Anda di halaman 1dari 25

KOMODIFIKASI DAN KELAS SOSIAL PENGRAJIN OPAK SINGKONG

(Studi Kasus Agroindustri Opak, Kecamatan Sapuran, Wonosobo)

HABIBI AZHAR I.353130061

Oleh:

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

MAYOR SOSIOLOGI PEDESAAN

BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Sektor industri merupakan sektor yang mendapat perhatian dalam setiap pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang. Demikian juga di Indonesia. Pembangunan sektor industri diarahkan pada peningkatan kemajuan dan kemandirian perekonomian nasional serta kesejahteraan masyarakat, memperkokoh struktur ekonomi nasional dan mendorong pengembangan wilayah dan juga pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dilihat dari posisi sosio ekonomi sektor industri kecil di Indonesia menunjukan bahwa sebagian besar kegiatannya berlokasi di daerah pedesaan dengan sifat dan metode pengusahaan yang tradisional, selain itu sektor industri kecil ini pada umumnya masih sangat tergantung pada pasaran lokal. Salah satu karakteristik industri kecil di pedesaan ialah perkembangan unit usaha yang banyak dan tersebar (meluas). Industri tersebut beragam dalam tingkat perkembangannya, banyak industri kecil di pedesaan mempunyai potensi yang lebih baik untuk berkembang sehingga menarik untuk diteliti. Beragamnya perkembangan industri kecil, dikarenakan beragamnya kondisi dan karakteristik daerah tempat industri kecil itu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu produk dari industri kecil dari setiap daerah memiliki ciri khas masingmasing dan memiliki keunggulan yang sulit ditiru dan dikembangkan di daerah lain dan hal ini pula yang dapat menjadikan identitas untuk daerah yang bersangkutan. Opak Singkong merupakan salah satu agroindustri yang terkenal dari Kabupaten Wonosobo. Daerah yang terkenal sebagai sentra pembuatan Opak Singkong tersebar di Kecamatan Sapuran antara lain berada di Desa Jolontoro, Desa Marongsari, Desa Karangsari, Desa Banyumudal, dan Desa Ngadisalam. Makalah ini mengambil lokasi penelitian di Desa Jolontoro dan Desa Ngadisalam.

Opak Singkong merupakan hasil dari pengolahan komoditi pertanian yaitu Singkong. Komoditi pertanian yang dihasilkan pada umumnya sebagai bahan mentah atau bahan jadi dan mudah rusak, sehingga perlu langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu. Proses pengolahan ini dapat meningkatkan guna bentuk komoditi-komoditi pertanian. Industri Opak Singkong yang tergolong sebagai Usaha Mandiri Kecil Menengah (UMKM) di pedesaan merupakan sebuah alternatif penghasilan masyarakat desa saat ini. Terlebih lagi sejarah juga mengakui bahwa UMKM sebagai sebuah sistem ekonomi dalam masyarakat turut pula memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemberdayaan masyarakat desa yang selama ini kehidupannya bergantung pada aspek natural. Selain itu juga UMKM telah membuka lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi daripada jenis pekerjaan yang ada di bidang pertanian.1 2. Rumusan Masalah Wilayah perdesaan memang sangat identik dengan penggunaan lahannya untuk bertani. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan juga bertambahnya penduduk maka banyak masyarakatnya yang tidak hanya menggantungkan nasibnya pada pekerjaan bercocok tanam. Dalam hal ini penduduk desa biasanya pergi ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan. Namun, bagi sebagian penduduk desa lainnya mereka dapat mengembangkan potensi yang dimiliki baik secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, di antaranya dengan mengembangkan sisi kreatifitas mereka sebagai alternatif pekerjaan. Hal tersebut membuat lahirnya industri kreatif menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem masyarakat di wilayah pedesaan. Dalam perkembangannya, beberapa pengrajin opak kini sudah mulai menggunakan alat yang terbilang cukup modern untuk menghaluskan Singkong menjadi getuk, dan juga dibantu oleh tenaga upahan. Artinya perubahan terjadi dalam

Hedi Ahimsa Putra. 1993. Perubahan pola kehidupan masyarakat akibat pertumbuhan industri di DI Yogya karta. Depdikbud: yogyakarta. Hal 3

proses produksi, di mana sebelumnya dalam menumbuk Singkong, pengrajin masih menggunakan nglumpang kemudian tenaga kerja yang mengolahnya adalah keluarga. Perubahan ini berdampak pada pendapatan yang mereka peroleh dan juga menunjukkan perubahan perilaku pengrajin menjadi lebih komersil. Namun, tidak semua pengrajin mendapatkan renyahnya keuntungan industri opak, terjadi disparitas antara pengrajin dikarenakan perbedaan dalam hal pemasaran, tenaga kerja, pengetahuan kewiraan, cara memperoleh bahan baku dan manajemen keuangan. Perbedaan ini kemudian membentuk kelas sosial di antara pengrajin yang stagnan dan pengrajin yang maju. Dari uraian ini, maka hal yang paling mendasar dari permasalahan tersebut dapat dirumuskan melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana komodifikasi Opak terjadi di Kecamatan Sapuran ? 2. Bagaimana pendapatan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin Opak Singkong di Kecamatan Sapuran (Desa Jolontoro dan Desa Ngadisalam) ? 3. Bagaimana industri Opak Singkong menciptakan kelas sosial di antara pengrajin Opak ?

3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengkaji komodifikasi Opak di Kecamatan Sapuran. 2. Mengetahui pendapatan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin Opak Singkong di Kecamatan Sapuran (Desa Jolontoro dan Desa Ngadisalam). 3. Mengkaji Opak Singkong dalam menciptakan kelas sosial di antara pengrajin Opak. 4. Tinjauan Penelitian Sejenis Penulis menjadikan laporan penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta tahun 2011 dengan judul Dinamika

Pemberdayaan Masyarakat: Industri Opak sebagai Agen Sosio Edukasi Masyarakat di Dusun Ngadisalam sebagai bahan utama pembuatan makalah ini, di mana penulis juga terlibat di dalamnya sebagai peserta. Perbedaan makalah ini dengan laporan KKL tersebut adalah analisa kasus pengrajin opak dari yang sebelumnya menggunakan pendekatan Sosiologi Pendidikan yaitu Agen Sosio-Edukasi menjadi pendekatan Sosiologi Ekonomi dengan topik kelas sosial. Penelitian sejenis selanjutnya adalah Hanief Almuttabi Rama Yunus dan Dyah Panuntun Utami yang berjudul Keragaan Agroindustri Opak Singkong di Desa Jolontoro Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo yang diterbitkan jurnal Surya Agritama Volume I Nomor 1 Maret 2012. Penelitian ini membantu penulis dalam analisa pendapatan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin Opak Singkong di Kecamatan Sapuran. 5. Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari 4 bagian utama, yaitu Pendahuluan, Pendekatan Teoritis, Pembahasan, dan Kesimpulan. Pendahuluan berisi latar belakang pemilihan topic, permasalahan yang menjadi fokus penelitian dan tinjauan pustaka yang berisi studi sejenis dan mengemukakan kelebihan studi ini di antara studi-studi terdahulu. Pendekatan teoritis menjelaskan beberapa konsep dalam pendekatan Sosiologi Ekonomi dengan rujukan utama adalah buku Portes (2010) Economic Sociology tentang Kelas Sosial. Sedangkan bagian pembahasan merupakan uraian empiris yang terfokus pada penelitian dan analisa. Ada tiga sub-bab mengenai komodifikasi dan kelas sosial pengrajin Opak Singkong, yang sekaligus menjadi temuan penelitian, yaitu Sosio-Historis Komodifikasi Opak di desa Ngadisalam, Pendapatan dan Sirkuit Industri Opak, Kelas Sosial di antara Pengrajin Opak. Terakhir yaitu kesimpulan. Berisi gambaran umum dan jawaban tentatif atas makalah ini.

BAB II Pendekatan Teoritis 1. Konsep Kelas Sosial dalam Sosiologi Ekonomi (Portes, 2010)

Untuk sosiologi ekonomi, utilitas dari perspektif kelas tergantung pada pengembangan tipologi dan kriteria klasifikasi yang netral

terhadap hasil akhir mereka. Maka penggabungan kelas sebagai tipe ideal merupakan dasar untuk menghindari kekeliruan tanpa kelas. Grusky dan Sorensen berpendapat bahwa asosiasi berbasis pekerjaan jauh lebih aktif dan lebih menghasilkan secara politik daripada jika bersandar pada definisi klasik Marxis tentang kelas. Berikut proposisi yang ditawarkan mereka berdua terkait kekeliruan akan kelas: 1. Perpecahan dan perubahan ekonomi dan politik dari waktu ke waktu akan menimbulkan konfigurasi kelas yang berbeda. 2. Kelas merupakan konstruksi teoritis pertengahan (mid range) yang dirancang struktural untuk memaknai fenomena sosial dan prediksi tren jangka panjang yang besar. Kemudian dari dua asumsi ini maka berakibat logis pada: 1. Jumlah, komposisi, da pola interaksi kelas sosial yang bervariasi dari waktu ke waktu. 2. Peta struktur kelas yang digunakan bervariasi untuk penjelasan fenomena sosial yang berbeda. Maka dapat disimpulkan mengenai analisis kelas dalam sosiologi ekonomi akan tetap relevan dan tahan lama karena: 1. Ada beberapa fenomena sosial yang tidak dapat dijelaskan hanya dari permukaannya saja. Terdapat struktur dalam yang mendefinisikan adanya ketidaksetaraan yang bertahan lama di antara agregat sosial.

2.

Kelas juga didefinisikan pada hubungannya satu sama lain, tidak hanya pada posisi yang hirarkis.

3. Kelas didefinisikan oleh perbedaan dalam mengakses kekuasaan dalam suatu sistem sosial tertentu. 4. Posisi kelas dapat menyebar antar generasi.
TIPOLOGI KELAS SOSIAL PORTES Kelas DOMINAN Grand Capitalists Karakter Ekonomi Kepemilikan atau kontrol bisnis berada pada lingkup internasional. Modal ratusan juta dolar Karakter Politik Pengaruh politik nasional berdasarkan sumber daya dan kontak individu Indikator Empiris Pendapatan tahunan mencapai puluhan juta atau lebih tinggi; yang disebut filantropi dan jangkauan kontrol lembaga berada pada tingkat nasional dan internasional Pendapatan tahunan dalam jutaan, bernama filantropi dan kontrol lembaga berada pada jangkauan local Pendapatan tahunan berada pada ratusan ribuan, pekerjaan yang dibayar opsional. Pengakuan sosial atau filantropi sederhana, tapi tidak ada kehadiran lembaga independen Gaji tahunan berjumlah ratusan ribuan. Penghargaan dan kehormatan didasarkan pada prestasi karir

Capitalists

Rentiers

Kepemilikan atau kontrol bisnis melingkupi regional atau nasional. Modal dalam puluhan juta Investasi keuangan/bisnis yang beragam mencapai jutaan. Tidak ada kontrol langsung dari perusahaanperusahaan besar

Pengaruh politik lokal berbasis pada sumber daya individu. Pengaruh nasional melalui "lobi" Pengaruh kolektif melalui kontribusi kepada asosiasi bisnis yang mewakili mayoritas

SUBORDINAT Elite Workers

Common Workers

Memiliki keterampilan yang luar biasa diminati oleh organisasi ekonomi utama. akumulasi kekayaan yang cepat dari pekerjaan yang dibayar Memiliki keterampilan pekerjaan standar dalam permintaan oleh majikan. Sedikit atau tidak ada akumulasi kekayaan Wirausaha kecil Yang membutuhkan tenaga kerja pemilik. Penyediaan barang dan jasa kepada masyarakat atau di bawah subkontrak perusahaanperusahaan yang lebih besar Dikucilkan dari pasar tenaga kerja karena kemampuan yang terbatas dan sikap dalam bekerja. Ketergantungan pada bantuan pemerintah dan jenis pekerjaan yang santai

Pengaruh individu berdasarkan ketenaran pribadi dan perbedaan pekerjaan

Petty Entrepreneurs

Pengaruh kolektif berdasarkan keanggotaan dalam serikat pekerja dan organisasi pekerjaan lainnya. Tidak ada pengaruh politik pribadi Tidak ada pengaruh individu dan sedikit sedikit solidaritas kolektif karena kondisi kerja yang terisolasi

Gaji tahunan dalam puluhan ribu; kepemilikan rumah sebagai bentuk utama dari investasi. Pengakuan kerja sedikit atau tidak ada Fluktuasi pendapatan tahunan mencapai puluhan ribu, pendapatan yang lebih tinggi dalam kasus luar biasa. Tidak ada keamanan kerja atau pengakuan Fluktuasi pendapatan tahunan mencapai ribuan. Kelangsungan hidup pribadi melalui bantuan pemerintah, pekerjaan informal dan, dalam beberapa kasus, sedikit kegiatan criminal

Redundant Workers

Mobilisasi yang tidak terorganisir dan fokus utama pada kelangsungan hidup sehari-hari. Ledakan terisolasi dari ketidakpuasan

Kapitalisme yang berisi persaingan global dan strategi untuk berhasil mengatasinya jelas sangat bertentangan dengan Marxis dan neo-Marxis yang kritis vi a vis dengan kalangan neoliberal yang justru mendukung sistem kapitalis. Tabel di atas adalah rangkuman dari tipologi yang terdiri dari ciri utama masing-masing kelas dan indikator empiris dari potensi ukurannya. Peta struktur kelas ini dimaksudkan sebagai perlawanan untuk kesalahan-kesalahan sebelumnya dengan menunjukkan pentingnya posisi kelas dan cara penyajian alternatif dari konseptualisasi tersebut. Ada 3 alasan mengapa analisis kelas berguna bagi sosiologi ekonomi, yaitu: 1) Fenomena ekonomi yang bersifat embedded membuat sosiologi ekonomi memerlukan analisis yang lebih holistik sehingga tidak terbatas hanya pada jaringan sosial, interaksi sosial ataupun dampak langsung dari keduanya. Maka analisis kelas menjadi jawaban dalam menyingkap kerangka yang lebih luas yang diciptakan oleh perbedaan stabil dari kepentingan dan kekuasaan. Selain itu, dengan analisis kelas Sosiologi Ekonomi menyadari bahwa struktur makro tidak bisa diabaikan begitu saja karena ia merupakan tempat di mana pola interaksi antara aktor-aktor individual terjadi. 2) Memperjelas dan menempatkan ruang lingkup analisis sosiologi ekonomi. Menurut Neil Fligstein, banyak analisa sosiologis yang tidak menempatkan struktur pasar dalam konteks institusi yang lebih besar. Adanya sosiologi di bidang ekonomi, maka dapat dipelajari bagaimana pola interaksi aktor yang berada pada struktur atas dan bagaimana dampaknya terhadap struktur di bawahnya. Karena keputusan yang dibuat oleh aktor-aktor tersebut terkait erat dengan pola interaksi kelas tertentu. 3) Kelas adalah alat kunci bagi pengintegrasian analisa sosiologi di bidang ekonomi. Sistem kelas tidak hanya konteks makro itu sendiri di mana proses ekonomi melekat di dalamnya, tapi juga merupakan penentu sekaligus konsekuensi dari proses tersebut.

2. Ekonomi Pasar (Geertz, 1963) Konsep ini digunakan penulis dalam membantu menjawab komodifikasi opak sebagai akibat persentuhannya dengan ekonomi pasar. Menurut Clifford Geertz Pasar (yang barangkali dari kata Parsi Bazar lewat Bahasa Arab) adalah suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat Mojokuto, dan suatu dunia sosial budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya. Seperti pertanian bagi seorang petani, maka perdagangan kecil-kecilan bagi seorang pedagang merupakan latar belakang yang permanen di mana hampir segala kegiatannya dilakukannya. Pasar adalah lingkungan yang dari sudut pandangannya merupakan gejala alami dan juga gejala kebudayaan dan keseluruhan dari kehidupannya dibentuk oleh pasar itu. Jadi yang dimaksud dengan pasar bukanlah lapangan khusus dengan bangaubangau dan bangsal-bangsal yang terletak di tengah-tengah kota, di mana (seperti kata seseorang mengenai emporium purba) orang diperbolehkan tipu menipu setiap kali, melainkan seluruh pola dari kegiatan pengolahan dan penjajaan secara kecilkecilan yang menjadi ciri Mojokunto pada umumnya. Pasar tempat orang berjual beli itu memang klimaks dari pola ini, fokus dan pusatnya, tetapi ini bukan keseluruhan dari pola tersebut. Gaya perdagangan pasar itu meresap keseluruh kawasan Mojokuto, dan hanya di desa-desa yang paling terpencil saja pengaruhnya agak menipis. (Geertz , 1963). Untuk penyelidikan lapangan, Geertz kemudian memilih kedua kota kecil Mojokuto dan Tabanan sebagai obyek penyelidikannya. Pengamatan yang lama dan intensif di kedua kota tersebut kemudian menunjukkan kepada Geertz bahwa melalui proses sejarah pertumbuhan yang berbeda telah menghasilkan segolongan kaum entrepreneurs yang mempunyai sikap dan tingkah laku ekonomi yang serupa. Di Mojokuto golongan ini muncul dari kaum Santri yang berpikiran maju, yang memasuki sektor perdagangan umumnya sebagai pedagang kecil, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah sekelilingnya dan kota itu sendiri. Di Tabanan, golongan ini muncul sesudah revolusi fisik, ketika kemerdekaan mulai

menimbulkan ancaman-ancaman langsung atas kehidupan para ningrat penguasa, yang kemudian menimbulkan desakan pada golongan ningrat ini untuk melakukan perubahan-perubahan yang fundamental dalam sikap hidup dan tingkah lakunya. Kemudian persamaan-persamaan yang tampak mencolok dalam fakta-fakta berikut tentang perbedaan latar belakang di kedua tersebut adalah : a. Pada kedua masyarakat tersebut tampak terjadinya perubahan-perubahan yang memungkinkan munculnya economic rationality dan kemudian

penggunaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. b. Pada kedua masyarakat itu kemudian timbul suatu proses pertumbuhan dari nilai-nilai baru semacam economic ethic yang memberikan keleluasaan kepada economic rationality untuk memainkan peranannya dalam kehidupan masyarakat.

BAB III Pembahasan 1. Sosio-Historis Komodifikasi Opak di Desa Ngadisalam, Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo Munculnya opak sebagai bahan makanan memang tidak ada yang mengetahui bermula sejak kapan. Namun menurut riwayat di Desa Jolontoro, sentra industri opak singkong telah ada sejak tahun 1940-an. Menurut cerita masyarakat setempat orang yang pertama kali membuat opak singkong di Desa Jolontoro adalah Mbah Daris. Singkong yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi terkadang dapat dijadikan makanan pengganti nasi yang kita ketahui sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya. Menurut pak Edi yang juga merupakan carik setempat Opak itu sendiri telah ada sejak daerah mereka dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda.1 Keberadaan Opak sebagai salah satu jenis makanan memang menjadikan daerah ini memiliki ciri khas tersendiri. Opak selalu ada dalam setiap suguhan ketika pengajian atau acaraacara tertentu di Desa Ngadisalam. Pembuatan Opak sendiri biasanya dilakukan oleh para ibu-ibu atau perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki bekerja sepanjang hari di sawah atau kebun. Selain itu Opak pun dapat mempererat hubungan antar masyarakat karena sering menjadi alat pemberian atau suguhan. Di samping itu membuat opak pun dapat menjadi sebuah bentuk pelestarian kebudayaan dari daerah tersebut. Maka, opak dalam hal ini tidak hanya muncul sebagai sebuah jenis makanan saja, namun menjadi sebuah simbol keramahtamahan penduduk desa.
ya dulu opak itu Cuma buat makanan cemilan aja mas, biasanya buat selametan, pengajian, kalo buat ada tamu juga mas. Setahu saya sih opak mulai dijual pas ada pasar sapuran mas sekitar tahun
1

Wawancara tanggal 27 juni 2011(Laporan KKL Sosiologi UNJ)

70-an lah, di sana dari dulu banyak yang jual opak, biasanya pake centetan. 2

Pasar sapuran sendiri yang ada sejak tahun 1970an, memang telah memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat dusun Ngadisalam. Biasanya para pembuat opak dari Dusun ini berjualan atau bertemu dengan pembelinya di depan pasar sapuran dekat gapura pasar di seberang alun-alun kecamatan. Biasanya mereka bernegosiasi terlebih dahulu di sana mengenai harga perkilonya, setelah itu barulah terjadi kegiatan penimbangan sebelum adanya transaksi. Para pembeli di pasar ini merupakan pembeli tetap karena mereka telah menjalin hubungan baik dengan pembuat opak. Foto 3.1 Suasana Jual Beli di Pasar Sapuran

Sumber: dokumentasi pribadi

Para pembeli di Pasar Sapuran merupakan orang dari luar masyarakat dusun Ngadisalam. Mereka ada yang membawa kendaraan sendiri yang didominasi oleh

Wawancara tanggal 27 juni 2011(Laporan KKL Sosiologi UNJ)

mobil bak terbuka untuk memudahkan mengangkut opak untuk dipasarkan di tempat lain seperti Pasar Kretek Wonosobo yang paling dekat sampai ke luar kota. Dari pengamatan peneliti mobil para pembeli kebanyakan tidak berplat AA yang merupakan kode plat Wonosobo. Mobil yang berada di Pasar Sapuran di dominasi oleh plat R dan AD, yang merupakan sandi kota-kota seperti Yogyakarta dan Purwokerto. Namun, selain itu juga ada pembeli yang tidak membawa mobil sendiri. Salah satu contohnya adalah Ibu Sani yang setelah melakukan transaksi justru malah tetap tinggal di pasar untuk menunggu pembeli dari luar kota, yang biasanya baru datang siang hari. a. Opak Sebelum Menjadi Sebuah Komoditas Opak hanyalah sebuah jenis makanan biasa yang terbuat dari bahan dasar Singkong. Pada mulanya opak hanyalah makanan yang dikonsumsi secara pribadi atau hanya untuk makanan sehari-hari. Oleh karena itu, opak pun dibuat hanya untuk suguhan-suguhan pada acara-acara tertentu seperti pengajian untuk menjamu orangorang yang ikut mengaji dan suguhan untuk tamu di rumah, selain untuk dimakan sendiri. Opak sendiri dibuat dari singkong yang memang ada di pekarangan rumah atau di kebun sendiri. Sehingga, opak dibuat benar-benar dari tanah sendiri dan untuk keperluan sendiri pula. Bahkan terkadang jika ada pengajian di masjid opak selalu dikirimkan oleh si pembuatnya sebagai sebuah sumbangan. Oleh karena itu, opak tidak hanya menjadi salah satu jenis makanan saja, namun opak telah menjadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah warga desa Ngadisalam dan sekitarnya. Opak dibuat secara cuma-cuma oleh para pembuatnya. Pembuat opak yang biasanya perempuan, hanya memiliki motivasi untuk menyenangkan orang lain seperti suami, anak-anak, atau pun untuk memberi kepada tetangga. Oleh karena itu, pekerjaan membuat opak dapat dikatakan sebagai sebuah kerja sosial. Hal ini karena, para pembuat opak tidak dibayar sepeser pun, dan mereka pun ikhlas karena memang ketika itu Opak belum memiliki nilai ekonomis. Sehingga, pekerjaan membuat opak

bukanlah sebagai pekerjaan ketika itu. Namun, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri karena dapat memberikan sebuah persembahan kepada orang-orang di sekitarnya. Opak dibuat dengan peralatan seadanya dan tidak dibuat untuk skala besar. Secara tradisional opak dibuat ketika itu, tanpa menggunakan mesin yang dapat memudahkan tugas manusia dalam bebagai hal. Opak pun dibuat benar-benar berasal dari alam bahan-bahannya dan tanpa campuran apapun. Mereka pun menggunakan alat-alat dari alam kecuali panci besar untuk merebus singkongnya. Dalam membuat opak pun para pembuat opak tidak memperdulikan masalah cuaca. Jika ada yang gagal mereka akan membuang atau memberikan Singkong gagal menjadi opak kepada hewan ternak mereka seperti ayam atau ikan. Oleh karena itu, kegagalan dalam membuat opak bukanlah sebuah kerugian. Proses pembuatan opak dimulai dari pengupasan dan pencucian singkong. Singkong kemudian dikukus dengan dandang. Singkong yang telah matang kemudian dibersihkan seratnya selanjutnya digiling sampai halus. Singkong yang telah halus dicampur dengan bumbu yaitu garam, bawang, dan kucai. Adonan singkong kemudian digiling kembali agar bumbu merata. Selanjutnya dilakukan pencetakan dengan menggunakan papan penggilas dan penggilas berupa pipa kecil. Ukuran opak disesuaikan dengan permintaan konsumen. Opak basah kemudian dijemur sampai kering. Penjemuran kurang lebih 2-3 hari. Opak yang telah kering kemudian dimasukkan plastik dan siap dijual. Bahan yang digunakan dalam pembuatan opak adalah singkong, garam, kucai, bawang dan air. Kebutuhan bahan-bahan tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1. Rata-rata Penggunaan Bahan-bahan Pembuatan Opak Singkong
No 1. 2. 3. 4. 5. Bahan-Bahan Singkong Garam Kucai Bawang Air Satuan Kg Kg Ikat Kg Liter Jumlah 94,74 0,66 3,37 0,14 37,89

Sumber : Yunus dan Utami (2011)

Para penikmat opak saat itu merupakan anggota keluarga sendiri atau paling luas adalah warga Dusun Ngadisalam itu sendiri. Para penikmat tersebut pun menerima apa pun dan bagaimana pun rasa dari opak itu sendiri. Hal ini karena opak memang sebuah simbol dari keramahtamahan warga pada waktu itu. Sehingga enak atau tidak enak itu bukanlah sebuah kerugian atau pun keuntungan bagi pihak manapun. Industri opak memang pada dasarnya lahir dari sebagai salah salah bentuk kebertahanan terhadap realitas yang terbentuk dalam sistem pekerjaan di pedesaan, di mana sektor pertanian merupakan ujung tombak dari perekonomian masyarakatnya. Sebagai sebuah industri pembuatan opak menjadi elemen penting dalam menunjang sistem pekerjaan di desa Ngadisalam. Dalam masyarakat pedesaan yang berdasarkan bercocok tanam, orang biasa bekerja keras dalam masa-masa tertentu, tetapi mengalami kelegaan bekerja pada masa-masa yang lain dalam rangka satu lingkaran pertanian. Sistem bekerja seperti ini memang membuat masyarakat desa mengalami penurunan produktifitas dalam masa-masa tertentu. Kondisi seperti ini memang membuat industri opak menjadi salah satu pilihan alternatif bagi masyarakat sebagai pekerjaan baik sampingan atau pun pekerjaan utama. b. Opak Setelah Menjadi Komoditas Berdasarkan para informan yang kami temui baik dari warga desa sampai ke pembuat Opak, Opak mulai menjadi sebuah barang dagangan sekitar tahun 19651970. Hal ini berdasarkan pengakuan beberapa pembuat Opak dan adanya Pasar Sapuran sebagai tempat berjualan Opak yang memang berdiri pada sekitar tahun tersebut. Munculnya Opak sebagai barang komoditas tentu saja memberikan keuntungan tersendiri bagi para pembuat Opak. Jarak yang dekat dengan Pasar Sapuran tentu saja membuat para pembuat Opak semakin mudah menjajakan hasil olahannya. Pasar Sapuran memang memiliki peranan penting dalam proses

pengkomodifikasian Opak Singkong. Hal ini dikarenakan munculnya Pasar Sapuran

membuat interaksi antar masyarakat termasuk para warga desa Ngadisalam semakin intens dengan masyarakat dari luar. Dengan adanya interaksi tersebut maka Opak yang merupakan ciri khas dari warga setempat pun ikut tersosialisasikan secara tidak langsung melalui Pasar Sapuran. Sehingga, tidak heran sampai saat ini setiap hari Wage dan Pahing Opak tidak pernah absen untuk dijajakan di Pasar Sapuran. Dengan demikian pembuat opak saat ini menjadi sebuah pekerjaan baru bagi masyarakat desa. Hal ini pun terlihat dari beberapa pengusaha opak yang mengakui hasil dari membuat opak lumayan bagi tambahan pemasukan di keluarga mereka sehari-hari. Analisa Geertz dengan fakta yang terjadi pada industri Opak menjadi relevan. Sistem petani sawah memungkinkan mereka untuk jeda yang membuat mereka terdesak untuk tetap berproduksi di luar hasil panen sawah mereka. Alhasil industri opak menjadi pilihan rasional. Kemudian adanya Pasar Sapuran menjadi saluran gaya hidup ekonomi baru mereka dalam menjajakan Opak kepada konsumen di luar Kecamatan Sapuran. Mekanisme pasar berupa permintaan dan penawaran pun terjadi dan hal ini menjadi faktor determinan yang akan mempengaruhi pengrajin opak di desa. Opak yang mengalami pergeseran nilai menjadi komoditas memang membuat perubahan yang mendasar baik dalam pembuatan opak, kebutuhan akan singkong yang tinggi, dan maupun adanya kekhawatiran mengenai kegagalan membuat opak. Hal ini terkadang membuat para pembuat opak harus bekerja ekstra keras agar tidak merugi, termasuk menghalalkan berbagai macam cara agar dalam setiap pembuatan opak singkong ini mereka tetap mendapatkan keuntungan. Ada beberapa cara atau trik para pembuat opak ini dalam mengakali agar mereka tidak merugi baik dikarenakan cuaca yang membuat jemuran opaknya tidak kering atau agar opaknya tetap terlihat menarik untuk dikonsumsi. Jika cuaca hujan maka Singkong yang siap digiling dan di cetak kembali digiling ulang hal ini agar mencegah kebusukan dari singkong. Selain itu, agar opak tetap terlihat menarik adonan opak dicampur dengan pemutih pakaian yang dibeli dari tukang baso di Pasar Sapuran.

Pembuatan opak sendiri dalam memenuhi kebutuhan pasar para pembuat opak memang telah mengalami sebuah pergeseran tingkah laku. Hal ini, dikarenakan mereka membuat opak saat menjadi sebuah perlombaan di mana jika ingin uang maka buatlah opak sebanyaknya. Selain itu juga pengaruh dari para pedagang di pasar sapuran yang dapat mengintervensi para pembuat opak. Pedagang di pasar sapuran sendiri mereka demi mengejar keuntungan tidak segan-segan untuk menghimbau para pembuat opak agar memakai pemutih pakaian. Dalam pembuatannya opak juga telah mengalami proses produksi dengan tenaga mesin. Hal ini untuk memudahkan para pembuat opak dalam mengejar target penjualan opak. Mesin penggilingan singkong merupakan sebuah inovasi baru dalam pembuatan opak. Tempat penggilingan yang sebenarnya juga tempat penggilingan padi dan jagung. Dengan adanya mesin ini sebagai alat penggilingan singkong pengusaha opak tentu telah meninggalkan perilaku pendahulunya yang masih menggunakan alat sederhana.

2. Pendapatan dan Sirkuit Industri Opak Pendapatan para pengrajin Opak di Kecamatan Sapuran dengan detail telah diteliti oleh Hanief Almuttabi Rama Yunus dan Dyah Panuntun Utami pada tahun 2011. Rata-rata opak yang dihasilkan pengrajin 32,39 kg dan harga jual rata-rata adalah Rp 6.244,92 sehingga penerimaan pengrajin Rp 202.302,63. Pendapatan pengrajin relatif kecil karena skala usahanya kecil. Oleh karena itu pengrajin juga mempunyai pekerjaan lain yaitu buruh tani, beternak, dan buruh pabrik kayu. Pendapatan Rp 57.112,11 adalah pendapatan yang diperoleh selama 4 hari sehingga pendapatan setiap hari pengrajin sebesar Rp 14.278,03. Tabel 2. Pendapatan Pengrajin Opak Singkong No Uraian 1. Penerimaan 2. Biaya Eksplisit Pendapatan Jumlah (Rp) 202.302,63 145.190,52 57.112,11

Sumber : Yunus dan Utami (2011)

Keuntungan pengrajin dihitung dari pendapatan dikurangi dengan total biaya. Keuntungan pengrajin selama 4 hari Rp 38.146,03 sehingga keuntungan setiap hari adalah Rp 9.536,70. Keuntungan semakin kecil karena harus dikurangi dengan biaya implisit. Tabel 3. Keuntungan Pengrajin Opak Singkong No Uraian 1. Penerimaan 2. Total Biaya Keuntungan Sumber : Yunus dan Utami (2011) Jumlah (Rp) 202.302,63 164.155,82 38.146,81

Namun keuntungan yang kecil tersebut sangat dipengaruhi dari pola tataniaga yang terbentuk antara pengrajin dengan pedagang pengumpul desa, pedagang besar, pedagang pengecer, dan IRT (Industri Rumah Tangga). IRT LUQI merupakan industri rumah tangga yang mengolah lebih lanjut Opak Singkong Desa Jolontoro dengan cara memberikan bumbu pedas manis. Yunus dan Utami (2011) menemukan 4 Pola tataniaga yang terbentuk yaitu: Pola I : Pengrajin Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Besar di Pasar Kecamatan Sapuran Pedagang Pengecer di Purwokerto Konsumen Pola II : Pengrajin - Pedagang Pengumpul Desa - Pedagang Besar di Semarang Pedagang Pengecer (Toko) di Semarang - Konsumen Pola III : Pengrajin IRT Opak Singkong LUQI Konsumen Pola IV : Pengrajin IRT Opak Singkong LUQI Pedagang Pengecer (Toko) Konsumen Marjin tataniaga Pola I sebesar Rp 750,00, Pola II sebesar Rp 4.000,00, Pola III sebesar Rp 10.500,00 dan Pola IV sebesar Rp 19.166,66. Pola I dan II hanya

dapat ditelusuri sampai pedagang besar di Kecamatan Sapuran dan Kabupaten Semarang. Pedagang pengecer tersebar dan sulit untuk dilacak. Pola III marjin lebih kecil karena IRT LUQI langsung menjual ke konsumen dengan membuka kios sendiri. Pola IV melibatkan pedagang pengecer yaitu Rumah Makan Sari Rasa, Toko Selera dan Toko Sadina. Variasi harga ditingkat pedagang pengecer adalah faktor jarak antara pengecer dengan IRT Luqi serta lokasi pengecer dekat daerah wisata. Toko Selera karena lokasi dekat lokasi wisata sehingga harga jual paling tinggi dan marjin paling besar. Artinya proposisi yang terbentuk adalah semakin pendek pola tata niaga maka keuntungan yang diperoleh pengrajin opak akan semakin tinggi.

3. Kelas Sosial di antara Pengrajin Opak Berbicara mengenai kelas sosial di pedesaan mungkin sedikit seperti prasangka. Apalagi dengan anggapan masyarakat pedesaan yang kental dengan budaya gotong-royong dan egaliter. Kelas sosial mungkin hanya bisa nampak pada kharisma pribadi seorang tokoh pejabat desa atau ulama setempat. Dengan menggunakan analisa kelas sosial, maka struktur dari fenomena seperti ini akan nampak pada kegiatan ekonomi mereka. Kelas juga didefinisikan pada hubungannya satu sama lain seperti di antara pengrajin Opak Singkong. Kelas akan terlihat di antara mereka ketika pendapatan dan akses terhadap kekuasaan menjadi indikatornya. Para pembuat opak di setiap daerah Wonosobo memiliki perbedaan masingmasing. Misalnya saja pengrajin opak besar dengan pengrajin opak kecil yang itu dilatarbelakangi oleh modal serta sistem produksi, sistem pengelolaan dan sistem pemasaran mereka. Perbedaan antara pembuat opak besar dengan pembuat opak kecil terlihat dalam tabel di bawah ini.
Komponen Pemasaran Pengusaha opak yang belum maju Ruang lingkupnya kecil. Dalam pemasarannya masih kepada tetangga sekitar dan hanya ke Pasar Pengusaha opak yang lebih maju Karena sudah memiliki pengalaman serta pengetahuan yang banyak. Mereka pandai memasarkannya tidak hanya di

Sapuran saja.

pasar Sapuran saja tetapi sudah ke pasar-pasar lain di luar Desa Ngadisalam bahakan sudah keluar kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Banjar, Semarang bahakan sampai luar negeri. Sudah memiliki karyawan yang cukup banyak yaitu sekitar 12 orang karyawan.

Tenaga Kerja

Tidak memiliki karyawan jadi memberdayakan keluarga sebagai tenaga kerjanya kira-kira jumlah pekerja berkisar 2 3 orang saja.

Pengetahuan Kewiraan

Pengetahuan yang dimiliki kurang hanya melihat dari tetangga sekitar saja

Memiliki pengalaman kerja yang luas

Pembelian Singkong

Singkong yang diperolehnya berasal dari kebun sendiri atau membeli per tanah

Singkong didapat dari sendiri atau beli per kilo

kebun

Pengelolaan

Manajemen keuangannya kurang serta kurang dalam melakukan inovasi

Manajemen keuangannya baik dan dapat mengembangkan factor produksinya

Sumber: Laporan KKL Sosiologi UNJ, 2011

Pada tabel di atas merupakan gambaran dari komparasi para pembuat opak kecil dan menengah. Kita ambil contoh antara pembuat opak kecil yaitu Bu Sumiyatun. Sedangkan untuk pembuat opak besar yaitu yang lebih maju adalah Bu Salamah. Ibu Sumiyatun awal mula menjalankan usaha ini dilatarbelakangi dari keadaan hidupnya, sebelum ia terjun ke dalam dunia opak ia sudah terjun ke dalam berbagai bidang pekerjaan seperti menjadi TKW di Malaysia dan ia memiliki seorang suami yang bermata pencaharian sebagai petani namun ujian menimpa keluarga Bu Sumiyatun sang suami mengalami kebutaan sehingga ia pun tidak bisa melanjutkan pekerjaannya lalu Bu Sumiyatun berpikir untuk menggantikan suaminya sebagai

petani akan tetapi ia berpikir kembali kalau ia hanya mengandalkan dari petani saja, ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidunya lalu ia pun mencoba untuk membuat opak karena melihat dari tetangganya yang cukup berhasil dalam usaha itu. Modal yang dikeluarkan oleh Bu Sumiyatun yaitu Rp 200.000,-. Modal tersebut ia gunakan untuk membeli bahan baku serta alat untuk membuat opak seperti rigen, wadah untuk menjemur opak dan kini ia sudah memiliki rigen sebanyak 20 buah. Dalam mengambil bahan baku ia membelinya dari petani singkong di sawah lalu bahan tersebut ia angkut sendiri hingga rumah tanpa bantuan sang suami karena sang suami tidak bisa melihat maka itu ia memiliki peranan penting. Dalam pengolahan bahan baku menjadi opak ia dibantu oleh anak perempuannya dan Bu Sumiyatun dalam sehari itu bisa memproduksi hingga 22 kg opak. Ia bergerak di dunia ini sudah tiga tahun. Lalu opak tersebut ia pasarkan oleh Bu Sumiyatun hanya ke pasar Sapuran saja karena bila memasarkan ke tempat lain ia takut mengalami kerugian. Ibu Salamah yang memiliki usaha opak dengan menggunakan tenaga kerja pegawai. Ibu Salamah sudah 2 tahun memproduksi opak. Memiliki tenaga kerja yang digunakan untuk membantu produksi opak ini berjumlah tiga pegawai tetap dan bisa mencapai lima hingga enam orang yang kadang membantu membuatnya. Dan usia pegawai terbilang masih muda, merupakan anak-anak sekitar umur 12 tahun yang tidak bisa meneruskan sekolahnya sehingga lebih memilih membantu orang tua dengan membuat opak. Sebenarnya ibu Salamah ini sudah sejak lama membuat opak, akan tetapi ibu Salamah ingin mencari pengalaman kerja di ibukota Jakarta sehingga pembuatan opaknya terhenti. Setelah beberapa tahun dia berpindah-pindah wilayah untuk mencari kerja. Ibu Salamah pernah bekerja di Sukabumi dan Semarang bekerja sebagai juru masak di sebuah warung masakan, yang dikelola dengan temantemannya, setelah merasa umurnya sudah tidak memungkinkan untuk bekerja di daerah lain maka ibu Salamah memutuskan untuk kembali dan bekerja dengan membuat opak di Desa Ngadisalam. Ibu Salamah ini memiliki modal usaha opak, kemudian mempunyai ide untuk memberikan tawaran pekerjaan kepada warga sekitar.

Dalam produksi opak dengan dibantu tenaga kerja ini mendapatkan hasil yang lebih dibanding tidak menggunakan bantuan tenaga kerja. Karena hasil yang diperoleh dari bantuan tenaga kerja, opak yang diproduksi lebih banyak yang biasanya tidak menggunakan pegawai mendapatkan hasil opak sebanyak 1 kuintal dalam satu minggu, akan tetapi dengan kemajuan ini hasil yang diperoleh sebanyak 3 kuintal dalam satu minggu. Dari angka ini terlihat sekali ada kemajuan dalam produksi opak di desa Ngadisalam. Adanya hal-hal yang mendukung kemajuan usaha mandiri dalam industri rumah tangga ini. Selain itu produksi opak dengan tenaga pegawai ini biasanya opak dijual ke pasar Sapuran akan tetapi ibu Salamah sudah memiliki beberapa langganan tertentu berbeda dengan pembuat opak yang secara mandiri tidak memiliki pegawai tetap, untuk menjualkan opak-opaknya ibu Salamah menerima beberapa pesanan dan memiliki langganan yang sudah lama dan selalu memesan pada ibu Salamah, ada 2 orang langganan, langganan pertama biasanya memesan untuk dijual kembali ke pasar Ngerca dan pelanggan kedua untuk dijualkan di tokonya sendiri di daerah Pulo Masi sekitar kota Wonosobo. Dan biasanya memesan melalui via telepon.

Penjualan opak tidak bergantung pada pasar Sapuran saja. Dan opak yang terbuat dari bahan dasar singkong ini, singkong yang diperoleh tidak hanya membeli kepada petani singkong akan tetapi ibu Salamah ini memiliki kebun singkong sendiri sehingga dari hasil singkongnya pun tidak terbatas. Selalu ada bahan untuk membuat opak. Pada salah satu warga yang memiliki usaha opak yang lebih maju ini lebih terlihat sekali perbedaannya, dari hal sumber tenaga kerja hingga sistem pemasarannya pun lebih maju. Hal ini dikarenakan bu Salamah ini memiliki pengalaman kerja di luar kota sehingga pengalamannya dalam berwirausaha pun lebih bisa meningkat jumlahnya. Selain itu juga, bu Salamah memang memiliki hubungan yang baik dengan mantan bosnya yang ada di luar kota tersebut. Sehingga, bu Salamah tidak menjual opaknya ke pasar Sapuran yang memiliki banyak pesaing dan harga jualnya lebih murah.

BAB IV Kesimpulan Industri opak memang pada dasarnya lahir dari sebagai salah salah bentuk kebertahanan terhadap realitas yang terbentuk dalam sistem pekerjaan di pedesaan, di mana sektor pertanian merupakan ujung tombak dari perekonomian masyarakatnya. Dalam masyarakat pedesaan yang berdasarkan bercocok tanam, orang biasa bekerja keras dalam masa-masa tertentu, tetapi mengalami kelegaan bekerja pada masa-masa yang lain dalam rangka satu lingkaran pertanian. Sistem bekerja seperti ini memang membuat masyarakat desa mengalami penurunan produktifitas dalam masa-masa tertentu. Kondisi seperti ini memang membuat industri opak menjadi salah satu pilihan alternatif bagi masyarakat sebagai pekerjaan baik sampingan atau pun pekerjaan utama. Pasar Sapuran memang memiliki peranan penting dalam proses

pengkomodifikasian Opak Singkong. Hal ini dikarenakan munculnya Pasar Sapuran membuat interaksi antar masyarakat termasuk para warga desa Ngadisalam semakin intens dengan masyarakat dari luar. Dengan adanya interaksi tersebut maka Opak yang merupakan ciri khas dari warga setempat pun ikut tersosialisasikan secara tidak langsung melalui Pasar Sapuran. Sehingga, tidak heran sampai saat ini setiap hari Wage dan Pahing Opak tidak pernah absen untuk dijajakan di Pasar Sapuran. Dengan demikian pembuat opak saat ini menjadi sebuah pekerjaan baru bagi masyarakat desa. Hal ini pun terlihat dari beberapa pengusaha opak yang mengakui hasil dari membuat opak lumayan bagi tambahan pemasukan di keluarga mereka sehari-hari. Pendapatan pengrajin relatif kecil karena skala usahanya kecil. Oleh karena itu pengrajin juga mempunyai pekerjaan lain yaitu buruh tani, beternak, dan buruh pabrik kayu. Namun keuntungan yang kecil tersebut sangat dipengaruhi dari pola tataniaga yang terbentuk antara pengrajin dengan pedagang pengumpul desa, pedagang besar, pedagang pengecer, dan IRT (Industri Rumah Tangga). Kemudian kelas akan terlihat di antara pengrajin ketika pendapatan dan akses terhadap

kekuasaan menjadi indikatornya. Karena kelas juga didefinisikan pada hubungannya satu sama lain seperti di antara pengrajin Opak Singkong. Misalnya saja pengrajin opak besar dengan pengrajin opak kecil yang dilatarbelakangi oleh modal serta sistem produksi, sistem pengelolaan dan sistem pemasaran mereka. Gambar.1. Bagan Komodifikasi dan Kelas Sosial Pengrajin Opak

OPAK SINGKONG Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan KOMODIFIKASI


(Cemilan Khas-Komoditas)

Mekanisme Pasar

Pendapatan dan Keuntungan

Kelas Sosial Pengrajin Opak


(Pengrajin Besar Pengrajin Kecil) Akses, Modal, Tenaga Kerja, Pengetahuan Kewiraan, dst.

Sumber: Analisa Penulis

Para pengrajin Opak, bisa membentuk pasar sendiri atau dengan bantuan pemerintah di mana mereka mendapatkan posisi tawar yang baik ketika terjadi negosiasi harga dengan para pembeli, selain itu juga para pembuat opak harus tetap menjaga kualitas opaknya yang tentu saja aman dikonsumsi oleh para konsumen terakhir.

Daftar Pustaka Alejandro Portes. 2010. Economic Sociology: A Systematic Inquiry. Princeton University Press. New Jersey. Geertz, Clifford. 1963. Peddlers And Princes. Chicago, University of Chicago. Laporan Kuliah Kerja Lapangan Sosiologi. 2011. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat: Industri Opak sebagai Agen Sosio Edukasi Masyarakat di Dusun Ngadisalam. Jakarta: Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta Yunus, Hanief Almuttabi Rama dan Dyah Panuntun Utami. 2012. Keragaan Agroindustri Opak Singkong di Desa Jolontoro Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo . Yogyakarta: Jurnal Surya Agritama Volume I Nomor 1 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai