Anda di halaman 1dari 83

BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2011 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2011

Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN


Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto Pemimpin Redaksi Christina Sani Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi, Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R. Redaksi Pelaksana Dyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: buletinhukum_dhk@bi.go.id Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Dari Meja Redaksi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9 Nomor 3, Edisi September s.d Desember2011 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya. Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA merupakan suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negaranegara ASEAN dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Buletin edisi ini akan diterbitkan artikel mengenai Aspek Hukum Kepailitan dan Insolvensi Bank di Negara-Negara Asean. Selain itu, Buletin juga menurunkan 2 artikel lainnya, yaitu : 1. Pembenahan Hukum Prasyarat Pertubuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM. 2. Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Dan Dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, oleh Sri Hariningsih, SH., MH. Selanjutnya, redaksi juga menyajikan resensi buku Kepailitan Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank yang ditulis oleh Dr. Silvia Janistriwati, SH., M Hum. Dalam hal ini resensi ditulis oleh Ellia Syahrini SH., CN, Analis Hukum Senior Bank Indonesia. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Juni sampai dengan Desember 2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca. Jakarta, Desember 2011 Redaksi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ Daftar Isi.......................................................................................................................................................... Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean............................................................ Rosalia Suci, SH, LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH. Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan............................ Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009..................................................................................................................................................... Sri Hariningsih, SH., MH Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank............................... Ellia Syahrini, SH., CN Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme....................................................... Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Juni - Desember 2011................... Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Juni - Desember 2011............................................................................. Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) 61 - 75 57 - 59 51 - 55 47 - 50 39 - 45 35 - 38 i iii 1 - 34

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara ASEAN


Rosalia Suci, SH., LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH.1

Abstrak Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam ASEAN Economic Community Blueprint (AEC Blueprint) merupakan suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Terkait dengan otoritas yang berwenang dalam proses pengajuan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN, hampir semua negara mengatur bahwa hal tersebut merupakan kewenangan otoritas moneter atau Bank Sentral. Sementara itu, khususnya terkait dengan likuidasi bank, pada umumnya dilakukan melalui proses penetapan pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank sentral kecuali di Indonesia yang proses likuidasinya merupakan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu adanya penetapan pengadilan. Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan

Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat terbentuknya MEA dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi sub sektor jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsip-prinsip atau standar hukum yang berlaku secara regional terkait dengan penyelesaian insolvensi dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border) di ASEAN. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank meliputi aspek-aspek pengaturan insolvensi dan kepailitan dalam sistem hukum dan perundang-undangan di masing-masing negara ASEAN, otoritas yang berwenang dalam insolvensi dan kepailitan bank, prioritas pembayaran dalam penyelesaian kepailitan bank, cross border insolvency termasuk di dalamnya pengakuan dan pelaksanaan putusan kepailitan pengadilan asing.

penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara ASEAN menggolongkan nasabah bank dalam kategori kreditur konkuren. Namun demikian, dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negaranegara Anggota ASEAN menerapkan sistem penjaminan atas simpanan nasabah bank yang nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara. Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai aset atau kreditur di luar negeri termasuk pengakuan putusan pengadilan asing (cross border insolvency) berbedabeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri. Sementara itu, negara-negara lainnya mengatur bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-negara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri juga menjangkau terhadap aset-aset debitur yang berada di luar negeri. Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan

Secara umum, pengaturan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN diatur dalam undangundang tersendiri disamping adanya undang-undang kepailitan yang berlaku secara umum.

asing, beberapa negara tidak mengakui putusan pengadilan kepailitan asing. Negara lainnya mengakui putusan kepailitan pengadilan asing dengan syarat negara tersebut telah menandatangani perjanjian bilateral/multilateral mengenai pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang dipailitkan didirikan di negara tersebut.

Tim Moneter dan Sistem Pembayaran, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan kepailitan bank yang berbeda-beda, khususnya adalah tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari pengadilan suatu negara atas kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan aset di luar negara tersebut dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut berpotensi menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency. Idealnya, untuk mengatasi permasalahan hukum tersebut diperlukan harmonisasi hukum khususnya terkait dengan pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan bank tersebut merupakan salah satu infrastruktur penunjang yang diperlukan apabila nantinya disepakati akan beroperasi qualified ASEAN banks secara lintas batas di kawasan ASEAN dan akan melengkapi infrastruktur lain yang diperlukan seperti cross border bank supervision dan cross border bank resolution.

menandakan lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negaranegara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam ASEAN Economic Community Blueprint (AEC Blueprint) merupakan suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan penelitian studi komparasi sistem hukum dan ketentuan terkait dengan lalu lintas modal, kelembagaan dan insolvensi di negara-negara ASEAN bekerja sama dengan 2 (dua) universitas di Bandung yaitu Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan. Penelitian mengenai sistem hukum dan ketentuan

Sebelum langkah harmonisasi hukum dilaksanakan, terlebih dahulu perlu dilakukan assesment secara mendalam atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN. Namun demikian, sebagaimana lazimnya dalam suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya proses assesment di masing-masing negara-negara ASEAN terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan berlakunya MEA.

terkait dengan kelembagaan serta insolvensi di negara-negara ASEAN tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik meneliti institusi bank secara komprehensif. Oleh karena itu, untuk lebih memperdalam dan memperoleh gambaran secara lebih menyeluruh terkait dengan topik penelitian tersebut, diperlukan kajian yang lebih khusus dan mendalam mengenai salah satu materi yang relevan dengan tugas BI yaitu terkait dengan aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan

Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi bisnis dan ekonomi sehingga Indonesia dapat memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang

kepailitan bank di negara-negara ASEAN tersebut dimaksudkan untuk melengkapi persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat terbentuknya MEA dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi sub sektor jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsipprinsip atau standar hukum yang berlaku secara regional terkait dengan penyelesaian insolvensi dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border) di ASEAN.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

1.2. Identifikasi Masalah Beberapa permasalahan yang akan dibahas dan didiskusikan dalam kajian ini meliputi : a. Bagaimanakah pengaturan insolvensi dan kepailitan bank dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan di negara-negara ASEAN? b. Bagaimanakah proses insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN dan siapakah otoritas yang berwenang dalam proses insolvensi dan kepailitan tersebut ? c. Bagaimanakah pengaturan prioritas pembayaran dalam penyelesaian insolvensi dan kepailitan bank dan aspek perlindungan nasabah di negara-negara ASEAN? d. Bagaimanakah pengaturan cross border insolvensi dan pengakuan putusan pengadilan kepailitan asing di negara-negara ASEAN? e. Apakah potensi permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan insolvensi dan kepailitan bank yang berbeda-beda di negaranegara ASEAN? 1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi norma-norma atau prinsipprinsip yang seyogyanya diberlakukan sebagai standar dalam ketentuan insolvensi dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi lintas batas di negara-negara ASEAN. 1.4. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi Bank Indonesia dalam rangka mempersiapkan dan mengantisipasi negosiasi terkait jasa perbankan dalam rangka terbentuknya MEA tahun 2015 dan liberalisasi sub sektor perbankan tahun 2020. II. GAMBARAN UMUM TENTANG SISTEM HUKUM DAN KETENTUAN TERKAIT DENGAN INSOLVENSI DAN KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN 2.1. Pendahuluan Pada umumnya hampir di semua negara manapun di dunia termasuk di negara-negara ASEAN, pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan

diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan tersebut selain diatur dalam undangundang juga diatur dalam ketentuan dan peraturan lain di bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan lainnya sebagai peraturan tambahan atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang kepailitan tersebut. Peraturan perundang-undangan terkait dengan insolvensi dan kepailitan di masing-masing negara mengatur mengenai berbagai aspek mengenai insolvensi dan kepailitan secara umum atas debitur yang mengalami keadaan insolven atau yang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo termasuk juga mekanisme permintaan atau gugatan pailit oleh debitur sendiri atau pihak kreditur melalui proses pengadilan. Untuk pengaturan tentang insolvensi dan kepailitan bank, sistem pengaturan di masing-masing negara cukup bervariasi. Sebagian negara mengaturnya dalam peraturan perungan-undangan yang mengatur insolvensi dan kepailitan secara umum, di beberapa negara lain mengaturnya secara tersendiri dalam perundang-undangan yang mengatur tentang perbankan. Kajian hukum ini akan fokus terutama pada berbagai isu terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank dengan tetap mengulas beberapa hal pokok tentang ketentuan insolvensi dan kepailitan secara umum. Pengumpulan bahan-bahan dan informasi yang digunakan dalam kajian ini terutama diperoleh melalui internet dan sebagian dari bank-bank sentral negara-negara yang menjadi objek kajian. Adapun negara-negara yang menjadi objek dalam kajian ini adalah Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia, Singapura, dan Malaysia. 2.2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara Asean 2.2.1 Filipina Pengaturan mengenai insolvensi dan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

kepailitan secara umum terdapat dalam the Civil Code of Philippines khususnya buku IV title XIX mengenai Concurrence and Preference of Credits dan dalam the Corporation Code of Philippines tahun 1980 khususnya Title XIV mengenai Dissolution, section 11 sampai dengan section 122. Selanjutnya, insolvensi dan kepailitan diatur secara lebih detail dalam undang-undang khusus yaitu Undang-Undang No.1956 tahun 1909 (dikenal dengan nama the Insolvensi Law) dan Dekrit Presiden (Presidential Decree) No.902.A tahun 1976 sebagaimana telah diamandemen tahun 1981. Sementara itu, untuk insolvensi dan kepailitan bank, tunduk pada peraturan perundangundangan tersendiri (lex specialis) yaitu the New Central Bank Act No.7653 tahun 1993 (the New Central Bank Act) khususnya section 30, 31, dan 32. 2.2.2 Vietnam Pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan secara umum terdapat dalam Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004 tentang Bankruptcy Law. Namun demikian, dalam klausul 2 Article 2 Bankruptcy Law diatur bahwa terhadap perusahaan tertentu antara lain untuk perbankan, pemerintah harus mengatur lebih lanjut termasuk bagaimana penerapan Bankruptcy Law dimaksud. Disamping itu, mengenai insolvensi dan kepailitan bank, terdapat pengaturan yang cukup rinci dalam Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 tentang Credit Institution yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011. 2.2.3 Thailand Secara umum, pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan di Thailand terdapat dalam the Bankruptcy Act, B.E. 2483 tahun 1940 (the Bankrupcty Act 1940) dan dalam the Civil and Commercial Code khususnya section 1247 sampai dengan 1273. The
2

Bankruptcy Act 1940 telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan the Bankruptcy Act (No.4) B.E.2541 tahun 1998, the Bankruptcy Act (No.5),B.E 2542 (1999) dan the Bankruptcy Act (No.7), B.E.2547 tahun 2004. The Bankruptcy Act 1940 dan perubahannya mengatur mengenai prosedur kepailitan dan rehabilitasi bagi debitur pailit baik yang berbentuk perorangan maupun korporasi termasuk pula commercial bank, finance company, finance and securities company or a credit financing company. Sementara itu, the Civil and Commercial Code mengatur mengenai prosedur likuidasi sukarela dari debitur yang mengalami pailit. 2.2.4 Indonesia Pengaturan mengenai kepailitan secara umum terdapat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan) yang mencabut Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissementsverordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang tentang Kepailitan menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778). Dalam Undang-Undang tersebut terdapat ketentuan yang mengatur bahwa untuk bank permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia2. Disamping itu, pengaturan mengenai likuidasi bank diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No.10 tahun 1998 dan UndangUndang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UULPS) yang mulai berlaku pada tanggal 22 September 2005. 2.2.5 Singapura Pengaturan mengenai insolvensi, kepailitan secara umum serta penutupan/pembubaran perusahaan terdapat dalam Bankruptcy Act (Statute of The Republic of Singapore, Chapter 20) dan Companies Act (Statute of the Republic of Singapore, Chapter 50). Sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai penutupan bank diatur dalam Banking Act (Statute of the Republic of Singapore, Chapter 19). 2.2.6 Malaysia Secara umum, pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan di Malaysia diatur dalam : 1) Bankruptcy Act 1964, berlaku untuk proses kepailitan bagi debitur individual; 2) Companies Act 1965, khususnya Bab VII,3 Bab VIII4 dan Bab X5, berlaku untuk proses kepailitan bagi debitur perusahaan; dan 3) Banking and Financial Institution Act 1989 (BAFIA), berlaku khusus untuk proses insolvensi dan kepailitan bagi bank, khususnya Bab X yang mengatur mengenai Kewenangan Pengawasan dan Pengendalian, serta Pasal 72 sampai dengan Pasal 81. Dengan demikian, pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan untuk bank di Malaysia diatur dalam suatu undang-undang tersendiri terpisah dari aturan umum mengenai kepailitan yang diatur dalam Bankruptcy Act 1964 dan Company Act 1965.

2.3. Otoritas yang berwenang dalam proses insolvensi dan kepailitan bank 2.3.1 Filipina Otoritas yang berwenang untuk menyatakan bahwa suatu bank6 mengalami keadaan insolvensi dan oleh karena itu terhadap bank tersebut perlu dilakukan upaya-upaya penyelamatan atau dilikuidasi adalah the Banko Central Monetary Board (the Monetary Board). Sementara itu lembaga yang ditunjuk oleh the Monetary Board untuk melakukan upaya rehabilitasi atau melikuidasi bank yang mengalami insolvensi adalah the Philippine Depository Insurance Corporation (PDIC). Sesuai dengan section 30 the New Central Bank Act diatur bahwa apabila berdasarkan laporan kepala departemen pengawasan, the Banko Central Monetary Board (the Monetary Board) menemukan indikasi bahwa suatu bank mengalami kondisi-kondisi tersebut di bawah ini: 1) tidak mampu membayar kewajiban yang telah jatuh tempo namun tidak termasuk kewajiban-kewajiban luar biasa yang disebabkan oleh kepanikan dalam komunitas perbankan. 2) diperintahkan oleh Bank Sentral Filipina untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada Bank Sentral. 3) tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya dan apabila dilanjutkan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi nasabah penyimpan atau krediturnya. 4) secara sadar melanggar keputusan the Monetary Board yang telah final terkait dengan sanksi atau perintah penghentian sementara kegiatan usaha tertentu dari

3 4 5

Scheme of Arrangement/Reconstruction. Receivers & Managers. Winding Up.

Sesuai dengan section 3 the New Central Bank Act, bank dibedakan menjadi bank dan quasi bank. Quasi bank adalah perusahaan keuangan dan lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi seperti layaknya bank.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

bank sesuai dengan section 377 the New Central Bank Act termasuk juga tindakantindakan atau transaksi-transaksi curang yang bertujuan untuk menghilangkan aset bank. Maka tanpa memerlukan pembahasan atau hearing dengan bank yang bersangkutan terlebih dahulu, the Monetary Board dapat melarang bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan selanjutnya menunjuk PDIC sebagai receiver (pengelola sementara)8. Khususnya untuk quasi bank9 setiap orang yang diakui memiliki kompetensi dibidang keuangan dan perbankan dapat ditunjuk sebagai receiver. Setelah mendapat penunjukan dari the Monetary Board, PDIC segera melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengumpulkan semua aset-aset dan mengambil alih kewajiban-kewajiban bank yang bersangkutan 2) Melaksanakan kewenangan-kewenangan umum sebagaimana diatur dalam the Revised Rules of Court kecuali untuk melakukan pembayaran-pembayaran biaya administratif, mengalihkan atau menjual aset-aset bank. Namun demikian, PDIC diperbolehkan untuk menempatkan dana-dana bank dalam bidang-bidang investasi yang tidak bersifat spekulatif.

Selanjutnya dalam waktu tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, PDIC akan memutuskan apakah bank tersebut dapat atau tidak dapat direhabilitasi atau diiziinkan untuk beroperasi kembali dan aman bagi nasabah penyimpan, kreditur dan kepentingan umum. Keputusan untuk mengizinkan bank tersebut beroperasi kembali tetap tunduk pada persetujuan dari the Monetary Board. Dalam hal PDIC memutuskan bahwa bank yang bersangkutan tidak dapat direhabilitasi atau diizinkan untuk beroperasi kembali, the Monetary Board akan memberitahukan secara tertulis kepada manajemen bank dan memerintahkan PDIC untuk melakukan proses likuidasi bank tersebut. Setelah menerima perintah likuidasi dari the Monetary Board, PDIC melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut : 1) Meminta penetapan secara ex parte10 kepada pengadilan regional yang tepat untuk melakukan proses likudiasi atas bank yang bersangkutan sesuai dengan the liquidation plan yang diadopsi oleh PDIC untuk semua bank-bank yang ditutup. Dalam hal quasi bank, the liquidation plan ditentukan oleh the Monetary Board. Berdasarkan kewenangannya, pengadilan akan mengadili tuntutan-tuntutan kepada bank, membantu pelaksanaan pemenuhan kewajiban-kewajiban pemegang saham secara individu, pengurus dan karyawan bank serta memutuskan isu-isu lain yang

Section 37 the New Central Bank Act menyebutkan beberapa sanksi administrative yang dapat diterapkan terhadap bank dan quasi bank yang melanggar ketentuan perundang-undangan perbankan yang berlaku meliputi : a. Denda dalam jumlah yang ditentukan oleh the Monetary Board tetapi tidak melebihi 30.000 peso perhari per pelanggaran b. Penundaan pemberian fasilitas atau akses kredit dari Bank Sentral Filipina c. Penundaan dalam kegiatan kliring antar bank d. Pencabutan izin quasi bank PDIC adalah lembaga pemerintah yang berperan sebagai penjamin simpanan, receiver dan likuidator untuk institusi perbankan di Filipina. Dalam Section 3 the New Central Bank Act No.7653 disebutkan bahwa quasi bank mengacu pada perusahaan-perusahaan keuangan dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi-fungsi quasi bank (menyerupai bank)

mempunyai nilai material bagi pelaksanaan the liquidation plan. 2) Mencairkan aset-aset bank untuk membayar kewajiban-kewajiban bank sesuai dengan ketentuan prioritas pembayaran sebagaimana diatur dalam the Civil Code of Philipines. PDIC dengan bantuan counsel diberikan pula wewenang

10 Bahasa latin yang berarti satu pihak saja atau tanpa perlu adanya pemberitahuan atau persetujuan dari pihak yang lain (Blacks Law Dictionary)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

untuk dan atas nama bank untuk mengumpulkan, mengembalikan dan mempertahankan aset-aset bank dari tuntutan atau klaim dari pihak lain. Seluruh aset bank yang berada dibawah pengawasan PDIC dan dalam porses likuidasi dianggap berada dalam status custodia legis11 di tangan PDIC dan oleh karenanya dari sejak bank berada dalam pengelolaan PDIC dan likudasi aset-aset bank tersebut dikecualikan dari proses garnishment12, levy13, sita, atau eksekusi. Keputusan the Monetary Board untuk memerintahkan PDIC melikuidasi bank bermasalah yang sudah tidak dapat direhabilitas bersifat final, mengikat dan tidak dapat dikesampingkan oleh pengadilan. Namun demikian, keputusan tersebut masih dapat di challenge melalui gugatan certiorari14 ke pengadilan dengan dasar gugatan bahwa the Monetary Board telah bertindak melebihi atau menyalahgunakan kewenangannya. Gugatan certiorari tersebut harus diajukan oleh pemegang saham mayoritas dalam waktu 10 hari sejak the Board of Director Bank menerima pemberitahuan penyerahan bank ke PDIC atau bank akan dilikuidasi.

Penanganan yang dilakukan dapat meliputi pembelian saham bank, keputusan untuk melakukan penggabungan usaha, peleburan, atau pembubaran bank, sampai dengan melakukan tugas dan kewenangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kepailitan dari credit institutions (termasuk bank yang merupakan salah satu bentuk dari credit institutions)15. Pengaturan mengenai kepailitan dan likuidasi diatur dalam Chapter VIII (Special Control, Reorganization, Bankruptcy, Dissolution and Liquidation of Credit Institution), Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 tentang Credit Institution. Dalam Chapter VIII antara lain diatur bahwa ketika suatu bank mengalami kesulitan likuiditas dan menghadapi adanya kemungkinan insolvensi, maka bank dimaksud harus segera melapor kepada the State Bank mengenai status keuangannya, penyebab terjadinya kesulitan likuiditas, serta langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan untuk mengatasi kesulitan dimaksud.16 The State Bank dapat menempatkan bank, yang menghadapi kemungkinan insolvensi, dalam pengawasan khusus, yaitu pengawasan langsung dari the State Bank.17 The State Bank akan menempatkan suatu

2.3.2 Vietnam Otoritas yang berwenang untuk menetapkan penanganan atas suatu bank yang mengalami kesulitan keuangan yang mengancam keamanan sistem perbankan adalah The State Bank of Vietnam (Bank Sentral Vietnam).
11 bahasa latin yang berarti dalam penguasaan hukum atau aset dalam pengawasan pengadilan selama berlangsungnya proses litigasi terhadap aset tersebut (Blacks Law Dictionary) 12 Suatu proses hukum dimana seorang kreditur meminta pengadilan agar memerintahkan pihak ketiga yang berhutang kepada debitur atau memegang jaminan debitur menyerahkan tagihan atau aset debitur yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditur (Blacks Law Dictionary). 13 Pengenaan denda atau pajak (Blacks Law Dictionary) 14 Bahasa latin yang berarti perintah pengadilan banding yang memerintahkan pengadilan dibawahnya untuk mengirimkan berkas perkara kepada pengadilan banding untuk proses review.

bank dalam pengawasan khusus dalam hal bank mengalami hal-hal sebagai berikut:18 1. Menghadapi kemungkinan insolvensi; 2. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipenuhi yang kemungkinan dapat menyebabkan insolvensi;

15 Point 12, Article 4, Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang The State Bank of Vietnam. Mengenai pengertian credit institution dan bank terdapat dalam Point 1 dan 2 Article 4, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 16 Article 145, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 17 Article 146, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 18 Article 147, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

3. Memiliki kerugian yang secara kumulatif melebihi 50% dari nilai aktual modal disetor dan dana cadangan yang tercantum dalam financial statement hasil audit terakhir. 4. Memiliki peringkat poor berdasarkan ketentuan the State Bank dalam 2 tahun berturut-turut. 5. Mengalami kegagalan untuk memelihara rasio modal minimal sebagaimana dimaksud dalam Point b, Clause 1, Article 130 Law No. 47/2010/QH12 dalam 1 tahun atau rasio dimaksud turun menjadi dibawah 4% dalam 6 bulan berturut-turut.

2. Mengusulkan kepada the State Bank untuk memperpanjang atau menghentikan pengawasan khusus, memberikan atau menghentikan pinjaman kepada bank, membeli saham bank, melikuidasi atau mencabut izin usaha, atau mewajibkan untuk menerima, menggabungkan usaha, meleburkan, atau mengambilalih bank. 3. Meminta kepada bank untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada pengadilan berdasarkan the Bankruptcy Law. Tugas Special Control akan berakhir dalam

Dalam menempatkan bank dalam pengawasan khusus, the State Bank juga membentuk Special Control Board yang bertugas untuk19: 1. Memberikan arahan kepada direksi bank yang berada dalam pengawasan khusus dalam memformulasikan suatu Rencana Konsolidasi Organisasi dan Operasional. 2. Memberikan arahan dan pengawasan dalam pengimplementasian langkahlangkah penanganan yang tercantum dalam Rencana Konsolidasi Organisasi dan Operasional yang telah disetujui oleh Special Control Board. 3. Memberikan laporan kepada the State Bank mengenai operasional bank dan hasil pelaksanaan Rencana Konsolidasi Organisasi dan Operasional. Dalam melaksanakan tugasnya, Special Control Board memiliki kewenangan antara lain20 : 1. Menghentikan kegiatan operasional yang tidak sesuai dengan Rencana Konsolidasi Organisasi dan Operasional atau bertentangan dengan praktek perbankan yang sehat yang dapat merugikan kepentingan nasabah penyimpan dana.

hal credit institution:21 a. beroperasi kembali secara normal; b. telah dilakukan penggabungan usaha atau peleburan dengan credit institution lain selama dalam pengawasan khusus; c. credit institution tidak dapat dipulihkan; Jika pengakhiran status dalam pengawasan khusus dihentikan karena credit institution tidak dapat dipulihkan maka the State Bank akan menyampaikan dokumen-dokumen terkait penghentian upaya penyehatan credit institution kepada pengadilan.22 Terkait dengan upaya penyehatan credit institution, Deposit Insurer dapat menyediakan bantuan finansial dalam bentuk loan provision, guarantee, atau debt re-purchase kepada credit institution dalam hal menurut the State Bank pembubaran atau kepailitan dari suatu credit institution dapat berpengaruh terhadap keamanan sistem keuangan dan perbankan nasional serta kondisi politik dan sosial ekonomi Bantuan finansial dari Deposit Insurer ini harus dibayar kembali oleh credit instituion yang menerimanya sebelum

19 Clause 1, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 20 Clause 2, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

21 Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 22 Clause 3, Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

pembayaran utang-utang lainnya oleh credit institution.23 Setelah the State Bank menerbitkan dokumen penghentian pengawasan khusus atau penghentian atau tidak dipenuhinya langkahlangkah penyehatan. Dalam hal credit institution tetap dalam kondisi pailit maka credit institution harus mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk putusan pernyataan pailit.24 Setelah menerima permohonan pernyataan pailit, pengadilan akan memulai proses penyelesaian permohonan pernyataan pailit dan segera menerapkan prosedur untuk melikuidasi aset credit institution berdasarkan the Bankruptcy Law.25 2.3.3 Thailand Secara umum, ada 3 (tiga) jenis prosedur kepailitan yang tersedia di Thailand yaitu : 1) prosedur kepailitan langsung; 2) prosedur restrukturisasi atau prosedur reorganisasi; 3) prosedur likuidasi. Dalam prosedur kepailitan langsung untuk segala jenis debitur termasuk bank komersial dan lembaga keuangan lainnya, pemohon kepailitan dapat merupakan kreditur preferen, kreditur konkuren ataupun likuidator yang telah ditunjuk. Untuk prosedur restrukturisasi atau reorganisasi, pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon kepada pengadilan diatur sebagai berikut :

1) Seorang kreditur atau beberapa orang kreditur yang jumlah piutang secara keseluruhannya mencapai lebih dari 10 juta baht. 2) Debitur yang memiliki kualifikasi sebagai berikut : a) Perseroan terbatas atau juristic person26 apapun sebagaimana diatur dalam peraturan menteri. b) Mengalami pailit c) Memiliki hutang kepada satu atau beberapa kreditur yang secara keseluruhan mencapai lebih dari 10 juta baht tanpa memandang apakah hutang tersebut akan jatuh tempo dalam waktu dekat atau jatuh tempo pada masa yang akan datang. d) Tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan aset debitur insolven ditempatkan dalam absolut custody. 3) Bank of Thailand dalam hal debitur insolven adalah bank komersial, lembaga keuangan, perusahaan keuangan dan sekuritas atau perusahaan pembiayaan kredit. 4) The Office of the Securities and Exchange Commision dalam hal debitur pailit adalah perusahaan sekuritas. 5) Perusahaan asuransi dalam hal debitur insolven adalah perusahaan asuransi kecelakaan atau kematian. 6) Agen-agen pemerintah (government agencies) yang diberikan kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha debitur. Dalam prosedur likuidasi, keputusan untuk melikuidasi suatu institusi atau debitur insolven berada pada rapat umum pemegang saham. Setelah adanya keputusan dari rapat umum pemegang saham untuk melikuidiasi debitur

23 Article 14, Article 15 Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TTNHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/NDCP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP. 24 Clause 1, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions. 25 Clause 2, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

insolven tersebut dilanjutkan dengan penunjukan likuidator. Selanjutnya, likuidator akan mengajukan permohonan likuidasi kepada pengadilan.

26 Disebut juga sebagai artificial person yang berarti entitas seperti perusahaan yang diciptakan oleh hukum dan diberikan hak dan kewajiban tertentu sebagaimana layaknya manusia. (Blacks Law Dictionary)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Dalam prosedur rehabilitasi atau restrukturisasi debitur insolven berupa bank, permohonan diajukan oleh Bank of Thailand ke pengadilan. Dalam hal pengadilan telah menerima permohonan rehabilitasi dari Bank of Thailand, pengadilan akan menunjuk the planner (pengelola sementara) yang akan diberikan tugas untuk mengelola bisnis dan aset bank, membayar kreditur, memperoleh kredit, menjual aset dan mewakili bank di muka pengadilan. Selanjutnya, dalam hal bank tersebut tidak dapat direhabilitasi dikarenakan aset bank tidak mencukupi untuk menutup seluruh kewajibannya maka the planner akan mengajukan proses likuidasi bank tersebut ke pengadilan yang mewilayahi. 2.3.4 Indonesia Otoritas yang berwenang dalam menangani bank yang mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya adalah Bank Indonesia (BI). Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian BI kondisi usaha bank semakin memburuk antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas Perbankan yang sehat.27

c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; g. bank dijual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain. Tindakan-tindakan tersebut di atas dilakukan agar tidak terjadi pencabutan izin usaha dan/atau likuidasi. Dengan kata lain, tindakantindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.29 Selanjutnya, apabila tindakan tersebut diatas masih belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank dan menurut penilaian BI dapat membahayakan sistem Perbankan, BI dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.30 Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), BI meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.31

Dalam rangka menangani bank yang mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :28 a. pemegang saham menambah modal; b. pemegang saham menganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

29 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan. 30 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. 31 Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 14 ayat (1).

27 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan. 28 Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.

10

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Dalam proses kepailitan bank, otoritas yang berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah BI dan pernyataan pailit dimaksud ditetapkan oleh putusan Pengadilan Niaga.32 Berbeda dengan pertimbangan permohonan pailit untuk institusi lain, diajukan atau tidak diajukannya permohonan pernyataan pailit suatu bank ke pengadilan niaga oleh BI, didasarkan pada penilaian atas kondisi keuangan bank yang bersangkutan yang dikaitkan pula dengan kondisi perbankan secara keseluruhan dan bukan semata-mata pada pertimbangan persyaratan kepailitan sebagaimana diatur Undang-Undang Kepailitan.33 Walaupun permohonan pernyataan pailit untuk bank hanya dapat diajukan oleh BI, namun kewenangan BI untuk mengajukan pernyataan pailit tersebut tidak menghapuskan kewenangan BI untuk melakukan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan34. Dalam prakteknya, sampai dengan saat ini BI belum pernah mempergunakan mekanisme kepailitan dalam rangka penyelesaian bank yang mengalami keadaan insolvensi, namun cenderung menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Selanjutnya, otoritas yang menangani suatu bank yang dicabut izin usahanya adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Penanganan tersebut

meliputi pengambilalihan hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)35. Dengan diambilalihnya hak dan wewenang RUPS tersebut, LPS segera memutuskan pembubaran badan hukum bank, pembentukan Tim Likuidasi (TL), penetapan status bank sebagai Bank Dalam Likuidasi, serta penonaktifan seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. TL kemudian akan menangani likuidasi dan pembubaran badan hukum bank tersebut, dan melaporkan pelaksanaan tugas tersebut kepada LPS. 2.3.5 Singapura Article 253 huruf g Companies Act (Statute of the Republic of Singapore, Chapter 50) menyebutkan bahwa dalam hal perusahaan bergerak di bidang usaha perbankan, perusahaan tersebut dapat ditutup (baik secara sukarela ataupun tidak), berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan the Monetary Authority of Singapore (MAS). Dalam hal bank akan atau menjadi insolven, atau Bank tidak memenuhi kewajibannya, atau Bank telah menunda atau akan menunda pembayarannya, maka Bank tersebut harus segera menginformasikan kepada MAS.36 MAS berwenang untuk melakukan tindakantindakan tertentu dalam hal menurut pendapat MAS, bank menjalankan kegiatan usaha dengan cara-cara yang mungkin akan merugikan nasabahnya atau mengalami keadaan insolven atau tidak dapat memenuhi kewajibannya dan melanggar ketentuan undang-undang perbankan. Tindakan-

32 Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 33 Persyaratan kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. 34 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

tindakan tertentu tersebut misalnya dengan meminta bank untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang terkait dengan usaha bank, menunjuk satu atau lebih statutory

35 Pasal 3 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank. 36 Article 48 Banking Act

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

adviser, menunjuk satu orang atau lebih statutory manager.37 Apabila setelah MAS melakukan tindakantindakan tersebut di atas dan bank tetap tidak bisa diselamatkan, maka MAS dapat mengajukan permohonan winding up atas Bank tersebut ke pengadilan. 2.3.6 Malaysia Sesuai Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) huruf (b) BAFIA, bank yang mengalami insolvensi dapat diketahui melalui dua cara, yakni: 1) Dari bank yang bersangkutan, yang kemudian diharuskan memberitahukan hal tersebut kepada Bank Negara Malaysia (BNM) selaku bank sentral;38 atau 2) Ditetapkan oleh BNM.39 Terhadap bank yang mengalami insolvensi tersebut, BNM dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan40 dapat melakukan tindakantindakan sebagai berikut: 1) Meminta bank dimaksud untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan41 terkait dengan kelembagaan, kegiatan usaha,

direktur maupun pegawai bank yang bersangkutan, dalam jangka waktu tertentu sebagaimana tertuang dalam perintah BNM kepada bank tersebut;42 2) Melarang bank dimaksud untuk melakukan ekspansi kredit dalam jangka waktu tertentu, termasuk membuat pengecualian-pengecualian atas larangan tersebut dan memberlakukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh bank terkait pengecualianpengecualian tersebut;43 3) Memberhentikan pegawai bank dimaksud terhitung sejak tanggal efektif sebagaimana ditetapkan dalam perintah BNM;44 4) Melakukan penggantian satu atau lebih direktur pada bank tersebut;45 atau 5) Menunjuk seorang advisor bagi bank tersebut, yang pembayaran remunerasinya menjadi beban bank yang bersangkutan.46

42 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (A) BAFIA, yang berbunyi: the Bank may, by order in writing, exercise any one or more of the following powers, as it deems necessary: (A) require the licensed institution to take any steps, or any action, or to do or not to do any act or thing, whatsoever, in relation to the institution, or its business, or its directors or officers, which the Bank may consider necessary and which it sets out in the order, within such time as may be set out therein 43 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (B) BAFIA, yang berbunyi: (B) prohibit a licensed institution from extending any further credit facility for such period as may be set out in the order, and make the prohibition subject to such exceptions, and impose such conditions in relation to the exceptions, as may be set out in the order, and, from time to time, by further order similarly made, extend the aforesaid period 44 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (C) BAFIA, yang berbunyi: (C) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, for reasons to be recorded by it in writing, remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any officer of the licensed institution 45 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (D) BAFIA, yang berbunyi: (D) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, and, in particular, notwithstanding any limitation therein as to the minimum or maximum number of directors, for reasons to be recorded by it in writing (i) remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any director of the licensed institution; or (ii) appoint any person or persons as a director or directors of the licensed institution, and provide in the order for the person or persons so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order 46 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (E) BAFIA, yang berbunyi: (E) appoint a person to advise the licensedinstitution in relation to the proper conduct of its business, and provide in the order for the person so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order

37 Article 49 Banking Act 38 Lihat Pasal 72 BAFIA, yang berbunyi: Any licensed institution which considers that it is insolvent, or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or, that it is about to suspend payment to any extent, shall immediately inform the Bank of that fact. Sesuai Pasal 2 ayat (1) BAFIA, Bank means the Central Bank of Malaysia established by the Central Bank of Malaysia Act 1958. 39 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: whether after an examination under section 69 or 70, or otherwise howsoever, the Bank is satisfied that a licensed institution (i) is carrying on its business in a manner detrimental to the interests of its depositors, or its creditors, or the public generally; (ii) is insolvent, or has become or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or is about to suspend payment to any extent; or (iii) has contravened any provision of this Act or the Central Bank of Malaysia Act 1958, or any condition of its licence, or any provision of any written law, regardless that there has been no criminal prosecution in respect thereof . 40 Lihat Pasal 73 ayat (1) paragraf kedua yang berbunyi: .Provided that the powers of the Bank shall be exercised only with the prior concurrence of the Minister. 41 Termasuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

12

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Dalam hal bank yang mengalami insolvensi adalah bank lokal Malaysia, maka terlepas apakah BNM telah atau belum mengambil tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, maka BNM harus merekomendasikan kepada Menteri Keuangan, dan selanjutnya Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi dari BNM tersebut segera mengeluarkan perintah yang dimuat dalam Berita Negara, terkait dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Bagi BNM untuk mengendalikan dan menjalankan seluruh harta kekayaan dan kegiatan bisnis dari bank tersebut, atau menunjuk pihak lain untuk melakukan pengendalian tersebut untuk dan atas nama BNM, serta dengan beban biaya BNM, atau remunerasi bagi pihak yang ditunjuk tersebut dapat di settle dengan harta kekayaan bank dengan segera (preferen);47 2) Mengizinkan BNM untuk mengajukan penetapan kepada Pengadilan Tinggi terkait penunjukan kurator atau pengampu untuk mengelola harta kekayaan dan menjalankan bisnis bank tersebut, serta melakukan seluruh perintah pengadilan tinggi baik yang bersifat prinsipiil, insidentil maupun supporting, sesuai dengan arahan dari BNM;48

3) Mengizinkan BNM untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tinggi untuk pembubaran bank.49 Perintah dari BNM yang berisi tindakantindakan yang harus dilakukan bank yang mengalami insolvensi sebagaimana tersebut di atas maupun perintah dari Menteri Keuangan yang dimuat dalam Berita Negara, dari waktu ke waktu dapat dimodifikasi, diubah, disesuaikan atau diganti.50 Lebih lanjut, aturan-aturan dalam BAFIA yang terkait dengan penunjukan: (1) pihak lain untuk mengelola/menjalankan bisnis bank, (2) direktur baru, atau (3) advisor bagi bank yang mengalami insolvensi adalah sebagai berikut: 1) Penunjukan dilakukan untuk jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Meskipun demikian, yang bersangkutan dapat ditunjuk kembali untuk periode 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masingmasing periode tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Pihak yang ditunjuk wajib menjalankan tugas sesuai dengan perintah BNM.51 2) Syarat dan ketentuan yang berlaku bagi pihak yang ditunjuk oleh BNM disesuaikan dengan perintah yang mendasari penunjukan dimaksud. Syarat dan ketentuan dimaksud dibuat oleh BNM dan harus mengikat juga bank yang mengalami insolvensi yang berada di bawah pengelolaannya.52 3) Pihak yang ditunjuk oleh BNM tidak boleh dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab semata-mata karena penunjukannya.53

47 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (a) BAFIA, yang berbunyi: (a) for the Bank to assume control of the whole of the property, business and affairs of the licensed institution, and carry on the whole of its business and affairs, or to assume control of such part of its property, business and affairs, and carry on such part of its business and affairs, as may be set out in the order, or for the Bank to appoint any person to do so on behalf of the Bank, and for the costs and expenses of the Bank, or the remuneration of the person so appointed, as the case may be, to be payable out of the funds and properties of the institution as a first charge thereon 48 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: (b) whether or not an order has been made under paragraph (a), to authorize an application to be made by the Bank to the High Court to appoint a receiver or manager to manage the whole of the business, affairs and property of the licensed institution, or such part thereof as may be set out in the order, and for all such incidental, ancillary or consequential orders or directions of the High Court in relation to such appointment as may, in the opinion of the Bank, be necessary or expedient

49 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (c) BAFIA, yang berbunyi: (c) whether or not an order has been made under paragraph (a) or (b), to authorize the Bank to present a petition to the High Court for the winding up of the institution 50 Lihat Pasal 73 ayat (3) BAFIA. 51 Pasal 74 ayat (1) BAFIA. 52 Pasal 74 ayat (2) BAFIA. 53 Pasal 74 ayat (4) BAFIA.

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

4) Penggantian direktur bank yang mengalami insolvensi tidak membatasi kemungkinan bank untuk menunjuk direktur lagi jika anggaran dasar bank tersebut memungkinkan hal itu dan penunjukan direktur oleh BNM belum membuat jumlah maksimum direktur sebagaimana diatur dalam anggaran dasar terpenuhi.54 5) Jika seorang kurator atau manager telah ditunjuk oleh pengadilan tinggi, maka seluruh biaya, beban dan pengeluaran yang wajar, termasuk remunerasi untuk kurator atau manager tersebut harus dapat dibayar dengan harta kekayaan dari bank. Kewajiban pembayaran ini bersifat preferens dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban lainnya.55 Terkait dengan perintah dari BNM kepada pegawai atau direktur tertentu dari bank yang mengalami insolvensi untuk meninggalkan kantor bank dimaksud, BAFIA mengatur halhal sebagai berikut: 1) Pegawai atau direktur bank yang diperintahkan untuk meninggalkan kantor oleh BNM harus menghentikan seluruh kegiatannya di kantor terhitung sejak tanggal diperintahkan. 2) Pegawai atau direktur dimaksud juga dilarang memegang posisi atau jabatan di kantor lain pada bank dimaksud, atau secara langsung maupun tidak langsung turut berperan atau terlibat dalam tindakan atau kegiatan apapun terkait dengan bank.56 3) Perintah dari BNM kepada pegawai atau direktur bank untuk meninggalkan kantor adalah sah menurut hukum, terlepas dari isi kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh pegawai atau direktur tersebut, dan

orang yang diperintahkan meninggalkan kantor tidak diberikan hak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul dari perintah untuk meninggalkan kantor tersebut.57 Terkait dengan pengambilalihan bank oleh BNM atau pihak lain yang ditunjuk oleh BNM, BAFIA mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Dalam hal BNM mengambil alih bank yang mengalami insolvensi, maka bank dimaksud beserta seluruh direktur dan pegawainya harus menyerahkan harta kekayaan, kegiatan usaha dan tindakantindakannya dan menyediakan bagi BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM seluruh fasilitas yang diminta guna meneruskan kegiatan usaha dari bank tersebut.58 2) Dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM telah mengambil alih bank, maka BNM atau pihak yang ditunjuk tersebut harus menjalankan kendali atas bank untuk dan atas nama bank sampai jangka waktu yang disebutkan dalam perintah berakhir.59 3) Selama periode kontrol, BNM atau pihak yang ditunjuk diberikan kekuasaan penuh atas bank dimaksud beserta seluruh direkturnya.60 4) Selama jangka waktu pengambil alihan kendali tersebut, tidak seorang direktur pun pada bank dimaksud dibenarkan untuk, baik langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam kegiatan usaha bank, kecuali diminta atau disetujui oleh BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM, serta tidak dibenarkan untuk membayar remunerasi kepada direktur tersebut terkait dengan aktivitas yang diminta atau disetujui untuk dijalankan oleh BNM,

57 Pasal 75 ayat (2) BAFIA. 54 Pasal 74 ayat (3) BAFIA. 55 Pasal 74 ayat (5) BAFIA. 56 Pasal 75 ayat (1) BAFIA. 58 Pasal 76 ayat (1) BAFIA. 59 Pasal 76 ayat (2) BAFIA. 60 Pasal 76 ayat (3) BAFIA.

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

kecuali telah mendapat persetujuan tertulis dari BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM.61 5) Untuk menghindari keragu-raguan, UU menyatakan bahwa perintah yang dikeluarkan oleh BNM atau Menteri Keuangan tidak boleh berdampak pada pengalihan title/kepemilikan atau kepentingan atas harta kekayaan bank kepada BNM atau pihak yang ditunjuk BNM.62 6) Kewenangan yang diberikan kepada BNM atau pihak yang ditunjuk sesuai BAFIA adalah penambahan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) Companies Act 1965.63 Lebih lanjut, dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM mengambil alih kendali dari bank yang mengalami insolvensi, dan modal disetor dari bank tersebut mengalami penurunan atau tidak tercerminkan dari asset yang ada, BNM atau pihak yang ditunjuk dapat meminta penetapan kepada Pengadilan Tinggi agar memerintahkan pengurangan modal ditempatkan (share capital) bank dengan membatalkan sebagian dari modal disetor yang hilang/turun atau yang tidak tercermin dari asset yang ada.64 Dalam hal kemudian Pengadilan Tinggi memerintahkan penurunan modal ditempatkan atas bank, maka: a. berdasarkan permintaan BNM atau pihak yang ditunjuk; dan b. jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal permintaan bank kepada shareholders untuk menambah modal, permintaan dimaksud tidak dipenuhi, pengadilan juga dapat memerintahkan pembatalan atas permintaan penambahan modal yang

belum dibayar tersebut.65 Jika modal ditempatkan telah diturunkan atau permintaan penambahan modal telah dibatalkan, maka BNM atau pihak yang ditunjuk dapat memerintahkan perubahan anggaran dasar dari bank tersebut. Terkait dengan kewenangan Pengadilan Tinggi, apabila permintaan telah dibuat oleh BNM kepada Pengadilan Tinggi, maka: a. Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 Companies Act 1965, khususnya terkait dengan application for confirmation; dan b. Pasal 64 ayat (9) dan ayat (10) dari Companies Act 1965 berlaku.66 Lebih lanjut, dalam hal BNM menganggap bahwa suatu bank tidak akan dapat memenuhi seluruh atau sebagian dari kewajibannya atau akan menghentikan pembayaran, maka dengan tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 31 dan dengan memperhatikan Pasal 42 Central Bank of Malaysia Act 1958, maka BNM atas persetujuan Menteri Keuangan dapat: a. memberikan pinjaman kepada bank dengan jaminan surat berharga yang dapat berupa: (1) saham dari bank tersebut, (2) saham perusahaan lain, atau (3) surat berharga lainnya dalam jumlah yang cukup; b. membeli saham dari bank tersebut dengan maksud mengendalikan kegiatan usaha bank; atau c. memberikan pinjaman kepada perusahaan lain untuk membeli saham, atau seluruh atau sebagian harta dan kewajiban dari bank tersebut.67

61 Pasal 76 ayat (4) BAFIA. 62 Pasal 76 ayat (5) BAFIA. 63 Pasal 77 ayat (4) BAFIA. 64 Pasal 77 ayat (1) BAFIA. 65 Pasal 77 ayat (2) BAFIA. 66 Pasal 77 ayat (4) BAFIA. 67 Pasal 78 ayat (1) BAFIA.

15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

BNM atau perusahaan yang diberi pinjaman untuk membeli saham bank sebagaimana tersebut di atas harus segera mengalihkan saham yang telah dibeli pada saat BNM berpendapat bahwa alasan untuk memiliki saham tersebut telah tidak ada.68 Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, BNM harus berkonsultasi dengan Advisory Panel, yakni panel yang dibentuk berdasarkan Pasal 31A (2) Central Bank of Malaysia Act 1958.69

d. membekukan izin bank dimaksud untuk suatu periode tertentu jika dianggap perlu; atau e. melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk efektivitas pengenaan sanksi termasuk menaruh di bawah kustodian atau kontrol BNM atas harta kekayaan, buku, dokumen atau kepemilikan bank. Perintah dari Menteri Keuangan

Terkait dengan penggunaan istilah bank dalam Bab X, untuk bank yang mengalami insolvensi, maka istilah tersebut harus dibaca (termasuk): a. perusahaan terkait dengan bank; dan b. orang yang dikendalikan oleh direktur bank, atau oleh orang yang bertindak untuk kepentingan direktur bank.70

sebagaimana tersebut di atas dari waktu ke waktu dapat dimodifikasi, diubah, disesuaikan atau diganti. 2.4. Prioritas pembayaran dalam proses insolvensi dan kepailitan bank dan aspek Perlindungan nasabah 2.4.1 Filipina

Lebih lanjut, Menteri Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut:71 1) Berdasarkan rekomendasi dari BNM jika dirasa menguntungkan bagi deposan bank, dan melalui suatu perintah yang dipublikasikan melalui Berita Negara, maka Menteri Keuangan dapat: a. melarang bank menjalankan kegiatan usahanya, baik sebagian atau seluruhnya; b. melarang bank untuk melakukan aktivitas atau fungsi terkait dengan kegiatan usahanya; c. mengizinkan BNM untuk mengajukan penetapan kepada pengadilan tinggi agar memerintahkan dalam jangka waktu maksimal 6 (enam) bulan dilakukan atau dilangsungkannya tindakan atau proses perdata oleh atau melawan bank terkait dengan kegiatan usaha bank tersebut;

Kedudukan nasabah bank dalam perkara insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan ketentuan the New Central Bank Act termasuk dalam kategori kreditur konkuren. Namun demikian, nasabah bank tetap memperoleh perlindungan dari pemerintah melalui penjaminan simpanan oleh PDIC sebesar maksimum P 500.000 (sekitar Rp.100 juta, kurs P 1 = Rp.200,00 ) per nasabah. Dengan demikian, dalam hal terjadi suatu bank mengalami insolvensi dan kemudian dilikuidasi berdasarkan suatu putusan pengadilan maka nasabah bank berhak untuk mengajukan klaim kepada PDIC terkait dengan simpanannya maksimum senilai P 500.000. Sementara itu dalam penyelesaian aset dan harta aset bank, PDIC mengacu kepada section 31 the New Central Bank Act dan the civil code terkait dengan kedudukan dan urutan kreditur preferen dan konkuren. Sesuai dengan section 31 the New Central Bank Act diatur bahwa dalam hal suatu bank

68 Pasal 78 ayat (2) BAFIA. 69 Pasal 78 ayat (3) BAFIA. 70 Pasal 79 BAFIA. 71 Kewenangan Menteri Keuangan Malaysia ini diatur dalam Pasal 80 BAFIA.

atau quasi bank dilikuidasi maka aset dan harta bank akan dicairkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban bank dengan urutan

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

sebagai berikut : 1) pembayaran biaya perkara di pengadilan; 2) biaya dan fee PDIC yang diizinkan oleh pengadilan; 3) pembayaran kewajiban-kewajiban bank berdasarkan perintah pengadilan yang berpedoman pada ketentuan kreditur konkuren dan preferen sebagaimana diatur dalam the Civil Code.

Bagi badan usaha yang telah mendapatkan bantuan dari negara untuk melakukan penyehatan usaha namun tetap gagal dan dilikuidasi maka badan usaha dimaksud wajib mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk melakukan penyehatan, sebelum dilakukan pembagian harta kekayaan badan usaha kepada para kreditur.75 Selanjutnya, pembagian sisa harta kekayaan

2.4.2 Vietnam Setiap credit institution yang memperoleh izin untuk melakukan kegiatan perbankan di Vietnam, wajib berpartisipasi dalam deposit insurance72. Maksimum simpanan per nasabah yang dapat dibayar penjaminannya adalah sebesar 50 juta Dong sedangkan perubahan atas besarnya nilai penjaminan akan ditetapkan oleh Perdana Menteri73. Dalam hal hakim mengeluarkan putusan untuk melakukan likuidasi, maka terhadap utang-utang yang dijamin dengan properties mortgaged atau pledge yang telah dilakukan sebelum pengadilan menerima permohonan penetapan kepailitan akan diprioritaskan untuk dibayar kembali dengan penjualan harta yang dijaminkan. Dalam hal nilai harta yang dijaminkan tidak mencukupi untuk pembayaran utang dimaksud maka pembayaran sisa utang akan dibayarkan dari hasil likuidasi kekayaan debitur pailit. Dalam hal nilai harta yang dijadikan jaminan lebih besar dari utang maka kelebihannya akan ditambahkan menjadi kekayaan debitur pailit.74

badan usaha yang dilikuidasi diatur berdasarkan urutan pembayaran sebagai berikut76: 1. biaya kepailitan; 2. utang gaji, pesangon, asuransi sosial untuk karyawan, dan kepentingan karyawan lainnya berdasarkan kesepakatan dan perjanjian dengan karyawan; 3. unsecured debts yang dapat dibayar kepada para kreditur yang tercantum dalam daftar kreditur berdasarkan prinsip bahwa jika nilai kekayaan debitur pailit mencukupi untuk pembayaran kembali utang-utangnya, setiap kreditur akan dibayar sejumlah piutangnya; jika nilai kekayaan debitur pailit tidak mencukupi untuk pembayaran utang-utangnya, setiap kreditur akan dibayar berdasarkan pembagian sesuai dengan rasio tertentu. Dalam hal masih terdapat sisa nilai kekayaan badan usaha setelah dilakukan pembayaran atas utang-utang sesuai dengan urutan pembayaran tersebut di atas, maka sisa kekayaan akan menjadi milik dari77: 1. cooperative members; 2. para pemilik dari private enterprises; 3. members of companies; the shareholders of joint-stock companies; 4. para pemilik dari State enterprises.

72 Section 1, point 1.a., Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TTNHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/NDCP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP. 73 Article 4, Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance sebagaimana telah diubah dengan Decree No. 109/2005/ND-CP tanggal 24 Agustus 2005. 74 Article 35, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

75 Article 36, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law. 76 Clause 1 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law. 77 Clause 2 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

2.4.3 Thailand Sesuai dengan the Bankruptcy Act dan the Civil and Commercial Act, kreditur preferen (secured creditor) yaitu kreditur-kreditur yang memegang hak-hak kebendaan atas asetaset debitur dalam bentuk mortgage, pledge, atau hak retensi atau seorang kreditur yang memegang hak-hak preferensi yang sejenis dengan pledge, memiliki hak untuk mengklaim aset-aset debitur pailit terlebih dahulu sebelum dikeluarkannya perintah pengadilan untuk menempatkan aset-aset debitur pailit dibawah pengawasan dan pengelolaan kurator (receiver).78 Namun demikian, kreditur preferen harus mengizinkan kurator untuk memeriksa legalitas dan keabsahan aset-aset debitur tersebut. Selanjutnya, setelah kreditur preferen mengeksekusi asetaset debitur dan ternyata aset debitur tersebut belum cukup untuk memenuhi kewajiban debitur maka kreditur preferen tersebut dapat mengajukan klaim untuk sisa kewajiban debitur yang belum dipenuhi. Dalam hal kepailitan bank, nasabah bank termasuk ke dalam golongan kreditur konkuren berdasarkan the Bankruptcy Act dan the Civil and Commercial Code. Dengan demikian, nasabah bank berada dalam prioritas yang rendah dalam proses penyelesaian pembayaran kewajibankewajiban bank pailit.79 Namun demikian, dalam rangka memberikan kepercayaan kepada nasabah penyimpan, pemerintah menyediakan skim penjaminan untuk nasabah bank terkait dengan simpanannya dalam hal terjadi kepailitan atau likuidasi bank. Perlindungan nasabah bank tersebut diatur dalam the Deposit Insurance Act BE 2551 tahun 2008 yang mulai berlaku

pada tanggal 10 Agustus 2008. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa dari sejak berlakunya the Deposit Insurance Act sampai dengan tanggal 11 Agustus 2011, nasabah bank mendapatkan penjaminan 100 % (seratus persen) atas seluruh simpanannya. Selanjutnya, sejak tanggal 11 Agustus 2011 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012, nilai penjaminan simpanan turun menjadi 50 (lima puluh) juta baht atau setara dengan Rp.15 milyar dan sejak tanggal 10 Agustus 2012, nilai penjaminan simpanan nasabah bank diberikan hanya sebesar 1 (satu) juta baht atau setara dengan Rp.300 juta. 2.4.4 Indonesia Pengaturan mengenai prioritas pembayaran dalam proses insolvensi dan kepailitan bank dalam kerangka Undang-Undang Kepailitan mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1134, 1139, dan 1149, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan) dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prioritas pembayaran dalam hal terjadi kepailitan bank mengikuti tata urutan sebagai berikut: a. ongkos pengadilan dan biaya-biaya lelang; b. pajak-pajak; c. klaim dari kreditur-kreditur preferen yaitu kreditur yang memegang hak-hak kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia dan hak tanggungan atas aset-aset debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 KUH Perdata, dan Undang-Undang Hak Tanggungan; d. klaim dari kreditur-kreditur yang memiliki hak privileged sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata yaitu

78 Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, hal 9. 79 Dr.Andrew M. Goodman,Thailands Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, hal 2

18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

antara lain terkait dengan penjual barang bergerak dan tidak bergerak yang belum terbayar, biaya penyimpanan gudang yang belum terbayar, gaji karyawan dan upah buruh yang belum terbayar, klaim berkenaan dengan biaya pengangkutan, legal fees; e. kreditur konkuren.

2.4.5 Singapura Kewajiban bank yang harus dibayarkan sebagaimana diatur dalam Section 62 Banking Act harus diprioritaskan dari kewajiban konkuren bank lainnya selain dari utang yang harus didahulukan sebagaimana diatur dalam Section 328 (1) Companies Act. Section 62 Banking Act mengatur tata urutan

Nasabah bank termasuk dalam kategori kreditur konkuren dalam penyelesaian harta bank yang dipailitkan. Namun demikian, nasabah bank mendapatkan jaminan atas simpanannya sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.80 Berbeda dengan prioritas pembayaran dalam prosedur kepailitan bank sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, prioritas pembayaran dalam proses likudasi bank diatur sebagai berikut : a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. pajak yang terutang; f. bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. hak dari kreditur lainnya.

pendistribusian kewajiban dalam hal terjadi penutupan Bank sbb : 1) Kontribusi premi yang jatuh tempo dan harus dibayarkan berdasarkan the Deposit Insurance Act (Cap. 77A); 2) Kewajiban bank yang timbul terkait simpanan yang diasuransikan, sampai dengan jumlah kompensasi yang dibayarkan dengan dana oleh the Singapore Deposit Insurance Corporation (SDIC) berdasarkan Deposit Insurance Act terkait simpanan yang diasuransikan dimaksud; 3) Kewajiban bank terkait simpanan yang timbul dari nasabah non bank selain yang dispesifikasikan pada angka 2 dan 4; 4) Kewajiban bank terkait simpanan yang timbul dengan nasabah non-bank apabila mengoperasikan Asian Currency Unit yang disetujui berdasarkan section 77. Kewajiban dimaksud harus : 1) diperingkatkan sebagaimana di atas, akan tetapi dalam hal kewajiban tersebut berada pada kelas yang sama maka harus diperingkatkan setara di antara mereka; 2) dibayarkan penuh kecuali apabila aset bank tidak cukup memenuhi, maka harus dibagi dengan proporsi yang adil di antara mereka. Lebih lanjut, dalam Section 62 A juga diatur bahwa dalam hal terjadi penutupan bank di Singapore, likuidator harus terlebih dahulu melakukan set off atas kewajiban nasabah terhadap bank (baik di dalam ataupun di luar Asian Currency Unit di bank tersebut)

80 Pasal 10 UULPS mengatur bahwa LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 11 ayat (1) berbunyi bahwa Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

terhadap segala simpanan nasabah yang ditempatkan dalam bank selain dalam Asian Currency Unit di bank dimaksud.

saham biasa akan berpartisipasi sama rata atas sisa aset. Dalam hal bank (yang termasuk dalam Deposit

Sedangkan tata urutan pendistribusian harta bank menurut Section 328 (1) Companies Act yang memiliki hak didahulukan dibandingkan floating chargeholder dan kreditor konkuren diatur sebagai berikut: 1) pembayaran biaya dan pengeluaran terkait penutupan; 2) pembayaran penghasilan atau gaji sampai dengan lima kali gaji pegawai atau S$7,500 (yang mana yang lebih kecil); 3) pembayaran manfaat retrenchment dan pembayaran ex gratia berdasarkan Companies Act dengan jumlah maksimal S$7,500; 4) pembayaran kompensasi pekerja atas kerugian yang diderita selama bekerja berdasarkan ketentuan dalam Work Injury Compensation Act; 5) pembayaran kontribusi kepada national superannuation scheme; 6) pembayaran remunerasi yang dibayarkan terkait cuti liburan; 7) pembayaran pajak; 8) manfaat penghargaan dan retrenchment berdasarkan Employment Act. Apabila tidak terdapat aset perusahaan yang cukup untuk membayar kewajiban yang didahulukan dimaksud, kewajiban dimaksud akan dibagi secara proporsional. Selanjutnya, kewajiban yang berada pada peringkat yang lebih rendah dan kreditur tanpa jaminan lainnya tidak dibayarkan. Sisa harta bank setelah pembayaran kepada secured, preferred dan unsecured creditors akan dibagikan kepada para pemegang saham. Dalam hal terdapat saham preferen, hak atau preferensi akan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Memorandum of Association perusahaan dimaksud. Sedangkan pemegang

Insurance Scheme) insolven, simpanan nasabah paling banyak sebesar S$ 50,000 mendapatkan perlindungan dari Pemerintah dan berhak untuk mendapatkan kompensasi. Sesuai Section 21 Deposit Insurance and Policy Owners Protection Schemes Act 2011, MAS akan memerintahkan SDIC untuk membayarkan kompensasi kepada nasabah, dalam hal terdapat putusan pengadilan untuk menutup bank (yang termasuk dalam Deposit Insurance Scheme member) tersebut; atau MAS menetapkan bank tersebut insolven, tidak mampu atau akan tidak mampu memenuhi kewajibannya atau akan menunda pembayarannya. 2.4.6 Malaysia Kedudukan nasabah bank dalam perkara insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (1) BAFIA termasuk dalam kategori kreditur preferen dibandingkan dengan seluruh kewajiban lainnya yang menjadi tanggung jawab bank tersebut.81 Namun demikian, dalam menentukan seluruh kewajiban dari bank tersebut, maka: 1) bank dilarang memperhitungkan dana simpanan nasabah pada bank dimaksud yang pembukaan rekeningnya dilakukan bertentangan dengan ketentuan pada BAFIA dan yang dibuat setelah tanggal efektif, atau yang dibuat sebelum atau setelah tanggal efektif namun dilakukan secara melawan hukum. 2) hak untuk melakukan set-off diberlakukan.82 Sesuai Pasal 81 ayat (4) BAFIA, ketentuan mengenai kewajiban pembayaran ini tetap berlaku walaupun terdapat ketentuan hukum lain selain BAFIA yang mengatur secara berbeda.
81 Pasal 81 ayat (1) BAFIA. 82 Pasal 81 ayat (2) dan ayat (3) BAFIA

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

2.5. Pengaturan insolvensi dan kepailitan bank yang beroperasi lintas batas (cross border insolvency)

yang memadai terhadap aset debitur pailit yang berada di Filipina.85 Tidak ada diskriminasi perlakuan antara

2.5.1 Filipina Filipina menganut asas bahwa pengadilan atau lembaga-lembaga administratif Filipina tidak mempunyai yurisdiksi yang efektif terhadap aset-aset debitur korporasi yang berada diluar negeri apabila debitur korporasi tersebut tidak memiliki kontrol terhadap aset-aset diluar negeri tersebut. Hal ini sejalan dengan asas lex situs83 yang dianut Filipina dan Article 16 Civil Code yang mengatur sebagai berikut : real property as well as personal property is subject to the law of the country where it is situated.84

kreditur asing dengan kreditur lokal terkait dengan prioritas pembayaran. Demikian pula tidak ada persyaratan khusus atau tambahan agar klaim dari kreditur asing diakui oleh pengadilan Filipina. 2.5.2 Vietnam Hukum kepailitan (the Bankruptcy Law) Vietnam tidak mengatur secara spesifik bahwa putusan pengadilan kepailitan Vietnam menjangkau aset-aset debitur yang berada di luar negeri. Namun demikian, the Bankruptcy law berlaku selain terhadap debitur-debitur korporasi yang didirikan di Vietnam juga badan hukum asing atau warga negara asing yang berada di Vietnam.86 The Bankruptcy Law tidak membedakan pengaturan terhadap kreditur lokal dan kreditur asing dan oleh karena itu kreditur asing dan kreditur lokal diperlakukan sama didepan pengadilan dalam proses kepailitan. 2.5.3 Thailand Hukum Kepailitan Thailand tidak menjangkau aset-aset debitur korporasi yang berada terletak di luar yurisdiksi Thailand. Hukum kepailitan Thailand hanya berlaku terhadap aset-aset debitur pailit yang berada wilayah kerajaan Thailand.87 Hukum kepailitan asing tidak dapat menjangkau atau mempunyai dampak terhadap aset-aset debitur pailit yang berada di Thailand. Aset-aset debitur pailit yang berada di luar wilayah kerajaan Thailand tunduk pada hukum kepailitan negara dimana aset debitur pailit tersebut berada.

Terkait dengan asas dan ketentuan tersebut, dalam hal suatu institusi dipailitkan di Filipina maka pengadilan Filipina hanya akan menjangkau aset dan harta debitur pailit yang berada di yurisdiksi Filipina. Dengan demikian, dalam hal debitur pailit tersebut memiliki aset dan harta di luar negeri maka status aset dan harta tersebut tunduk dan bergantung pada putusan pengadilan negara dimana aset tersebut berada karena aset dan harta debitur pailit yang berada diluar negeri sepenuhnya tunduk pada hukum dan perundang-undangan negara setempat. Demikian pula, dalam hal suatu institusi dipailitkan di suatu negara dan memiliki aset dan harta yang berada di Filipina maka tidak mudah untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing terkait dengan aset dan harta debitur pailit di Filipina karena pengadilan Filipina beranggapan bahwa pengadilan asing tidak mempunyai yurisdiksi

83 Bahasa latin, mengandung pengertian bahwa hukum yang berlaku bagi suatu aset dan/atau property adalah hukum negara dimana aset dan/atau property itu berada (Blacks Law Dictionary, seventh edition) 84 Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency Indonesia, Korea, Philippines and Thailand

85 Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, hal 61. 86 www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf 87 Section 177 the Bankruptcy Act

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Klaim dari kreditur asing diakui berdasarkan section 91 the Bankruptcy Act B.E.2541. Namun demikian terdapat ketentuan khusus terkait dengan klaim dari kreditur asing yang menyebutkan bahwa adanya bukti bahwa kreditur Thailand juga mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan hukum negara dimana negara asing tersebut bertempat tinggal. Dalam hal kreditur asing tersebut telah menerima sebagian pembayaran klaim di negara asalnya maka kreditur tersebut harus bersedia untuk menyerahkan hasil pembayaran tersebut untuk ditambahkan dalam harta debitur yang berada di Thailand.88 Thailand bukan negara anggota dari konvensi internasional terkait dengan persoalanpersoalan insolvensi. Namun demikian, Thailand menunjuk wakilnya untuk menghadiri the Working Group on Insolvency Law yang diinisiasi oleh the United Nations Commision on International Trade Law dalam rangka penyusunan draft UNCITRAL Model Legislative Provision on Cross Border Insolvency. 2.5.4 Indonesia Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan, harta debitur pailit meliputi semua kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit termasuk kekayaan yang diperoleh selama proses kepailitan.89 Harta debitur pailit tersebut juga meliputi harta debitur pailit yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.90 Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi putusan kepailitan terhadap aset-aset debitur

pailit yang berada di luar negeri tentunya tidak mudah untuk dilakukan karena tidak semua negara secara otomatis mengakui putusan kepailitan pengadilan asing. Tidak ada ketentuan khusus dan perbedaan perlakuan antara kreditur asing dengan kreditur lokal dalam prioritas pembayaran. Kreditur asing dapat turut serta dalam proses kepailitan dan memperoleh pembayaran dengan menunjukkan bukti-bukti yang mendukung. 2.5.5 Singapura Singapura adalah sebuah negara common law yang banyak dipengaruhi oleh hukum Inggris. Terkait dengan hukum perusahaan, hukum Singapura mirip dengan hukum perusahaan yang berlaku di Inggris dan negara-negara commonwealth lainnya seperti Australia, Canada, dan Malaysia. Terkait dengan pengaturan cross border insolvency, Singapura menerapkan hukum dimana perusahaan didirikan (the law of the place of incorporation of a company). Berdasarkan hukum tersebut diatur bahwa dalam hal suatu perusahaan didirikan di Singapura, hukum insolvensi Singapura menjangkau semua aset-aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dimanapun berada. Di sisi lain, dalam hal suatu perusahaan asing baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar di Singapura mengalami kepailitan maka hukum insolvensi Singapura hanya berlaku terhadap aset-aset perusahaan asing tersebut yang ada di Singapura.91 Tidak ada diskriminasi terhadap kreditur-

88 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf. 89 Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. 90 Pasal 212 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa Kreditor yang setelah putusan pernyataan pailit diucapkan mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak diluar wilayah Negara Republik Indonesia, yang tidak diperikatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya.

kreditur asing yang memiliki hak tagih kepada debitur pailit di Singapura. Kreditur asing berhak untuk datang dan mengikuti proses likuidasi dan berpartisipasi dalam proses rehabilitasi sebagaimana layaknya krediturkreditur lokal.
91 www.adb.org/documents/others/insolvensy

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

2.5.6 Malaysia Berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip hukum perselisihan Malaysia di atur bahwa Likuidator Malaysia dipandang memiliki yurisdiksi terhadap aset-aset debitur korporasi yang didirikan (incorporated) di Malaysia yang berada diluar negeri. Selanjutnya, melalui kerjasama antar negara, diharapkan bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum privat internasional, pengadilan asing dimana aset-aset debitur tersebut berada akan mengakui keberadaan Likuidator Malaysia. Tidak terdapat perbedaan atau diskriminasi dalam Hukum Malaysia terkait dengan klaim dari kreditor lokal maupun asing. Selain itu, tidak terdapat ketentuan khusus atau persyaratan tambahan bagi kreditor asing untuk dapat melakukan klaim, khususnya terkait dengan prioritas pembayaran. Satusatunya ketentuan yang terkait dengan klaim kreditor asing adalah Exchange Control Act 1953 yang mewajibkan kreditor asing mendapatkan izin dari Malaysian Controller of Exchange Control (Bank Negara Malaysia) untuk membawa hasil klaimnya ke luar dari wilayah Malaysia. Dalam praktiknya, izin dimaksud sangat jarang tidak dikabulkan. 2.6. Pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing terkait dengan kepailitan bank 2.6.1 Filipina Pengadilan Filipina tidak mengakui proses peradilan dan putusan pengadilan asing terkait dengan harta debitur pailit yang berada di Filipina. Dengan demikian, walaupun terjadi suatu pengadilan asing telah memutuskan kepailitan suatu debitur dan kepailitan tersebut juga meliputi aset dan harta debitur pailit di Filipina maka dalam prakteknya putusan pengadilan asing tersebut sulit untuk diakui dan dieksekusi di Filipina. Oleh karena itu, apabila kreditur asing atau lembaga asing akan mengklaim aset debitur pailit yang
92 Opcit.

berada di Filipina, harus dilakukan dengan mengajukan gugatan pailit ke pengadilan Filipina dengan mengacu pada persyaratanpersyaratan yang ditetapkan dalam the Insolvency Law of the Philippines. Filipina mengakui keberadaan UNICITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, namun tidak ada satupun ketentuan dan perundangundangan Philippines terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang mengadopsi model law tersebut.92 2.6.2 Vietnam Berdasarkan the Civil Procedure Code93 (the CPC) diatur bahwa putusan pengadilan negara asing akan diakui di Vietnam apabila negara asing tersebut menandatangani perjanjian dengan Vietnam terkait dengan pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing atau negara asing tersebut merupakan co-signatory sebuah international treaty tentang pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dimana Vietnam juga terikat dengan perjanjian tersebut.94 Pada saat ini Vietnam telah menandatangani perjanjian bilateral dengan 11 Comecon countries95 terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing. Namun demikian Vietnam belum menandatangani perjanjian bilateral terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing dengan negaranegara ASEAN. Sampai dengan saat ini,

93 The Civil Procedure Code (the CPC) adalah kodifikasi atau kumpulan ketentuan-ketentuan dan prosedur terkait dengan civil court, economic court dan labour court dan prosedur pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dan dan arbitrase asing. The CPC disahkan oleh the National Assembly Vietnam pada tanggal 15 Juni 2004 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2005. 94 www.herbersmith.com 95 Comecon countries adalah sebuah organisasi ekonomi yang didirikan pada masa pemerintahan Uni Sovyet yang terdiri dari negara-negara blok Timur dan negara-negara komunis di seluruh dunia. (sumber wikipedia)

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Vietnam juga bukan merupakan negara penandatangan perjanjian internasional terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing. 2.6.3 Thailand Hukum Thailand tidak mengakui proses peradilan insolvensi yang dilakukan di luar wilayah kerjaan Thailand termasuk juga tidak memberikan akses kepada kurator asing untuk turut serta dalam proses peradilan kepailitan di Thailand. Kurator asing harus terlebih dahulu melakukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembayaran atas hutang-hutang debiturnya. Thailand mengakui keberadaan UNICITRAL Model Law on Cross Border Insolvency. Namun demikian, tidak ada satupun ketentuan dan perundang-undangan Thailand terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.96 2.6.4 Indonesia Secara umum, hukum Indonesia tidak mengakui putusan pengadilan asing termasuk putusan kepailitan yang dilakukan di luar negeri kecuali dalam hal antara negara-negara dimana debitur dan kreditur bertempat tinggal memiliki hubungan bilateral atau terikat dalam suatu perjanjian regional atau internasional terkait dengan pengakuan putusan pengadilan asing.97 Putusan-putusan yang dihasilkan dari proses kepailitan di luar negeri tidak diakui dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial dalam sistem hukum Indonesia. Putusan-putusan tersebut hanya diakui sebagai bukti pendukung dalam

proses kepailitan di Indonesia.98 Sebagai konsekuensinya, hukum Indonesia pun tidak mengakui kurator yang ditunjuk dalam proses kepailitan asing. Dengan demikian, kurator asing tidak berhak untuk mengklaim, mengendalikan, mengambil alih aset debitur pailit asing yang berada di Indonesia. Namun demikian, dalam hal aset-aset debitur pailit asing dijaminkan kepada kreditur dan diikat dengan suatu hak kebendaan, maka kurator asing dapat mengklaim dan mengambil alih aset-aset debitur yang berlokasi di Indonesia sepanjang kurator asing tersebut tunduk pada ketentuan hukum jaminan sebagaimana diatur dalam hukum Indonesia. Indonesia menyadari adanya keberadaan UNICITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, namun tidak ada satupun ketentuan perundang-undangan Indonesia terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.99 2.6.5 Singapura Berdasarkan the law of the place of incorporation of a company yang diterapkan Singapura, dalam hal suatu perusahaan mengalami kepailitan di negara dimana perusahaan tersebut didirikan, maka pengadilan Singapura akan mengakui putusan pengadilan kepailitan asing atas perusahaan tersebut. Sebaliknya, Singapura tidak akan mengakui putusan putusan pengadilan negara lain diluar negara dimana perusahaan tersebut didirikan. Putusan yang menyangkut uang (Money judgments) dari High Court negara-negara Commonwealth dapat didaftarkan di Singapore berdasarkan the Reciprocal Enforcement of Commonwealth Judgments Act dan dilaksanakan sebagai putusan Pengadilan Singapore.

96 Opcit. 97 Blake Dawson Waldron Lawyer, Asian Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency Reform, Country Report for Singapore, Conference Cross Border Insolvency Indonesia, Korea, Philippines and Thailand.

98 Ibid 99 Opcit.

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Selain itu, terdapat juga the Reciprocal Enforcement of Foreign Judgments Act, akan tetapi hingga saat ini ketentuan dimaksud belum diberlakukan ke negara mana pun. Money judgments dari negara-negara lain dapat dilaksanakan di Singapore dengan mengajukan tindakan hukum baru terkait putusan ke pengadilan Singapore. Tidak terdapat ketentuan di Singapore yang mengakui putusan pengadilan asing di luar money judgments. Singapura mengakui keberadaan UNICITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, namun tidak ada satupun ketentuan dan perundangundangan Singapore terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang mengadopsi model law tersebut. 2.6.6 Malaysia Malaysia mengakui proses kepailitan yang dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia termasuk likuidator asing yang ditunjuk di negara asing. Namun demikian dalam prakteknya, walaupun berdasarkan section 340 (2) the Companies Act mengakui keberadaan likuidator asing, the High Court mungkin akan menunjuk likuidator lokal untuk mengambil alih/menjual aset debitur yang ada di Malaysia dan membayar hasil penjualan aset debitur tersebut kepada likuidator asing (setelah dikurangi dengan kewajiban-kewajiban debitur asing tersebut kepada kreditur lokal).100 Malaysia menyadari keberadaan UNICITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, namun demikian sampai dengan saat ini tidak ada satupun ketentuan dan perundang-undangan malaysia terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang mengadopsi model law tersebut.

III. GAMBARAN UMUM UNCITRAL MODEL LAW ON CROSS BORDER INSOLVENCY 3.1. Pendahuluan UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency (UNCITRAL Model Law) adalah suatu model law yang disusun oleh the United Nations Commisions on International Trade Law (UNCITRAL) bekerja sama dengan the International Association of Insolvency Practitioners (INSOL) yang direkomendasikan kepada negara-negara anggota PBB untuk diadopsi dalam perundang-udangan nasional negara-negara tersebut terkait dengan pengaturan cross border insolvency. UNCITRAL Model Law dirancang untuk membantu negaranegara memiliki hukum insolvensi yang modern, harmonis dan adil dalam menyelesaikan berbagai macam kasus cross border insolvency secara efektif. Kasus-kasus tersebut termasuk kasus-kasus dimana debitur insolven memiliki aset atau kreditur di beberapa negara selain dari negara tempat berlangsungnya proses peradilan insolvensi. Negara-negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law (the enacting states) akan memasukkan tambahan-tambahan pengaturan yang bermanfaat dan sekaligus melakukan penyempurnaanpenyempurnaan dalam regime hukum insolvensi nasional Walaupun UNCITRAL Model Law direkomendasikan untuk diadopsi dalam hukum nasional terkait dengan pengaturan cross border insolvency, UNCITRAL Model Law tetap menghormati perbedaan-perbedaan sistem hukum diantara negara-negara dan tidak bermaksud untuk melakukan unifikasi hukum insolvensi terkait dengan pengaturan cross border insolvency. Oleh karena itu, the enacting states masih diberikan kebebasan untuk mengubah atau menyesuaikan beberapa ketentuan dalam UNCITRAL Model Law yang dianggap tidak sesuai atau tidak relevan dengan sistem hukumnya.

100 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

UNCITRAL Model Law menawarkan solusi-solusi yang moderate tetapi dengan cara-cara yang signifikan terkait dengan hal-hal sebagai berikut:101 a. memberikan kewenangan kepada kurator atau likudator asing untuk dapat mengakses langsung ke pengadilan negara-negara yang telah mengadopsi UNCITRAL model law (the enacting states) dan oleh karena itu memberikan hak kepada kurator atau likuidator asing untuk meminta temporary breathing space102 kepada pengadilan the enacting states sekaligus memberikan kesempatan kepada pengadilan the enacting states menentukan jenis koordinasi diantara yurisdiksi-yurisdiksi atau solusi lain bagi penyelesaian insolvency yang optimal; b. menentukan kapan sebuah proses peradilan insolvensi asing harus diakui dan konsekuensi dari pengakuan proses peradilan insolvensi asing tersebut; c. menyediakan regime yang transparan terkait dengan hak-hak kreditur asing untuk memprakarsai atau turut serta dalam proses peradilan insolvensi di the enacting states; d. mengizinkan pengadilan the enacting state bekerja sama lebih efektif dengan pengadilanpengadilan dan kurator-kurator asing yang terlibat dalam permasalahan insolvensi; e. memberikan kewenangan kepada pengadilanpengadilan dan kurator the enacting state untuk meminta bantuan ke luar negeri; f. menentukan jurisdiksi pengadilan dan menetapkan peraturan-peraturan terkait dengan koordinasi atas proses peradilan insolvensi yang berlangsung secara bersamaan di the enacting state dan di negara asing; g. menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai koordinasi terkait bantuan yang diberikan oleh the enacting states kepada dua atau lebih proses peradilan insolvensi yang sedang berlangsung di negara-negara asing untuk debitur yang sama.
101 UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enacment, United Nations, New York, 1999 102 Dalam Blacks law Dictionary dinamakan breathing room yang berarti masa setelah bankruptcy dimana debitur diberikan kesempatan untuk memformulasikan rencana penyelesaian hutang-hutangnya tanpa adanya intervensi dari kreditur.

3.2 Pokok-pokok pengaturan dalam UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency Sistematika UNCITRAL Model Law terdiri dari preamble, 5 chapter dan 32 Article yang secara umum meliputi hal-hal sebagai berikut:103 a. Ruang lingkup UNCITRAL Model law dapat diterapkan pada beberapa situasi cross border insolvency sebagai berikut:104 1) Dalam kasus adanya permintaan pengakuan suatu putusan pengadilan asing ke the enacting states. 2) Dalam kasus adanya permintaan dari pengadilan atau kurator the enacting states terkait dengan pengakuan proses insolvensi yang dilaksanakan berdasarkan hukum the enacting states di negara asing. 3) Koordinasi proses insolvensi yang sedang berlangsung secara bersamaan di dua negara atau lebih. 4) Partisipasi kreditur asing dalam proses insolvensi yang sedang berlangsung di the enacting states. Dalam ruang lingkup juga diatur mengenai hak dan kewenangan the enacting states untuk mengecualikan beberapa institusi meliputi antara lain bank dan perusahaan asuransi dari ruang lingkup Model Law dalam hal institusiinstitusi tersebut akan atau telah diatur dalam ketentuan tersendiri (special regulatory regime). b. Bantuan pihak asing untuk proses peradilan insolvensi yang sedang berlangsung di the enacting states. UNCITRAL Model Law memberikan guidance kepada pengadilan-pengadilan the enacting states dalam menghadapi adanya permintaan pengakuan putusan pengadilan dari negaranegara asing. Selain itu, UNCITRAL Model Law juga memberikan kewenangan kepada pengadilan-pengadilan the enacting states

103 Ibid 104 Lihat Article 1

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

untuk meminta bantuan kepada pengadilan asing terkait dengan proses peradilan insolvensi yang sedang berlangsung di the enacting states.105 UNCITRAL Model Law juga mengisi kekosongan hukum di the enacting states terkait dengan pengaturan koordinasi dan mekanisme permintaan bantuan kepada pengadilan asing.

4) Memberikan hak kepada kurator asing untuk mengintervensi proses peradilan insolvensi di the enacting states dalam hal terdapat aksi atau gugatan individual terhadap debitur atau asetnya di the enacting states.109 d. Pengakuan putusan peradilan asing

c. Akses kurator asing terhadap pengadilan the enacting states Salah satu tujuan penting dari UNCITRAL Model Law adalah memberikan kemudahan kepada kurator asing untuk mengakses ke pengadilanpengadilan the enacting states tanpa perlu bergantung pada adanya komunikasi atau surat permintaan bantuan melalui saluran diplomatik yang mungkin yang sangat memakan waktu. UNCITRAL Model Law lebih mengutamakan pendekatan kerjasama dan koordinasi agar penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency dapat diselesaikan secara cepat. Disamping menetapkan prinsip-prinsip terkait dengan akses langsung kurator asing ke pengadilan the enacting states, UNCITRAL Model Law juga mengatur hal-hal sebagai berikut : 1) Menetapkan persyaratan-persyaratan pembuktian yang sederhana terkait dengan permintaan pengakuan putusan pengadilan asing seperti antara lain tidak disyaratkannya legalisasi putusan pengadilan secara notaril atau dengan consular procedures.106 2) Menetapkan bahwa kurator asing memiliki hak untuk memprakarsai proses insolvensi di the enacting states dan bahwa bahwa kurator asing dapat berpartisipasi dalam proses peradilan insolvensi di the enacting states.107 3) Menegaskan akses kreditor-kreditor asing untuk memprakarasi proses peradilan insolvensi atau turut serta dalam proses insolvensi di the enacting states dengan tetap tunduk pada persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh the enacting
105 106 107 108 Lihat Article 2 Lihat Article 15 Lihat Article 11 dan 12 Lihat Article 13

UNCITRAL Model Law menentukan kriteria pengakuan putusan peradilan asing yang harus diakui110 dan mengatur bahwa dalam kasuskasus yang tepat, pengadilan boleh menetapkan putusan sela sebelum diterbitkannya putusan terkait dengan pengakuan.111 Putusan sela tersebut juga termasuk menentukan apakah putusan peradilan asing dimaksud merupakan peradilan insolvensi asing yang utama atau bukan (main or non main foreign insolvency proceeding). Sebuah putusan peradilan asing dianggap sebagai putusan peradilan utama jika peradilan tersebut dilaksanakan di negara dimana debitur memiliki pusat kepentingan (centre of main interest). Penentuan putusan peradilan utama dan bukan utama mempengaruhi sifat bantuan yang akan diberikan kepada kurator asing. Dampak dari diberikannya pengakuan atas putusan peradilan asing yaitu terhentinya aksiaksi atau gugatan individual terhadap debitur atau terhentinya eksekusi atas aset debitur dan ditundanya hak-hak debitur untukmengalihkan aset-asetnya di the enacting states.112 Terhentinya gugatan, eksekusi dan transfer aset tersebut sifatnya wajib atau otomatis berlaku setelah diberikannya pengakuan. e. Kerjasama lintas negara UNCITRAL Model Law mengisi kesenjangan hukum yang ditemukan dalam hukum nasional negara-negara dengan memberikan kewenangan
109 110 111 112 Lihat Article 24 Lihat Article 15 - 17 Lihat Article 19 Lihat Article 20

states.108

27

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

pengadilan untuk memperluas kerjasama dalam bidang-bidang yang diatur dalam UNCITRAL Model Law.113 Demikian pula, UNCITRAL Model Law menetapkan peraturan-peraturan terkait dengan koordinasi antara pengadilan di the enacting state dengan kurator asing dan antara kurator lokal dengan pengadilan asing atau kurator asing.114 IV. ANALISIS PENGATURAN INSOLVENSI DAN KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN DIKAITKAN DENGAN BERLAKUNYA MEA 2015 4.1. Pendahuluan Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, idealnya tercipta suatu kondisi dimana anggota-anggota MEA menerapkan ketentuan atau peraturan yang standar dan seragam terkait dengan berbagai hal yang relevan dengan terbentuknya MEA termasuk juga pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan bank. Dalam kenyataannya saat ini untuk insolvensi dan kepailitan bank, masing-masing negara ASEAN masih mengaturnya secara berbeda-beda, seperti misalnya terkait dengan pengaturan insolvensi dan kepailitan debitur bank yang memiliki aset atau kreditur di luar negeri (cross border insolvency) dan pengaturan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan kepailitan asing (the recognition and enforcement of foreign bankruptcy judments). Dalam konteks terbentuknya MEA 2015 dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas, kondisi tersebut tentunya akan menjadi kontra produktif terhadap cita-cita terbentuknya MEA itu sendiri terlebih setelah berlakunya liberalisasi sub sektor perbankan pada tahun 2020. Dalam hal ini, pengaturan yang berbeda-beda tersebut dapat menjadi salah satu potensi masalah dalam penyelesaian kepailitan bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border insolvency).

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan dilakukan analisis terhadap pengaturan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara dan selanjutnya akan dikaji mengenai potensi permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam kaitan dengan terbentuknya MEA. 4.2. Analisis perbedaan sistem hukum dan ketentuan terkait insolvensi dan kepailitan bank di Negara-Negara ASEAN dikaitkan dengan terbentuknya MEA Negara-negara ASEAN memandang permasalahan insolvensi dan kepailitan bank sebagai sesuatu hal yang sangat penting dan oleh karena itu pada umumnya masing-masing negara ASEAN tersebut mengatur insolvensi dan kepailitan bank dalam peraturan perundang-undangan tersendiri seperti di Filipina tercantum dalam the New Central Bank Act No.7653, Vietnam diatur dalam Law No.47/2010/QH12 tentang Credit Institution, Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Singapura dalam Banking Act dan Malaysia diatur dalam Banking and Financial Institutions Act (BAFIA) 1989. Selanjutnya, dalam beberapa hal pengaturan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN memiliki persamaan antara lain terkait otoritas yang berwenang untuk mengajukan permohonan kepailitan bank ke pengadilan dan aspek perlindungan nasabah bank. Di sisi lain, dalam beberapa hal lainnya juga terdapat perbedaan pengaturan yang cukup signifikan di antara negara-negara tersebut antara lain terkait dengan pengaturan cross border insolvency dan pengakuan putusan insolvensi pengadilan asing. Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara ASEAN menggolongkan nasabah bank sebagai kreditur konkuren bersamaan dengan kreditur lainnya. Namun demikian, dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negara-negara ASEAN menerapkan sistem penjaminan atas simpanan nasabah bank yang

113 Lihat Article 25 - 27 114 Lihat Article 26

28

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara. Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai aset atau kreditur di luar negeri (cross border insolvency) berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand mengatur dalam sistem hukumnya bahwa hukum kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri karena aset-aset debitur yang berada diluar negeri tunduk pada hukum negara dimana aset-aset debitur tersebut berada. Sementara itu negara-negara lainnya yaitu Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengatur bahwa putusan kepailitan pengadilan negaranegara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri juga berlaku terhadap aset-aset debitur yang ada di luar negeri. Khususnya untuk Indonesia, ketentuan mengenai cross border insolvency tersebut terdapat dalam Pasal 21 dan Pasal 212 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Praktek pengakuan putusan pengadilan asing termasuk putusan tentang kepailitan berbedabeda di masing-masing negara ASEAN. Sistem hukum Filipina mengatur bahwa pengadilan Filipina tidak mengakui sama sekali putusan pengadilan kepailitan asing. Vietnam mengatur ketentuan yang lebih fleksibel dimana pada dasarnya pengadilan Vietnam tidak mengakui putusan pengadilan asing namun putusan pengadilan asing dapat diakui di Vietnam dalam hal negara asing tersebut menandatangani perjanjian bilateral dengan Vietnam terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing atau negara asing tersebut merupakan co-signatory sebuah internasional treaty terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing dimana Vietnam juga terikat dengan perjanjian internasional tersebut. Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa hukum Indonesia tidak mengakui proses kepailitan yang dilakukan di negara asing kecuali apabila negara asing tersebut menandatangani perjanjian

bilateral dengan Indonesia atau antara negara asing tersebut dan Indonesia terikat dalam suatu perjanjian internasional mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing. Singapura memiliki sistem hukum yang berbeda dimana pengadilan Singapura mengakui putusan pengadilan asing terkait dengan kepailitan suatu institusi yang didirikan di negara asing tersebut. Demikian pula Malaysia mengakui proses kepailitan dan putusan pengadilan asing yang dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia walaupun dalam prakteknya pelaksanaan putusan pengadilan asing tersebut tidak mudah karena biasanya the High Court Malaysia akan menunjuk likuidator lokal untuk menjual aset-aset debitur yang berada di Malaysia dan kemudian membayarkan hasil penjualan asetaset tersebut kepada likuidator asing setelah dikurangi dengan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur lokal Malaysia. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan dan praktek yang berbeda-beda terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN khususnya mengenai cross border insolvency termasuk pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing dapat menjadi potensi permasalahan hukum pada saat berlakunya MEA tahun 2015. Permasalahan hukum tersebut terutama terkait dengan tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan suatu negara atas kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan aset diluar negeri dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut tentunya tidak dikehendaki oleh kalangan investor atau pelaku usaha yang menginginkan adanya kepastian hukum dan penyelesaian yang pasti dalam hal terjadinya kasus-kasus cross border insolvensy. 4.3. Kemungkinan Harmonisasi Hukum Insolvensi dan Kepailitan Bank di antara Negara-Negara ASEAN Dengan terbentuknya pasar tunggal ASEAN, di mana masyarakat, pelaku usaha, dan institusi perbankan menjadi lebih bebas dalam bertransaksi serta berusaha, seharusnya hal tersebut diikuti pula

29

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

dengan adanya standardisasi atau persamaan perlakuan diantara negara-negara ASEAN, khususnya terkait dengan pengaturan penyelesaian kepailitan bank yang beroperasi secara lintas batas (cross border insolvency), termasuk didalamnya pengakuan putusan kepailitan bank asing. Dengan kata lain, diperlukan harmonisasi hukum terkait dengan pengaturan cross border insolvency termasuk pengakuan putusan pengadilan asing dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha, investor dan masyarakat ASEAN secara keseluruhan. Secara teoritis, model harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan bank tersebut dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu :115 a. Pembentukan perjanjian internasional secara regional; b. Penundukan diri atau pengadopsian atas Uniform Laws (Hukum Seragam) seperti UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency; atau c. Menerapkan Uniform Rules (Aturan Seragam) sebagaimana The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits diterapkan dalam international trading. Berdasarkan praktek yang berlaku saat ini, di mana negara-negara menganut prinsip yurisdiksi teritorial yang berarti bahwa negara-negara tersebut secara ekslusif menetapkan aturan-aturan terhadap warga negara dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, tidak mudah untuk membuat suatu perjanjian internasional regional ASEAN sebagai pilihan model harmonisasi ketentuan kepailitan bank di ASEAN. Hal tersebut dikarenakan adanya pemikiran bahwa apabila suatu negara menandatangani suatu perjanjian internasional, berarti akan menghilangkan sebagian kedaulatan dari negara penandatangan (yakni berupa hak mengatur) dan timbulnya konsekuensi-konsekuensi hukum yang melekat sebagai akibat dari

menandatangani perjanjian tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, model harmonisasi pengaturan kepailitan bank yang lebih mungkin untuk diterapkan di kawasan ASEAN yaitu melalui penundukan diri atau pengadopsian Uniform Laws seperti UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency karena belum ada Uniform Rules dalam bidang kepailitan. Agar proses harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan di Negara-negara ASEAN berjalan dengan baik maka sebagai langkah awal sebelum dilakukannya proses harmonisasi, perlu dilakukan assesment atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan yang terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN. Hal tersebut penting dilakukan dalam rangka mengidenfikasi kekuatan, potensi, kelemahan dan faktor-faktor lain yang relevan dan mendukung untuk berhasilnya proses harmonisasi hukum dimaksud. Untuk terjadinya proses asesmen tersebut, negara-negara ASEAN harus terlebih dahulu memiliki komitmen yang sama dan menyepakati mengenai perlunya dilakukan assesment atas ketentuan mengenai insolvensi dan kepailitan bank dalam rangka harmonisasi hukum terkait dengan berlakunya MEA. Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlu tidaknya dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan bank dalam rangka menyongsong berlakunya MEA dan sejauh mana substansi hukum yang perlu atau dapat diharmonisasikan tentunya harus didasarkan pada tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi perekonomian nasional agar Indonesia dapat memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan secara optimal dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya maka dapat disusun kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

11 Huala Adolf, Diskusi Terbatas Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.

30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

5.1. Kesimpulan 1) Pada umumnya pengaturan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN diatur dalam perundang-undang tersendiri disamping adanya undang-undang kepailitan yang berlaku secara umum. 2) Secara umum, otoritas yang berwenang untuk mengajukan proses insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara ASEAN adalah otoritas moneter atau Bank Sentral. Terkait dengan likuidasi bank di negara-negara ASEAN, pada umumnya dilakukan melalui proses penetapan pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank sentral kecuali di Indonesia yang proses likuidasinya merupakan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu adanya penetapan pengadilan. 3) Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara ASEAN menggolongkan nasabah bank dalam kategori kreditur konkuren. Namun demikian, dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negaranegara Anggota ASEAN menerapkan sistem penjaminan atas simpanan nasabah bank yang nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara. 4) Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai aset atau kreditur di luar negeri termasuk pengakuan putusan pengadilan asing (cross border insolvency) berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri. Sementara itu, negara-negara mengatur bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-negara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam negeri juga menjangkau terhadap aset-aset debitur yang berada di luar negeri.

5) Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan asing, beberapa negara tidak mengakui putusan pengadilan kepailitan asing. Negara lainnya mengakui putusan kepailitan pengadilan asing dengan syarat negara tersebut telah menandatangani perjanjian bilateral/ multialteral mengenai pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang dipailitkan didirikan di negara tersebut. 6) Permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan kepailitan bank yang berbedabeda, khususnya adalah tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari pengadilan suatu negara terkait dengan kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan aset di luar negeri dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut berpotensi menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency. Idealnya, untuk mengatasi permasalahan hukum tersebut diperlukan harmonisasi hukum khususnya terkait dengan pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan bank tersebut merupakan salah satu infrastruktur penunjang yang diperlukan apabila nantinya disepakati akan beroperasi qualified ASEAN banks secara lintas batas di kawasan ASEAN. Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan bank tersebut akan melengkapi infrastruktur lain yang diperlukan seperti cross border bank supervision dan cross border bank resolution. 5.2 Rekomendasi 1) Dalam upaya menjembatani adanya perbedaan sistem hukum dan pengaturan terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank khususnya mengenai cross border bank insolvency, perlu dilakukan upaya harmonisasi hukum dan ketentuan terkait dengan cross border bank insolvency di negara-negara ASEAN. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum di bidang cross border bank insolvency dan

31

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

terdapat standardisasi pengaturan dan perlakuan dalam penyelesaian kasus-kasus cross border bank insolvency di antara negara-negara ASEAN. 2) Perlu dilakukan assesment secara mendalam atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN sebelum dilakukannya proses harmonisasi hukum tersebut. Sebagaimana lazimnya dalam suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya proses assesment di masingmasing negara-negara ASEAN terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan berlakunya MEA. 3) Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi perekonomian nasional sehingga Indonesia dapat memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia.

32

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998. c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun. 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 d. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank e. the New Central Bank Act of Philippines No.7653 f. the Central Bank of Malaysia Act 1958 g. Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding The State Bank of Vietnam h. Banking Act of Singapore i. j. l. Bankruptcy act of Singapore (chapter 20) Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance Banking and Financial Institusion Act 1989 contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No. 109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP. n. Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law o. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999 regarding Deposit Insurance as amended by Decree No. 109/2005/NDCP dated 24 Agustus 2005. p. the Thailand Deposit Insurance Act BE 2551 q. the bankrupcy of Act of Thailand r. the Civil and Commercial Act of Thailand s. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment, United Nations, New York, 1999

k. Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding Credit Institutions m. Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several

Artikel/hasil kajian a. Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, page 9 b. Dr.Andrew M. Goodman,Thailands Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, page 2 c. Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency Indonesia, Korea, Philippines and Thailand d. Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, page 61.

33

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Diskusi Terbatas Huala Adolf, Diskusi Terbatas Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.

Lain-lain a. Blacks Law Dictionary) b. Wikipedia c. www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf d. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf. e. www.adb.org/documents/others/insolvensy f. www.herbersmith.com g. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf

34

Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan


Oleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM.
(Dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegara dan Universitas 17 Agustus 1945. Saat ini menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia London)

Pendahuluan Salah satu yang menjadi pertimbangan banyak lembaga pemeringkat (rating agencies) belum menaikan peringkat Indonesia ke tingkat peringkat investasi (investment grade) adalah masalah kepastian hukum, disamping masalah lambatnya pembangunan infrastruktur dan apa yang disebut dengan political infighting. Tentu penyelesaian masalah ini bukanlah hal yang gampang. Menangani masalah kepastian hukum memerlukan waktu dan tenaga yang tidak terhingga. Dalam konteks hal peringkat Negara dan kegiatan usaha ekonomi lainnya, banyak orang memahami bahwa persoalan ketidakpastian hukum ini hanya terkait dengan ketidakpastian hukum dibidang hukum ekonomi. Apabila kita mendalaminya dengan baik, masalah kepastian hukum ini jauh melampaui area hukum ekonomi, dan terkait erat dengan tingkat kematangan suatu Negara didalam mengimplementasi apa yang disebut dengan konsep the rule of law sebagai salah satu prasyarat untuk dapat dikategorikan sebagai Negara demokrasi yang maju. Pada dasarnya semua sistem hukum dan sistem peradilan (legal and justice system) akan menjadi penilaian lembaga rating. Hal ini dapat dimaklumi bukan saja karena suatu transaksi perekonomian hanya dapat dilakukan dalam suasana kepastian hukum yang tinggi, melainkan juga kesalingterkaitan dan saling mendukung antara berbagai area hukum didalam menjamin lingkungan perekonomian yang sehat dan kondusif. Mungkin penilaian lembaga pemeringkat tidak begitu penting apabila dilihat selintas saja mengingat begitu banyaknya persoalan yang harus kita hadapi dewasa ini, akan tetapi dengan mengingat ketergantungan Indonesia terhadap pembiayaan dan investasi asing dan domestik didalam memacu pertumbuhan ekonominya, maka persoalan penilaian lembaga pemeringkat dan gambaran persepsi Indonesia secara umum menjadi sangat penting. Kematangan hukum suatu Negara akan terlihat dari seberapa jauh hukum dapat melindungi hak-hak individu dan korporasi, bagaimana

menghukum para pelanggar hukum, bagaimana mengatur persaingan usaha dan perlindungan konsumen, bagaimana hukum dapat menjamin persamaan perlakuan warga Negara dan warga Negara asing. Tingkat kematangan hukum suatu Negara pada hakekatnya merupakan komponen terpenting didalam upaya kita memudahkan pembiayaan keuangan internasional bagi pembangunan Indonesia serta meningkatkan investasi, baik portfolio maupun investasi langsung yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Jadi tidak benar apabila tahanan yang bisa berjalan-jalan keluar negeri atau ada sekelompok massa yang main hakim sendiri tidak akan berpengaruh kepada persepsi negara kita. Kedua contoh in merupakan contoh kasat mata betapa lemahnya peranan lembaga hukum didalam menerapkan hukum secara benar. Menggantungkan diri kepada pembangunan perangkat keras semata sudah dapat dipastikan tidak akan berjalan optimal didalam mendorong pembangunan ekonomi. Kematangan hukum ini tidak terkait dengan apakan suatu Negara itu berukuran kecil atau besar ataupun berideologi tertentu, melainkan sangat tergantung kepada kemampuannya memberdayakan institusi-institusi hukum di negaranya secara optimal. Didalam sistem Negara yang demokratis pemberdayaan institusi-institusi hukum ini merupakan hal sangat penting dan merupakan tugas semua cabang kekuasaan Negara yaitu Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, serta dukungan masyarakat luas seperti civil societies dan akademisi. Kondisi hukum Indonesia sekarang Belakangan ini kita kita semakin dibuat risih dengan permasalahan hukum yang dihadapi oleh Negara kita. Kasus demi kasus yang menggemparkan, baik dalam kasus korupsi seperti kasus Gayus Tambunan, kasus tuduhan suap Miranda Gultom, kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin, maupun dalam bentuk kekerasan massa, dan kejanggalan-

35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

kejanggalan keputusan Hakim diberbagai tahap peradilan semakin menjadikan citra Negara kita sebagai Negara hukum menjadi sangat terpuruk, dan bahkan bisa dikatakan ada dalam titik nadir. Kita menyadari betapa lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh Indonesia saat ini, kita bisa merasakan begitu kuatnya tangan politik, tangan kekuasaan dan tangan kekuatan ekonomi didalam mempengaruhi efektivitas implementasi hukum. Kondisi ini sungguh merupakan kondisi yang anomali dari Indonesia sebagai Negara yang menyatakan dirinya Negara hukum. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya konsep Negara hukum masih saja dijadikan slogan politik yang hampa dan tanpa makna. Hukum terkesan seperti pisau, tajam kebawah tapi tumpul keatas. Hukum hanya dijunjung ketika tidak mengenai diri sendiri dan kelompoknya. Hukum hanya ditegakan ketika tidak ada perlindungan politik dan perlindungan ekonomi dari kekuasaan resmi maupun kekuasaan tidak resmi. Hukum bahkan digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau lawan bisnis. Rule of law sebagai prinsip politik dan moral bangsa kita nampaknya semakin jauh ditinggalkan. Banyak orang berpaling kepada kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan bahkan kekuasaan massa didalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Penundukan diri terhadap hukum dari orang yang memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi yang besar memang memerlukan suatu tingkat moralitas dan budaya hukum yang sangat tinggi. Sementara itu, bagi para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman kewenangan yang dimiliki dapat menjadi komoditas politik dan komoditas ekonomi apabila tidak mampu menghadap tekanan dan godaan politik dan ekonomi. Pertarungan antara rule of law dan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi ini nampaknya sedang berlangsung dengan keras di Indonesia. Perlu ada upaya-upaya yang lebih terukur untuk memberdayakan (empowering) para penegak hukum, baik secara substansi, moralitas, kewenangan, dan sekaligus mensejahterakan secara ekonomi untuk dapat mengimbangi godaan kekuasaan politik dan ekonom yang demikian besar. Sebagaimana dikatakan oleh filosof Inggris John Lock pada tahun 1690 bahwa whenever law ends, tyranny begins.

Didalam suatu Negara demokrasi yang belum matang secara hukum, tirani ini dapat berupa kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, dan bahkan dapat berupa kekuasaan massa. Hukum dalam format yang modern, dan didalam masyarakat yang pluralistis seperti Indonesia harus mampu menghilangkan tirani ini, dan seharusnya hukum menjadi panglima yang dapat melindungi hak azasi manusia, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan beragama, menjamin keamanan, membatasi kekuasaan politik dan ekonomi, penindakan pelanggaran hukum secara efektif, perlindungan hak atas harta benda dan kekayaan intelektual. The rule of law juga menunjukkan bahwa semua orang pada dasarnya sama dimuka hukum, dan oleh karenanya tidak dapat dibenarkan privelese kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi dimuka hukum. Hukum harus dimungkinkan melakukan penetrasi yang sangat dalam terhadap semua relung-relung kekuasaan politik dan ekonomi. Apabila hal ini tidak dapat tercapai dapat diperkirakan bahwa akan terdapat distrust terhadap berjalannya hukum yang akan membawa konsekuensi yang serius dalam bentuk menjamurnya mafia hukum, rekayasa hukum, dan main hakim sendiri didalam masyarakat yang akan mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara yang tertib berdasarkan rule of law. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan satusatunya untuk membentuk dan mengimplementasikan hukum harus benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi. Negara tidak boleh membiarkan kekuasaan lain ikut memainkan peran penegakkan dan implementasi hukum untuk kepentingan self-interest, dan memaksakan berlakunya hukum dengan cara dan perangkat diluar yang sudah diatur Negara. Kegagalan Negara didalam menjaga kredibilitas hukum akan berakibat serius terhadap wibawa Negara secara keseluruhan, dan akan mengganggu efektivitas pemerintahan. Kebutuhan membangun wibawa Negara melalui implementasi rule of law ini akan semakin dirasakan didalam Negara yang menganut sistem demokrasi. Kebebasan berpikir dan bertindak dari begitu banyak komponen masyarakat harus dapat diimbangi dengan implementasi hukum yang efektif, dimana kebebasan berpikir dan bertindak dari satu orang akan dibatasi dengan kebebasan berpikir dan bertindak orang lain. Hukum harus mampu menciptakan harmoni diantara pihak-pihak yang saling bertentangan didalam masyarakat, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Didalam Negara demokrasi ketaatan terhadap

36

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

rule of law akan menjadi kunci untuk mencapai cita-cita Negara demokrasi itu sendiri. Mengorbankan rule of law demi tujuan politik, ekonomi atau tujuan lainnya akan menjadikan hukum menjadi sterile dan kosong yang akan menjadikan chaos didalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat. Pembangunan infrastruktur hukum setelah reformasi, termasuk pendirian Mahkamah Konstitusi, independensi Mahkamah Agung, pemisahan Kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia, pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sederet perangkat hukum lainnya yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hukum Indonesia di berbagai bidang, baik politik, ekonomi maupun sosial harus benar-benar dijaga agar dapat menjamin perlindungan hak-hak warga negara, penegakan hukum yang adil dan konsisten, perlindungan diri dan harta kekayaan, menjamin berlangsungnya kepastian berusaha. The rule of law ini juga diperkirakan bisa mengatasi atau setidaknya mengurangi persoalan pertikaian politik yang kerap terjadi didalam suatu negara demokratis yang dapat berakibat kepada tidak efektifnya suatu pemerintahan atau bahkan terjadinya pemerintahan yang tidak berfungsi (dysfunctional government). Dalam hal ini tentu saja bidang Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara bisa memainkan perannya dengan baik. Pengalaman Amerika Serikat dimana Presiden bersitegang dengan Kongres mengenai batas atas utang (debt ceiling) yang hampir membawa Amerika Serikat menjadi negara yang gagal bayar utang (defaulting country) harus dijadikan cermin yang baik. Konstitusi Amerika (14th Amendment) ternyata sudah menegaskan mengenai kedudukan utang negara, dan diperkuat pula dengan yurisprudensi. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi harus mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar kenegaraa seperti perlindungan hak-hak kaum minoritas (Hak Asasi Manusia). Untuk dapat berfungsinya hukum dengan tingkat kematangan yang tinggi diperlukan kekuasaan Negara yang kuat dan kredibel. Salah satu ukuran yang diutamakan didalam mengukur kematangan hukum di zaman modern ini adalah efektifitasnya. Hukum baru dapat dikatakan matang apabila berwujud dalam peraturan perundangundangan dan dapat diimplementasikan dengan fair dan konsisten. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara dapat memainkan peranannya yang sangat dominan.

Bagaimana keluar dari krisis hukum ini Carut marut dunia hukum ini terjadi terutama karena mereka yang seharusnya paling memahami hukum dan berkewajiban menerapkan hukum ikut terlibat didalam proses pembusukan hukum itu sendiri. Hampir semua profesi hukum telah terkena virus kekuasaan dan uang. Alih-alih hukum dijadikan benteng moral bangsa dan negara, hukum malah dijadikan komoditi politik dan bisnis yang sangat menguntungkan. Perombakan dunia hukum kita tidak dapat lagi bersifat piece-meal melainkan harus dilakukan secara fundamental. Sense of urgency dan sense of emergency harus ada disemua kalangan, baik kalangan professional (hukum), pemerintahan maupun kalangan masyarakat luas. Shock therapy dan prinsip catch the biggest fishes dalam cara penegakan hukum kita seperti yang dilakukan oleh lembaga ad hoc seperti KPK pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan. Kepemimpinan KPK yang merupakan produk seleksi politik dapat menjadi titik lemah yang dapat membahayakan kredibilitas hukum itu sendiri. Secara mendasar kita harus tetap fokus untuk membenahi lembaga-lembaga hukum permanen. Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis hukum yang berat didalam, tapi nampaknya tidak ada upaya yang nyata untuk bagaimana keluar dari krisis hukum ini dengan, apabila perlu, melakukan overhaul terhadap seluruh legal and justice system yang kita praktekan sekarang ini. Kita harus jujur bahwa diperlukan perombakan terhadap sistem pendidikan hukum kita yang cenderung mengedepankan legalitas diatas moralitas kebenaran dan keadilan (suka tidak suka nampaknya pengaruh The Pure Theory of Law dari H.Kelsen sangat menonjol dalam dunia pendidikan hukum kita), kita harus meninjau ulang sistem kerja kejaksaan, kepolisian dan kehakiman yang berorientasi kepada kewenangan dan kekuasaan semata, dan kurang berorientasi kepada penegakan hukum yang benar dan adil. Kalangan penegak hukum harus memiliki komitmen moral yang tinggi. Benteng moral bangsa ini sangat tergantung kepada mereka. Apabila mereka memperjual-belikan hukum dengan politik dan uang maka akan hapus harapan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang kompetitif dibidang ekonomi. Kalangan pemerintahan harus memposisikan diri sebagai the guardian of the legal and justice system. Pemerintah dengan perangkat hukum kejaksaan dan kepolisian hendaknya benar-benar memberdayakan

37

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Kepolisian dan Kejaksaan untuk menjadi lebih professional dengan melakukan reformasi birokrasi yang memungkinkan sistem kerja yang lebih efektif, reformasi hendaknya tidak ditujukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan secara ekonomis. Kalangan akademisi harus menjadi benteng pertahanan ilmu hukum yang berlandaskan kepada objektivitas keilmuan, moralitas dan kebenaran. Keterlibatan dosen dan para guru besar hukum didalam pemerintahan, konsultan hukum dan pengacara telah memperlemah kredibilitas ilmiah mereka. Reformasi birokrasi terhadap dunia pendidikan hukum harus segera terjadi, kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara signifikan. Kita sekarang menyaksikan betapa para dosen dan guru besar berlomba mencari proyek, mengejar jabatan melalui aktivitas mereka di partai politik dan atau mengajar di pendidikan hukum eksekutif. Hal ini antara lain diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi kualitas dan kredibilitas pendidikan hukum di Indonesia. Walaupun terdengar agak naif, penetapanan undang-undang khusus bagi para penegak hukum dan profesi hukum menjadi sangat penting sebagai undang-undang darurat. Harus ada hukum yang akan memberikan efek deterrent terhadap mereka yang memahami dan berkecimpung didalam dunia hukum tapi malah ikut serta melakukan pembusukan terhadap hukum itu sendiri. Sanksi berat harus benar-benar dikenakan terhadap mereka ini. Era reformasi hanyalah akan menjadi era tanpa makna bagi pembangunan hukum di Indonesia seandainya tidak ada reformasi yang sungguh-sungguh di sektor hukum. Kita juga bisa bercermin kepada negara-negara lain yang telah lebih baik membenahi bidang hukum ini. Didalam masyarakat yang sudah "globalized" ini banyak institusi hukum berdasarkan desakan kebutuhan akan menjadi semakin mengarah kepada hukum yang sama atau sekurang-kurangnya "comparable" diantara bangsa-bangsa di dunia. Diperkenalkannya institusi-institusi hukum baru nampak dengan jelas dalam hal perkembangan hukum ekonomi Indonesia. Fenomena ini terjadi antara lain sebagai dampak perkembangan ekonomi dunia yang demikian drastis, sehingga hukum dituntut untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan ekonomi tersebut. Kondisi ini harus dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan reformasi hukum yang memungkinkan kita

menjadi bagian negara-negara yang memiliki kematangan hukum yang baik. Pembenahan mendasar berbagai bidang hukum di Indonesia akan menjadi kata kunci untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan. Hukum harus mampu memainkan perannya sebagai pembeda mana yang benar dan salah diberbagai sektor kehidupakan bangsa kita. Begitu besar tantangan yang akan dihadapi, tapi kapan lagi kalau tidak Pemerintahan ini yang memulai. Sudah terbukti dari sejarah berbagai negara di dunia bahwa perubahan pada hakekatnya terjadi karena seorang pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki visi yang baik bagi bangsa dan negaranya, dan perserverence didalam memperjuangkannya. Kita berharap jangan lagi ada istilah menunggu ratu adil untuk mengubah semua ini. Semoga....

38

Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009
Oleh: Sri Hariningsih SH., MH. *)

I. UMUM Beberapa prinsip guna memahami makna suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan adalah : 1. norma (ketentuan) yang diatur/dituangkan dalam Pasal harus dibaca dan dicermati maknanya secara utuh (komprehensif) atas seluruh ketentuan yang diatur dan tidak boleh dimaknai hanya berdasarkan ketentuan Pasal demi Pasal kemudian telah mengambil suatu kesimpulan. Guna memperoleh pemahaman yang tepat, harus dicermati keterkaitan makna dari satu Pasal dengan Pasal yang lain. Demikian juga harus dicermati Penjelasan Umum dan penjelasan dari masing-masing Pasal tersebut, agar diperoleh pemahaman secara komprehensif mengenai keseluruhan konsepsi dari Peraturan yang bersangkutan. 2. untuk menerapkan atau melaksanakan suatu Pasal tidak boleh hanya tertumpu pada ketentuan Pasal yang bersangkutan, tetapi harus dilihat adakah keterkaitan makna Pasal tersebut dengan makna yang diatur dalam Pasal yang lain . 3. perlu dipahami adanya asas pembentukan dan asas materi muatan dari Peraturan Perundang-undangan itu sendiri, sudahkah hal tersebut diterapkan oleh pembentuk Undang-Undang. Asas tersebut yakni:

a. Asas Pembentukan (vide Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yang mensyaratkan dipenuhinya ketentuan yang mencakup : 1) kejelasan tujuan; 2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan; 4) dapat dilaksanakan; 5) kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6) kejelasan rumusan; dan 7) keterbukaan. b. Asas Materi Muatan (vide Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yang mensyaratkan bahwa dalam materi muatan harus tercermin asas : 1) pengayoman; 2) kemanusiaan; 3) kebangsaan; 4) kekeluargaan; 5) kenusantaraan; 6) bhineka tunggal ika; 7) keadilan; 8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 10) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dan ditambah asas lain sesuai dengan bidang hukum

*)

- Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dep Huk & HAM-RI - Mantan Tenaga Ahli Perundang-undangan pada Deputi Perundangundangan Setjen DPR-RI

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

39

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

II. TINJAUAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 34 UU BI 1. Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut : Pasal 34 (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen,dan dibentuk dengan undangundang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. 2. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa guna melaksanakan atau menerapkan ketentuan suatu Pasal harus dicermati keterkaitannya dengan ketentuan dalam Pasal yang lain agar tidak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya. Dalam penerapan Pasal 34 ini, perlu dicermati atau dikaji masing-masing ketentuan yang diatur pada ayat (1) dan pada ayat (2) sebagai berikut : a. Terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1). 1) Pengaturan Pasal 34 UU BI sangat terkait dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27. Demikian juga ketentuan Pelaksanaan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 tersebut, bersumber dari tugas dan wewenang yang diberikan kepada Bank Indonesia selaku lembaga negara independen, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2). Pasal 4 ayat (2) berbunyi : Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain,kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.

2)

mengenai tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) tersebut dijabarkan lagi dalam ketentuan Pasal 8 yang mencakup: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;dan c. mengatur dan mengawasi Bank. Mengenai tugas Bank Indonesia yang diatur dalam Pasal 8 ini, pada dasarnya merupakan salah satu aktualisasi dari konsepsi yang tertuang dalam latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan pembentukan UndangUndang tentang Bank Indonesia sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum, antara lain untuk mencapai dan memelihara kesetabilan nilai rupiah.

3)

mengenai pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 8 tersebut yakni termasuk tugas mengatur dan mengawasai Bank (yang tercantum dalam Pasal 8 huruf c), dilarang adanya campur tangan dari pihak manapun. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 9 yang berbunyi : Pasal 9 (1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Selanjutnya penjelasan Pasal 9 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Yang dimaksud dengan pihak lain adalah semua pihak di luar Bank Indonesia, termasuk Pemerintah dan atau lembagalembaga lainnya.

40

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Yang dimaksud dengan segala bentuk campur tangan adalah segala perbuatan pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan tugas Bank. 5) Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan UndangUndang ini secara efektif. Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan adalah kerja sama yang dilakukan oleh pihak lain atau bantuan teknis yang diberikan oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang ini. 4) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 9 tidak bisa dianggap ringan, karena dikenakan sanksi pidana yang cukup berat sebagaimana diatur dalam Pasal 67 untuk pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan dalam Pasal 68 untuk pelanggaran Pasal 9 ayat (2). Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Barangsiapa yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 68 berbunyi sebagai berikut : Pasal 68 Anggota Dewan Gubernur dan atau pejabat Bank Indonesia yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun 6)

dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pengertian Bank tentunya adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 yang berbunyi : Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Perbankan yang berlaku. Jika kita cermati ketentuan Pasal 8 huruf c yang memberikan tugas kepada Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi Bank dan kemudian kita kaitkan dengan ketentuan dalam Padal 9 beserta penjelasanya, maka nampak jelas bahwa tugas pengawasan terhadap Bank merupakan tugas Bank Indonesia dan dilarang untuk dilakukan oleh pihak lain. Ketentuan mengenai tugas dan wewenang Bank Indonesia untuk mengawasi Bank dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan Perundangundangan. Penjelasan : Dalam hal ini, pengaturan dan pengawasan Bank mengacu pada UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

41

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Pasal 27 Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. Penjelasan : Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan Bank.

10) Terjadinya tumpang tindih pengaturan bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain, jelas tidak mencerminkan asas pembentukan peraturan perundangundangan (khususnya yang terkait dengan kejelasan tujuan dan kedayagunaan dan kehasilgunaan) dan juga tidak mencerminkan asas yang harus tercermin dalam materi muatan (khususnya asas ketertiban dan kepastian hukum dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan). 11) Jika dilakukan pembentukan lembaga

7)

Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) yang menentukan bahwa tugas pengawasan Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen, jelas tidak sejalan bahkan ketentuan tersebut bertentangan (kontradiktif) dengan ketentuan keempat Pasal tersebut (Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27).

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) maka : a. terlebih dahulu harus dilakukan perubahan terhadap ketentuan 4 (empat) Pasal tersebut diatas beserta uraian konsepsi yang terdapat dalam Penjelasan Umum; b. perlu dipertimbangkan secara seksama/cermat terkait dengan prinsip kehasilgunaan dan kedayagunaan pembentukan lembaga yang baru dibandingkan dengan mengintensifkan atau melakukan perbaikan kinerja dari lembaga yang sudah ada ;dan c. perlu dipertimbangkan secara seksama/ cermat dari sisi efisiensi dan efektifitas pembentukan lembaga baru (untuk menangani hal yang sama yang sebenarnya sudah ada lembaga yang menangani), mengingat pembentukan lembaga baru pasti terkait antara lain dengan penyediaan infrastruktur baru yang berakibat pembengkakan anggaran negara dan penyelesaian masalah status kepegawaian dari lembaga yang lama yang mungkin tidak mudah penyelesaiannya. 12) pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia walaupun merupakan lembaga independen, bukan berarti tanpa batas. Hal tersebut secara jelas terlihat dari uraian

8)

Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 34 ayat (1) tidak dapat mengabaikan atau mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24 dan Pasal 27 serta pemahaman secara utuh atas konsepsi pembentukan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang tertuang dalam Penjelasan Umum. Demikian juga ketentuan terhadap sanksi atas pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) sebagaimana ditegaskan masingmasing dalam Pasal 67 dan Pasal 68, perlu dilakukan penyesuaian.

9)

Jika adanya saling keterkaitan antara PasalPasal dimaksud tidak diperhatikan, maka akan terjadi tumpang tindih pengaturan yang saling bertentangan satu dengan yang lain, sehingga mengakibatkan kerancuan bahkan kekacauan di bidang Peraturan Perundang-undangan.

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

yang terdapat dalam alinea terakhir Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang berbunyi: Agar independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, kepada Bank Indonesia dituntut untuk transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik dalam menerapkan kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat. b. terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2). 1) Pasal 34 ayat (2) menentukan bahwa : Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

4)

Setelah lewat dari jangka waktu yang ditentukan (yakni 31 Desember 2010), ketentuan Pasal 34 ayat (2) tidak dapat lagi dijadikan legitimasi atau dasar hukum pembentukan lembaga yang didelegasikan oleh ketentuan pada ayat (1). Oleh karena itu, Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) tidak dapat lagi menggunakan dasar hukum ketentuan Pasal 34 ayat (2) untuk membentuk Undang-Undang tentang Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.

5)

Mengingat ketentuan dalam Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) khususnya yang terkait dengan pembatasan jangka waktu pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan, maka : Jika lembaga pengawasan jasa keuangan akan dipaksakan dibentuk dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1), maka pembentukan tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 8 huruf c, yang memberikan tugas pengawasan terhadap bank kepada Bank Indonesia, dengan Pasal 9 yang menyatakan pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya, selanjutnya bertentangan juga dengan Pasal 24, dan Pasal 27 serta tidak sejalan dengan konsepsi yang diuraikan dalam Penjelasan Umum. Jika lembaga pengawasan jasa keuangan akan dipaksakan dibentuk dengan mengabaikan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) yang secara eksplisit membatasi sampai 31 Desember 2010, maka pembentukan tersebut akan cacat

Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini tidak sama perlakuannya dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal yang lain terkait dengan limit atau jangka waktu berlakunya. 2) Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini memuat pembatasan secara eksplisit mengenai masa berlaku penerapannya, yakni hanya sampai tanggal 31 Desember 2010. Pasal 34 ayat (2) ini secara jelas memberikan peringatan kepada Pembentuk UU (DPR dan Presiden) bahwa jika akan membentuk UU tentang lembaga pengawasan jasa keuangan maka tidak boleh melewati batas waktu tanggal 31 Desember 2010. Batas waktu tersebut secara eksplisit dirumuskan dalam frasa selambat-lambatnya 31 Desember 2010. 3) Ketentuan dalam pasal yang lain yang secara eksplisit tidak menentukan batas waktu penerapannya, masih berlaku sampai dinyatakan secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UndangUndang tersendiri.

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

hukum karena tidak mempunyai legitimasi lagi Pengabaian terhadap ketentuan suatu Pasal UU pasti ada konsekuensi hukumnya. (Bandingkan pada waktu dilakukan perubahan atas ketentuan Pasal 11 ayat (5) UU BI yang menghapus ketentuan tentang batas waktu. Demikian juga mengenai pembentukan UU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diberi batas waktu berdasarkan putusan MK). 6) Jika terdapat keinginan untuk memberikan wewenang pengawasan Bank kepada lembaga lain selain Bank Indonesia, maka: ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9 beserta penjelasannya, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal 34 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 serta konsepsi yang dituangkan dalam Penjelasan Umum harus diubah terlebih dahulu. III. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN BERDASARKAN KETENTUAN DALAM UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat 2 (dua) asas yang harus diperhatikan yakni asas pembentukan (vide Pasal 5) dan asas dari materi muatan (vide Pasal 6). Dalam kaitan dengan rencana pembentukan UU tentang lembaga pengawasan jasa keuangan yang hanya mendasarkan pada perintah Pasal 34 UU BI kekhawatiran yang muncul adalah : 1. Apakah UU tersebut kira-kira dapat dilaksanakan, karena akan terdapat pertentangan dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27, Pasal 67 dan Pasal 68 termasuk konsepsi yang tertuang dalam Penjelasan Umum UU BI. 2. Apakah UU tersebut akan mempunyai kedayagunaan dan kehasilgunaan, mengingat kemungkinan kewenangannya akan berbenturan dengan

kewenangan BI yang keberadaan lembaganya walau dengan nama yang lain (Bank Sentral) adalah legitimasi dari UUD (vide Pasal 23 D). 3. Pembentukan UU tentang lembaga pengawasan jasa keuangan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 34 jelas akan memunculkan ketidak pastian hukum karena : a. Selama wewenang Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf c, dalam Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 termasuk ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 9 sebagaimana diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68 serta konsepsi yang tertuang dalam Penjelasan Umum tidak dilakukan penyesuaian/perubahan maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan pengawasan terhadap Bank dan bahkan terjadi pertentangan kewenangan. b. Ketentuan mengenai pembatasan waktu yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) jika diabaikan jelas akan merusak asas ketertiban dan kepastian hukum. 4. Proses pembentukan UU tentang lembaga pengawasan jasa keuangan sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 34 harus mengacu pada ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun 2011 (khususnya asas kejelasan tujuan, kehasilgunaan dan kedayagunaan,asas ketertiban dan kepastaian hukum, serta asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan), maka UU tersebut terdapat kemungkinan dapat dilakukan judicial review oleh pihak yang berkepentingan atau yang dirugikan mengingat tidak sesuai dengan prosedur pembentukannya.

44

Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

45

Halaman ini sengaja dikosongkan

Resensi Buku

Judul Penulis Penerbit Halaman Oleh

: : : : :

Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank Dr. Silvia Janisriwati, SH., M Hum. Logoz Publishing 190 halaman Ellia Syahrini, SH., CN.

Salah satu pelaksanaan reformasi hukum dalam bidang hukum kepailitan ditandai dengan disempurnakannya ketentuan tentang kepailitan yaitu terbentuknya Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KPKPU. Perdefinisi dalam Undang Undang KPKPU, pengertian kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Secara umum pengertian kepailitan atau biasa disebut bangkrut/ bankrupt atau insolven berasal dari bahasa Italia, banca rotta atau artinya meja yang patah, yang merupakan simbol atau lambang bagi peminjam/debitur yang insolven. Kepailitan lahir dari adanya utang debitur atau tagihan/klaim kreditur yang muncul karena adanya perikatan utang piutang/transaksi bisnis antara satu orang debitur/pemilik utang/yang berutang dengan dua atau lebih kreditur/pemilik piutang/pemberi utang, dimana seorang debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur tersebut tidak mampu membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan padanya, maka debitur tersebut dapat dinyatakan pailit. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Undangundang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) secara umum dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dari persyaratan

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang KPKPU, menurut penulis, memberikan pengertian bahwa Undang Undang Kepailitan tidak melihat apakah debitur mampu atau tidak mampu melunasi utangnya, sepanjang utang itu telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan saat itu dia tidak mampu membayar atau tidak maunya debitur melunasi utangnya, maka akan mengakibatkan debitur tersebut dinyatakan pailit. Undang-Undang KPKPU telah membuat pengaturan khusus yang berbeda bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan dibandingkan dengan pengaturan terhadap debitur pada umumnya. Pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan sendiri permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri sebagaimana halnya yang dapat dilakukan oleh debitur pada umumnya. Demikian pula kreditur/nasabah bank juga tidak dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank sebagai debiturnya, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh kreditur pada umumnya terhadap debiturnya. Mengenai pengaturan khusus tentang pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan yang hanya merupakan kewenangan bagi Bank Indonesia, lebih lanjut disitir penulis dari pendapat Mudofir Hadi bahwa hal tersebut seharusnya diartikan bahwa Bank Indonesia dijadikan filter dari setiap permohonan kreditur dari bank yang hendak mempailitkan bank/debitur, artinya kreditur akan menemui jalan buntu apabila dia akan mengajukan bank sebagai debiturnya untuk pernyataan pailit tanpa melalui Bank Indonesia. Demikian pula sebaliknya dalam

47

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

hal bank/debitur itu sendiri tidak dapat secara semenamena mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri, tanpa melalui Bank Indonesia, yang dapat merugikan para nasabahnya. Dalam kepailitan dikenal adanya tiga kategori dasar dalam hukum kepailitan yaitu pertama, Penagihan hutang atau Debt collection, merupakan konsep pembalasan kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur, yang dapat dimanifestasikan dalam bentuk Likuidasi aset. Kedua adalah pengampunan utang atau Debt forgiveness, merupakan konsep meringankan, mengecualikan atau membebaskan kewajiban debitur yang dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption, yaitu pengecualian harta debitur terhadap budel pailit, moratorium yaitu penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu, relief from imprisonment (membebaskan dari hukuman penjara karena gagal membayar hutang), discharge of indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk utang yang benar benar tidak dapat dipenuhinya). Dan terakhir adalah penyesuaian utang atau debt adjustment merupakan aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan merubah hak distribusi dari para kreditur sebagai grup, implementasi dari konsep ini adalah prinsip pro rata distribution atau structured prorate (pembagian berdasarkan kelas kreditur) Sementara itu beberapa prinsip yang dikenal dalam hukum kepailitan yaitu, prinsip paritas creditorium yang dikenal di Indonesia dalam pasal 1131 KUHPerdata. Prinsip ini bermakna bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang ada dan yang akan ada, baik bergerak maupun tetap, terikat pada penyelesaian kewajiban debitur. Pada prinsip ini semua kreditur kedudukannya disamaratakan. Hal ini merupakan ketidakadilan karena selain penyamarataan kedudukan kreditur, harta debitur yang tidak terkait dalam utang tersebut akan turut menjadi terikat untuk penyelesaian utangnya. Selain itu prinsip pari passu pro rata parte, diatur dalam pasal 1132 KUH Perdata, adalah prinsip yang mengenal harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk para kreditur yang harus dibagikan secara proporsional kecuali jika diantara kreditur tersebut terdapat kreditur yang berdasarkan Undang-Undang harus didahulukan dalam penerimaan pembayaran tagihannya serta prinsip structured creditur, yaitu prinsip mengkelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Sesuai asas dan tujuan kepailitan bahwa pengertian kepailitan adalah sebagai sita umum atas kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas dan dimaksudkan untuk menghindari adanya sita/eksekusi oleh para kreditur secara sendiri sendiri yang dapat menimbulkan kecurangan dan terabaikan hak kreditur lainnya, maka para kreditur dari debitur yang dipailitkan untuk mendapatkan pemenuhan haknya, harus bertindak secara bersama sama (concursus creditorum) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Dengan demikian meskipun berdasarkan jenisnya dalam hukum kepailitan terdapat kreditur separatis yaitu kreditur yang piutangnya dijamin dengan agunan hak kebendaan, dan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa khusus dan hak istimewa umum berdasarkan Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata, tagihannya didahulukan terhadap hasil penjualan harta kekayaan debitur yang telah dibebani dengan hak tertentu bagi kepentingan kreditur serta kreditur konkuren, yaitu kreditur yang mempunyai hak sama dan harus berbagi dengan kreditur lain secara proporsional, namun dalam pelaksanaan kepailitan tetap saja diupayakan pemenuhan hak para kreditur dalam kepailitan dilakukan secara bersama-sama (concursus creditorum) dan dengan pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai dengan asas pari passu. Di sisi lain, Undang Undang Kepailitan yang merupakan proses pelaksanaan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata pada pokoknya memberi perlindungan kepada kreditur apabila debitur tidak mampu membayar lunas hutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, diharapkan dapat memberikan jalan keluar untuk pendistribusian kekayaan debitur secara pasti dan adil. Berbeda halnya dengan Undang Undang Kepailitan di Indonesia, dalam Undang Undang KPKPU setelah adanya tindakan pemberesan tidak mengenal adanya financial fresh start, baik kepada debitur perorangan maupun badan hukum. Artinya apabila setelah pemberesan/likuidasi ternyata masih terdapat utang debitur yang tidak terlunasi, maka debitur tersebut masih berkewajiban melunasi semua utang utangnya, tetapi kepada debitur tersebut masih diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum berkaitan dengan usahanya. Artinya pasca kepailitan debitur tersebut

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

masih tetap eksis dan melakukan usahanya sehingga pada akhirnya mampu menyelesaikan utang/kewajibannya yang lalu yang belum terlunasi. Keterkaitan antara Kepailitan dan Likuidasi adalah bahwa pada dasarnya kepailitan merupakan likuidasi secara paksa, sehingga aset dan harta debitur dapat dijual secara paksa untuk membayar utang debitur dan dibagi kepada para kreditur secara pro rata, kecuali ada diantaranya kreditur yang harus didahulukan menurut ketentuan pasal 1132 KUH Perdata. Menurut penulis apa yang dipersyaratkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang Undang KPKPU bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada salah satu krediturnya dapat dinyatakan pailit, apabila diterapkan kepada debitur berbentuk badan hukum perbankan akan menjadi kurang tepat dan sangat riskan, karena sangat mudah terpenuhinya persyaratan dimaksud, mengingat banyaknya jumlah kreditur/nasabah bagi bank sebagai debitur, meskipun pada dasarnya tidak selalu terpenuhinya kriteria insolven. Dengan demikian untuk melindungi kepentingan kreditur sesuai teori keadilan, dikemukakan oleh penulis, seharusnya ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) Undang Undang KPKPU harus diubah dengan menyertakan para kreditur sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan, selain kewenangan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia. Lebih lanjut penulis mengusulkan agar ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) diubah menjadi, dalam hal debiturnya adalah bank, maka yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah Bank Indonesia atau para kreditur dari bank tersebut, dengan pertimbangan sesuai teori keadilan kreditur memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan utangnya sesuai kontrak yang telah disepakati. Bahwa hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan pemenuhan hak sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Disamping itu, Penulis menambahkan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian yaitu: 1. Penolakan Bank Indonesia sebagai pihak yang mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3)

UU KPKPU untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank adalah bertentangan dengan prinsip hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, dan asas konsesualisme karena akan menghilangkan hak kreditur dihadapan hakim yang secara bebas dapat menggugat debitur yang telah cidera janji. Selain itu penolakan tersebut juga bertentangan dengan asas lex specialis derogate legi genarali. 2. Apabila Bank Indonesia menolak mengajukan pernyataan pailit terhadap bank di Pengadilan Niaga tanpa adanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para kreditur tentunya hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak memberi perlindungan hukum terhadap pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini bank bukannya tidak dapat dipailitkan tetapi pemailitan bank tersebut membutuhkan itikad baik dari Bank Indonesia yang mempunyai kewenangan. Para kreditur/nasabah penyimpan dana akan tetap mendapatkan perlindungan hukum apabila Bank Indonesia mau mempergunakan kewenangannya yang diberikan oleh Undang Undang Kepalitan. 3. Pada dasarnya penyelesaian bank bermasalah dilakukan dengan general insolvency law oleh bankruptcy court sehingga bank diperlakukan sama sebagaimana perusahaan pada umumnya atau adanya aturan kepailitan khusus yang berlaku bagi bank yang dikelola oleh supervisory authority atau lembaga penjamin simpanan, sebagaimana di Amerika dan Inggris. Menurut penulis hal demikian dapat pula diterapkan di Indonesia dengan menggunakan general insolvency law dan melakukan proses kepailitan melalui pengadilan yang akan lebih cepat waktu penyelesaian dan transparan. Undang Undang KPKPU mengatur satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur berbentuk badan hukum perbankan hanyalah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang Undang No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi penetapan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Selaku otoritas perbankan maka kebijakan pengaturan dan pengawasan bank yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk mengupayakan terciptanya individu bank yang sehat

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

yang pada gilirannya mendukung sistem perbankan yang sehat. Untuk melindungi kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan, bank sebagai debitur tidak serta merta dan sedemikian mudahnya dapat dimintakan permohonan pailit manakala terdapat satu saja utang bank/debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagihkan kepadanya dari salah satu krediturnya/nasabahnya. Dalam hal ini diatur pengecualian permohonan pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia yang didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Sementara itu dalam prakteknya Bank Indonesia akan melakukan tindakan secara persuasif yang diakhiri dengan likuidasi tanpa perlu pernyataan pailit terhadap bank yang mengalami insolvensi atau masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank

50

Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme
Oleh: Tim Redaksi

Pemerintah Indonesia telah menyusun Rancangan UndangUndang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT). Dalam rangka pendalaman materi berkaitan dengan penyusunan RUU dimaksud, Bank Indonesia diundang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bersamasama Pemerintah mengikuti kegiatan counter financing of terrorism study tour, di Sydney-Australia, tanggal 25 29 September 2011.

dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme, maka sebagai negara yang beberapa kali mengalami serangan terorisme, Indonesia perlu memperluas jangkauan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan upaya memutus mata rantai atau alur pendanaan terorisme disamping melakukan upaya-upaya untuk menangkap dan menghukum secara fisik para teroris. Pada pokoknya tujuan dari menyusunan RUU tersebut,

Penyusunan RUU tersebut dilatarbelakangi RUU disusun dengan latar belakang bahwa : a. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme; b. Pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme; c. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, maka Indonesia wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut; d. Peraturan PerUUan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai dan komprehensif. e. Dalam perspektif internasional Indonesia harus menaruh perhatian penuh untuk memperbaiki kelemahan dalam memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai Pendanaan Terorisme. Berdasarkan hasil penilaian Mutual Evaluation (ME), penanganan anti pendanaan terorisme di Indonesia dipandang masih lemah. Berdasarkan realitas bahwa upaya penanggulangan tindak pidana terorisme tidak akan optimal tanpa diikuti

adalah (i) memberikan dasar hukum yang kuat dan kemudahan dalam pendeteksian, pembekuan, penyitaan dan perampasan dana atau aset yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan; (ii) mendukung dan meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme; dan (iii) menyesuaikan pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Sasaran utama dari penyusunan RUU tersebut, adalah (i) ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; (ii) memutus alur pendanaan terorisme sekaligus mencegah terjadinya lagi serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air; dan (iii) menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dan serius dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Australia adalah salah satu negara yang memiliki pengaturan yang komprehensif mengenai pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme. Pengaturan yang dibangun telah mendorong terwujudnya integrasi dan efektifitas lembagalembaga terkait mencegah dan memberantas tindak pidana

51

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

pendanaan terorisme. Berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Australia berdasar pada hukum nasional dan hukum internasional yang langsung diadopsi menjadi hukum nasional serta kerja sama internasional. Hukum internasional yang diadopsi ke dalam hukum nasional Australia berasal dari resolusi Dewan Keamanan PBB dan rekomendasi-rekomendasi FATF. Hal ini sejalan dengan konstitusi, yang memberikan dasar bagi hukum internasional dapat berlaku setelah adanya persetujuan parlemen (termasuk yang berupa resolusi dan rekomendasi). Di Australia, lembaga yang berwenang dalam bidang analisis dan pelaporan transaksi keuangan adalah AUSTRAC yang didirikan pada tahun 1989 berdasarkan the Financial Transaction Reports Act 1988 (FTR Act). Secara umum pendekatan yang dilakukan berdasarkan FTR Act 1988 adalah prescriptive. Selanjutnya berdasarkan anti-Money Laundering/Counter Terrorism Financing atau yang dikenal dengan AML/CFT Act 2006, pendekatan dilakukan berdasarkan risk-based. AUSTRAC merupakan Financial Intelligence Unit (FIU) yang bertipe Administratif dan merupakan menjadi bagian dari Australian Government Attorney-Generals Department. Keberadaan AUSTRAC dalam AML/CFT Act 2006 tercantum dalam bagian 209. AUSTRAC memiliki 6 kantor yang terdiri dari 1 kantor pusat di New South Wales dan 5 kantor regional di 5 state yang berbeda (Victoria, ACT, Qld, WA, dan SA). AUSTRAC memiliki peran ganda yaitu sebagai regulator dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Australia (the AML/CTF Act and FTR Act); dan sebagai lembaga di bidang intelijen keuangan /financial intelligence unit AUSTRAC menerima, menganalisis dan menyediakan atau menyampaikan informasi kepada pihak terkait yang berwenang di dalam negeri (partner agencies) maupun di luar negeri (international counterparts). Informasi AUSTRAC digunakan oleh pihak terkait dimaksud dalam penyelidikan berbagai tindak pidana seperti pencucian uang, penipuan/fraud, obat terlarang, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya. Jenis laporan yang diterima AUSTRAC dari pihak pelapor sesuai AML/CFT Act terdiri dari Suspicious Matter Reports (SMR), Threshold Transaction Report (TTR), dan International

Fund Transfer Instruction (IFTI) serta Cross Border Movement (CBM). Berkenaan dengan domestic dan international coordination diketahui pada saat ini yang menjadi domestic partner agencies AUSTRAC meliputi law enforcement, national security, social justice, revenue collection, regulatory. Sedangkan jumlah FIU yang telah menandatangi MOU dengan AUSTRAC sebanyak 59 FIU. Pihak-pihak yang diatur dan diawasi oleh AUSTRAC terdiri dari pihak pelapor yang melakukan kegiatan salah satu dari 71 designated services, yang meliputi: a. Provision of an account b. Pemberian pinjaman (Making a loan) c. Leasing dan penyewaan (Some leasing and hire purchase agreement) d. Penerbitan kartu debit, money order, travel cek atau store value card e. Penerimaan taruhan dan atau pembayaran kepada pemenang taruhan (accepting bets and/or paying winnings) Berdasarkan FTR Act dan AML/CFT Act, pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan kepada AUSTRAC yakni: lembaga keuangan (financial institutions);pedagang valuta asing (bureau de changes); pedagang emas dan permata (bullion sellers); penyedia jasa pengiriman uang (money transfer remmitters); pembawa uang tunai/cash carriers; perjudian/casinos; penyelenggara undian/TAB/bookmakers. Beberapa hal yang dapat disimpulkan berkenaan dengan materi RUU PPTPPT, sebagai berikut : 1. Pada hakikatnya, pendekatan yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme adalah pendekatan Follow the Money, yang menyakini bahwa uang dan segala bentuk property yang dimiliki oleh individual terrorist maupun terrorist group adalah merupakan jantungnya kegiatan pendanaan terorisme itu. 2. Key tools yang dipakai dalam strategi pemberantasan Pendanaan Terorisme haruslah ditujukan bagi Detection; Disruption; Prevention (termasuk melakukan upaya perlawanan atas radikalisasi teroris); dan Response. 3. Pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme membutuhkan respon dari multiagensi, yang meliputi:

52

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

a. Penetapan mekanisme pencegahan yang efektif, dan juga kemampuan khusus di dalam investigasi pelaku pendanaan terorisme. b. Koordinasi-koordinasi kebijakan antar lembaga c. Instrument-instrumen penegakan yang memadai d. Sasaran yang ditujukan dengan jelas untuk mencegah dan memberantas pendanaan terorisme. e. Peranan dan kesadaran dari lembaga-lembaga yang masih belum dapat merasakan bahwa keterlibatan lembaga mereka sangat penting, dan untuk itu mereka juga harus memperluas keikutsertaan mereka di dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme tersebut, seperti kantor pajak, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur mengenai yayasan-yayasan sosial, atau lembaga charity lainnya. f. Penguatan kerjasama internasional karena mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme bersifat transnasional, yang membutuhkan adanya kerjasama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya. Kerjasama internasional yang perlu dikuatkan tersebut antara lain kerjasama antar Financial Intellegence Units (FIUs), lembaga-lembaga pengawas dan pengatur mengenai charity, regulator sektor finansial (Bank Sentral), Kepolisian, Kepabeanan, Pengadilan, dll). 4. Komunitas internasional telah menyetujui standar-standar yang harus dipedomani dalam rangka penguatan rezim Counter Financing of Terrorism meliputi bidang-bidang pertukaran informasi, baik yang informal, bersifat intelligence, maupun yang dapat digunakan sebagai bukti adanya keterlibatan orang secara pribadi ataupun group dalam pendanaan terorisme tersebut. 5. Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR II dan SR III dari 9 Special Recommendation of FATF. Pada hakikatnya perbuatan yang harus dikriminalisasikan sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan dana yang dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi teroris atau teroris perorangan, untuk semua tujuan. Dengan demikian pendanaan terorisme harus diperluas sehingga menjadi sebagai berikut: a. Dana-dana (termasuk di dalamnya semua property) yang digunakan untuk pendanaan terorisme diperoleh

dari sumber-sumber yang sah (legitimate) maupun yang haram (illegitimate). b. Dana-dana tersebut yang walaupun pada kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan kegiatan terorisme tertentu. c. Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris perorangan, yang dilakukan di tempat yang sama maupun di tempat yang berbeda dari penanggung jawab di bidang keuangan terorisnya. 6. Kriminalisasi harus pula meliputi perbuatan-perbuatan pidana lainnya, seperti percobaan, penyertaan, konspirasi. 7. Dibandingkan dengan konvensi, maka elemen-elemen yang terkandung dalam SR II lebih luas, meliputi perbuatan untuk menyediakan atau mengumpulkan dana, yang sengaja disediakan untuk digunakan oleh organisasi teroris atau teroris perseorangan untuk tujuan apapun. Tantangan-tantangan dihadapi dalam implementasi, antara lain, bahwa berdasarkan kriteria penting yang ada di dalam SR II. 1, pengaturan mengenai pendanaan terorisme belum seluruhnya meliputi pendanaan terorisme untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme dan individual terorisme. a. Tidak semua treaty tentang kejahatan-kejahatan sebagaimana ada dalam lampiran konvensi telah mencakup mengenai kegiatan pendanaan terorisme. Negara-negara yang belum menjadi peserta dalam suatu treaty dapat melakukan kriminalisasi atas kegiatan pendanaan terorisme. Untuk proses penuntutan harus pula dapat dibuktikan bahwa tindak pidana yang dilakukan ditujukan untuk tujuan khusus tertentu, seperti untuk melakukan intimidasi pada suatu pemerintah tertentu, dll. 8. Terkait dengan standar internasional untuk pembekuan dana/aset, SR III mengharuskan negara-negara untuk melakukan pembekuan dana ataupun aset lainnya dari orang-orang yang telah ditentukan oleh UNSCR (United Nations Security Council Resolution) Number 1267, yaitu Al Qaeda dan Taliban, termasuk di dalamnya adalah orang atau organisasi, kelompok, perusahaan maupun asosiasi-asosiasi lainnya yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan Taliban tersebut. Nama-nama tersebut

53

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

dikirimkan kepada delegasi Dewan Keamanan PBB dan kemudian diedarkan kembali kepada negara-negara yang berwenang. Prosedur pembekuan aset-aset untuk kelompok tersebut haruslah without delay and without prior notice to targets. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah dilakukannya pemindahan aset oleh mereka yang akan mengakibatkan sulitnya pelacakan dan pembekuan aset. Pembekuan dana atau aset lainnya dari Orang yang telah ditentukan oleh UN sebagai teroris menurut masing-masing Pemerintah negara, berdasarkan Resolution Number 1373, misalnya LTTE di Malaysia, dll. Resolusi ini tidak diperuntukkan bagi taliban atau Al Qaeda, dan tidak termasuk nama-nama yang sudah masuk dalam daftar teroris yang dikeluarkan oleh UN. 9. Diaturnya prosedur pelacakan, pembekuan, penyitaan aset-aset teroris dalam proses penyidikan kasus terorisme maupun dalam proses lainnya dalam kasus pendanaan terorisme. Setiap negara juga diwajibkan untuk memiliki hukum dan prosedur untuk: a. Melakukan pembekuan dana dan aset lainnya dari teroris maupun pihak-pihak lain yang berafiliasi dengan prinsip without delay and without prior notice to targets; b. Menerima permohonan negara lain atas diterapkannya Resolusi 1373 dalam rangka tindakan pembekuan asetnya; c. Mengkonfirmasi mengenai permohonan oleh negara tersebut apakah yang menjadi landasan pengajuannya, apakah berdasarkan pada alasan yang reasonable atau memiliki dasar hukum yang tepat untuk dimintakannya tindakan pembekuan tersebut; d. Melakukan tindakan untuk membekukan aset untuk merespon permintaan tersebut, jika sesuai, dilakukan tanpa ditunda dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada orang yang diduga melakukan pendanaan terorisme tersebut. 10. Sebagai response atas Resolusi 1267 dan 1373, maka pada pelaksanaan rezim Extraordinary ini menghendaki 2 (dua) hal, yaitu: a. Mensyaratkan kemungkinan tetap dilakukannya pembekuan atas aset sekalipun tiada penuntutan. b. Dapat melingkupi proses administratif dan juga proses peradilan, dengan maksud adalah:

Untuk tetap menjaga dana tetap dibekukan selama proses pembuktian ataupun prses investigasi terhadap tindak pidana pendanaan terorismenya berjalan.

Harus menyertakan keterlibatan institusi keuangan secara langsung di dalam melaksanakan kewajibannya, serta orang-orang yang memegang aset untuk melakukan pembekuan without undue delay.

11. Lingkup penerapan Resolusi 1267 dan 1373 pada hakikatnya menghendaki adanya perluasan makna pelaksanaan freezing atau pembekuan yaitu terhadap dana ataupun aset lainnya: a. Yang seluruhnya atau yang secara bersama-sama dimiliki atau dikuasai, secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang-orang yang telah ditetapkan, sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi teroris; dan b. Yang dihasilkan atau didapatkan dari dana atau aset lainnya yang dimiliki atau dikontrol secara langsung ataupun tidak langsung oleh orang-orang yang telah ditetapkan sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi terorisme. 12. Berdasarkan c. III. 5 Resolusi 1267 dan 1373, maka diwajibkan bagi negara-negara untuk dapat menerapkan mekanisme komunikasi kepada sektor keuangan maupun pihak-pihak lainnya terkait dengan prosedur freezing. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan efektif, mengingat proses freezing menjadi hal penting dalam konteks pendanaan terorisme, dan harus dilaksanakan dengan sifatnya yang urgen. 13. Berdasarkan c. III.6 Resolusi 1267 dan 1373, maka untuk menciptakan proses freezing yang efektif, negara-negara harus membuat pedoman yang jelas bagi institusi-institusi keuangan dan pihak-pihak lain atau badan hukum yang mungkin menguasai dana-dana atau aset-aset yang menjadi target pembekuan. 14. Terkait dengan SR III, maka seharusnya terdapat sistem monitoring yang memadai untuk memantau kepatuhan dari pihak-pihak di bawah rezim freezing terhadap

54

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

ketentuan hukum yang relevan, peraturan dan kebijakan, dan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang non compliance secara tepat. 15. Mekanisme lain yang seharusnya diterapkan pula berdasarkan Resolusi 1267 dan 1373, adalah bahwasannya negara-negara harus mengimplementasikan pula prosedur pemberitahuan kepada publik untuk: a. Permintaan untuk melakukan delisting (c.III.7); b. Permintaan dilakukannya unfreezing atas dana-dana atau aset dari orang yang dimintakan delisting tersebut (c.III.7); c. Permintaan untuk unfreezing atau dana-dana atau aset dari orang atau badan hukum lainnya yang terkena imbas dari mekanisme pembekuan, misalnya beberapa kasus yang telah diverifikasi karena adanya kesalahan identitas atau terjadi kekeliruan (c.III.8); d. Pihak-pihak atau perusahaan yang dana atau asetnya telah dibekukan tersebut diperbolehkan melakukan CHALLENGE kepada pengadilan atas tindakan pembekuan yang telah dilakukan. 16. Menurut c. III.9 Resolusi 1267 sejalan dengan Resolusi 1425, ada pula kewajiban dari pihak berwenang untuk mengakses dana atau aset yang dibekukan untuk menentukan biaya-biaya dan pembayaran atas berbagai tipe tambahan biaya, seperti biaya hipotek, biaya-biaya yang telah dikeluarkan lainnya.

55

Halaman ini sengaja dikosongkan

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011

Peraturan 13/25/PBI/2011

Tanggal 09/12/2011

Satker DPNP

Perihal Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain

13/24/PBI/2011 13/23/PBI/2011

01/12/2011 02/11/2011

DPM DPbS

Operasi Moneter Syariah. Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

13/22/PBI/2011 13/21/PBI/2011 13/20/PBI/2011 13/19/PBI/2011

30/09/2011 30/09/2011 30/09/2011 22/09/2011

DInt DSM DPM DPNP

Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum.

13/18/PBI/2011

01/08/2011

DPU

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004

13/17/PBI/2011

01/08/2011

DPU

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005.

13/16/PBI/2011

01/08/2011

DPU

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004

13/15/PBI/2011

23/06/2011

DSM

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank

57

Halaman ini sengaja dikosongkan

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Juni - Desember 2011

Peraturan 13/29/DPNP

Tanggal 09/12/ 2011

Satker DPNP

Perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan Layanan Nasabah Prima

13/28/DPNP 13/27/DPM

09/12/2011 01/12/2011

DPNP DPM

Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

13/26/DPNP

30/11/2011

DPNP

Perubahan atas SE No. 13/8/DPNP tanggal 28 Maret 2011 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test)

13/25/DPNP

25/11/2011

DPNP

Pencabutan SE BI No. 29/02/UPPB tgl. 31 Juli 1996 perihal Tatacara Penerimaan, Penatausahaan, Pelaporan Setoran Penerimaan Negara dan Pengenaan Sanksi.

13/24/DPNP 13/23/DPNP

25/10/2011 25/10/2011

DPNP DPNP

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum

13/22/DASP

18/10/2011

DASP

Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia

13/21/DSM 13/20/DPM

15/08/2011 08/08/2011

DSM DPM

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga Bukan Bank. Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.

13/19/DSM

10/06/2011

DSM

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah

59

Halaman ini sengaja dikosongkan

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI

13/25/PBI/2011

1.

Tujuan pengaturan ini adalah : a. Agar bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan mengoptimalkan pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intermediasi sejalan dengan semakin kompleks dan beragamnya kegiatan usaha dalam menghadapi pesatnya perkembangan dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan b. Agar bank menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya) sehingga bank dapat meminimalisasi risiko yang mungkin timbul atas penyerahan pekerjaan tersebut; dan c. Agar terdapat kejelasan atas tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut dan terjaganya aspek perlindungan nasabah.

2.

Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

3.

Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.

Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.

5.

Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko Bank dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.

6.

Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank.

7.

Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diatas paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. berisiko rendah; b. tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank.

61

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI 8.

RINGKASAN PBI Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya; c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; d. memiliki Sumber Daya Manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya. 9. Bank wajib melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas pemenuhan kriteria Perusahaan Penyedia Jasa. 10. Perjanjian Alih Daya paling kurang mencakup aspek-aspek: ruang lingkup pekerjaan; jangka waktu perjanjian; nilai kontrak; struktur biaya dan mekanisme pembayaran; hak, kewajiban dan tanggung jawab bank maupun perusahaan penyedia jasa, termasuk didalamnya adalah kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan akses pemeriksaan kepada Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank dalam hal diperlukan; ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan; kriteria atau kondisi early termination; sanksi dan penalti; dan penyelesaian perselisihan. 11. Bank wajib menyampaian laporan kepada Bank Indonesia yang mencakup: a. Laporan rencana Alih Daya; dan b. Laporan Alih Daya yang bermasalah. 12. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut: a. menghentikan Alih Daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan perjanjian Alih Daya paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) dalam rangka penyesuaian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c. 13. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar dan/atau sanksi administratif, antara lain berupa : a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.

62

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank apabila menurut penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank.

13/24/PBI/2011

1.

Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan transaksi khususnya transaksi yang memiliki second leg serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah (OMS) khususnya Pasal 18 mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal.

2.

Dalam hal transaksi Operasi Moneter Syariah batal, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo dan dalam hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang direpo-kan. b. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo dan dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.

3. 13/23/PBI/2011 I.

Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2011. Tujuan pengaturan untuk mengakomodasi karakteristik kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan konvensional dan dalam rangka memenuhi amanah Pasal 38 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penerapan Manajemen Risiko pada BUS dan UUS disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan BUS dan UUS.

II.

Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi: 1. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS (BUK induk). 2. Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup : a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

63

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI 3. BUS dan UUS wajib menerapkan Manajemen Risiko yang mencakup 10 risiko, yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan Risiko Investasi (equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan penilaian terhadap Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian kedua jenis risiko dimaksud belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS. 4. Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate), 3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High). 5. Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah. 6. Penerapan Manajemen Risiko UUS adalah sebagai berikut : a. Manajemen Risiko UUS merupakan satu kesatuan dengan Manajemen Risiko BUK induk. b. Fungsi pengawasan aktif terbatas sampai dengan Direktur UUS. c. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit UUS merupakan bagian tidak terpisahkan dari Manajemen Risiko BUK induk. d. Sistem Informasi Manajemen Risiko UUS dapat menggunakan teknologi sistem informasi yang digunakan dalam system informasi Manajemen Risiko BUK induk. e. Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung dengan sistem pengendalian intern dari BUK induk. f. Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko untuk UUS dapat dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan BUK induk sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS. Dalam hal Komite Manajemen Risiko untuk UUS dibentuk secara tersendiri, maka keanggotaan Manajemen Risiko UUS paling kurang terdiri dari : 1) Direktur UUS 2) Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK 3) Pejabat eksekutif terkait. Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS digabung dengan komite Manajemen risiko BUK induk maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko UUS, Direktur UUS wajib diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite Manajemen Risiko BUK induk. 7. Pemberian masa transisi untuk UUS sebagai berikut: a. kewajiban penyampaian laporan profil Risiko untuk UUS berlaku sejak laporan posisi bulan Juni 2012. b. penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko untuk UUS berlaku pertama kali pada laporan tahunan BUK induk posisi akhir Desember 2012.

64

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI 8. BUS dan UUS menyampaikan laporan profil risiko secara triwulanan kepada Bank Indonesia paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan laporan dan mengungkapkan Manajemen Risiko dalam laporan tahunan sesuai dengan ketentuan transparansi kegiatan usaha bank. 9. Dengan diberlakukannya PBI ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS.

13/22/PBI/2011

I.

Latar Belakang 1. Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana valuta asing yang relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing. Dengan pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang lebih berimbang dengan sumber pasokan dari dari dalam negeri, diharapkan mendukung upaya menjaga stabilitas makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar. 2. Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui Bank Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar negeri tersebut berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan penarikan devisa utang luar negeri kepada Bank Indonesia.

II.

Pokok-pokok Pengaturan 1. Debitur Utang Luar Negeri (ULN) wajib melaporkan setiap penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) yang dilakukannya melalui Bank Devisa kepada Bank Indonesia. 2. Laporan penarikan DULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya dan apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan penarikan DULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. 3. Laporan penarikan DULN wajib disertai dokumen pendukung. 4. Penyampaian laporan penarikan DULN dapat dilakukan melalui media online, media offline atau menggunakan hardcopy. 5. Pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN serta pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan dokumen pendukung

65

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa denda yang disetorkan ke rekening Kas Negara. 6. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN. 7. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012 dan pengenaan sanksinya mulai diberlakukan untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan Juli 2012.

13/21/PBI/2011

1.

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tujuan pelaporan tersebut adalah untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem pembayaran. Adapun keterangan dan data yang diperoleh dari pelaporan ini diperlukan untuk penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta statistik lainnya.

2.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank merupakan penyempurnaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD, termasuk untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE). Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi, dan sanksi pelaporan. Berbeda dengan PBI sebelumnya yang juga mengatur Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB), PBI baru ini hanya mengatur bank, mengingat terdapat perbedaan karakteristik kegiatan usaha antara bank dengan LKNB.

3.

Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah seluruh bank umum yang berkedudukan di Indonesia.

4.

Bank sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum mencakup data/informasi tentang: a. Transaksi bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank, dan/atau b. Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN bank. Dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah, bank wajib menyampaikan rincian transaksi ekspor dan dokumen pendukungnya kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam PBI yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI 5.

RINGKASAN PBI Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD, bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD, serta Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pembebanan sanksi denda dilakukan dengan cara mendebet rekening giro bank di Bank Indonesia untuk kemudian disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia. 6. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Oktober 2011 yang disampaikan bulan November 2011. 7. Pengenaan sanksi untuk penyampaian rincian transaksi terkait Ekspor Nasabah mulai berlaku untuk data PL bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012. 8. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD bank yang baru, maka PBI No.1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali pasal-pasal yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga keuangan non bank untuk data sampai dengan periode laporan bulan Desember 2011 yang disampaikan bulan Januari 2012.

13/20/PBI/2011

I.

Latar Belakang dan Tujuan Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan. Sementara itu, pasokan valuta asing di pasar domestik yang sebagian besar dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek merupakan salah satu sumber dana pembangunan ekonomi yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Sumber dana lain yang sifatnya stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan Indonesia, DHE dan DULN dimaksud dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional dan juga bermanfaat untuk mendorong terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat serta mendukung upaya menjaga kestabilan nilai rupiah. Dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia sehingga diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

II.

Materi Pengaturan A. Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa di Indonesia 1. Seluruh DHE wajib diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa di Indonesia. 2. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

67

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI 3. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa, yang dilakukan dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. 4. Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE yang diterima, kepada Bank Devisa. Informasi dimaksud disampaikan kepada Bank Devisa paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa yang kemudian diteruskan kepada Bank Indonesia. 5. Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang dipersyaratkan, kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan bukti dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB. 6. DHE yang diterima oleh Eksportir harus sesuai dengan Nilai PEB. Eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa. 7. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena maklon, jasa perbaikan, dan/atau operational leasing atau financial leasing, maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir harus tetap menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung. 8. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena biaya administrasi sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai PEB atau paling banyak ekuivalen Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. 9. Eksportir yang tidak menerima DHE atau menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB melalui Bank Devisa karena importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB. Namun demikian, untuk DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya sama atau melebihi 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI B. Kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa 1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. 2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari: a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing; b. Selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). 3. Penarikan DULN wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. 4. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur ULN lebih kecil dari komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia. C. Pemantauan DHE dan DULN 1. Bank Indonesia melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan Eksportir terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE. 2. Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN. 3. Dalam melakukan penelitian kepatuhan Eksportir dan Debitur ULN, Bank Indonesia dapat meminta bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait. D. Pengenaan sanksi 1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi denda tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda. 2. Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi administratif dan/atau tidak memenuhi kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa, dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE dan penarikan DULN melalui Bank Devisa. 4. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia. 5. Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Bank Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti pembayaran sanksi administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui Bank Devisa.

69

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI E. Penyampaian informasi dan laporan 1. Prosedur penyampaian informasi serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung dalam kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa. 2. Prosedur penyampaian laporan serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung dalam kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan DULN. F. Ketentuan peralihan 1. Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa atau dikaitkan dengan pembayaran kewajiban Eksportir yang sudah ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan 12 (dua belas) bulan setelah berlakunya PBI ini. Penerimaan DHE tersebut harus dilaporkan Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB. 2. Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun 2012, kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah tanggal PEB. 3. Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan Eksportir dengan kewajiban Eksportir hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 dan dilengkapi dengan dokumen pendukung. 4. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendment) yang ditandatangani setelah berlakunya PBI ini. G. Ketentuan penutup 1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012. 2. Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012.

13/19/PBI/2011

1.

Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah: a. perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LBBU dalam rangka optimalisasi pemanfaatan laporan lain yang telah dipercepat penyampaiannya. b. perlu penyempurnaan formulir laporan pos-pos neraca mingguan dan laporan profil maturitas. c. perlu penambahan laporan baru yaitu (i) laporan perhitungan ATMR untuk risiko kredit dengan metode standar dan (ii) laporan perhitungan suku bunga dasar kredit (SBDK). d. perlu penyempurnaan beberapa pengaturan di ketentuan LBBU dalam rangka penyelarasan dengan ketentuan lain mengenai pelaporan.

70

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI 2.

RINGKASAN PBI Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain: a. Penyampaian beberapa laporan di LBBU untuk bank secara individu dimajukan dari periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6) dengan masa transisi sebagai berikut: 1. sejak posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 s.d posisi laporan tanggal akhir bulan Maret 2012, penyampaian beberapa laporan di LBBU dimajukan dari periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian II (paling lambat tanggal 13); 2. selanjutnya, dimajukan menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6). b. Tambahan data mengenai laporan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Metode Standar dan laporan perhitungan SBDK bagi Bank Umum Konvensional mulai berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud di LBBU, yang akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia. c. Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online karena hal-hal tertentu sebagaimana diatur dalam PBI tersebut, wajib menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari kerja setelah periode penyampaian yang sama. d. Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU secara online tetap dilakukan pada hari yang sama. Dalam hal terdapat pertimbangan tertentu, waktu penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank Indonesia.

13/18/PBI/2011

1.

Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.

Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 100.000 (seratus ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen;

71

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI100000 yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI100000 yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

13/17/PBI/2011

1.

Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.

Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 50.000 (lima puluh ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;

72

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI50000 berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga. d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI50000 berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna hitam; 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

13/16/PBI/2011

1.

Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.

Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi: a. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan serat kapas; b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 20.000 (dua puluh ribu); c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI20000 berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning di bawah sinar ultra violet; 5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang.

73

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut: 1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm; 2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau; 3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 4. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam; 5. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan BI20000 berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning di bawah sinar ultra violet; 6. rainbow printing dalam bidang berbentuk persegi panjang; 7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau ditengahnya berwarna putih. e. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

13/15/PBI/2011

1.

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Adapun tujuan pelaporan tersebut untuk pemantauan kegiatan LLD yang sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta untuk mendukung perumusan kebijakan.

2.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan penyempurnaan dari ketentuan pelaporan Kegiatan LLD sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD. Disamping itu, juga untuk mengeliminir redudansi data laporan perusahaan yang disampaikan kepada Bank Indonesia selama ini, seperti dalam pelaporan Utang Luar Negeri, dan laporan tentang kegiatan pedagang valuta asing. Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan pelaporan LLD dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi dan sanksi pelaporan.

3.

Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah Lembaga Bukan Bank (LBB) yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. BUMN; b. BUMD yang memiliki utang luar negeri; c. Lembaga Keuangan Non Bank; d. Perusahaan Publik; e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas; f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang;

74

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

NOMOR PBI

RINGKASAN PBI g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa; h. Perusahaan penanaman modal asing; i. j. BUMS yang memiliki utang luar negeri; Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; dan/atau yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. LBB sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum mencakup data/informasi tentang: a. Transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk; dan/atau b. Posisi dan perubahan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN). 5. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Juni 2011 yang disampaikan bulan Juli 2011 dengan masa uji paralel selama 7 bulan. 6. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD LBB yang baru maka : a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.

k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset tertentu

75

Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai