya hak warga negara

51 Beberapa kritik terhadap instrumen ini adalah bahwa APEC Privacy Framework merupakan instrumen yang lebih lemah dalam mengatur privasi dibandingkan instrumen internasional lainnya. Selain itu, instrumen ini tidak mengatur perlindungan data secara rinci. Implementation of the APEC Privacy Framework in National Regulation, Abu Bakar Munir, Workshop on International Data Sharing and Biometric Identification, Singapore, 2-3 Juli 2009 diakses dari http://www.hideproject.org/downloads/ws-singapore/HIDE_WS-Annex_ IIId-Presentation_Abu_Bakar_Bin_Munir-20090702.pdf pada tanggal 18 Maret 2013. 52 Greenleaf, Graham , The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299.

dalam konstitusi. Ia berargumen bahwa negara Indonesia harus dibangun berdasarkan konsep negara integralistik, yaitu kesatuan antara negara dan seluruh rakyatnya. Dalam konsep negara integralistik, individu merupakan suatu bagian organik dari negara sehingga hak individu menjadi

53 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.

84

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justeru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara.54 Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas perpendapat perlunya mencantumkan hak warga negara dalam konstitusi. Hatta menilai bahwa kekuasaan yang besar yang diberikan kepada negara dapat melahirkan otoritarianisme seperti yang terjadi di Jerman sekitar tahun 1940an, sedangkan negara Indonesia akan didasarkan pada kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengaturan hak warga negara dalam konstitusi merupakan pertanggungjawaban negara kepada rakyat. Ia menekankan bahwa diantara berbagai hak warga negara yang perlu diatur dalam konstitusi, hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan merupakan hak yang harus dimunculkan dalam konstitusi. Yamin menegaskan bahwa pengaturan hak warga negara dalam konstitusi merupakan satu keharusan dalam memberikan perlindungan kepada warga negara yang merdeka.55 Konsep Hatta dan Yamin diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tetapi dalam lingkup yang terbatas, yaitu bahwa hak yang diatur dalam UUD merupakan hak warga negara, dan bukan hak asasi manusia hak hakiki yang melekat sebagai seorang manusia.56 Terminologi hak asasi manusia tidak dijumpai dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasan UUD 1945.57

terus berkembang dan akan tetap menjadi permasalahan hukum. Perumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 bukanlah perumusan akhir. Meskipun pengaturan hak asasi akan terus berkembang, tetapi, menurutnya, pengaturan tersebut haruslah didasarkan pada Pancasila sebagai kristalisasi nilai dan norma kehidupan bangsa dan negara Indonesia.58 Dengan kata lain, konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dapat mengatur hak-hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan dalam bangsa Indonesia dengan tetap berpegang pada nilainilai Pancasila. Purbopranoto melihat bahwa perumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 belum disusun secara sistematis, dan hanya ada empat pasal yang mengatur hak asasi manusia, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Keempat pasal ini merupakan inti dasar kenegaraan berdasarkan perundingan pada pendiri bangsa pada waktu itu yang terdiri dari berbagai aliran.59 Perumusan UUD 1945 hanya memakan waktu 40 (empat puluh) hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 s.d. 16 Juli 1945.60 Ketergesa-gesaan inipun diakui oleh Soekarno Konstitusi Indonesia adalah UUD kilat.61 Abdul Hakim mencermati bahwa dalam penyusunan Konsitusi ada begitu banyak keberagaman yang harus disatukan, seperti budaya, aliran pemikiran, dan kepentingan di antara golongan masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri

Menurut Purbopranoto (1975) pengaturan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan
58 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4, hal. 13. 59 Kuntjoro Purbopranoto, hal. 28. 54 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238. 55 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238-239. 56 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 240. 57 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), hal. 61. 60 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. 61 Majda el-Muhtaj, hal. 72, mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. hal. 426.

85

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

republik ini belum menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, tetapi membangun checks and balances antar organ-organ negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.62

tersebut maka titik berat perumusan UUDS itu adalah terlegak pada perlindungan hak-hak azasi manusia sebagai individu.65 Menurut Purbopranoto, Pasal 12 Universal

Hak privasi belum diatur dalam naskah asli konstitusi karena apabila dihubungkan dengan diskusi para pendiri republik mengenai urgensi pengaturan hak warga negara dalam konstitusi pengaturan hak privasi dianggap sebagai penerimaan faham individualisme dan liberalisme yang kuat ditentang pada waktu itu ke dalam sistem pemerintahan serta budaya dan norma masyakarat Indonesia. Perdebatan pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi juga muncul pada pembahasan UUD Republik Indonesia Serikat63 dan UUD Sementara. Dalam sidang-sidang Konstituante di tahun 19571959, konsep hak asasi manusia sebagai natural rights telah diterima.64 Dalam Bagian 5 UUD RIS diatur mengenai Hak dan Kebebasan Dasar Manusia. Demikian juga dalam Bagian V UUD Sementara diatur mengenai Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia. Purbopranoto memberikan catatan penting mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam tiga konstitusi Indonesia. Menurutnya hak-hak asasi yang diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 UUD 1945 didasarkan pada hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni sedangkan pengaturan hak asasi dalam UUD Sementara sudah terang dipengaruhi oleh Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Konstitusi RIS tahun 1949. Karena pengaruh Universal Declaration of Human Rights

Declaration of Human Rights66 telah dimasukkan dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUD RIS dan UUD Sementara.67 Akan tetapi mencermati perumusan dalam kedua konstitusi tersebut, pengaturan privasi sebagai bagian penting dari Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights tidak diatur. Hal ini menunjukkan bahwa privasi masih merupakan simbol dari individualisme dan liberalisme barat yang masih bertentangan atau setidak-tidaknya belum dapat diterima dalam sistem pemerintahan serta budaya bangsa.68 Oleh karena itu, melihat perkembangan pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi sejak tahun 1945 hingga 1950, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi serta terbuka untuk mengaturnya dalam Konstitusi. Akan tetapi, penerimaan dan pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi harus berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan ruh murni bangsa Indonesia; Pancasila merupakan ideologi bangsa dalam menerima atau menolak suatu paham, termasuk menerima atau menolak suatu hak atau kebebasan yang diakusi sebagai hak asasi manusia dalam instrumen internasional ke dalam Konstitusi Indonesia.

65 Purbopranoto, Hal. 51. 66 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 67 Purbopranoto, Apendix. 63 UUD RIS 1949 berlaku sejak 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950, sedangkan UUD Sementara berlaku sejak 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959. 64 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 241. 68 Tahun 1959, Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden, membubarkan Konstituante dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam Dekrit itu, Presiden memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945.

62 Abdul Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 318.

86

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Demikian juga dengan penerimaan privasi sebagai hak dasar manusia dalam Konstitusi. Perlindungan terhadap privasi memiliki semangat atau paham individualis. Paham perlindungan terhadap privasi merupakan paham yang dinilai banyak pihak termasuk para pendiri bangsa sebagai bagian dari paham liberal. Oleh karena itu, tidak tolak penerimaan dan pengaturan privasi sebagai bagian dari hak asasi manusia Indonesia juga harus didasarkan pada ruh murni bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai asali bangsa Indonesia ialah komunalistik. Terhadap nilai asali komunalistik ini, Supomo menegaskan bahwa kolektivisme atau komunalistik merupakan bagian penting yang hidup dalam hukum adat Indonesia, satu sistem hukum yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain pada umumnya yang menjadi karakter bangsa. Dalam hukum adat, esensi kedudukan seorang individu berada dalam hubungannya dengan masyarakat. Menurut Supomo dalam hukum adat Indonesia itu bukanlah individu yang primair tetapi masyarakat. Dalam suasana hukum adat orang itu terutama adalah anggota masyarakatnya.69 Manusia sejak awalnya memiliki sifat komunal, dan bukan individual. Menurutnya manakala ada pertentangan antara kepentingan seseorang dengan kepentingan masyarakat, maka haruslah kepentingan seseorang itu tunduk, sebab kepentingan masyarakat itu adalah kepentingan semua warga (kepentingan umum)... Di sinilah letak prinsip yang merupakan azas kehidupan bangsa kita yang asli, yakni yang menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat bersama yang bersifat kolektif dan tidak individualistis atau perseorangan.70 Berdasarkan pemikiran Supomo dan Purbopranoto di atas, dapat ditegaskan di sini bahwa pada intinya setiap manusia memiliki dua sifat dasar yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam

diri manusia, yaitu sifat individu yaitu manusia sebagai pribadi kodrati dan sifat komunal atau sosial manusia sebagai bagian dari masyarakat. Privasi sebagai hak asasi manusia dapat diletakkan dalam Konstitusi berdasarkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena sila ini merupakan dasar dari pengaturan hak atau kebebasan asasi manusia, termasuk tanggung jawab seseorang terhadap Negara.71 Sebagaimana diungkapkan oleh Purbopranoto bahwa perikemanusiaan mencakup segala pandangan hidup yang tertuju pada manusia, baik dalam pergaulannya dalam masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan negara. Berpijak pada konsep ini, pengaturan privasi dalam Konstitusi negara Indonesia dapat diterima dalam konteks komunalistik yang merupakan sifat asli bangsa, artinya perlindungan terhadap privasi seseorang tunduk kepada kepentingan umum. Dalam hal tidak ada kepentingan umum yang menjadi penghalang, privasi merupakan hak dasar yang harus dijunjung tinggi. Perubahan signifikan mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam konsitusi terjadi setelah reformasi dimulai di Tahun 1998. Dalam kurun waktu 4 tahun (1999 2002), Konstitusi RI telah diamandemen sebanyak empat kali.72 Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan hasil Amandemen II berdasarkan keputusan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 7-18 Agustus 2000. Dalam Konstitusi Amandemen II ditambahkan satu bab tentang Hak Asasi Manusia

71 Purbopranoto, hal. 50. 72 Amandemen I merupakan hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen I menekankan mengenai fungsi dan kewenangan Presiden. Amandemen III merupakan hasil Sidang Umum MPR tanggal 1-9 November 2001. Dalam Konstitusi ditambahkan ketentuan, antara lain Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR kembali melakukan sidang dan menghasilkan Amandemen IV yang merupakan penyempurnaan dan penambahan pasal-pasal terkait dengan Dewan Pertimbangan Agung, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

69 Purbopranoto, hal. 51. 70 Purbopranoto, hal. 64-65.

87

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(dalam BAB XA). Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen telah mengakomodir beberapa pengaturan-pengaturan hak asasi dalam ICCPR maupun ICESCR. Kemudian ketentuan dalam BAB XA diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Dalam UUD NRI 1945 tidak digunakan terminologi privasi. Konstitusi Indonesia juga tidak mengatur secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya secara emosional. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi yang merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri seseorang. 2. Ruang Lingkup Privasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, privasi didefinisikan dengan kebebasan pribadi atau keleluasaan pribadi.73 Meskipun definisi yang sederhana ini belum dapat menjelaskan ruang lingkup privasi, tetapi definisi ini dapat dijadikan patokan dasar, yaitu bahwa ruang lingkup privasi adalah kebebasan-kebebasan atau keleluasaankeleluasaan yang diberikan peraturan perundangundangan kepada seseorang sebagai pribadi atau individu. Dalam bagian di bawah ini, diulas secara umum mengenai pengaturan yang terkait dengan

perlindungan privasi, khususnya data pribadi dalam beberapa undang-undang. a. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) UU HAM juga tidak memberikan ruang lingkup yang tegas mengenai privasi. Pasal 4 UU HAM mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Tidak ada penjelasan apakah hak privasi diterjemahkan sebagai hak kebebasan pribadi. Jika demikian, ruang lingkup privasi menjadi sangat luas karena pada Bagian Kelima dalam BAB III UU HAM diatur mengenai ruang lingkup hak atas kebebasan pribadi. Dalam bagian tersebut, hak atas kebebasan pribadi meliputi hak: 1) untuk tidak diperbudak atau diperhamba74; 2) atas keutuhan pribadi baik rohani maupun jasmani75; 3) untuk memeluk agama dan beribadah76; 4) untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik77; 5) hak untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat78; 6) untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai79; 7) mendirikan partai politik atau organisasi lainnya80;

74 Pasal 20 UU 39/1999. 75 Pasal 21 UU 39/1999. 76 Pasal 22 UU 39/1999. 77 Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999. 78 Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999. 79 Pasal 24 ayat (1) UU 39/1999. 80 Pasal 24 ayat (2) UU 39/1999.

73 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses 23 Desember 2011.

88

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8) menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok81; 9) memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya serta memilih kewarganegaraan82; dan 10)secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam, serta meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia.83,84

b. UU ITE UU ITE mempersamakan hak pribadi dengan hak privasi. Dalam penjelasan Pasal 26 UU ITE diatur bahwa hak pribadi (privacy rigths) mencakup (a) hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan; (b) hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan dimatamatai; (c) hak untuk tidak diawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang; dan (d) hak untuk menikmati perlindungan data pribadi yang dipertukarkan atau ditransaksikan secara elektronik. Yang dimaksud dengan data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.86 Lebih jauh diatur dalam PP 82/2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU ITE, penyelenggara Sistem Elektronik dibebani kewajiban untuk menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi yang dikelolanya. Selain itu, Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib menjamin bahwa perolehan, penggunaan, dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan, serta wajib menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik Data Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi pada saat perolehan data. Tidak hanya itu saja, Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan dalam perlindungan rahasia Data Pribadi yang dikelolanya.

Akan tetapi, batasan yang lebih sempit dapat mengacu dalam Pasal 31 ayat (1) UU HAM. Dalam pasal tersebut diatur bahwa tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh diganggu adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU HAM, salah satu privasi dapat diartikan sebagai kehidupan pribadi. Konteks atau ruang lingkup privasi dari pasal ini adalah kehidupan pribadi (privasi) dalam kediaman seseorang. Maksudnya, seseorang memiliki kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak atau berbuat apa saja dalam kediamannya, dan kebebasan itu tidak boleh diganggu oleh siapapun juga. UU HAM menekankan bahwa semua hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undangundang. Demikian juga dengan privasi, terlepas makna yang terkandung dalam privasi bersifat luas atau sempit, pembatasan terhadap privasi hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang.85

81 Pasal 25 UU 39/1999. 82 Pasal 26 UU 39/1999. 83 Pasal 27 UU 39/1999. 84 Perlu ditelaah lebih lanjut apakah ketentuan dalam Pasal 20 s.d. Pasal 27 UU 39/1999 dapat disebut sebagai hak privasi (hak pribadi). 85 Pasal 73 UU ITE. 86 Pasal 1 butir 27 PP 82/2012

89

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. UU Perbankan Aspek perlindungan terhadap privasi atau data pribadi yang diangkat dari UU Perbankan dan aturan terkaitnya ialah aspek rahasia bank dan aspek penggunaan data nasabah. Pengaturan mengenai rahasia bank merupakan bagian penting dalam perlindungan privasi, khususnya data pribadi nasabah. Pengaturan ini merupakan satu langkah preventif dalam menjaga kepercayaan nasabah penyimpan. Ruang lingkup rahasia bank ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.87 Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Pengecualian terhadap kewajiban ini ialah bahwa untuk kepentingan perpajakan, kepentingan penyelesaian utang-piutang, kepentingan peradilan dalam perkara pidana, bank wajib memberikan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Pembukaan rahasia bank wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis dari pimpinan Bank Indonesia. Pengecualian lainnya terhadap kewajiban menjaga rahasia bank ialah untuk kepentingan tukar menukar informasi antar bank, dan permintaan/persetujuan tertulis dari nasabah atau kuasanya serta permintaan ahli waris yang sah. Selain itu, keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan bukan merpakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank.88 Terkait dengan kewajiban menjaga rahasia bank, bank juga wajib menerapkan transparansi informasi mengenai penggunaan data pribadi nasabah.89 Yang dimaksud dengan data pribadi

nasabah ialah identitas yang lazim disediakan oleh nasabah kepada bank dalam rangka melakukan transaksi keuangan dengan bank.90 Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari nasabah dalam hal bank akan memberikan dan/atau menyebarluaskan data pribadi nasabah kepada lain untuk tujuan komersial, yaitu penggunaan data pribadi untuk memperoleh keuntungan. Dalam permintaan persetujuan tersebut, bank wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi dari pemberian atau penyebarluasan data pribadi kepada pihak lain. Permintaan persetujuan dapat dilakukan bank sebelum atau sesudah nasabah melakuken transaksi yang berkaitan dengan produk bank. Nasabah harus menandatangani formulir khusus sebagai bentuk persetujuan yang memberikan kewenangan bagi bank dalam memberikan atau menyebarluaskan data pribadinya. Apabila bank akan menggunakan data pribadi seseorang atau sekelompok orang dari pihak lain untuk tujuan komersial, bank wajib memiliki jaminan tertulis dari pihak tersebut bahwa orang atau sekelompok orang yang dimaksud telah memberikan persetujuan tertulis kepada pihak lain itu untuk menyebarkan data pribadi mereka.91 d. UU KIP UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)92 juga memberikan gambaran

90 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. 91 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

87 Pasal 1 butir 28 UU Perbankan. 88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 89 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. 92 UU KIP dibentuk dalam rangka mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan, program, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. UU 14/2008 juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

90

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengenai hak pribadi.93 Menurut undangundang ini, yang dimaksud dengan Informasi Publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.94 Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh badan publik kepada publik, antara lain adalah informasi yang berkaitan dengan hakhak pribadi.95 Hak pribadi yang dimaksud adalah privasi dalam konteks informasi yang bersifat pribadi atau informasi yang merupakan rahasia pribadi seseorang yang tidak dapat diungkap kepada pihak lain. Menurut UU KIP informasi tersebut termasuk Informasi Publik yang dikecualikan, yaitu: (a) Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; (b) Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu: (1) riwayat dan kondisi anggota keluarga; (2) riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; (3) kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; (4) hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau

(5) catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal. E. Beberapa Catatan Berpijak pada konsep privasi yang dikemukakan oleh Warren dan Brandeis yang kemudian diterima dalam sistem common law di Amerika, perlindungan terhadap privasi mengandung tiga unsur. Pertama, esensi dari perlindungan terhadap privasi ialah tidak adanya gangguan dari pihak manapun terhadap seseorang dalam mengekspresikan dirinya dengan berbagai bentuk atau cara. Kedua, tujuan dari perlindungan privasi ialah untuk memberikan the peace of mind or the relief afforded by the ability to prevent any publication at all. Dengan demikian, seseorang dapat mengembangkan kehidupan pribadinya dengan maksimal. Ketiga, satu-satunya dasar pihak lain untuk dapat mempublikasi ekspresi atau hasil ekspresi seseorang adalah persetujuan orang yang bersangkutan; pengecualiannya adalah adanya ketentuan peraturan perundang-undangan, perintah pengadilan, atau otoritas yang berwenang. Ruang lingkup privasi sama banyaknya dengan jumlah ranting pohon beringin. Menentukan ruang lingkup privasi membutuhkan waktu dan usaha yang besar jika tidak dapat dikatakan mustahil. Konsep privasi merupakan konsep yang terus berkembang dari masa ke masa. Konsep privasi yang dikemukakan Warren dan Brandeis pada awalnya mengangkat satu pihak yang disoroti secara tajam oleh masyarakat sebagai pihak selain pemerintah yang berpotensi melanggar privasi, yaitu pers. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan teknologi, bermunculan pihak lain yang dapat mengumpulkan dan pengungkapkan informasi seseorang secara global, mulai dari penyelenggara email atau situs jejaring sosial sampai

93 Salah satu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik ialah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. (Pasal 6 ayat (3) huruf c UU 14/2008) 94 Pasal 1 butir 2 UU KIP. 95 Pasal 6 ayat (3) huruf a.

pada penyelenggara transaksi elektronik. Pihak yang mengelola informasi memiliki kewenangan yang besar dalam mengolah informasi yang diberikan. Mereka memiliki akses terhadap sebagian kehidupan pribadi

91

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

seseorang. Oleh karena itu, kewenangan yang dimaksud berpotensi melanggar privasi orang lain sehingga sudah sepatutnya kewenangan dan kemampuannya ini dibatasi. Setiap data memiliki nilai. Nilai tersebut bisa berupa nilai non-ekonomis dan ekonomis yang dapat dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Demikian juga data pribadi. Data pribadi memiliki nilai bagi orang yang memberikan, yang mengolah, atau pihak lain yang terkait. Data pribadi seseorang merupakan bagian dari privasi individu tersebut; perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan privasi seseorang. Lebih tegasnya, perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap individu atau pribadi sebagai hak asasi yang diatur dalam Konstitusi. Teknologi memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi dengan cepat dan efisien. Teknologi juga memudahkan pemrosesan data dalam rangka agregasi, integrasi, dan klasifikasi. Setiap individu yang melakukan transaksi secara online, atau setiap individu yang memberikan informasi pribadinya sebagai salah satu syarat penggunaan layanan, pada batas tertentu akan sampai pada suatu kondisi bahwa ia tidak punya pilihan selain mengungkap identitas atau memberikan data pribadinya agar transaksi tersebut dapat berlangsung atau layanan yang dimaksud dapat digunakan. Pada saat itu nilai data pribadi harus dipertukarkan dengan layanan yang diberikan dalam satu transaksi elektronik. Penyalahgunaan teknologi juga memudahkan penyalahgunaan data pribadi, baik yang sifatnya mengganggu privasi maupun sampai kepada tindak pidana. Masyarakat mengharapkan data pribadinya terjaga kerahasiaan, integritas, serta ketersediaannya. Masyarakat mengharapkan pihak yang mengumpulkan dan mengolah data pribadinya dapat bertindak dengan sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair dan beritikad baik. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk membangun, memfasilitasi, dan mengembangkan sistem perlindungan data warga

negara yang menghargai dan melindungi privasi (pribadi) warga negara. Sistem yang dimaksud juga harus dapat memenuhi kebutuhan pengembangan perekonomian dan perdagangan baik domestik maupun internasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk harus dapat melindungi kepentingan nasional. Konstitusi Indonesia tidak mengatur secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya secara emosional. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi yang merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri seseorang. Oleh karena itu, pembentukan regulasi terkait privasi dan data pribadi perlu menitikberatkan pada perlindungan terhadap diri pribadi seseorang dari berbagai aspek, termasuk keamanan, kenyamanan, dan kebebasan dalam mengekspresikan diri secara emosional. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur perlindungan terhadap privasi, termasuk data pribadi, secara parsial. Tampaknya pembentukan regulasi mengenai data pribadi dalam transaksi elektronik akan lebih memungkinkan daripada pembentukan undang-undang omnibus mengenai privasi.

92

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Barker, Lucius J. dan Barker Jr., Twiley W. (editors). 1978. Civil Liberties and the Constitution: Cases and Commentaries, 3rd Edition, Prentice Hall. Inc, New Jersey, United States. Cate, Fred dan Litan, Robert E. Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, diakses 30 Desember 2011. Citron, Danielle Keats. Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. dEntreves, Maurizio Passerin dan Vogel, Ursula. Ed. 2000. Public & Private: Legal, Political, and Pholosophical Perspective, (Routledge, Taylor & Francis Group), New York, US. el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Prenada Media, Jakarta. Greenleaf, Graham, The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299. Fan, Marry D. Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. Kang, Jerry, Information Privacy in Cyberspace Transactions. Stanford Law Review, Vol. 50, p. 1193, 1998, http://ssrn.com/abstract=631723, diakses 18 Maret 2013. Kasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, diakses dari 17 Desember 2011. Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Penerbit Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Cetakan II. Laski, Harold J. 1948. Liberty in Modern State, London, George Allen & UNWIN Ltd. Lau, Lawrence J. Economic Growth in the Digital Era, http://www.stanford.edu /~ljlau/Presentations/Presentations/031129.pdf, diakses pada 17 Januari 2011.

93

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights, 6th Edition, Oceana Publications, Inc, United States. Nusantara, Abdul Hakim G. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 313 s.d. 323. Pollack, Ervin H. (Editor). 1971. Human Rights, Amintaphill I. Jay Steward Publications, Inc. New York, United States. Prosser, William L. Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960. Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4 EYD PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Reitman, Alan. Ed. 1968. The Price of Liberty Perspectives on Civil Liberties by Members of the ACLU, W.W. Norton & Company, Inc, First Edition, US. Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta. Solove, Daniel J. dan Schwartz, Paul M. 2011. Information Privacy Law, Fourth Edition, United States: Wolters Kluwer. ________. Conceptualizing Privacy. California Law Review, Vol. 90, p. 1087, 2002. http://ssrn.com/abstract=313103, diakses 17 Maret 2013. ________. A Brief History of Information Privacy Law. PROSKAUER ON PRIVACY, PLI, 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 215, http://ssrn.com/abstract=914271, diakses 18 Maret 2013. ________. A Taxonomy of Privacy. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, No. 3, p. 477, January 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 129, http://ssrn.com/abstract=667622, diakses 18 Maret 2013. Stone, Richard. 1997. Textbook on Civil Liberties, 2nd Edition, Blackstone Press Limited, Great Britan. Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890 http://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/privacy/Privacy_brand_warr2 .html, diakses 31 Januari 2011. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

94

PERSPEKTIF YURIDIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH


Oleh : Dayanto, S.H., M.H. 1

Abstrak Penulis dalam tulisan ini menguraikan berbagai bentuk pengawasan yang diatur secara yuridis dalam berbagai ketentuan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Di tengah pengelolaan keuangan daerah yang rentan dengan praktik korupsi dan berbagai perilaku penyalahgunaan kewenangan (on misbruik van recht), maka pengawasan sebagai bagian yang vital dalam proses pengelolaan keuangan daerah perlu dioptimalkan melalui peningkatan profesionalisme pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembaga-lembaga pengawas, pemantapan sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas, serta membuka ruang partisipasi masyarakat secara demokratis dalam proses pengawasan. Kata Kunci: Pengawasan, Keuangan Daerah

A. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini masalah pengelolaan keuangan daerah banyak mendapatkan sorotan tajam dari publik. Media massa hampir tiap hari menampilkan kasuskasus yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah secara tidak bertanggung jawab pada berbagai instansi pemerintah daerah dari tingkat Propinsi sampai tingkat Kabupaten/Kota. Pengelolaan secara tidak bertanggung jawab ini hadir dalam bentuk berbagai praktek korupsi keuangan daerah. Padahal dalam melaksanakan tugas menciptakan keadilan sosial bagi rakyat di saerah, maka pengelolaan keuangan daerah merupakan aspek vital dalam pengelolaan negara secara keseluruhan.

Akibat kegagalan pengelolaan keuangan tersebut maka keberadaan pemerintahan negara dalam bahaya, terjadi kegonjangan ekonomi, politik, dan sosial yang bukan saja akan mengakibatkan pembangunan kehidupan bangsa mengalami stagnasi tetapi lebih jauh dari itu akan terjadi kemunduran dan bahkan kegentingan. Pemeriksaan terhadap 480 laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2006 oleh BPK hasilnya sangat menyedihkan. Dari sejumlah itu hanya ada tiga daerah yang menyandang opini paling tinggi atau wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuanganya. Selain itu sejumlah pelanggaran juga mencuat dalam pemeriksaan diatas. Bahkan dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik korupsi dengan berbagai modus.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, dilahirkan di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2005) dan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (2011) dengan konsentrasi Hukum Kenegaraan. Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon 2013-2017. email: dayan_enlight@yahoo.co.id

Dari hasil pemeriksaan BPK diatas bisa disimpulkan bahwa masih banyak daerah yang performansinya buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran

95

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun performansi anggaran dengan baik, padahal perkembangan teknologi telematika telah menyajikan solusi yang berhubungan dengan hal itu. Hasil pemeriksaan BPK terasa kontradiktif ketika kita membuka LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) Kepala Daerah2.

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) ditegaskan bahwa: Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mewajibkan kepada setiap penyelenggara negara untuk mengartikulasikan nilai-nilai ketertiban, ketaatan pada aturan, efisiensi, ekonomis, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, dimana yang dimaksud dengan pengelolaan adalah mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.3 Khusus mengenai pengawasan sebagai bagian dari elemen pengelolaan, dibentuk lembaga pengawasan dengan berbagai klasifikasi sifatnya baik pengawasan intern maupun pengawasan ekstern untuk menjalankan fungsi dan kewenangan pengawasan itu dapat ditemukan pada level konstitusional (UUD) maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. B. KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI KEUANGAN NEGARA Sejak awal kedudukan keuangan negara yang sangat vital dalam aktivitas kehidupan bernegara itu telah disadari oleh para pendiri bangsa (the founding father and mother) dengan mengatur perihal keuangan negara ini kedalam Bab VIII UUD 1945 tentang Hal Keuangan yang terdiri satu pasal yakni Pasal 23.

Relevansi pengelolaan keuangan daerah ditemukan dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang diatribusi dari Pasal 23C UUD NRI 1945. Dalam Pasal (1) UU No. 17 tahun 2003 mendefenisikan Keuangan Negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan Pasal (2) UU No. 17 Tahun 2003 menegasakan bahwa keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (1 ) ayat 1, meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
3

Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 23 Mei 2013.

Nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang bertumpu pada good governance yakni pengelolaan keuangan Negara yang bernuansa solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta partisipatif. Indrawati, 2012. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2, hlm. 47

96

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Terjadinya reformasi pada tahun 1998 yang salah satu agendanya adalah perubahan konstitusi, maka materi pengaturan dalam Bab VIII UUD 1945 yang sebelumnya hanya terdiri dari satu pasal, kini mengalami diversifikasi menjadi lima pasal dan bahkan pada Bab VIII UUD 1945 (lama) yang sebelumnya mengatur tentang suatu Badan Pemeriksaan keuangan didalam Pasal 23 ayat (5), maka pada perubahan UUD 1945 ini ditambahkan dengan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga buah pasal. Transformasi dari negara hukum formil yang juga disebut sebagai nachtwachterstaat atau negara jaga malam menjadi negara hukum materil yang juga disebut welfare state atau negara kesejateraan di penghujung abad ke-20, maka menyejahterakan rakyatnya merupakan tugas utama negara yang harus dilakukan secara aktif dan perkembangan ini. Mengenai keuangan daerah, Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, memberi definisi: Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 1 angka 1). Konsepsi yang demikian tidaklah terpaut jauh dengan kerangka definisi keuangan negara yang diatur tiga tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selain itu, memperbincangkan diskursus keuangan daerah tidaklah bisa dipisahkan dengan konstruksi hukum Pemerintahan Daerah dinamis.4 Hukum keuangan negara di Indonesia juga berada pada alur

(local governance) yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, karena bagaimanapun, urusan keuangan daerah akan menjadi local policy (kebijakan lokal/daerah). Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUKN, keuangan negara didefinisikan sebagai: Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kemudian dalam Pasal 2 UUKN menegasakan bahwa keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), meliputi : a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; Menurut Jimly Asshiddiqie5, ruang lingkup keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal (2) UUKN tersebut terjadi perluasan pengertian keuangan

Lihat Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 28-30 . Lihat juga E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, hlm.21

Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 196197

97

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

negara. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 pada Perubahan Ketiga yang menentukan bahwa Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR dibidang pengawasan keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung maksud untuk memperluas pengertian keuangan negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah-daerah. Dengan demikian, keuangan daerah merupakan bagian yang inheren dalam keuangan negara. Artinya ketika membicarakan keuangan negara berarti secara otomatis juga menyagkut didalamnya keuangan daerah. Karena itu ruang lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan daerah mengacu pada ruang lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan negara. Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, meliputi: Perencanaan keuangan negara; Pelaksanaan keuangan negara; Pengawasan keuangan negara; dan Pertanggung jawaban keuangan negara6.

yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Berbagai pendapat ahli tentang pengawasan yang di identifikasi oleh Syafiie8, antara lain Lyndal F. Urwick yang mengartikan pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang telah dikeluarkan. Bagi Sondang Siagian, pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu menurut George R Terry, pengawasan dapat dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras dengan standar. Jika dikaitkan dengan pengawasan terhadap keuangan negara maka berbagai pengertian di atas mempertegas bahwa bahwa pengawasan merupakan ruang lingkup yang tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan. Artinya pengawasan merupakan unsur yang integral dalam proses pengelolaan keuangan negara, sehingga pengelolaan keuangan negara itu dapat sesuai dengan yang direncanakan.

C. PENGAWASAN TERHADAP KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan, 1. Pengertian dan Klasifikasi Pengawasan Menurut W. Riawan Tjandra7 pengawasan 1. Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol, dapat diklasifikasikan atas: Fachruddin9, mengklasifikasikan pengawasan sebagai berikut: merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan realisasi setiap program/kegiatan/proyek

Lihat Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 15 W. Riawan Tjandra, 2006. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm. 130 8 9 Syafiie, dalam Ibid, hlm. 131 Dalam Ibid, hlm. 133-135

98

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Kontrol intern (internal control), pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan sebagai jenis kontrol tekhnis-administratif atau built-in control; b. Kontrol ekstern (external control), pengawasan yang dilakukan oleh badan/ organ yang secara struktur organisasi berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif. 2. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, meliputi hal-hal berikut: a. Kontrol a-priori, pengawasan dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah atau menghindarkan terjadinya kekeliruan; b. Kontrol a-pasteriori, pengawasan dilakukan sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung bentuk pengawasan represif yang bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru. 3. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi, dapat diklasifikasi atas: a. Pengawasan dari segi hukum (legalitas), pengawasan dimaksudkan untuk menilai segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid). Kontrol peradilan atau judicial control secara umum masih dipandang sebagai pengawasan segi hukum (legalitas) walaupun terlihat adanya perkembangan baru yang mempersoalkan pembatasan itu;

b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (opportunitas), pengawasan dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatan (doelmatigheid). Kontrol internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum (rechtmatigheid) sekaligus segi kemanfaatan (opportunitas). 4. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dapat dibedakan atas: a. Pengawasan negatif repressif, pengawasan yang dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan; b. Pengawasan negatif preventif atau positif, pengawasan yang dilakukan dengan cara badan pemerintah yang lebih tinggi menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah yang lebih rendah. 5. Disamping itu, masih dipandang dari cara pengawasan dengan mengutip pendapat Hertogh, pengawasan dapat dibedakan pula atas: a. Pengawasan unilateral (unilateral control), pengawasan yang penyelesaiannya secara sepihak dilakukan oleh pengawas; b. Pengawasan refleksif (reflexive control), pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik melalui dialog dan negosiasi antara pengawas dan yang diawasi. 2. Pengawasan Internal Dalam ayat (1) dan (2) Pasal 58 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN) ditentukan bahwa: (1) Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh.

99

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ketentuan pasal ini memiliki setidak-tidaknya dua makna penting dalam pengelolaan keuangan negara. Pertama, pengaturan tentang perlunya keberadaan sistem pengendalian intern untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Kedua, memberikan kewenangan atribusi bagi Presiden sebagai kepala pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah melalui peraturan pemerintah. Sementara itu, berdasarkan penjelasan Pasal 58 Ayat (1) UUPN bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyelenggarakan sistem pengendalian internal bidang pemerintahan masing-masing, dan Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya. Terkait dengan itulah maka diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagai amanat Pasal 58 Ayat (2) UUPN. Dimana dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah tentang SPIP itu disebutkan bahwa : (1) Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

(2) Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (3) Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Selanjutnya untuk menopang sistem pengendalian intern ini maka Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP mengisyaratkan adanya berbagai aparat pengawas intern pemerintah (APIP)10, yakni, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota. a. Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP juga mengisyaratkan adanya Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai aparat pengawas intern di daerah (Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Dalam Pasal 1 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah tentang SPIP ini, ditegaskan bahwa, Inspektorat Provinsi adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota.

10 Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

100

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi. Sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota11. Sementara itu dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa: 1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. 2. Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota. 3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah. 4. Pejabat pengawas pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat, oleh Gubernur ditingkat provinsi, dan oleh Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dan peningkatan kapasitas pejabat pengawas pemerintah daerah diatur dengan peraturan Menteri.

Dalam Pasal 25 PP No. 75 Tahun 2005 tersebut menentukan bahwa Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Bupati/ Walikota. Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. 3. Pengawasan Eksternal a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Secara historis, cikal bakal gagasan pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan berasal dari Raad Van Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai external auditor terhadap kinerja keuangan pemerintah. Dalam Pasal 23E UUD NRI 1945, ditegaskan bahwa BPK adalah lembaga yang bebas dan mandiri yang berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara12. Dimana hasil pemeriksaan keuangan negara itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah13. Kedudukan BPK yang bebas dan mandiri ini selaras dengan salah satu asas pengelolaan keuangan negara yakni asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri sebagai asas yang memberikan

12 Lihat Pasal 23E Ayat (1) UUD NRI 1945: Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri 13 Lihat Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI 1945: Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya.

11 Lihat Pasal 49 Ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

101

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kebebasasn bagi badan pemeriksa keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun. Selain itu, kedudukan kelembagaan BPK ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti. Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI yang disahkan pada perubahan ketiga ini secara drastis memperluas pengertian keuangan negara. Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR dibidang pengawasan keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung maksud untuk memperluas pengertian keuangan negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah-daerah.14

dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua, perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak saja dilaporkan PRD di tingkat pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga atau badan/badan hukum yang menjadi objek pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelum hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau pemerintahan yang merupakan subjek hukum tata negara dan/atau subjek hukum administrasi negara meluas sehingga mencakup pula organorgan yang merupakan subjek hukum perdata seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun perusahaan swasta dimana di dalamnya terdapat kekayaan negara. Dalam BAB III Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa diatur ketentuan mengenai tugas dan wewenang BPK. Pada Pasal 6 Ayat (3) ditegaskan bahwa Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Penjelasan umum UndangUndang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menguraikan tentang lingkup kewenangan BPK untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni: 1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. 2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawas intern pemerintah. Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945

Dari jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga perluasan yang dapat dicatat disini15. Pertama, perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan

14 Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi .op.cit. hlm. 196-197 15 Ibid

102

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif. 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dana pemeriksaan investigasi. Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan objek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk hasil penelitian dan pengembangan kajian, pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.

Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah/ atau unsur pidana. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai. Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksa. Laporan interim pemeriksa diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan rekomendasi. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan keuangan, yakni : a. opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) b. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) c. opini tidak wajar (adversed opinion) d. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah. Selain disampaikan kepada DPRD, laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan oleh BPK kepada pemerintah.

103

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota Pasal 292 dan 343 Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentangMajelis Permusayawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), menegaskan bahwa DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan; Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi/Kabupaten/kota. Dalam Pasal 293 dan Pasal 344 UU MD3, DPRD provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Fungsi pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh memiliki relasi yang erat dengan BPK, hal ini berkaitan dengan perluasan lingkup keuangan negara yang meliputi keuangan daerah dimana BPK diberikan tanggung jawab utama untuk melakukan audit (pemeriksaan) terhadap pengelolaan keuangan negara, termasuk di dalamnya keuangan daerah. D. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Di pandang dari sudut kelembagaan maka secara yuridis dalam pengawasan keuangan daerah di Indonesia dikenal dua macam bentuk pengawasan yakni: Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal.

2. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan Pengawasan Internal terhadap keuangan daerah adalah: Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota. 3. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan Eksternal terhadap keuangan daerah adalah: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota. Saran Dari uraian diatas maka beberapa hal yang dapat disarankan adalah: 1. Perlunya peningkatan profesionalisme dalam melakukan proses pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembagalembaga yang diberikan kewenangan. 2. Perlunya sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas sehingga proses pengawasan dapat berlangsung secara berkesinambungan dan tidak tumpang-tindih (overlapping). 3. Perlunya membuka ruang partisipasi masyarakat secara demokratis dalam proses pengawasan atas pengelolaan keuangan negara.

104

DAFTAR PUSTAKA

Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 20 Februari 2010. Indrawati, 2012. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2. Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, 1960.

105

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013


No. Peraturan 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Satker DPIP Perihal Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan

107

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013


Peraturan 15/1/DPNP 15/2/DPNP 15/3/DPM Tanggal 15 Januari 2013 04 Februari 2013 28 Februari 2013 Satker DPNP DPNP DPM Perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit Kepemilikan Tunggal pada Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank. Kepemilikan Saham Bank Umum Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri Kegiatan Usaha Bank Umum Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti Pembukaan Jaringan Kantor BUS dan UUS Berdasarkan Modal Inti Penerimaan Devisa Hasil Eksport Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada BI. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik oleh BPR dan Lembaga Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 PerihalLaporan Berkala Bank Umum Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum

15/4/DPNP 15/5/DSM 15/6/DPNP 15/7/DPNP

06 Maret 2013 06 Maret 2013 08 Maret 2013 08 Maret 2013

DPNP DSM DPNP DPNP

15/8/DPbS

27 Maret 2013

DPbS

15/9/DSM 15/10/DPNP

27 Maret 2013 28 Maret 2013

DSM DPNP

15/11/DPNP 15/12/DASP

08 April 2013 08 April 2013

DPNP DASP

15/13/DASP

12 April 2013

DASP

15/14/DPNP

24 April 2013

DPNP

15/15/DPNP

29 April 2013

DPNP

109

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan 15/16/DInt

Tanggal 29 April 2013

Satker DInt

Perihal Perlaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan Perubahan Atas SEBI No. 11/13/DASP tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nilai Nominal Nota Debit dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

15/17/DInt

29 April 2013

DInt

15/18/DASP

30 April 2013

DASP

110

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013

Peraturan :

Peraturan Bank Indonesia 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan

Berlaku

Sejak tanggal 18 Februari 2013

Latar Belakang Sejak tahun 1975, Bank Indonesia telah mengelola informasi perkreditan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas sebagai otoritas moneter dan perbankan, serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung kelancaran penyaluran penyediaan dana dan manajemen risiko. Penyediaan informasi perkreditan oleh Bank Indonesia masih terbatas pada produk informasi yang bersifat standar, dengan cakupan data mayoritas dari perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank. Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Sebagaimana international best practices, pada umumnya produk informasi perkreditan yang lebih komprehensif disediakan oleh pengelola informasi perkreditan yang dikelola swasta (private credit bureau). Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan oleh swasta yang selanjutnya akan dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Melalui LPIP, nantinya diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan yang lebih komprehensif akan terpenuhi, sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem keuangan. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 a. Persyaratan bagi pihak yang akan mendirikan LPIP, antara lain: 1) Badan hukum LPIP wajib berbentuk Perseroan Terbatas; 2) Modal disetor LPIP minimal Rp50 Milyar; 3) Kepemilikan saham maksimal oleh satu pihak adalah 51%; dan 4) Pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP adalah badan hukum Indonesia. b. Tahapan perizinan LPIP yaitu dibagi menjadi 2 (dua): persetujuan prinsip dan izin usaha. c. Jenis kegiatan usaha LPIP yaitu menghimpun dan mengolah data perkreditan dan/atau data lainnya untuk menghasilkan informasi perkreditan. d. Persyaratan pengurus LPIP antara lain minimal 1 Direktur LPIP memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai informasi perkreditan.

111

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

e. Sumber data LPIP yaitu data perkreditan dan/atau data lainnya, baik yang bersumber dari lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. f. Pengelolaan data yang dilakukan LPIP, dimana LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Selain itu LPIP wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik Indonesia. g. Kewajiban LPIP untuk menyediakan informasi perkreditan yang mempunyai nilai tambah. h. Pihak-pihak yang dapat diberikan informasi perkreditan adalah Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, LPIP lain, Debitur atau Nasabah, dan/atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan. i. Penanganan dan penyelesaian pengaduan khususnya kewajiban bagi LPIP untuk memiliki kebijakan dan prosedur tertulis. j. Pengawasan oleh BI terhadap LPIP mencakup on-site dan off-site. Pengawasan on-site dilakukan melalui pemeriksaan langsung, sedangkan off-site dilakukan dengan analisa terhadap laporan-laporan yang disampaikan oleh LPIP kepada BI. k. Jenis-jenis laporan yang disampaikan LPIP meliputi: laporan bulanan, laporan semesteran, laporantahunan, rencana bisnis tahunan, dan laporan insidentil lainnya. l. Sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan LPIP berdasarkan PBI ini, yaitu tegurantertulis, kewajiban pembayaran, dan pencabutan izin usaha.

112

RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

Berlaku

Tanggal 15 Januari 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan pengaturan kembali dari SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Latar belakang dan tujuan penerbitan SE BI ini adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi informasi, meningkatkan good governance, dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. 2. Pokok-pokok pengaturan kembali dalam SE BI ini meliputi antara lain: a. Penambahan segmen kredit baru di dalam pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni SBDK kredit mikro. Kredit mikro adalah kredit yang disalurkan kepada usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro berdasarkan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. b. Terdapat penegasan bahwa SBDK merupakan suku bunga terendah yang dipergunakan sebagai indikator besaran suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh Bank kepada nasabah. c. Semua Bank umum konvensional wajib mempublikasikan SBDK ke masyarakat serta melaporkan tabel komponen perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia. d. Sebagai salah satu bentuk edukasi dan transparansi kepada nasabah, Bank wajib memberikan informasi mengenai SBDK dan suku bunga kredit dalam surat pemberitahuan persetujuan kredit (offering letter) atau dokumen lainnya kepada calon debitur sebelum penandatanganan perjanjian kredit. e. Publikasi SBDK melalui surat kabar dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan yang bersangkutan. f. Kewajiban pelaporan dan publikasi SBDK memiliki masa transisi sebagai berikut: 1. Bagi Bank yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), kewajiban pelaporan dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit mikro dilakukan sejak posisi akhir bulan Februari 2013. 2. Bagi Bank yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam LBU, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR) dilakukan sejak posisi akhir bulan Juni 2013. g. Dengan berlakunya SE BI ini maka SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

113

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/2/DPNP tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia

Berlaku

Sejak tanggal 4 Februari 2013

Latar Belakang Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, maka perlu diatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan penerapannya. Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dengan cara merger atau konsolidasi, membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan, dan membentuk Fungsi Holding. Pokok-Pokok Pengaturan meliputi antara lain: 1. Terdapat 3 (tiga) opsi dalam melakukan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, yaitu: a. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya. b. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company/BHC). c. Membentuk Fungsi Holding. 2. Bank Indonesia memberikan insentif dalam rangka merger atau konsolidasi untuk memenuhi kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. Selain itu, juga diatur mengenai tata cara dan batas waktu pelaksanaan merger atau konsolidasi, serta kewenangan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan/atau calon pengurus Bank hasil merger atau konsolidasi. 3. Pengaturan mengenai BHC, antara lain: a. Tata cara dan batas waktu pelaksanaan pembentukan BHC dan pengalihan saham dari PSP kepada BHC. b. Tugas BHC. c. Permodalan BHC. d. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang bertindak sebagai BHC. e. Kewenangan Bank Indonesia untuk menyetujui atau menolak permohonan pembentukan BHC dan calon PSP dan/atau pengurus BHC. 4. Pengaturan mengenai Fungsi Holding, antara lain: a. Jenis PSP yang dapat membentuk Fungsi Holding, yaitu hanya PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia dan instansi Pemerintah Republik Indonesia. b. Tata cara dan batas waktu pembentukan Fungsi Holding. c. Kewenangan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas pembentukan Fungsi Holding.

114

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

5. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank, termasuk melakukan pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan. 6. BHC dan Fungsi Holding menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia seperti: a. program kerja strategis BHC atau Fungsi Holding. b. Laporan pengawasan BHC atau Fungsi Holding terhadap Bank. c. Laporan prudential lainnya. 7. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal 12 Desember 2007 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran No. 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank

Berlaku

18 Maret 2013

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh pedagang valuta asing (PVA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. II. Penyempurnaan pengaturan meliputi: 1. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh PVA hanya dalam bentuk uang kertas asing secara fisik. Penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut dapat dilakukan melalui pemindahbukuan antar rekening. 2. Permintaan valuta asing oleh perusahaan penyelenggara transfer dana kepada bank dengan nilai nominal di atas USD 100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan underlying nasabah yang bukan merupakan PVA. 3. Penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan oleh PVA apabila melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank. 4. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 18 Maret 2013, namun khusus ketentuan yang mengatur Pedagang Valuta Asing diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2013.

115

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan Saham Bank Umum

Berlaku

Sejak tanggal 6 Maret 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. 2. Pokok-pokok pengaturan SE BI ini meliputi antara lain: a. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham bank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan induk diatur berikut ini. 1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Pemda yang akan mendirikan atau mengakuisisi bank dipersamakan dengan batas kepemilikan bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% untuk masing-masing Pemda. 2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Perusahaan Induk di bidang Perbankan yang dibentuk untuk memenuhi PBI Kepemilikan Tunggal dikecualikan dari batas maksimum kepemilikan saham. Namun apabila kemudian perusahaan induk tersebut akan melakukan akuisisi bank lainnya, maka batas maksimum kepemilikan saham adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan Indukdi bidang Perbankan tersebut. b. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan dalam PBI Kepemilikan Saham Bank Umum. c. Setelah tanggal 31 Desember 2013, Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum kepemilikan saham dapat meningkatkan kepemilikan saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank. Sedangkan bagi Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham Bank dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan sahamnya. d. Pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham, apabila perubahan pengendalian dimaksud berupa: 1. Perubahan pemegang saham Bank langsung atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT); dan/atau 2. Perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase kepemilikan PSPT pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank. e. Persyaratan khusus bagi calon PSP berupa WNA/badan hukum asing dan calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham lebih dari 40% berupa penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian 1 (satu) tahun terakhir. Sedangkan pemenuhan persyaratan peringkat investasi yang digunakan adalah posisi peringkat investasi paling lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP bank.

116

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

f. Pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada calon pemegang saham untuk memiliki saham bank lebih dari 40% dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Persetujuan untuk memiliki saham bank sebesar 40% terlebih dahulu; 2. Persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham apabila bank yang dimiliki memiliki TKS dan GCG 1 atau 2 selama 3 periode berturut-turut dalam periode 5 tahun. g. Komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia bagi PSP asing, dikaitkan dengan prioritas pembangunan Indonesia mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dikeluarkan Bapenas. h. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan asing atau lembaga keuangan asing yang akan memiliki saham bank lebih dari 40% wajib mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal termasuk rekomendasi bahwa otoritas home country PSP Bank akan mendukung kebijakan otoritas pengawas di tempat kedudukan Bank (host country) di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank (host country). i. Calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% wajib pula memiliki komitmen untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang dimiliki jika Bank yang dimiliki diperkirakan mengalami kesulitan memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko di masa yang akan datang. j. Kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah paling lama akhir Desember 2028.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/5/DSM Tanggal 7 Maret 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

Berlaku

7 Maret 2013

1. Surat Edaran Nomor 15/5/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 Tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.14/24/DSM tanggal 7 September 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup: a. Penyesuaian Batas Waktu Penyampaian Laporan (BWPL) dan Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan (BWPKL) apabila hari terakhir jatuh pada hari Sabtu, Minggu, libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menjadi hari kerja selanjutnya. b. Perubahan sanksi denda maksimum untuk laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap dari semula Rp20.000.000,(dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).

117

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Perubahan sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan dari semula Rp1.000.000,- (satu juta Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah) menjadi Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah). d. Perhitungan hari keterlambatan yang semula berdasarkan hari kalender menjadi hari kerja. e. Perubahan sanksi denda tidak menyampaikan laporan dari semula Rp20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah). f. Subjek sanksi denda dikenakan kepada pelapor yang sudah melewati 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan pertama. g. Perubahan rekening pembayaran sanksi denda pelaporan dari rekening kas negara menjadi rekening Bank Indonesia. h. Perubahan batas waktu penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda dari semula akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima pelapor menjadi akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan surat penetapan sanksi. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2013 dan berlaku surut sejak pelaporan data PL bulan Desember 2012 yang disampaikan pada bulan Januari 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/6/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Kegiatan Usaha Bank Umum berdasarkan Modal Inti

Berlaku

Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mewajibkan Bank melakukan identifikasi dan menyampaikan action plan atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan kelompok kegiatan usaha Bank berdasarkan modal inti (BUKU) serta mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebelum menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang bukan merupakan produk dan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi. Substansi Pengaturan: 1. Bank dapat melakukan kegiatan usaha berupa penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai cakupan produk dan aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU. BUKU dibedakan menjadi 4 kelompok, BUKU 1 sampai dengan BUKU 4. Semakin tinggi modal inti Bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilaksanaakan oleh Bank. 2. Penerbitan produk dan aktivitas baru Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU; b. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau aktivitas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut;

118

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia; d. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia; dan e. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. 3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia adalah produk atau aktivitas yang bukan merupakan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi antara lain meliputi: a. Penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang dan atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas, serta sekuritisasi aset; b. Aktivitas treasury berupa structured product dan credit derivative; c. Keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance, kustodian, wali amanat, dan trust; dan d. Kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelengaraan kliring, penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan penyelenggara Uang Elektronik (e-money), phone banking, SMS banking, mobile banking, dan internet banking. 4. Produk atau aktivitas baru yang tidak wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia antara lain meliputi: a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan, sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima serta penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank lain; b. aktivitas penjualan produk-produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Utang Negara (SUN) dan aktivitas agen penjual Obligasi Ritel Indonesia (ORI); c. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksa Dana pendapatan tetap, penempatan pada SBI, dan pembelian surat berharga korporasi; d. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain Penempatan antar Bank, penerimaan pinjaman antar Bank; e. penerimaan pinjaman dari pihak lain, misalnya pinjaman antar Bank dan pinjaman dari non Bank seperti lembaga multilateral; dan f. pengembangan dari produk atau aktivitas konvensional yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank. 5. Tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pencantuman rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan oleh Bank dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan penerbitan atau pelaksanaan aktivitas baru; b. Pengajuan permohonan Persetujuan Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan c. Pengajuan laporan Realisasi Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas Baru kepada Bank Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan.

119

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

6. Bank wajib melakukan identifikasi terhadap produk atau aktivitas Bank yang telah diterbitkan atau dilaksanakan tetapi tidak menjadi cakupan produk atau aktivitas BUKU Bank. Selanjutnya, Bank harus menyampaikan rencana tindak (action plan) atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan BUKU Bank yang dapat berupa: a. Rencana penambahan Modal inti; atau b. Rencana penyesuaian Kegiatan Usaha. 7. Rencana tindak wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dan Bank Indonesia melakukan penilaian atas rencana tindak Bank. Berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia, Bank wajib melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Juni 2013. 8. Bank wajib melakukan penambahan Modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha yang mencakup produk dan aktivitas, kegiatan valuta asing, dan kegiatan Penyertaan Modal paling lama: a. 3 (tiga) tahun sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui oleh Bank Indonesia; atau b. 5 (tahun) sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui Bank Indonesia, bagi Bank yang dimiliki Pemerintah Daerah. 9. Bab Peralihan dalam SE ini diatur antara lain mengenai: a. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada akhir bulan Desember 2012. b. Bagi Bank yang sebelum berlakunya SE Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia. c. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013. d. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar penyesuaian BUKU Bank. e. Informasi yang harus disampaikan dalam Rencana tindak pemenuhan Modal Inti dan Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha adalah sebagaimana diatur dalam SE BI ini. f. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan SE Bank Indonesia ini wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank. g. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU, namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan LPS. 10.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dengan berlakunya SE Bank Indonesia ini, maka SE Bank Indonesia No.11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

120

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/7/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti

Berlaku

Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital). Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional. Substansi Pengaturan: 1. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank Umum dan pemerataan pembangunan dalam masingmasing zona. 2. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 3. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. 4. Bank Umum memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. 5. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 6. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 7. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti.

121

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio kredit. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio kredit, dan melakukan pemupukan modal. 10. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 11. Perhitungan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 12. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 13. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 14. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 15. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. 16. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 17. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 18. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.

122

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

19. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012. 20. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti

Berlaku

Tanggal 27 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional. Substansi Pengaturan: 1. SE ini berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). 2. Delivery channel dan layanan syariah tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 3. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona. 4. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 5. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. 6. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. Yang dimaksud dengan kantor Bank yang sudah ada (existing) adalah kantor yang telah berdiri kurang atau sama dengan 2 (dua) tahun. Perhitungan alokasi Modal Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.

123

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

7. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 8. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti. 10. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan. Penilaian pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah penyaluran pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 11. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan pembiayaan kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan, dan melakukan pemupukan modal. 12. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi (rasio BOPO dan Net Interest Margin) dihitung menggunakan pencapaian rasio efisiensi UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 13. Perhitungan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 14. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia 15. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 16. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud dalam angka 15 untuk Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:

124

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a.

Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP berupa KC atau KCP konvensional atau syariah.

b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah. 17. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 18. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 19. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 20. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013. 21. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012.

Peraturan : Berlaku :

Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor 27 Maret 2013

Ringkasan : 1. Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/25/PBI/2012 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini mencakup: a. Istilah/terminologi yang umum dalam perdagangan internasional didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan umum, seperti operational leasing, financial leasing, dan usance L/C. b. Aturan tentang kewajiban penerimaan DHE termasuk pemberian contoh-contohnya, seperti penerimaan DHE tidak wajib dikonversi ke rupiah dan penerimaan DHE dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dari yang tercantum di PEB.

125

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Ketentuan mengenai penyampaian data, keterangan, dan informasi berikut contohnya, antara lain nilai DHE yang disampaikan dalam laporan rincian transaksi ekspor adalah nilai setelah memperhitungkan biaya-biaya, cara penghitungan selisih kurang antara nilai DHE dan nilai PEB, serta jenis dokumen pendukung yang harus disampaikan eksportir. d. Penghitungan dan mekanisme pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE kepada eksportir, seperti penyampaian surat pemantauan penerimaan DHE kepada eksportir/pemilik barang terkait belum terpenuhinya ketentuan penerimaan DHE sebelum dikeluarkannya surat pengenaan sanksi serta penyampaian tembusan surat pengenaan sanksi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta instansi terkait. e. Tatacara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor, yaitu antara lain berupa bukti-bukti yang harus disampaikan eksportir serta kegiatan verifikasi oleh Bank Indonesia atas bukti-bukti tersebut. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomer 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia

Berlaku

Sejak tanggal 28 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/17/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust). SE ini mengatur bahwa Bank wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha penitipan dengan pengelolaan secara berkala untuk setiap kantor unit kerja Trustee kepada Bank Indonesia. SE ini memberikan pedoman penyusunan laporan kegiatan Trust kepada seluruh Bank Umum. Substansi Pengaturan: 1. Pokok-pokok pengaturan SE ini adalah mengenai mekanisme, format dan bentuk laporan yang disertai petunjuk teknis penyusunan laporan kegiatan Trust. 2. Laporan yang disampaikan paling kurang mencakup informasi mengenai: a. Sumber Daya Manusia unit kerja Trustee b. Perjanjian Trust dan Settlor. c. Kegiatan Trust. d. Posisi Aset dan Kewajiban Trust. 3. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

126

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

Berlaku

Tanggal 8 April 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/16/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. SE BI ini mengatur FPJP terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJP. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, SE BI No.10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Substansi Pengaturan: I. Persyaratan FPJP 1. Umum a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP adalah Bank yang: 1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek 2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi 3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. b. FPJP diberikan sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan oleh Bank. c. Pencairan FPJP sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan jangka waktu FPJP. d. Jangka waktu FPJP: 1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 hari kalender. 2) Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 hari kalender. e. Biaya bunga FPJP sebesar tingkat suku bunga Lending Facility ditambah 100 basis poin. 2. Agunan FPJP a. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik Bank berupa SBI, SBIS, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit. b. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN.

127

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi. II. Pengajuan FPJP 1. Permohonan FPJP. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJP pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB. 2. Permohonan perpanjangan FPJP. Apabila pada saat FPJP jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJP, Bank dapat memperpanjang FPJP dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJP sesuai kebutuhan. 3. Permohonan Penambahan Plafon FPJP. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJP Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJP sesuai kebutuhan, dengan ketentuan: a. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJP; b. Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan c. Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko. III. Perhitungan Nilai Agunan FPJP 1. Agunan berupa SBI dan/atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJP. 2. Agunan berupa SBN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJP, 3. Agunan berupa Obligasi Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar: a. 120% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas. b. 135% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat teratas. c. 140% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat kedua teratas. d. 145% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas. 4. Agunan berupa Aset Kredit a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai baki debet Aset Kredit 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan FPJP. b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJP yang dijamin dengan Aset Kredit. IV. Persetujuan FPJP Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP dalam hal: 1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau perpanjangan FPJP. 2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.

128

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

V. Pelaksanaan Pemberian FPJP 1. Pencairan FPJP. Dalam hal permohonan FPJP disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJP sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi plafon FPJP yang disetujui. 2. Pemantauan FPJP a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJP. c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJP secara harian. d. Penghentian pencairan FPJP. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJP dalam hal: 1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil resiko Bank 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP. b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan. e. Pengakhiran FPJP, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJP dalam hal: 1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJP sehingga nilai sisa plafon lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan. 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP setelah jangka waktu berakhir; dan b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJP. VI. Pelunasan FPJP 1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJP saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJP. 2. Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan mendahulukan pembayaran biaya bunga FPJP kemudian pelunasan pokok FPJP. VII. Eksekusi Agunan FPJP Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP dalam hal: 1. FPJP jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJP, atau perjanjian FPJP diakhiri; dan 2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi biaya bunga dan/atau nilai pokok FPJP.

129

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

VIII. Biaya FPJP Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban Bank penerima FPJP, antara lain berupa: 1. biaya bunga FPJP sampai dengan FPJP dilunasi; 2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJP dan pengikatan agunan FPJP; 3. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi di otoritas penatausahaan surat berharga dimaksud; 4. biaya proses eksekusi agunan; 5. biaya lainnya terkait pemberian FPJP.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/12/DASP tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

Berlaku

8 April 2013

Ringkasan : 1. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing Di Pasar Perdana Domestik, maka untuk Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 tentang Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara (SUN) perlu dilakukan perubahan. Perubahan ini disebabkan karena ketentuan lama belum mengatur pelaksanaan lelang tambahan untuk SUN (Green shoe option). 2. Pengertian dari Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) adalah penjualan SUN di Pasar Perdana dalam mata uang rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang. 3. Salah satu perubahan di dalam SE BI ini yaitu terhitung mulai tanggal 8 April 2013, kenaikan incremental bid yield lelang SUN di pasar perdana akan berubah dari 1/32 akan menggunakan kelipatan 1/100. 4. Mekanisme setelmen atas hasil Lelang SUN dan/atau Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) sesuai dengan sistem akan menggunakan opsi batal seluruhnya (gross to net). 5. Bank Indonesia mengadakan Lelang SUN Tambahan berdasarkan rencana Lelang SUN Tambahan yang ditetapkan oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Lelang SUN Tambahan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB dan/atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 6. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur mengenai: a. Tata cara lelang 1) Ketentuan dan persyaratan 2) Pelaksanaan lelang 3) Penentuan pemenang lelang 4) Pengumuman hasil lelang

130

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Tata cara penatausahaan SUN 1) Setelmen hasil lelang 2) Setelmen hasil lelang buyback 3) Setelmen Obligasi Ritel Negara (ORI) 4) Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung 5) Prosedur pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok 6) Setelemen transaksi SUN di pasar sekunder 7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2013. 8. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan SE BI No12/30/DASP tanggal 10 November 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank

Berlaku

Sejak diterbitkan yaitu 12 April 2013 dan berlaku surut sejak tanggal 1 November 2012

Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan karena adanya perubahan formulir dan penambahan jenis informasi yang dilaporkan untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU). 2. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup: a. ruang lingkup laporan; b. format dan jenis laporan; c. tata cara penyampaian laporan secara on-line dan off-line; d. tata cara penyampaian laporan dalam hal terjadi gangguan teknis; dan e. hak akses. 3. Perubahan formulir yang wajib disampaikan oleh pelapor yaitu: a. Form 301 Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit; b. Form 302 Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit; c. Form 303 Laporan Bulanan Acquirer; d. Form 304 Laporan Bulanan Infrastruktur; e. Form 305 Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement); f. Form 306 Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik (Electronic Money); g. Form 307 Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit; h. Form 309 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan Yang Diadukan);

131

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Form 310 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan Yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan); j. Form 311 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan); k. Form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan l. Form 313 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa). 4. Penambahan jenis informasi yang wajib disampaikan oleh pelapor adalah informasi yang terkait dengan Uang Elektronik (Electronic Money) bagi pelapor yang berupa Lembaga Selain Bank (LSB) yang menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik (Electronic Money) yang dilaporkan melalui form: a. Form 302, Form 306, Form 309, Form 310, Form 311, Form 312, Form 313 dalam hal LSB bertindak sebagai Penerbit Uang Elektronik (Electronic Money). b. Form 303, Form 304, dan Form 306 dalam hal LSB bertindak sebagai Acquirer Uang Elektronik (Electronic Money). c. Form 305 dalam hal LSB bertindak sebagai Perusahaan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk Uang Elektronik (Electronic Money). 5. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.10/4/UKMI tanggal 8 Februari 2008 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/14/DPNP tanggal 24 April 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum

Berlaku

24 April 2013

Ringkasan : 1. Penyempurnaan SE BI mengenai LBBU dilakukan dalam rangka: a. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan b. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. 2. Penyempurnaan dilakukan untuk formulir: a. laporan risiko spesifik eksposur surat berharga (trading book) (Formulir 9.a), sesuai dengan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. Penyempurnaan tersebut meliputi penyelarasan dengan kategori portofolio dan bobot risiko terkait kategori portofolio sesuai SE BI mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit.

132

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) (Formulir 14), sesuai dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Penyempurnaan tersebut meliputi penambahan kolom informasi kredit mikro dan penghapusan baris informasi terkait cadangan kerugian penurunan nilai. 3. Laporan terkait SBDK mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan April 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Mei 2013, sedangkan Laporan terkait risiko spesifik eksposur surat berharga (trading book) mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan Juni 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Juli 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum

Berlaku

Tanggal 29 April 2013

Latar Belakang Pengaturan: Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Surat Edaran tersebut adalah terbitnya ketentuan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) yang menetapkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai salah satu faktor dalam penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, sehingga perlu dilakukan harmonisasi dengan ketentuan mengenai GCG yang telah ada sebelumnya. Pokok-Pokok Pengaturan: 1. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. 2. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan mengintegrasikan faktor-faktor penilaian ke dalam 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome. 3. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan terhadap 11 (sebelas) Faktor Penilaian Pelaksanaan GCG, yaitu: 1) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; 2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; 3) kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite; 4) penanganan benturan kepentingan; 5) penerapan fungsi kepatuhan; 6) penerapan fungsi audit intern; 7) penerapan fungsi audit ekstern; 8) penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern; 9) penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures);

133

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

10) transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan GCG, dan pelaporan internal; dan 11) rencana strategis Bank. Selain kesebelas faktor tersebut, perlu diperhatikan pula informasi lainnya terkait penerapan GCG Bank. 4. Penilaian pelaksanaan GCG Bank dilakukan secara individual maupun secara konsolidasi. 5. Peringkat Faktor GCG ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat Faktor GCG yang lebih kecil mencerminkan penerapan GCG yang lebih baik. 6. Laporan Penilaian Sendiri (Self Assessment) Pelaksanaan GCG dalam Laporan Pelaksanaan GCG yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan stakeholders Bank lainnya disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir. 7. Bagi Bank yang memperoleh Peringkat GCG 3,4, atau 5 wajib menyampaikan action plan. Action plan disampaikan sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Namun, Bank dapat menyampaikan action plan lebih awal, bersamaan dengan penyampaian Laporan Penilaian (self assessment) Pelaksanaan GCG secara individual. 8. Laporan pelaksanaan action plan GCG berikut waktu penyelesaian dan kendala/hambatan penyelesaiannya (apabila ada) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 9. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP, maka beberapa aturan di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku: a. Surat Edaran BI No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum; b. Lampiran III.4 Penilaian Faktor Good Corporate Governance (GCG) dalam Surat Edaran BI No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Peraturan : Berlaku :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 Tanggal 29 April 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri sejak 29 April 2013

Ringkasan : 1. Surat Edaran BI No.15/16/DInt tanggal 29 April 2013 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.13/1/DInt tanggal 20 Januari 2012 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri yang hanya berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

134

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran:

No.
A. Batas akhir Laporan Data Pokoko ULN dan/atau perubahannya serta laporan Data Rekapitulasi ULN. Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan.

Semula
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Menjadi
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

B.

Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan untuk setiap pelapor dengan jumlah keseluruhan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah). Tidak diatur

Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah)

C.

Pengenaan sanksi denda atas ketidaklengkapan dan/atau ketidak- benaran Laporan data rekapitulasi ULN berupa Realisasi dan Posisi ULN

Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah). Pelapor yang sudah melewati 3 periode penyampaian laporan terhitung sejak pertama kali melapor Ke rekening Bank Indonesia.

D.

Subjek sanksi denda

Pelaporan baru

E.

Pembayaran sanksi administratif berupa denda. Kondisi force majeure

Ke rekening Kas Negara

F.

Tidak diatur

Disesuaikan dengan PBI 14/21/PBI/2012

3. Sanksi administratif berupa denda mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada bulan Februari 2014. 4. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka surat Edaran Bank Indonesia No. 13/1/DInt tanggal 20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri masih tetap berlaku untuk penyampaian Laporan ULN sampai dengan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

135

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan

Berlaku

Sejak tanggal 29 April 2013

Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan PBI No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang mengintegrasikan ketentuan Lalu Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL). 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini bertujuan untuk pengaturan teknis pelaporan kegiatan LLD, khususnya laporan rencana utang luar negeri, perubahan rencana utang luar negeri, dan informasi keuangan, yang akan dilakukan secara on-line mulai tanggal 1 Agustus 2013. 3. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini terdiri dari: a. Jenis perusahaan yang menjadi pelapor b. Cakupan laporan c. Format laporan dan tata cara pelaporan d. Penyampaian laporan e. Tata cara pengenaan sanksi f. Analisis manajemen resiko 4. Pokok-pokok pengaturan dalam SE BI ini mencakup:

Ruang lingkup
Cakupan laporan

Pengaturan
1. Laporan rencana ULN jangka panjang untuk 1 thn berjalan terdiri dari: a. Laporan rencana ULN baru dan perpanjangan (roll over) ULN lama b. Analisis manajemen risiko c. Penilaian peringkat 2. Laporan Perubahan Rencana ULN, mencakup perubahan recana ULN dan analisis manajemen risiko 3. Informasi Keuangan mencakup: a. Laporan keuangan tahunan b. Laporan keuangan interim Dilakukan secara Online, melalui website pelaporan seluruh kegiatan LLD: https://www.bi.go.id/lkpbuv2 (media offline hanya digunakan apabila terdapat gangguan teknis pada website pelaporan, yaitu dengan media email attachment, CD/flashdisk, atau media lainnya).

Tata cara penyampaian laporan

136

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Ruang lingkup
Batas waktu penyampaian laporan

Pengaturan
1. Laporan Rencana ULN jangka panjang disampaikan paling lambat tgl.15 Maret tahun berjalan. 2. Laporan Perubahan Rencana ULN disampaikan paling lambat tgl.1 Juli tahun berjalan. 3. Laporan Informasi Keuangan: a. Laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat tgl.15 Juni tahun berjalan (untuk laporan tahunan periode Januari s.d. Desember tahun sebelumnya). b. Laporan keuangan interim disampaikan paling lambat tgl.15 Desember (untuk laporan interim periode Januari s.d. Juni tahun berjalan) Sejak batas waktu penyampaian laporan yang telah ditetapkan s.d. akhir bulan berjalan. Pelapor yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan.

Toleransi keterlambatan

Sanksi

4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013. 5. Pengenaan sanksi mulai berlaku sejak pelaporan Rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2014. 6. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.12/37/DInt tanggal 23 Desember 2010 perihal Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/18/DASP tanggal 30 April 2013 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/13/DASP Tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nominal Nota Debet Dan Transfer Kredit Dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.

Berlaku

Sejak 31 Mei 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran dan memberikan alternatif layanan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan transfer kredit melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 2. Perubahan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yaitu merubah batas nominal transfer kredit yang dapat dikliringkan melalui Kliring Kredit dalam penyelenggaraan SKNBI yang sebelumnya paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi menjadi paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per transaksi.

137

Halaman ini sengaja dikosongkan

138

Anda mungkin juga menyukai