Anda di halaman 1dari 7

Psikologi Sosial dan Masa Depan yang Berkelanjutan

Habibi Azhar1, N. Ichwal Moidady2


Mahasiswa Program Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
Jl. Raya Darmaga, Bogor, 16680, Jawa Barat, Indonesia

Panggilan dari Lingkungan untuk Beraksi


Pada tahun 2050, bumi terdiri atas 2,5 miliar orang dan 50 juta mobil (N. Myers, 2000).
Saat ini PBB dan Bank Dunia melaporkan bahwa jumlah penduduk bumi adalah 7 miliar orang
dan terdapat 600 juta mobil. Gas rumah hijau terkalahkan oleh kendaraan motor ditambah juga
dengan pembakaran batu bara dan minyak untuk membangkitkan listrik dan bangunan panas
yang mengubah iklim.
Beberapa orang menyebutnya sebagai suatu masalah keamanan nasional: pemboman oleh
teroris dan pemanasan global, keduanya merupakan senjata pemusnah massal. Jika kita
mempelajari bahwa Al-Qaeda sembunyi-sembunyi mengembangkan suatu teknik teroris baru
yang dapat mengganggu suplai air ke seluruh dunia, memaksa banyak orang untuk meninggalkan
rumah mereka, dan secara potensial membahayakan keseluruhan planet kita, kita akan tergugah
untuk bergerak dan memanfaatkan setiap asset yang ada untuk menetralisir ancaman tersebut,
ungkap penulis Nicholas Kristof (2007). Namun, kita juga harus mempertimbangkan secara
cermat ancaman yang kita ciptakan sendiri, misalnya dengan gas rumah hijau.
Pemanasan global juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pertanian subsahara dan
tanah pengembalaan di Afrika secara bertahap berubah menjadi gurun pasir. Perubahan ekologis
seperti ini dapat memunculkan konflik dan perang, ungkap Jeffrey Sachs (2006): Penyembelihan
besar-besaran di Darfur, Sudan, berawal dari penurunan hujan. Iklim berbicara.
Dengan peningkatan konsumsi dan populasi (terlepas dari penurunan tingkat kelahiran),
populasi, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan lebih jauh sepertinya tidak dapat lagi
dihindari.
1 NRP (I 353130061)
2 NRP (I 353130031)

Lalu mengapa pemanasan global tidak menjadi topik pembicaraan yang hangat? Gallup
Lydia Saad (2003), mengatakan, mungkin orang akan lebih perhatian jika hal tersebut dibingkai
sebagai peningkatan panas global? mengingat dari bab sebelumnya bahwa label adalah
penting; bahasa membentuk pikiran.

Membuka Kesempatan untuk Hidup yang Berkelanjutan


Mereka yang optimis tentang masa depan melihat dua rute untuk menjalani gaya hidup
yang berkelanjutan: (a) meningkatkan efisiensi teknologi dan produktifitas pertanian, serta (b)
menurunkan konsumsi dan populasi.
a. Teknologi-teknologi Baru
Salah satu komponen dari suatu masa depan yang berkelanjutan adalah teknologi yang
berkembang. Lampu hemat energi, mobil listrik dan hybrid, plastik ramah lingkungan, materialmeterial yang lebih ringan dari baja, AC inverter dan lain-lain.
Mengingat cepatnya inovasi (siapa yang dapat membayangan dunia saat ini satu abad
yang lalu?), masa depan pasti akan membawa kesejahteraan material yang meningkat untuk lebih
banyak orang yang memerlukan lebih sedikit material mental dan menghasilkan limbah yang
jauh lebih sedikit.
b. Menurunkan Konsumsi
Komponen kedua dari masa depan yang berkelanjutan adalah mengontrol konsumsi. Berkat
program keluarga berencana, tingkat pertumbuhan populasi dunia dapat diperlambat, terutama di
negara-negara berkembang. Bahkan pada negara yang tidak terlalu berkembang, ketika
keamanan makanan telah meningkat dan para wanita telah lebih berpendidikan dan
diberdayakan, tingkat kelahiran pun telah jauh berkurang. Namun jika tingkat kelahiran di semua
tempat mengalami penurunan secara bersamaan hingga 2,1 anak per wanita, maka momentum
yang tersisa untuk pertumbuhan populasi, diperkuat dengan banyaknya jumlah kaum muda, akan
tetap berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
Dengan nafsu kita terhadap material yang terus bertambah, apa yang dapat dilakukan untuk
menengahi konsumsi oleh mereka yang dapat mengonsumsi benda-benda ini secara berlebihan.
Salah satu cara adalah melalui kebijakan publik dalam memberikan insentif. Sebagai suatu
aturan umum, kita mendapatkan sedikit dari pajak yang kita bayar, dan mendapatkan lebih dari

apa yang kita hargai. Banyak kota menggunakan uang pajak untuk membangun jalur sepeda dan
menyubsidi perkembangan transportasi missal, sehingga mendorong munculnya alternative
penggunaan mobil. Gregg Easterbrook (2004) mencatat bahwa jika Amerika Serikat telah
menaikkan pajak bahan bakar sebesar 50 sen sejak satu dekade yang lalu, sebagaimana yang
telah diusulkan, maka saat ini negara tersebut akan memiliki lebih sedikit mobil yang berarti
lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar (sebagaimana orang-orang Eropa, dengan pajak
bahan bakar mereka yang lebih tinggi), sehingga mereka pun akan lebih sedikit mengimpor
minyak. Hal ini, pada gilirannya, akan mendorong ke konsumsi minyak yang lebih rendah,
mengurangi pemanasan global, menurunkan harga gas, dan memperkecil defisit perdagangan
yang membebani ekonomi.
Dukungan bagi kebijakan energi baru akan memerlukan suatu pergantian pada kesadaran
public, tidak seperti yang terjadi pada pergerakan hak sipil di tahun 1960an dan pergerakan
wanita di tahun 1970an. Apa yang diperlukan, ungkap Al Gore dan Alliance for Climate
Protection, adalah persuasi massa. Dekan lingkungan Yale University, James Gustave Speth
(2008), menyebutnya sebagai suatu kesadaran baru ketika orang:

Memandang manusia sebagai bagian dari alam


Memandang alam memiliki nilai-nilai intrinsik yang harus kita perhatikan
Menghargai masa depan dan penduduknya seperti masa kini
Menghargai interdependensi manusia yang kita miliki, dengan memikirkan kita dan bukan

hanya saya
Menentukan kualitas kehidupan secara relasi dan spiritual dan bukan sekedar material
Menghargai keseimbangan, keadilan, dan komunitas manusia
Mungkin psikologi sosial dapat membantu menunjukkan jalan untuk mencapai kesejahteraan

yang lebih baik, dengan cara mendokumentasikan materialisme, dengan menginformasikan


kepada orang-orang bahwa pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis meningkatkan moral
manusia, dan dengan membantu orang-orang untuk memahami mengapa materialisme dan uang
gagal membuat kita puas.

Psikologi Sosial tentang Materialisme dan Kekayaan


Kontribusi apa yang dapat diberikan oleh psikologi sosial terhadap pemahaman kita terhadap
materialisme yang berubah? Sejauhmana uang dan konsumsi membeli kebahagiaan? Dan

mengapa materialism dan pertumbuhan ekonomi tidak membawa serta kepuasan yang lebih
besar? Kita percaya bahwa ada suatu hubungan antara kekayaan dan kesejahteraan: kepercayaan
ini memperkuat apa yang disebut oleh Juliet Schor (1998) sebagai siklus pekerjaan dan
menghabiskan bekerja lebih keras untuk membeli lebih banyak.
Meningkatnya Materialisme
Meskipun bumi meminta agar kita hidup lebih ringan, materialisme tetap terjadi, dan hal
ini terlihat jelas di Amerika Serikat. Materialisme seperti ini terjadi sepanjang tahun 1970an
hingga 1980an. Bukti yang paling dramatis datang dari survei tahunan yang dilakukan oleh
UCLA/American Council on Education terhadap hampir seperempat juta mahasiswa baru.
Kesimpulannya, materialisme meningkat, sementara spiritualitas menurun.
Betapa nilai telah berubah! Di antara 19 tujuan yang ada dalam daftar, para mahasiswa
baru Amerika dalam beberapa tahun terakhir telah menempatkan sangat berkecukupan secara
finansial pada urutan pertama. Urutan ini tidak hanya satu-satunya filosofi baru yang
berkembang, namun juga masih ada menjadi suatu figur otoriter dalam bidang saya sendiri,
membantu orang lain yang butuh pertolongan, dan membentuk suatu keluarga.
Kekayaan dan Kesejahteraan
Apakah konsumsi yang berkelanjutan dengan sendirinya memberikan kehidupan yang
baik? Apakah menjadi kaya menghasilkan kesejahteraan psikologis? Teori psikologi sosial dan
bukti yang ada menawarkan beberapa jawaban untuk hal ini.
Kita dapat mengobservasi jalur antara kekayaan dan kesejahteraan dengan menanyakan,
pertama, apakah negara-negara yang lebih kaya hidup lebih bahagia. Memang terdapat
beberapa korelasi antara kekayaan nasional dan kesejahteraan (diukur sebagai kebahagiaan dan
kepuasan hidup yang dilaporkan sendiri oleh partisipan). Orang-orang Skandinavia adalah orang
yang paling sejahtera dan berkecukupan; orang Bulgaria tidak demikian (gambar 16.5). Namun,
setelah negara-negara mencapai GNP sekitar $10.000 per orang yang secara kasar merupakan
tingkat ekonomi di Irlandia sebelum gelombang pergeseran ekonomi baru-baru ini terjadi,
tingkat kekayaan nasional yang lebih tinggi bukan merupakan penanda dari peningkatan
kesejahteraan.

Kita dapat menanyakan, yang kedua apakah di antara negara-negara tertentu, orang yang
lebih kaya adalah orang yang lebih bahagia. Peneliti nilai atas dunia Ronald Inglehart (1990, hal.
242) menemukan bahwa korelasi penghasilan dengan kebahagiaan adalah sangat lemah.
Bahkan orang-orang super kaya 100 orang terkaya di Amerika Serikat menurut versi majalah
Forbes dilaporkan hanya merasakan kebahagiaan yang sedikit lebih besar dibandingkan orang
kebanyakan (Diener dkk., 1985).
Ketiga, kita dapat menanyakan apakah seiring dengan berjalannya waktu, kebahagiaan
suatu kultur meningkat seiring dengan kemakmuran atau kekayaan yang dimiliki oleh kultur
tersebut. Apakah kesejahteraan kolektif kita akan meningkat seiring dengan peningkatan
gelombang ekonomi? Kita dapat menyebut kondisi ini sebagai paradox Amerika. Lebih dari
sebelumnya, kita memiliki rumah yang besar dan rumah tangga yang berantakan, penghasilan
yang tinggi dan moral yang rendah, mobil yang lebih nyaman dan kemacetan yang semakin
parah. Kita sangat pandai membuat suatu kehidupan, namun seringkali gagal menjalani hidup itu
sendiri. Kita merayakan kemewahan kita, namun kita kehilangan arti. Kita memuja kebebasan
kita, namun kita merindukan hubungan. Dan selama bertahun-tahun, kita merasakan kelaparan
spiritual (Myers, 2000a).
Sulit dihindari untuk mengambil kesimpulan mengejutkan berikut: kehidupan kita yang
semakin membaik selama decade terakhir ini tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan
subjektif kita. Pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dorongan nyata bagi moral manusia.
Materialisme Gagal Memuaskan Manusia
Individu yang mengumpulkan paling banyak kekayaan cenderung mengalami
kesejahteraan psikologis yang lebih rendah. Mencari tujuan ekstrinsik seperti kekayaan,
kecantikan, dan popularitas pada akhirnya yang akan ditemukan adalah kecemasan, depresi dan
penyakit psikosomatis (Eckersley, 2005; Sheldon dkk., 2004). Mereka yang mencari tujuan
instrinsik, seperti keakraban, pertumbuhan pribadi dan kontribusi terhadap komunitas
mengalami
kualitas
yang lebih
tinggi, pribadi
(Tim Kaser,
2000,
2002).
Berhentilah
sejenakhidup
dan pikirkan:
peristiwa
apa yang
paling
memuaskan Anda yang pernah
Anda alami bulan lalu? Kennon Sheldon dan koleganya (2001) mengajukan pertanyaan tersebut (dan
pertanyaan yang sama untuk waktu minggu lalu dan satu semester yang lalu) kepada sejumlah
sampel mahasiswa. Kemudian, mereka diminta membuat peringkat dari 10 kebutuhan yang terpenuhi
oleh kejadian yang memuaskan tersebut. Para mahasiswa tersebut menempatkan harga diri,
keterikatan (perasaan terhubung dengan orang lain), dan otonomi (merasa terkontrol) sebagai
kebutuhan emosional yang sangat kuat yang terpuaskan oleh kejadian memuaskan tersebut. Pada
daftar terbawah dari faktor yang memprediksi kepuasan terdapat uang dan kemewahan. Para individu
yang materialis semacam ini cenderung menyatakan adanya celah yang besar antara apa yang mereka
inginkan dan apa yang mereka miliki, dan cenderung menikmati lebih sedikit hubungan yang akrab
dan memberikan rasa keterpenuhan.

KAPASITAS KEMANUSIAAN KITA UNTUK BERADAPTASI


Fenomena level-adaptasi (adaptation-level phenomenon) adalah kecenderungan kita
untuk beradaptasi terhadap level stimulasi tertentu dan memperhatikan dan bereaksi untuk
berubah dari level itu.
Oleh karena itu, ketika pencapaian kita naik satu level, maka kita merasakan keberhasilan
dan kepuasan. Saat prestise sosial kita, pendapatan kita, atau teknologi rumah kita meningkat,
maka kita merasakan kesenangan. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian, kita beradaptasi.
Apa yang pernah dirasa sebagai sesuatu yang menyenangkan kemudian menjadi netral, dan apa
yang sebelumnya netral sekarang dirasakan sebagai penurunan.
KEINGINAN KITA UNTUK MEMBANDING-BANDINGKAN
Perbandingan sosial adalah mengevaluasi kemampuan dan opini seseorang dengan
membandingkan dirinya dengan orang lain. Begitu juga dengan kebahagiaan, itu relative
terhadap perbandingan kita dengan orang lain, khususnya mereka yang ada dalam kelompok kita
(Lyubomirsky, 2001; Zagefka & Brown, 2005). Kita merasa baik atau buruk bergantung dari
siapa yang kita jadikan acuan untuk membandingkan dan itu bukan karena kita memiliki lebih
sedikit, namun karena tetangga kita memiliki lebih banyak.
Demam kemewahan yang lebih jauh lagi adalah kecenderungan untuk membandingkan
ke atas; ketika kita menaiki tangga kesuksesan atau kemakmuran, sebagian besar kita
membandingkan diri kita dengan teman-teman kita yang sekarang berada satu level dengan kita
atau yang lebih tinggi levelnya, bukan dengan mereka yang levelnya di bawah kita.
Peran model di televisi dalam gaya hidup akan kemakmuran juga mengakibatkan
munculnya perasaan kekurangan relatif dan hasrat untuk memperoleh lebih (Schor, 1998).

Namun, kabar baiknya adalah bahwa adaptasi terhadap kehidupan yang lebih sederhana bisa juga
terjadi. Jika kita mengurangi konsumsi kita akan pilihan atau kebutuhan.
Menuju ke Arah Ketahanan dan Kelangsungan Hidup
Suatu perpindahan nilai-nilai pascamaterialisme akan mendapatkan momentumnya jika
orang-orang, pemerintah, dan perusahaan-perusahaan mengambil langkah-langkah sebagai
berikut:

Menghadapi implikasi pertumbuhan penduduk dan konsumsi terhadap polusi, perubahan

iklim, serta perusakan lingkungan.


Menyadari bahwa nilai-nilai materialisme membuat hidup kurang bahagia.
Mengidentifikasi dan mempromosikan hal-hal dalam kehidupan ini yang lebih penting
daripada pertumbuha ekonomi.

Kontribusi psikologi sosial terhadap ketahanan dan keberlangsungan masa depan akan datang
sebagian dari insight transformasi-kesadaran ke dalam adaptasi dan perbandingan. Insight
tersebut juga berasal dari eksperimen-eksperimen yang menurunkan standar perbandingan
masyarakat, sehingga meredam demam kemewahan dan memperbarui kesenangan.
Untuk membantu membangun keberlangsungan masa depan yang memuaskan, sebagai
individu maupun masyarakat, kita dapat mengusahakan peningkatan hal-hal, seperti hubungan
yang akrab, jaringan sosial berdasarkan kesamaan keyakinan, kebiasaan berpikir positif, dan
terlibat dalam suatu aktifitas.

Anda mungkin juga menyukai