Anda di halaman 1dari 7

Human Development Index (HDI) dan Pendidikan Kaum Tertindas: (Analisis Kritis tentang Pendidikan serta Kompetisi Global)

Habibi Azhar
Mahasiswa Program Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor, 16680, Jawa Barat, Indonesia NRP: I 353130061 Email: biazhwin@gmail.com

Pendahuluan Dunia yang semakin global di mana ketergantungan antara satu wilayah dengan wilayah lain menjadi mutlak dibutuhkan, menuntut suatu negara memiliki daya saing yang kuat agar tetap eksis dan mampu berjalan ke arah yang lebih baik. Pembagian kerja internasional dan perdagangan bebas adalah hasil dari globalisasi yang menurut para tokoh merupakan suatu mekanisme ekonomi yang membawa keuntungan bagi semua pihak. Berangkat dari asumsi ini, maka terbentuk kerja sama di antara negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, investasi maupun infrastruktur dan sebagainya. Ironisnya, ketika kerja sama ini mulai membawa kesejahteraan bagi negara-negara yang berlabel negara berkembang, lain halnya dengan Indonesia. Menginjak usianya yang ke-68, Indonesia belum memiliki daya tahan yang kuat dalam persaingan dunia global, khususnya dalam liberalisasi ekonomi dan investasi. Bahkan bila dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia justru menjadi korban Singapura, Malaysia dan Thailand. Tidak mengherankan jika laporan Human Development Index menempatkan Indonesia di posisi 121, sebagaimana tabel berikut: Tabel 1. HDI Rank 2013 HDI Rank Country Human Development Index (Value) 18 Singapore 0.895 30 Brunei Darussalam 0.855 64 Malaysia 0.769 103 Thailand 0.690 114 Philippines 0.654 121 Indonesia 0.629 127 Viet nam 0.617 134 Timor-leste 0.576 138 Cambodia 0.543 138 Lao Peoples Democratic Republic 0.543 149 Myanmar 0.498 Sumber: diolah dari Summary Human Development Report 2013 HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup masyarakatnya. Dari tabel di atas, Indonesia

hanya unggul sedikit dari Vietnam dengan nilai 0.629, sedangkan posisi juru kunci di antara negara ASEAN ditempati Myanmar dengan nilai 0.498. Melihat nilai HDI dua tahun sebelumnya, Indonesia belum beranjak dari posisi sebagai medium human development, meskipun terjadi kenaikan nilai, itu pun hanya kecil sekali. Human Development Index (selanjutnya dibaca: HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI memfokuskan pada tiga dimensi pembangunan manusia yang terukur (UNDP dalam Rusli, 2012: 211), meliputi: 1. Hidup yang sehat dan panjang umur (living a long and healthy life) yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. 2. Pengetahuan (being educated) yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa dan Lama Sekolah atau Tingkat Partisipasi Sekolah. 3. Standar kehidupan (having a decent standard of living) yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product/pendapatan yang telah disesuaikan dengan daya beli. Pada makalah kali ini, penulis akan membahas salah satu dimensi pembangunan manusia yang berpengaruh terhadap kualitas penduduk yaitu pendidikan. Pendidikan yang membebaskan dari rasa terpuruk, rendah, tertindas, sehingga ia memperoleh pekerjaan yang layak, gaji/upah yang sesuai, serta daya saing yang kuat. Namun apakah model pendidikan yang berjalan saat ini sudah demikian?, model pendidikan saat ini menjadi sulit bagi akses kepada pembangunan manusia yang sejahtera karena demikian kuatnya kapital merasuk dan secara tidak sadar mengkonstruksi dan membuat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berjalan di tempat. Merupakan kesengajaan kaum kapitalis agar kebodohan itu dilembagakan supaya suatu kaum dapat terus ditindas demi keuntungan kapitalis semata. Sebuah tinjauan kritis tentang hal tersebut akan dipaparkan di sini. Bonus? Justru Beban yang Ada Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Dengan ini, penduduk Indonesia menempati urutan ke-4 penduduk terbanyak di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat (USA). Namun kuantitas yang besar ini tidak diimbangi dengan kualitas penduduk Indonesia yang masih rendah berada di urutan ke-121 dari 187 negara di dunia dan urutan ke-6 di antara negara-negara ASEAN. Tantangan lain yang harus diperhatikan berkaitan dengan transisi demografi menurut Noveria et al. (2011: 78-79) adalah perubahan struktur umur penduduk karena keberhasilan KB (keluarga Berencana) pada masa lalu yang berakibat menurunnya beban ketergantungan (dependency ratio) hingga mencapai angka terendah. Hal ini memberi peluang Indonesia menikmati suatu deviden atau bonus demografi yang hanya terjadi sekali pada setiap negara, yang dikenal dengan istilah window opportunity, yang diperkirakan untuk Indonesia terjadi pada periode tahun 2020-2030. Artinya jumlah umur penduduk produktif saat ini lebih banyak dari

jumlah umur usia non-produktif. Dari gambar berikut terlihat bagaimana piramida penduduk Indonesia 2010 cenderung membesar di tengah dan meruncing ke atas. Jenis piramida seperti ini disebut piramida expansive. Gambar 1. Piramida Penduduk Indonesia 2010

Sumber: www.bps.go.id Dari hasil sensus yang sama, jumlah penduduk yang berada pada kelompok umur di bawah 9 tahun sudah mulai berkurang. Kecuali usia 20-24 tahun, jumlah penduduk di atas 9 tahun menunjukkan jumlah yang membengkak pada badan piramida penduduk. Ini menunjukkan besarnya penduduk yang mencapai usia produktif. Rincian datanya sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur & Jenis Kelamin 2010
Kelompok Laki-laki/ Perempuan/ Total Umur Male Female 0-4 11,658,856 11,013,204 22,672,060 5-9 11,970,804 11,276,366 23,247,170 10 - 14 11,659,310 11,018,180 22,677,490 15 - 19 10,610,119 10,260,967 20,871,086 20 - 24 9,881,969 9,996,448 19,878,417 25 - 29 10,626,458 10,673,629 21,300,087 30 - 34 9,945,211 9,876,989 19,822,200 35 - 39 9,333,720 9,163,782 18,497,502 40 - 44 8,319,453 8,199,015 16,518,468 45 - 49 7,030,168 7,005,784 14,035,952 50 - 54 5,863,756 5,693,103 11,556,859 55 - 59 4,398,805 4,046,531 8,445,336 60 - 64 2,926,073 3,130,238 6,056,311 65 - 69 2,224,273 2,467,877 4,692,150 70 - 74 1,530,938 1,924,247 3,455,185 75 + 1,605,817 2,227,546 3,833,363 TT/Not 45,183 36,507 81,690 Stated Total 119,630,913 118,010,413 237,641,326

Sumber: www.bps.go.id

Berdasarkan tabel ini, pemuda Indonesia, yang berusia sekitar 18-35 tahun, menyumbang angka terbesar dalam komposisi penduduk Indonesia, yang jumlahnya kurang lebih 80 juta. Meski jumlahnya banyak, peran pemuda dalam berbagai bidang dan lapis kehidupan sosialpolitik dan sosial-ekonomi nasional masih terasa lemah, seiring dengan rendahnya kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi antarbangsa (Latif, 2009: 141). Tabel 3. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Formal dan Non-Formal 2012 Indikator Angka Partisipasi Kasar (APK) 104,30 SD/MI/Paket A Angka Partisipasi Kasar (APK) 89,38 SMP/MTs/Paket B Angka Partisipasi Kasar (APK) 68,22 SM/MA/Paket C Sumber: diolah dari BPS-RI, Susenas 2012 Rendahnya kualitas penduduk umur produktif pun akan sulit bersaing dengan luar negeri. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 3, angka partisipasi kasar penduduk Indonesia mayoritas masih pada tingkatan SD/MI, sehingga tenaga terampil kita pun praktis belum memadai. Maka dengan hasil ini, kita bisa melihat nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang banyak berprofesi sebagai pembantu rumah tangga karena kapabilitas individual yang kurang selain juga perlindungan pemerintah yang minim, tak jarang ditindas oleh majikannya. Bandingkan dengan Tenaga Kerja Filipina yang memiliki banyak persamaan dengan Indonesia. Secara geografis, ia berada di atas Maluku. Secara etnis juga sama-sama satu rumpun. Negaranya juga sama-sama miskin dan karena itu memiliki banyak TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, terutama di negara-negara kaya seperti negara-negara Arab Teluk, Malaysia dan Hongkong. Seperti yang dilansir tribunnews.com, hal mendasar yang menjadi pijakan pemerintah Filipina dalam mengelola manajeman pekerja migran adalah persepsi bahwa tenaga kerja yang mereka kirim ke luar negeri adalah aset berharga yang harus dipersiapkan dan dilindungi sebaik mungkin sejak pemberangkatan, selama bekerja dan berada di luar negeri hingga kembali ke negaranya. Alhasil, tenaga kerja Filipina relatif memperoleh perlakuan dan gaji yang lebih baik dari tenaga kerja Indonesia. Sebagai perbandingan, untuk gaji Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Malaysia, gaji PRT Indonesia berkisar antara 125-175 dollar AS, sedangkan PRT Filipina berkisar antara 200-450 dollar AS. Proporsi TKI yang bekerja sebagai PRT adalah 85 persen dari total TKI sedangkan Filipina hanya 6 persennya saja. Dari penjelasan ini, maka bonus demografi akan terjadi apabila kualitas SDM dipersiapkan sejak dini dan disertai dengan tersedianya kesempatan kerja yang memadai. Sebaliknya, apabila kesempatan kerja yang ada sangat terbatas dengan kualitas SDM yang rendah maka akan terjadi door disaster (Adioetomo dalam Noveria et al., 2011: 79). Sayangnya, pada saat ini kualitas penduduk usia kerja sangat rendah, dengan rata-rata hanya mempunyai tingkat pendidikan SD atau kurang.

Kapitalisme Pendidikan: Pembodohan Negara Dunia Ketiga Perdagangan internasional yang dikembangkan Smith menyatakan bahwa setiap bangsa harus istimewa dalam jenis-jenis produk tertentu, yang hasilnya adalah pembagian kerja internasional dan perdagangan bebas. Melalui hubungan global ini, kaum kapitalis ingin menguasai sumber daya alam negara-negara dunia ketiga, mencari tenaga kerja yang bisa diupah murah, dan mencari pasar baru. Tenaga kerja terampil inilah yang didapat dari pendidikan yang ada. Dengan catatan sebagaimana yang dikemukakan Soyomukti (2008: 137), pendidikan tak boleh melebihi kapasitasnya yang hanya sekedar untuk mendukung kapitalisme. Pendidikan tidak boleh menjadi proses menciptakan manusia-manusia kritis dan berpikiran progresif dalam hal membahayakan tatanan kapitalisme. Bahkan pendidikan itu sendiri dapat dikapitalisasi. Maka tidak heran jika kapitalisme pendidikan melahirkan; pertama, pendidikan yang mahal. Ini bisa dilihat dari angka putus sekolah yang masih relatif tinggi. Misalkan, pada tahun 2007, dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya putus sekolah. Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian dari jumlah tersebut, yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Sementara, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen. Sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen (http://www.metrotvnews.com). Kedua, kapitalisme pendidikan membuat pendidikan eksklusif karena tidak semua orang mampu mengaksesnya. Sekolah akhirnya diisi oleh anak-anak orang berduit. Bergulirnya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pun dinilai belum berhasil. Jika jumlah BOS dikalkulasikan dengan kebutuhan biaya siswa, kekurangannya masih sangat banyak dan BOS belum mampu menghentikan pungutan sekolah kepada orang tua (http://www.jpnn.com). Ketiga, kurikulum tersembunyi (hidden kurikulum) kapitalisme mengubah paradigma masyarakat terhadap pendidikan. Motif untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan menjadi yang utama, bukan lagi berorientasi pada pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran. Saat ini orang masuk sekolah karena ingin dapat pekerjaan yang menghasilkan. Gambar 2. Perubahan Paradigma Masyarakat Terhadap Pendidikan PENGETAHUAN PESERTA DIDIK - SEKOLAH - KECERDASAN PERUBAHAN SOSIAL KESADARAN menjadi PESERTA DIDIK SEKOLAH - IJAZAH - PEKERJAAN Sumber: http://jalanpencerahan.wordpress.com/tulisan-pencerahan/tatkala-kapitalismekangkangi-pendidikan/

Selain itu, kapitalisme juga membentuk budaya konsumtif masyarakat. Yang paling banyak menjadi sasaran adalah anak-anak dan remaja (Soyomukti, 2008: 180). Para remaja yang seharusnya belajar menjadi manusia yang produktif dan kreatif serta penuh wawasan, kini lebih berusaha melekatkan dirinya dengan merek dan percaya bahwa itulah satu-satunya cara agar menjadi bagian dari dunia ini. Hal ini sejalan dengan langkah-langkah kapitalisme di mana negara dunia ketiga tidak saja menjadi sumber tenaga kerja yang murah tetapi juga sekaligus pasar yang potensial. Penutup Sebagaimana yang diamanatkan pasal 31 ayat 3 UUD 1945 bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. Maka dengan pendidikan ditambah jumlah usia produktif yang banyak, IPM Indonesia seharusnya berada pada tingkat dengan kualitas yang baik. Namun nyatanya, IPM Indonesia sulit sekali untuk naik karena pendidikan yang dijalani saat ini memang tidak mendukung ke arah tersebut karena begitu dominannya berbagai kepentingan kapitalis merasuk hingga menggeser cita-cita pendidikan negeri ini. Paulo Freire mengatakan pendidikan adalah sebuah perangkat agar manusia sadar secara kritis bahwa penindasan adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. Inilah alasan yang pas saat ini bagi negeri tercinta mengada bagi rakyatnya.

Pustaka Acuan Anonym. 2011. Soal TKI, Mari Belajar ke Filipina [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada, http://id.berita.yahoo.com/soal-tki-mari-belajar-ke-filipina-002120854.html Anonym. 2010. Program BOS Dinilai Gagal Pungli di Sekolah Masih Marak [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada http://www.jpnn.com/read/2010/10/21/75107//* Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Bulanan Sosial Ekonomi edisi 40 september 2013 [Internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/download_file/IP_September_2013.pdf Badan Pusat Statistik. 2012. Indikator Pendidikan, 1994-2012 [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=28%20&notab=1 Freire P. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia Fathulrahman A. 2013. Angka Putus Sekolah di Indonesia masih Tinggi [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/09/3/129864/Angka-Putus-Sekolah-diIndonesia-masih-Tinggi Latif Y. 2009. Menyemai Karakter Bangsa. Jakarta (ID): Kompas Media Nusantara Noveria M, Handayani T, Aswatini, Latifa A, Romdiati H, Setiawan B, Malamassan MA, Surtiari GAK, Ningrum V, Harfina D, et al. 2011. Pertumbuhan Penduduk dan Kesejahteraan. Jakarta (ID): LIPI Press Rusli S. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan: Edisi Revisi, Jakarta (ID): LP3ES Soyomukti N. 2008. Metode Pendidikan Marxis Sosialis: Antara Teori dan Praktik. Jogjakarta (ID): Ar-Ruzz Media [UNDP] United Nations Development Programme. 2013. Summary Human Development Report 2013, The Rise of the South: Human Progress in a Diverse World. New York, NY 10017, USA :1 UN Plaza, [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada http://hdr.undp.org/en/media/HDR2013_EN_Summary.pdf Wijaya N. 2008. Tatkala Kapitalisme Kangkangi Pendidikan [internet]. [diunduh 2013 November 3]. Tersedia pada http://jalanpencerahan.wordpress.com/tulisan-pencerahan/tatkalakapitalisme-kangkangi-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai