Anda di halaman 1dari 44

STATUS PASIEN IDENTITAS Nama Jenis kelamin Umur Nama Ayah Umur Pekerjaan Pendidikan Nama Ibu Umur

Pekerjaan Pendidikan Agama Suku Alamat Tanggal masuk ANAMNESIS : An. H : laki-laki : 10 bulan : Tn. Y : 30 tahun : Karyawan : SMA : Ny. A : 25 tahun : IRT : SMA : Islam : Jawa : Kp. Teluh : 30 September 2013

Hub. dg orangtua : Anak kandung

I. II.

Keluhan utama Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli anak RSUD Cilegon dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan mendadak, dan ibu memberikan pasien obat penurun panas, tetapi tidak pada hari Minggu jumat tanggal 18 Agustus 2013 pukul 15.00 WIB dengan keluhan demam yang naik turun sejak hari Senin (7 hari yang lalu) dan dirasa meninggi pada saat malam hari. Panas dirasakan meninggi setiap harinya. Keluhan demam juga disertai nyeri kepala, pusing, mual-mual dan lemas. Pasien juga mengeluh perutnya merasa sakit dan tidak buang air besar selama 2 hari terakhir. Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya muntah 1x 1 hari yang lalu. Selain itu nafsu makan anaknya dirasa berkurang. Keluhan seperti batuk, pilek dan sesak nafas disangkal. Keluhan mimisan dan gusi berdarah secara tibatiba disangkal oleh pasien. Pada BAK tak ada keluhan, berkemih tidak terasa nyeri atau sakit, warna air seni kuning-bening, tak ada darah maupun lendir. Pasien memiliki kebiasaan sering jajan jajanan didepan sekolah atau di pinggir jalan setiap hari. Karena keluhan yang di alami pasien bertambah berat dan keadaan pasien semakin lemah, orang tua akhirnya memutuskan untuk membawa anaknya ke IGD RSUD Cilegon.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Saat berumur 5 bulan pasien pernah dirawat karena diare akut dan dirawat selama 10 hari. Saat berumur 5 bulan juga pasien pernah kejang 1x selama kurang lebih 5 menit disertai demam. Saat berumur 6 tahun 6 bulan pasien pernah dirawat karena demam tifoid di RS Cirebon.

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat kejang pada keluarga disangkal.

V.

Riwayat Pribadi

1. Riwayat Kehamilan Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Riwayat sakit selama kehamilan disangkal oleh ibu pasien. 2. Riwayat Persalinan Ibu sudah hamil 2x dengan riwayat persalinan normal. Anak pertama lahir di rumah sakit anak kedua lahir di bidan. Anak pertama lahir dengan cukup bulan dan berat badan 2800 gram dengan panjang badan 50cm. pasien langsung menangis kuat saat dilahirkan dan tidak ada cacat dan riwayat bayi biru saat pasien dilahirkan. 3. Riwayat Pasca lahir Tidak ada keluhan pada pasien dan ibu setelah melahirkan. VI. Riwayat Makanan Pasien diberi ASI selama 3 bulan pertama, lalu diberikan susu kaleng, semenjak diberikan susu kaleng pasien sering mencret-mencret. VII. Riwayat Perkembangan Pada saat umur 4 bulan pasien sudah bisa mengemgam jari orang tua, memegang benda-benda kecil, pada umur 6 bulan anak sudah bisa memanggil mama, papa. Saat berusia 8 bulan anak sudah bisa duduk tanpa di bantu. Umur 1 tahun anak sudah bisa di ajak berintraksi. Pada umur 2 tahun 4 bulan anak baru bisa berjalan. VIII. Riwayat Imunisasi Riwayat imunisasi tidak lengkap. Imunisasi BCG 1x ibu lupa diberikan pada umur berepa tahun. DPT 1x ibu lupa diberikan pada umur berapa tahun. Polio lengkap dilakukan diposyandu ibu lupa kapan saja waktu diberikannya. Imunisasi campak tidak dilakukan. Imunisasi Hepatitis B 1x saat anak lahir. Tidak ada pemberian booster/ulangan maupun pemberian imunisasi lain.

IX.

Sosial Ekonomi dan Lingkungan 1. Sosial ekonomi Pasien tinggal bersama Ayah, Ibu dan adiknya dalam 1 rumah. Ayah bekerja di PT. Pos Indonesia sebagai karyawan dengan penghasilan lebih dari 2 juta perbulan sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga dengan penghasilan tidak tetap. 2. Lingkungan Pasien tinggal di rumah dengan lingkungan padat penduduk. Rumah terdiri dari 1 kamar, 1 dapur, dan ruang keluarga serta 1 kamar mandi. Kebersihan dinilai bersih oleh ibu. Ventilasi dan sirkulasi rumah cukup baik. Saluran air tertutup, air bersih didapatkan dari pompa yang dihubungkan ke sumur.

PEMERIKSAAN FISIK 1. Tanda vital Keadaan umum Kesadaran Nadi Respirasi Suhu Tekanan darah : lemah : compos mentis. : 116 x/menit, reguler, isi cukup : 22 x/menit : 37,8 C : 110/70 mmHg

2. Status Gizi Klinis Berat badan : edema (-), tampak kurus (+) : 18 Kg Antropometri : Tinggi badan : 117 cm Lingkar kepala: 50 cm BB/U TB/U BB/TB Kesimpulan : 18/23 x100% : 117/120 x 100% : 18/22 x 100% : Gizi Kurang = = = 78,2 % (gizi kurang) 97.5% (tinggi baik) 81,81% (gizi kurang)

3. Pemeriksaan umum Kepala Mata Leher Telinga Normocephal, ubun-ubun sudah menutup, rambut hitam ebat dan lurus Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikteri, kedua mata tidak cekung Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ditemukan struma. Bentuk kedua telinga normal, tidak ditemukan nyeri tekan pada preaurikula dan postaurikula, liang telinga lapang, tidak ditemukan adanya serumen, sekret maupun darah yang keluar pada kedua Hidung liang telinga, kedua membrane timpani intak. Bentuk hidung normal, septum nasi tidak deviasi, tidak terdapat krepitasi dan nyeri tekan pada os nasal dan sinus. Tidak ada sekret maupun darah yang keluar dari ostium nasalis anterior. Konka nasaslis inferior dan media sinistra dan dextra tidak membesar. Tenggorokan Uvula tidak deviasi, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang, Mulut Thorax tidak ada post nasal drip. Bibir tidak kering dan mukosa mulut basah, lidah terkesan kotor dengan tepi hiperemis, tidak ada stomatitis. Jantung Ins: Iktus kordis tidak terlihat Pal: Pulsasi iktus kordis teraba Per: Batas jantung kiri sela iga IV linea midklavikula sinistra, Batas jantung kanan sela iga IV linea parasternal dextra, Batas pinggang jantung sela iga III linea parastelnal sinistra. Aus: Bunyi jantung I II reguler, tidak ditemukan gallop maupun murmur. Paru Ins: bentuk dada simetris bilateral, tidak terdapat retraksi dada, sikatrik, massa, pergerakan dada simetris saat statis maupun dinamis. Pal: Tidak ditemukan krepitasi, massa dan nyeri tekan. Fremitus taktil simetris kanan dan kiri Per: Sonor pada seluruh lapang paru-paru Abdomen Aus: Suara nafas vesikuler tidak ditemukan rhonki dan wheezing. Ins: Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada ditemukan
5

sikatrik dan massa. Pal: Supel, terdapat nyeri tekan pada hipogastrik dextra dan sinistra. Turgor kulit baik, hepar teraba membesar 2 cm dibawah arcus costae dextra. Lien tidak teraba membesat. Tidak ada asites. Per: Terdengar timpani pada 4 kuadran Ekstremitas Aus: Bising usus (+) Tidak ditemukan adanya edema pada kedua tungkat atas dan bawah. Pada kedua tangan dan kaki teraba hangat. Tidak ditemukan adanya petechie pada ekstemitas. Capillary refill Anogenital kurang dari 2 detik. Tidak diperiksa.

4. Data Laboratorium Lab tanggal 19 Agustus 2013 GDS Hb Ht Trombosit Lekosit Widal X. Resume A. Anamnesis Demam naik turun selama 7 hari yang lalu, meninggi saat malam hari. Panas meninggi setiap harinya. Demam disertai nyeri kepala, pusing, mual-mual dan lemas. Pasien mengeluhkan perutnya sakit. Tidak BAB selama 2 hari terakhir. Muntah 1x sehari yang lalu. Nafsu makan kurang. Kebiasaan pasien yang gemar jajan makanan di depan sekolah dan di pinggir jalan yang kebersihannya tidak terjamin. Riwayat menderita demam tifoid 2 bulan terakhir dan dirawat. B. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : lemah : 104 : 14,0 : 41,5 : 131.000 : 5.600 : S. typhi O: 1/160

Kesadaran Suhu Keadaan Gizi Mulut Abdomen hipogastrik

: compos mentis. : 37,8 C : Gizi kurang : Lidah terkesan kotor dengan tepi hiperemis : pada palpasi didapatkan nyeri tekan pada daerah dextra dan sinistra dan ditemukan pembesaran hati 2 cm dibawah arcus costae dextra.

C. Pemeriksaan Labotatorium Lab tanggal 19 Agustus 2013 GDS Hb Ht Trombosit Lekosit Widal XI. : 104 : 14,0 : 41,5 : 131.000 : 5.600 : S. typhi O: 1/160

Diagnosis Kerja Demam Tifoid

XII.

Diagnosis Banding Demam dengue, Gastritis enteritis

XIII.

Penatalaksanaan Rencana pemeriksaan Tes Widal Biakan Salmonella Typhii Rencana pengobatan dan diit Pengobatan: IVFD RL 15 tpm makro Kloramfenikol 4 x 337,5mg
7

Ranitidine inj 2 x 18 mg Sanmol syr 3 x 7,5 ml (bila panas) Diet makanan lunak, tidak berserat dan mudah dicerna. Diet tinggi karbohidrat tinggi protein o Kebutuhan energi : 90kkal x 23kg (BB ideal) = 2070 kkal/hari o Kebutuhan protein: 1,1gr x 23kg (BB ideal) = 25,3 gr/ hari

Diit:

Rencana Pemantauan Pantau tanda-tanda vital dan kesadaran Pantau intake cairan dan makanan Pantau kemungkinan komplikasi (Syok, perforasi & perdarahan usus, depresi sumsum tulang akibat pemberian kloramfenikol, ensefalitis, meningitis) Pantau darah rutin per 24 jam Dinyatakan sembuh bila gejala dan tanda sudah hilang bebas demam 7 hari, tidak ada komplikasi atau sembuh dari komplikasi

Rencana edukasi XIV. Apabila suhu badan anak tinggi segera berikan antipiretik (paracetamol) sebagai penurun panas Jaga nutrisi, perbanyak minum air putih. Kurangi makan makanan yang higienitasnya tidak terjamin, selalu mencuci tangan sebelum makan, masak air dan makanan sampai benar-benar matang Kontrol kesehatan ke poli spesialis anak bila ada gejala yang sama atau memburuk Anjuran untuk vaksinasi

Prognosis Quo ad Vitam Quo ad Functionam Quo ad Sanationam : ad Bonam : ad Bonam : Dubia ad Bonam
8

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINSI Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin (Hb) dibawah normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/ atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung besi dan globin dengan interaksi di antara heme dan globin menyebabkan hemoglobin (Hb) merupakan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut oksigen. Sesuai dengan rangkaian hematopoisis yang dimuai dari yolk sac, limpa, hati dan sumsum tulang diikuti juga dengan perubahan variasi sintesis hemoglobin. Sejak masa embrio, janin, anak dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin antara lain : 1. 2. 3. Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland Hemoglobin fetal Hemoglobin dewasa : Hb-F : Hb-A1 dan Hb-A2

Kriteria Anemia Untuk menjabarkan definisi anemia diatas, maka perlu di tetapkan batas hemoglobin atau hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas ini disebut sebagai cut off point (titik pemilah), yang sangat dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain-lain. Cut off point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan anemia bila: 1. Laki-laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl

2. Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g/dl 3. Perempuan hamil 4. Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 11 g/dl : hemoglobin < 12 g/dl

5. Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl


10

A. Kriteria Klinik Alasan praktis kriteria anemia di klinik (di rumah sakit atau praktik klinik) untuk Indonesia pada umumnya adalah : 1. Hemoglobin < 10 g/dl 2. Hematocrit < 30% 3. Eritrosit < 2,8 juta/mm3 Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinis melakukan work up anemia jika kita memakai kriteria WHO. B. Derajat Anemia Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut: 1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-cut off point 2. Ringan 3. Sedang 4. Berat : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl : Hb 6 g/dl-Hb 7,9 g/dl : Hb <6 g/dl

C. Prevalensi Anemia Meskipun anemia dianggap kelainan yang sangat sering dijumpai di Indonesia, angka prevalensi yang resmi belum pernah diterbitkan. Angka-angka yang ada merupakan hasil dari penelitian-penelitian terpisah yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Angka prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini dkk dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

11

Tabel 2-1 Perkiraan Prevalensi Anemia di Indonesia Kelompok Populasi 1. Anak prasekolah (balita) 2. Anak usia sekolah 3. Dewasa tidak hamil 4. Hamil 5. Laki-laki dewasa 6. Pekerja berpenghasilan rendah Angka Prevalensi 30-40% 25-35% 30-40% 50-70% 20-30% 30-40%

Angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi. Salah satu faktor determinan utama adalah taraf social ekonomi masyarakat. Data anemia yang dikumpulkan oleh WHO di seluruh dunia sampai dengan tahun 1985 dapat dilihat pada tabel 2-2. D. Klasifikasi Anemia Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut mana dilihat dan tujuan melakukan klasifikasi tersebut. Klasifikasi yang paling sering dipakai adalah: 1. Klasifikasi morfologik: yang berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Dengan pemakaian alat hitung hematologi automatic yang semakin luas maka validitasi klasifikasi morfologik dapat dilihat pada tabel 2-3. 2. Klasifikasi etiopatogenesis: yang berdasarkan etiologi dan patogenesis terjadinya anemia. Klasifikasi etiopatogenesis ini dapat dilihat pada tabel 2-4.

12

Tabel 2-2 Gambaran Prevalensi Anemia di Dunia menurut WHO Prevalensi individu yang anemia (%) Anak 0-4 Thn Negara maju Negara Berkembang Dunia 12 15 43 Anak 5-12 Thn 7 46 37 3 26 18 Laki Wanita 15-49 Thn Hamil 14 59 51 Semua 11 47 35

E. Patofisiologi Anemia Pada dasarnya gejala anemia timbul karena: 1. Anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan. 2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia. Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sebagai sindrom anemia. Rincian lebih lanjut dari patofisiologi ini dapat dilihat pada tabel 2-5. Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat ringannya gejala tergantung pada berikut: 1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin, 2. Kecepatan penurunan hemoglobin, 3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul, 4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya. F. Gejala Anemia Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu: 1. Gejala umum anemia
13

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai berikut: a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina pectoris dan gagal jantung. b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas. c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun. d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus. 2. Gejala khas masing-masing anemia Gejala yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia, seperti: a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue), c. Anemia hemolitik: icterus dan hepatosplenomegali, d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi. 3. Gejala akibat penyakit dasar Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacingtambang berat akan menimbulkan gejala seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapet menimbulkan gejala berupa perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses bercampur darah atau lender.

14

Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia defisiensi besi (ADB) lebih sering ditemukan di Negara yang sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukkan protein hewani yang rendah dan investasi parasite yang merupakan masalah endemic. Saat ini di Indonesia ADB masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping kekurangan kalori protein, vitamin A, dan yodium. Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi pada bayi dan anak. Hamper selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan. Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak diperlukan 0,81,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan. Banyaknya Fe yang diabsorbsi dari makanan sekira 10% setiap hari, sehingga untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8-10 mg Fe perhari. Fe yang berasal dari susu ibu diabsorbsi secara lebih efisien daripada yang bersal dari susu sapi sehingga bayi yang mendapat asi lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain. Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung makanan yang kaya Fe sejak usia 6 bulan. Metabolisme Zat Besi Perkembangan metabolism besi dalam hubungannya dalam homeostasis besi dapat dimengerti dengan baik pada dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti orang dewasa. Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas, dan perubahan tingkat selular.

15

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavaibilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurangn 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk ferritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Bayi baru lahir dalam tubuhnya megandung besi sekitar 0,5 gram. Ada 2 cara penyerapan dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi. Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferrin besi yang kemudianakan masuk kedalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk ferritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk keperedaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferrin serum. Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai pertengahan yeyunum. Makin kearah distal usus penyerapannya makin berkurang. Besi dalam makanan ternayak ditemukan dalam bentuk senyawa non heme berupa kompleks senyawa besi inorganic (Feri/Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C dan asam aminomengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe2+). Bntuk fero ini kemudian diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan di dalam sel usus bentuk fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi ferritin. Selanjutnya bentuk ferritin dilepaskan dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero (Fe EPIDEMIOLOGI Insiden, cara penyebaran, dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi.
16

Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun. Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Di negaranegara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 5,13%. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.

ETIOLOGI Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.

17

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 0C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa. Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis. Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna. Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: o Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) o Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. o Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. Ada 3 spesies utama yaitu:
18

o Salmonella typhosa (satu serotype) o Salmonella choleraesius (satu serotype) o Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype) Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.

PATHOGENESIS Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi kejaringan limfoid usus halus (terutama Plak peyer) dan jaringan lifoid mesentrika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bacteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Ditempat ini kuman

19

difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bacteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap trejadinya gejala-gejala dari demam tifoid. Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya mempunyai peranan membantu proses peradangan lokal di mana kuman ini berkembang. Demam tifoid disebabkan karena salmonella typhosa dan endotoksinnya yang merangsang sintese dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.

MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Akibatnya lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid kongenital maupun tifoid pada bayi bila hanya berpegang pada gejala atau tanda-tanda klinis. Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari, inkubasi terpedek 3 hari dan terlama 60 hari, dikatakan bahwa masi inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.

20

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran. Selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
21

dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. Anak usia sekolah dan remaja Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi lembek mungkin ada selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 0C. Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit. Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun) Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti secara biakan. Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah. Neonatus Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin nyata.

22

Laboratorium Anemia normokromi normositik tejadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah, namun jarang dibawah 3.000/ul. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/ul, trobositopenia sering di jumpai, kadangkadang berlangsung beberapa minggu. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakan melalui isolasi S.typhii dari darah. Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
23

timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah. Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.

24

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap. (2) Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu; 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagel kuman) 3. Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
25

menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid. 2. Gangguan pembentukan antibodi. 3. Saat pengambilan darah. 4. Daerah endemik atau non endemik. 5. Riwayat vaksinasi. 6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. b) Faktor teknik, yaitu 1. Akibat aglutinin silang. 2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
26

Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena: o Semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B). o Semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan o Titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi. Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna. Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu. Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit. Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
27

manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan merupakan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita. Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut: o Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm usus. o Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta. o Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix). o Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral; atau pada keadaan infeksi. (3) Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polimerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara sfesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksaan antibodi Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset penyakit.

28

Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti:

# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ) Pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot. Salah satu modifikasi Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot M. Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam. # Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan. # IgM Dipstick test

29

Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS antigen Salmonella typhi. Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil positif tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu singkat.

DIAGNOSIS BANDING Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

KOMPLIKASI Komplikasi typoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus halus) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu: a. Perdarahan (haemorrhage) usus. Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal minggu ke-3. Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6% Diagnosis dapat ditegakkan dengan: Penurunan tekanan darah Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
30

Kulit pucat Penurunan suhu tubuh Mengeluh nyeri perut Sangat iritabel Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat b. Perforasi usus Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak. c. Peritonitis Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat. 2. Ekstraintestinal Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia): a. Liver, gallbladder, dan pancreas Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis. b. Kardiorespiratory Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yang signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah

31

sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomal. Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia . c. Nervous system Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang), encephalomyelitis. d. Hematologi dan renal Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. Bronkitis dan Bronkopneumonia Bronkitis terjadi pada akhir minggu pertama dari perjalanan penyakit, pada kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder dapat terjadi bronkopneumoni. Angka kejadian bervariasi antara 2,5-7%. Kolesistitis Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas. Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier. Tifoid Ensefalopati Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa: kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan cairan otak masih dalam batas-batas normal. Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%. Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena. Meningitis Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak, dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga diagnosis sering terhambat.
32

Ternyata Oranenburg. Gejala Klinis: -

penyebabnya

adalah

Salmonella

Havana

dan

Salmonella

Bayi tidak mau menetek Kejang Letargi Sianosis Panas Diare Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp menurun, reflex mengisap menurun.

Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa: Efusi subdural Ventrikulitis Hidrosefalus Miokarditis Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya tidak khas. Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978) - Irama mendua - Takikardi yang menetap - Bunyi jantung melemah - Bising sistolik di apex - Pembesaran jantung Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.

Karier kronik

33

Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian. Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang dewasa. Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling sedikit diperlukan 3-6 kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan karier merupakan masalah yang sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa bersarang dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi antara operasi dan obat-obatan.

TATALAKSANA Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu: perawatan diet obat Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian. Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.
34

Diet Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan. Obat-obatan Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain: Kloramfenikol Tiamfenikol Co trimoxazol Ampisilin Amoksisilin Seftriakson

35

Sefiksim

Kloramfenikol Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis yang dianjurkan ialah 50 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari. Tiamfenikol Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 6 hari. Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan. Dosis oral dianjurkan 50 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 14 hari. Co trimoxazole Pendapat mengenai Efektifitas co-trimoxazole terhadap demam tifoid masih kontroversial. Kelebihan co-trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,

36

Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 40 mg/kgBB/hari dari Sulfametoksazol dan 6 8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 14 hari. Ampisilin dan Amoksisilin Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap Ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 18%), dan diare (11%). Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 5%) dan karier (0 5%). Dosis yang dianjurkan adalah : Ampisilin 100 200 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 14 hari. Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal. Seftriakson Dosis yang dianjurkan adalah 50 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam 2 dosis iv. Sefotaksim Dosis yang dianjurkan adalah 150 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4 dosis iv. # Kortikosteroid Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan
37

gangguan kesadaran. Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik. # Antipiretik Diberikan apabila demam > 39C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal. Lain-lain Transfusi darah Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Bedah Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.

Monitoring Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.

PENCEGAHAN Higiene perorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan

38

pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan. Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral. Vaksin Demam Tifoid Oral Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanannya pada suhu 2C-8C. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella
39

sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman. Vaksin Polisakarida Parenteral Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 2C-8C, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

PROGNOSIS Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anakanak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid

40

kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis. Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: Hiperpireksia atau febris kontinua Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium. Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia. Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul adalah : Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan. Gangguan kesadaran.

41

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot. Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi. Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi. Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA 1. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000: 2. Diagnosis of typhoid fever. In : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18. 3. Crum NF. Current trends in typhoid Fever. Curr Gastroenterol Rep. Aug 2003;5(4):279-86. 4. Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam : Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid fever
42

and other Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health Network, 1995:213-6. 5. Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2. 6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75. 7. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62. 8. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4. 9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

43

Anda mungkin juga menyukai