Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

TONSILEKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI

Pembimbing : dr. Dublianus Sp.An

Penyusun: Edo Pramana Putra 1102009093 Pribunga Fatma Sagardi 1102009216

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul general anestesia tonsilitis akut pada dewasa. Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon. Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para konsulen bagian Anestesiologi. dr. Dublianus Sp.An dan dr. Evita Sp.An. atas keluangan waktu dan bimbingan yang telah diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik bagian anestesiologi dan staf bagian anestesiologi yang selalu mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya presentasi kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini. Akhirnya semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Amin.

Cilegon, Oktober 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 1 DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 3 BAB II STATUS PASIEN................................................................................................ 4 BAB III LAPORAN ANASTESI ..................................................................................... 8 BAB IV ANALISA KASUS ............................................................................................ 14 BAB V TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 18 BAB VI KESIMPULAN .................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 37

BAB I PENDAHULUAN

Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat semetara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anelgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tapa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum-selama dan sesudah pembedahan. Tangung jawab utama dari seorang ahli anestesi adalah menjamin respirasi yang adekuat bagi pasien. Unsur vital dalam menyediakan fungsi resfirasi adalah jalan nafas. Tidak ada anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras untuk memelihara jalan nafas yang lapang. Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien. Tujuan dari presentasi kasus ini adalah mendiskusikan penatalaksanaan anestesia dengan intubasi

BAB II STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Berat Badan Alamat : Tn. H : 43 tahun : Laki-laki : 54 kg : Kp. Gunung Busak I RT07/RW05 Banyuwangi, Pulo Ampel, Cilegon, Banten. Agama Diagnosis pre operasi Jenis pembedahan Jenis anestesi Tanggal masuk Tanggal Operasi : Islam : Tonsilitis : Tonsilektomi : General Anestesi : 20 Oktober 2013 : 21 Oktober 2013

II.

ANAMNESIS a. Keluhan utama: pasien tidak merasa ada keluhan, demam, batuk maupun pilek. Namun masih merasa kesulitan menelan. b. Riwayat sebelumnya: Pasien merupakan pasien THT dengan diagnosis tonsillitis akut. Pasien sudah dipuasakan sebelum dilakukan operasi. Keluhan berupa mual, muntah, dan adanya demam sebelum diadakan operasi disangkal. Pasien mengatakan tidak memakai gigi palsu ataupun gigi yang goyang. c. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat Operasi Riwayat Penggunaan zat anestesi Riwayat Hipertensi Riwayat Asma Riwayat Alergi obat Riwayat Diabetes mellitus (-) (-) (-) (-) (-) (-)

d. Riwayat penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi :


4

(-)

Riwayat Asma Riwayat Alergi obat Riwayat Diabetes mellitus

(-) (-) (-)

III.

PEMERIKSAAN FISIK a. Status generalis Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos mentis Tanda tanda vital : 1. Tek. Darah : 120/80 mmHg 2. Nadi 3. Respirasi 4. Suhu : 86 x/menit : 20 x/menit : 36.8 oC

Kepala : Normocephali Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil isokor, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+). Hidung : Bentuk hidung normal, septum anterior normal, deviasi septum (-), nyeri tekan sinus (-), liang hidung lapang, sekret (-), konka nasalis media dan inferior sinistra dan dextra tidak edema. Telinga : Bentuk telinga normal, nyeri tekan preaurikula dan postaurikula (-), serumen (+), sekret (-), gangguan pendengaran (-), membrana timpani intak (+/+). Mulut : Mukosa baik, higienis baik, lidah dan uvula tidak deviasi, tonsil membesar (+), Tonsil T3-T3, tidak hiperemis dan mengeluarkan sekret, faring normal, eritema (-). Gigi geligi lengkap, tidak ada yang goyang dan saat ini tidak mengunakan gigi palsu Leher Paru Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasan statis dan dinamis : Leher pendek (-), tidak teraba pembesaran KGB, trakea ditengah.

Thorax :

simetris, tetraksi sela iga (-). Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak

teraba massa, krepitasi (-)

Perkusi

: Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-, wheezing /-

Jantung Inspeksi Palpasi : Iktus kordis tidak terlihat : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima linea

midklavikuka sinistra Perkusi : Batas jantung kiri sela iga IV linea midklavikula

sinistra, Batas jantung kanan sela iga IV linea parasternal dextra, Batas pinggang jantung sela iga III linea parastelnal sinistra. Auskultasi : Bunyi jantung I II reguler, tidak ditemukan gallop maupun murmur. Abdomen Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada

ditemukan sikatrik dan massa. Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Turgor kulit baik,

hepar tidak teraba mebesar. Lien tidak teraba membesar. Tidak ada asites. Perusi : Terdengar timpani pada 4 kuadran

Auskultasi : Bising usus (+) : Tidak ditemukan adanya edema pada kedua tungkat atas dan

Ekstremitas

bawah. Pada kedua tangan dan kaki teraba hangat. Capillary refill kurang dari 2 detik.

IV.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit :14,1 g/dl : 9.960/ul :42,5% : 317.000/ul

Masa Pendarahan : 2 menit Masa Pembekuan : 10 menit Gol. Darah HbsAg : A/ Rh + : Non Reaktif
6

Anti HIV

: Non Reaktif

V.

KESIMPULAN Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka: Diagnosis pre operatif Status operatif Jenis operasi Jenis anestesi : Tonsilitis akut : ASA I, Mallampati II : Tonsilektomi : General Anastesi

BAB III LAPORAN ANESTESI

A. Pre Operatif Informed Consent (+) Puasa (+) selama 8 jam Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu IV line terpasang dengan infus RL 500 cc Keadaan Umum Kesadaran Tanda vital Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi RR Suhu : 86 x/menit : 20 x/menit : 36,8 0C : Tampak sakit ringan : Compos Mentis

B. Premedikasi anestesi Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan ondansetron 4 mg secara bolus IV.

C. Pemantauan Selama Anestesi Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan dan jantung. Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit Tekanan darah setiap 5 menit Respirasi : inspeksi pernapasan spontan pada pasien Saturasi oksigen Cairan : Monitoring input cairan

D. Monitoring Tindakan Operasi : Jam Tindakan Tekanan Darah (mmHg) 08.35 Pasien masuk ke kamar operasi, 130/70 dan dipindahkan ke meja operasi Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi O2 Infus RL terpasang pada tangan kanan 08.40 08.45 Obat induksi dimasukkan secara 110/70 iv: o Propofol 100 mg o Fentanyl 100 g o Noveron 35 mg Kemudian mengecek apakah 67 100 68 100 Nadi (x/menit) Saturasi O2 (%)

refleks bulu mata masih ada atau sudah hilang. Lalu dilakukan tindakan face mask dengan diberikan: o O2 : 2 L o N2O : 2 L o Isoflurane : 1,5 vol% 08.45 08.50 Dilakukan tindakan pemasangan 108/60 endotracheal tube no. 30 dengan non kinking menggunakan 68 98 sungkup no.3, dan

laringoskop Kedua mata pasien diberikan

ophtalmic ointment (salep mata) dan ditutup dengan kassa Pernafasan spontan (08.49)

08.50

Operasi dimulai Kondisi terkontrol Kondisi terkontrol Dilakukan skin test antibiotik cefotaxime pada lengan bawah kanan Kondisi terkontrol Isoflurane diturunkan menjadi 1 vol% Kondisi terkontrol Dilakukan penggantian infus RL 500 cc (kolf II) Diberikan 500mg Asam Tranexamat

90/58

67

100

08.55

100/53

68

100

09.00

100/58

68

100

09.05

100/65

68

100

09.10

Kondisi terkontrol Hasil skin test (-), diberikan cefotaxime 1 gr iv bolus Diberikan ketorolac 30mg iv bolus Tramadol diberikan 100 mg secara iv drip Operasi selesai Memasang goedel (oral airway) , dilakukan suction , dan pelepasan nasal endotracheal tube

112/70

68

100

09.15

108/66

68

100

09.20

Gas N2O dan isoflurane dimatikan, 98/65 dan gas O2 dinaikkan menjadi 5 vol % (oksigenisasi) dengan menggunakan face mask Gas 02 dihentikan Pelepasan alat monitoring Pasien dipindahkan ke ruang

67

100

recovery room 09.25 Dilakukan pemasangan


10

alat 108/75

72

99

monitoring pada recovery room Pasien dapat dibangunkan dan memonitoring keadaan pasien.

E. INTRAOPERATIF (21 Oktober 2013) Tindakan Operasi : Tonsilektomi Tindakan Anestesi : General anestesi Lama Operasi Lama Anestesi Jenis Anestesi : 25 menit (08.50-09.15) : 45 menit (08.40 09.25) : General anestesi dengan teknik Semi Close Circuit System dengan NTT no kinking no 30 menggunakan O2 2 L, N2O 2 L, dan isoflurane 1,5 Vol % Posisi Pernafasan Infus Premedikasi Induksi Rumatan : Supine : Spontan : Ringer Laktat pada tangan kanan 500cc : Ondansetron 4 mg i.v : - Propofol 100 mg i.v : - O2 2 L - N2O 2 L - Isoflurane 1,5 Vol % Medikasi : - Fentanyl 100g iv - Noveron 35 mg iv - Cefotaxime 1gr i.v - Ketorolac 30 mg i.v - Tramadol 100 mg i.v Intubasi : - Laringoskop blade no 3 Cairan Nasal Endotracheal Tube no 30 cuff (+) : Cairan Masuk: RL 1000 cc, cairan keluar tidak dapat dimonitoring karena tidak dilakukan pemasangan kateter.

F. POST OPERATIF

11

Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke kamar Bougenvile Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal Kesadaran TD Nadi Saturasi : Compos Mentis : 108/75 mmHg : 72x/min : 99%

Penilaian pemulihan kesadaran

Tabel . Variabel Skor Lockharte/Aldrete Skor Pasien

Variabel

Tem Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2

Skor

Aktivitas

Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah Tidak respon Dapat bernapas dalam dan batuk

1 0 2 1 0

Respirasi

Dispnea, hipoventilasi Apnea

Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2 Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi Sadar penuh Kesadaran Dapat dibangunkan Tidak respon Merah Warna kulit Pucat Sianotik
12

1 0 2 1 0 2 1 0

Skor Total 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

13

BAB IV ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis tonsillitis akut dengan ASA 1, yakni pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia. Pasien dianjurkan untuk melakukan operasi tonsilektomi. Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesadaran kompos mentis. Pasien sudah dipuasakan selama lebih dari 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi general dengan teknik Semi Close Circuit System dengan nasal tube no.30. Pada pasien diberikan premedikasi yaitu ondansetron 4 mg. Ondansetron merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah selama dan pasca bedah. Ondansetron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah yang bisa menyebabkan aspirasi. Pada pasien ini, dilakukan induksi dengan menggunakan propofol 100 mg (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB). Propofol merupakan analgetik yang tidak kuat namun dapat diberikan untuk induksi anestesi. Obat ini mempunyai onset 15 - 45 detik dan mempunyai efek vasodilatasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan

meyebabkan apneu. Selain itu, pada pasien juga diberikan fentanyl 100 g (dosis 12g/kgbb). Fentanyl merupakan zat sintetik dan memiliki kekuatan 100x morfin, distributifnya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak di paru dimetabolis oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan melalui urin. Efek depresi napasnya lebih lama dibanding dengan efek analgesiknya. Efek analgesik kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan tidak untuk pasca bedah. Lalu diberikan Noveron 35 mg (dosis 0,6-1 mg/kg). Noveron (rocuronium bromide) merupakan obat golongan pelemas otot nondepolarisasi intermediate acting. Golongan non depolarisasi merupakan inhibitor kompetitif dari asetil-kolin. Rocuronium berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak

menyebabkan depolarisasi. Noveron memiliki onset 30-60 detik dengan durasi kerja 30-60 menit.

14

Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan juga beberapa gas inhalasi berupa N20 2L, O2 2L, dan isoflurane 1,5 vol% melalui mesin anestesi. Isofluran merupakan isomer dari enfluran. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isoflurane cepat. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga banyak digemari untuk anestesi teknik hipotensi. N20 bersifat anestetik lemah tetapi analgesik kuat sehingga dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Selama operasi berlangsung dilakukan tanda vital berupa tekanan darah , nadi ,dan saturasi oksigen tiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian cairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan berupa RL karena komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-, Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat pemberian obat-obatan intravena dan gas inhalasi vasodilatasi. Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut : Kebutuha Cairan Basal (M) : (4x 10 kg) + (2x10 kg) + (1x 37 kg) Kebutuhan cairan operasi (O) : Operasi sedang x berat badan 6 x 57 kg = 342 cc Kebutuhan cairan puasa (P) ; Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal 8 x 97 = 776 cc Pemberian cairan jam pertama : Kebutuhan cairan basal + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa 97cc + 342cc + 388 cc = 827 cc Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi yaitu cefotaxime 1gr. Cefotaxime merupakan antibiotik spektrum luas, golongan sefalosporin generasi ketiga. Tramadol 100 mg diberikan pada sebagai analgetik kuat dan bekerja secara sentral, pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Tramadol diberikan secara iv drip pada pasien. Pemberian tramadol dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari. Ketorolac 30 mg diberikan sebagai analgetik non opioid digunakan sebagai tambahan
15

yang mempunyai efek

= 97 cc

penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernapasan. Sifat analgentik ketorolac setara dengan opioid (30mg ketorolac = 100 mg petidin = 12 mg morfin), sedangkan sifat antipiretik dan anti infamasinya rendah. Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Selama operasi keadaan pasien stabil. Setelah operasis selesai, observasi dilanjutkan pada pasien di recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi oksigen.

16

BAB V TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM 1.1 Definisi Anestesi (pembiusan;berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu: Hipnotik (tidur) Analgesia (bebas dari nyeri) Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot) Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. 1.2 Metode anestesi umum I. Parenteral Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia. II. Perektal Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun tindakan singkat. III. Perinhalasi Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.

17

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum A. Faktor Respirasi Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah: 1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial 2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial B. Faktor Sirkulasi Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah: Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.

C. Faktor Jaringan Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan Koefisien partisi jaringan/darah Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD) D. Faktor Zat Anestetika Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut. E. Faktor Lain Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman anestesia

18

Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia semakin cepat.

1.4 Keuntungan anestesi umum : Mengurangi kesadaran pasien intraoperative Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga Dapat diberikan dengan cepat Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

1.5 Kekurangan anestesi umum : Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang normal Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia. 1.6 Indikasi anestesi umum : Infant dan anak usia muda Dewasa yang memilih anestesi umum Pembedahan luas Penderita sakit mental Pembedahan lama Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal Penderita dengan pengobatan antikoagulan

1.7 Komplikasi Anestesi 1. Kerusakan Fisik Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh darah, dan intubasi a. Pembuluh Darah

19

Benzodiazepin dan kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi. b. Intubasi Kerusakan pada bibir, gusi, dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi trachea. 2. Pernapasan Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung. 3. Kardiovaskuler Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi. Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat. Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu. 4. Hati Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi. 5. Suhu tubuh Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat.

20

1.8 Stadium anestesi Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu: a) Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini. b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi dan muntah. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.

c) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu: Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun). Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun). d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

21

PROSEDUR ANESTESI UMUM

2.1 Persiapan pra anestesi umum Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi: Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.

2.2 Persiapan pasien A. Anamnesis Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis: 1. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll. 2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paruparu kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal. 3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung

22

seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. 4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. 5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

23

D. Kebugaran untuk anestesi Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari. E. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia. F. Merencanakan prognosis Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :

Kelas Status fisik I Pasien normal yang sehat II III

IV

Contoh Pasien bugar dengan hernia inguinal Pasien dengan penyakit Hipertensi esensial, sistemik ringan diabetes ringan Pasien dengan penyakit Angina, insufisiensi sistemik berat yang tidak pulmoner sedang melemahkan sampai berat (incapacitating) Pasien dengan penyakit Penyakit paru sistemik yang melemahkan stadium lanjut, dan merupakan ancaman gagal jantung konstan terhadap kehidupan Pasien sekarat yang Ruptur aneurisma diperkirakan tidak bertahan aorta, emboli paru selama 24 jam dengan atau massif tanpa operasi Kasus-ksus emergensi diberi tambahan huruf E ke angka. Tabel 1.Klasifikasi ASA dari status fisik

24

G. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : -Meredakan kecemasan dan ketakutan -Memperlancar induksi anesthesia -Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus -Meminimalkan jumlah obat anestetik -Mengurangi mual muntah pasca bedah -Menciptakan amnesia -Mengurangi isi cairan lambung -Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

2.3 Persiapan peralatan anestesi Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan aman.

Mesin anestesi Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien
25

dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut: 1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat 2. Ruang rugi (dead space) minimal 3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien 4. Bertekanan rendah 5. Kelembaban terjaga dengan baik 6. Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari: 1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan. Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang obstetrik, dll. 2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge) Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm) 3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve) Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi. 4. Meter aliran gas (flowmeter) Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya. 5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers) Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat. 6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet) 7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control) Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

26

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah disepakati ialah:

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran Putih Biru Putihhitam kuning Tabel 2. Warna tabung gas dan alat penguap anestesi umum Sirkuit anestesi Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda. Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari: 1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea 2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve) 3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube) Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti tertekuk 4. Kantong cadang (reservoir bag) 5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet). Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre. Abu- Merah abu Jingga Ungu Biru kuning

Sungkup muka Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi

27

kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa. Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas. Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi pasien.

Gambar 1 Endotracheal tube (ETT)

Gambar 2

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

28

Indikasi Intubasi Trakea Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut: 1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya. 2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang. 3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Berdasarkan sumber lain, indikasi intubasi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi bedah dan anestesi serta indikasi penyakit kritis. Kontraindikasi a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

29

b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator Penyulit Intubasi Trakea Skor Mallampati Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi.

Kelas 1 Kelas 2

tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Kelas 3

Kelas 4

Tabel 3.Klasifikasi skor mallampati

Gambar.Mulut terbuka maksimal,lidah terjulur maksimal

30

Gambar.Tampakan pada laringoskopi langsung

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi: 1. Leher pendek dan berotot 2. Mandibula menonjol 3. Maksila/gigi depan menonjol 4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4) 5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas 6. Gerak verteba servikal terbatas.

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA) LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyakit jalan nafas restriktif.

31

2.4 Induksi anestesi Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:

S : Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:1 a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

32

Miller Blade

Macintosh Blade

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat. T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Di pasaran bebeas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.

Usia Prematur Neonatus 1-6 bulan -1 tahun 1-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Dewasa wanita Dewasa pria

Diameter (mm) 2,0-2,5 2,5-3,5 3,0-4,0 3,0-3,5 4,0-4,5 4,5-,50 5,0-5,5* 5,5-6,0* 6,0-6,5* 6,5-7,0 6,5-8,5 7,5-10

Skala French 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-30 28-30 32-34

Jarak Sampai Bibir 10 cm 11cm 11 cm 12 cm 13 cm 14 cm 15-16 cm 16-17 cm 17-18 cm 18-22 cm 20-24 cm 20-24 cm

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil: Diameter dalam pipa trakea (mm) Panjang pipa orotrakeal (cm) Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 4,0 + umur (tahun) = 12 + umur (tahun) = 12 + umur (tahun)

A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

33

Gambar. OPA dan posisinya

Gambar. NTA dan posisinya

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

2.5 Obat Anestesi umum

Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena. 1. Anestetik inhalasi Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap hati.

2. Anestetik intravena Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau
34

pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :

a) Barbiturat (tiopental, metoheksital) b) Benzodiazepine (midazolam, diazepam) c) Opioid analgesik dan neuroleptik d) Obat-obat lain (profopol, etomidat) e) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal. a. Induksi intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena. Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. b. Induksi intramuscular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. c. Induksi inhalasi
35

Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat : - tidak berbau menyengat / merangsang - baunya enak - cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama. d. Induksi per rectal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. 2.6 Teknik anestesi 1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong. Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
36

sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi. 2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi. 3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi. 4. Ekstubasi Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

Komplikasi pada ETI Saat Intubasi Kegagalan intubasi Saat ETT Sudah Digunakan Tension pneumotoraks

37

Cedera korda spinalis dan kolumna vertebralis Oklusi arteri sentral pada retina dan kebutaan Abrasi kornea Trauma pada bibir, gigi, lidah dan hidung Refleks autonom yang berbahaya Hipertensi, takikardia, bradikardia dan aritmia Peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular Laringospasme Bronkospasme Trauma laring Avulsi, fraktur dan dislokasi aritenoid Perforasi jalan napas Trauma nasal, retrofaringeal, faringeal, uvula, laringeal, trakea, esofageal dan bronkus Intubasi esofageal Intubasi bronkial Selama Ekstubasi Kesulitan ekstubasi Kesulitan melepas kaf Terjadi sutura ETT ke trakea atau bronkus Edema laring Aspirasi oral atau isi gaster

Aspirasi pulmoner

Obstruksi jalan napas Diskoneksi Tube trakeal Pemakaian yang tidak nyaman Peletakan yang lemah

ETT yang tertelan

Setelah Intubasi Suara mendengkur Edema laring Suara serak Cedera saraf Ulkus pada permukaan laring Granuloma laring Jaringan granulasi pada glotis dan subglotis Sinekiae laring Paralisis dan aspirasi korda vokal Membran laringotrakeal Stenosis trakea Trakeomalacia
38

Fistula trakeo-esofageal Fistula trakeo-innominata

2.7 Rumatan anestesi (maintenance) Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

2.8 Monitoring perianestesi Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien. 1. Kardiovaskuler a) Nadi Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan sirkulasi sering terjadi selama anestesi. b) Tekanan darah c) Banyaknya perdarahan 2. Respirasi Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau supraklavikula.

39

3. Suhu tubuh Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi mendepresi pusat pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu lingkungan. 4. Monitoring ginjal Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal 5. Monitoring blockade neuromuscular Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei apakah tonus otot sudah kembali normal 6. Monitoring sistem saraf Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.

2.9 Pasca bedah Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

Skor Aldrete Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar dari ruang pemulihan. Variabel Tem Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2 Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah Tidak respon 1 0 2 Skor Skor Pasien

40

Dapat bernapas dalam dan batuk Respirasi Dispnea, hipoventilasi Apnea

2 1 0 2

Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2 Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi Sadar penuh Kesadaran Dapat dibangunkan Tidak respon Merah Warna kulit Pucat Sianotik Skor Total 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU) 1 0 2 1 0 2 1 0 9 2 1 2

41

BAB VI KESIMPULAN Anestesi umum Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu: Hipnotik (tidur) Analgesia (bebas dari nyeri) Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot) Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Jenis obat anestesi umum Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena. Anestetik inhalasi Anestetik intravena Stadium anestesi Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu: a) Stadium I (analgesi) b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) c) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu: Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.

42

Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun). Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun). d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan. Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi. Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien, sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan. Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah dengan intubasi trakea. Sehingga teknik intubasi endotrakea ini harus dikuasai dengan betul dari mulai indikasi sampai dengan komplikasi-komplikasinya.

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.2010.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Anestesi umum didapat dari http://www.scribd.com/doc/80779918/anestesi-umum diunduh pada hari Senin,21 Oktober 2013.

44

Anda mungkin juga menyukai