Anda di halaman 1dari 15

1

IDENTIFIKASI POTENSI WISATA SOSIAL BUDAYA KOTA TANGERANG

Pendahuluan

Sebuah paradigma pembangunan muncul dalam satu dasawarsa terakhir, yaitu


menghubungkan ekonomi dan budaya dalam perkotaan yang mencakup pembangunan
perekonomian, kebudayaan, teknologi dan aspek sosial baik pada tingkatan makro maupun
mikro. Menururt Wirth dan Freestone (2002) budaya mempunyai peran penting dalam
pembangunan kota-kota saat ini. Budaya tidak hanya menjadi identitas dan bermakna bagi
individu dan masyarakat kota, akan tetapi sekarang telah menjadi sumber ekonomi
bagi kota-kota pasca industrialisasi.
Kota Tangerang yang unggul dalam sektor industri manufaktur nonmigas,
perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor transportasi dan komunikasi memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi kota wisata budaya (urban heritage tourism).
Seperti misalnya bangunan bersejarah yang masih terjaga kelestariannya, seperti
Bendungan "Pintu Sepuluh" atau biasa disebut Bendung Sengego di Sungai Cisadane,
Vihara Nimmala atau Kelenteng Boen San Bio, Rumah Tua Kapiten Tionghoa dan
sebagainya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Ahwort dan Tunbridge (1990)
bahwa peninggalan sejarah adalah salah satu dari sekian banyak potensi wisata dalam
pariwisata kota.
Selain bangunan, Kota Tangerang memiliki budaya lokal yang dipengaruhi
oleh etnik Tionghoa seperti Peh-Cun (balap perahu naga) di Kali Cisadane, tari
Cokek, tradisi chio-thaou, musik Tanjidor dan lain-lain. Keadaan ini sangat
menguntungkan bagi Kota Tangerang terutama karena posisinya yang strategis sebagai
mitra ibu kota negara DKI Jakarta. Berbagai potensi tersebut semakin mempertegas Kota
Tangerang sebagai kota warisan budaya yang memiliki daya tarik tinggi.
Urban Heritage Tourism adalah sebuah konsep pariwisata dengan
memanfaatkan lingkungan binaan maupun alam yang dimiliki oleh sebuah kota, yang
memiliki nilai historis tersendiri (Halim, 2011). Konsep ini telah dan mulai berkembang
di kota-kota di dunia. Para penikmat dan pemerhatinya diajak untuk mengapresiasi
serta menginterpretasi objek-objek yang diamati. Dengan demikian, selain berfungsi
sebagai sarana pendidikan dan rekreasi masyarakat, aktivitas ini sekaligus pula
sebagai sarana pelestari dari kekayaan kota itu sendiri. Objek yang diamati pada
urban heritage tourism bisa bermacam-macam, baik benda (mati atau hidup)
maupun juga aktivitas.
Umumnya, benda-benda seperti situs, monumen, serta bangunan- bangunan
bcrsejarah memiliki posisi yang penting dalam wisata jenis ini. Dalam buku Ziarah
Budaya Kota Tangerang Wahidin Halim (2011) menjelaskan bahwa Kota-kot a yang
berusia tua melebihi ratusan tahun memiliki banyak bangunan yang merupakan saksi
bisu dari perkembangan lingkungannya, potret dari kejadian-kejadian masa lampau
yang pernah terjadi di sekelilingnya. Bangunan-bangunan tersebut kemudian menjadi
bukti sejarah yang konkret, yang mendukung buku-buku sejarah yang ditulis
bertahun-tahun kemudian.
Pariwisata Kota Tangerang pada dasarnya adalah produk wisata, dimana di
dalamnya terdapat konsentrasi berbagai bentuk atraksi, amenitas dan terutama kemudahan
aksesibilitas dengan dimasukkannya Kota Tangerang dalam konsep pengembangan
metropolitan Jabodetabekpunjur, yaitu pengintegrasian tata ruang beberapa kawasan yang

memiliki keterkaitan erat dalam konteks pengembangan wilayah. Lokasi strategis yang
ditunjang oleh keberadaan Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, menjadikan Kota
Tengerang dapat menarik pengunjung baik dari domestic maupun international, termasuk
wisatawan dan para pelaku bisnis dan konferensi.
Daerah perkotaan yang sangat bervariasi dan memiliki keragaman terpusat pada
fasilitas dan atraksi serta merupakan lokasi yang menyenangkan untuk mepertemukan
wisatawan dan penduduk asli. Untuk itu, Shaw dan Williams (1994) membuat analisa
tentang elemen-elemen Pariwisata Kota Urban Heritage Tourism.
Gambar 1. Elemen-elemen Pariwisata Kota

Sumber : Jansen-Verbeke (1986) dalam Shaw dan Williams (1994)

Pembahasan
Elemen primer merupakan atraksi wisata utama yang menarik pengunjung ke
suatu kota (Shaw and Wlliams, 1994). Kota Tangerang memiliki beberapa potensi atraksi
(objek dan daya tarik wisata) utama, antara lain dengan kategori Leasure Setting seperti
Pecinan/Kawasan Pasar Lama Tangerang, Waterfront Cisadane dengan Pintu Air Sepuluh
dan Wisata Religi dengan keunggulan Kelenteng dan Masjid. Kemudian Leasure Setting
tersebut didukung dengan Activity Place seperti di Pecinan dengan mengadakan Festival
Kuliner Pasar Lama dan Musik Tradisional seperti Gambang Kromong dan Tanjidor.
Sedangkan konsep Waterfront didukung dengan Karnaval Cisadane dan Ciliwung yang
dikenal dahulu dengan perayaan Peh-Cun.
A. Leasure Setting
1. Pecinan/Kawasan Pasar Lama Tangerang
Pecinan di Indonesia terutama terbentuk dari migrasi para imigran Cina, Hongkong,
Taiwan, Asia Tenggara, yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan dengan orientasi
prospek ekonomi. Kawasan Pecinan yang popular di Indonesia di antaranya yaitu Semarang
dan Glodok di Jakarta. Semarang sangat terkait dengan pantai atau perdagangan dan
Arsitektur Belanda, kemudian dihuni komunitas campuran antara Tionghoa dan Arab.
Terdapat Pasar yang mampu dimaksimalkan menjadi obyek wisata. Pecinan Semarang pun
terkenal dengan 1001 klenteng. Sedangkan Glodok yang berada di Kawasan Kota Tua
Jakarta merupakan pusat perniagaan, pusat elektronik, kuliner dan cagar budaya. posisi
yang strategis dengan kawasan Beos membuat Glodok kaya akan bangunan arsitektur
Belanda dan Cina.
Istilah Pecinan pun berbeda di setiap daerah. Seperti Little Taipei di California,
Little Shanghai di New South Wales, Little Hongkong di British Columbia. Namun terdapat
karakteristik Kawasan Pecinan secara umum (Nur, 2010) yaitu:
Memiliki peran dan kedudukan yang cukup penting dalam sebuah kota
Memiliki pola permukiman dan karakter bangunan yang khas
Pemerintah setempat melakukan tindakan penataan dan peremajaan kawasan sebagai
obyek wisata (Urban Heritage Tourism).
Berkonsep jalur pejalan kaki terbuka (Open Mall, City Walk)
Terdapat landmark berupa patung, klenteng, pintu gerbang, kuil dan bangunan
arsitektural lainnya.
Adanya akulturasi budaya seperti Arab, India dan kaum pribumi.
Ukuran luasan kawasan (district) tidak menjadi tolak ukur pembentukan dan
perkembangan kawasan pecinan.
Eksistensinya sangat dipengaruhi dari ekspansi external dan proses pergolakan internal
kota setempat, misalkan perkolonialisme, intervensi negara lain, kebijakan
pemerintahan atau kerajaan, dan lain sebagainya.
Pasar Lama Tangerang adalah pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan
cikal bakal Kota Tangerang. Kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya)
yang berada di tepi sungai p u n t e r k a i t e r a t d e n g a n Sejarah etnis Tionghoa
Tangerang. kawasan Pasar Lama adalah permukiman pertama mereka dengan struktur tata
ruang yang sangat baik. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai

Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya,
sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas Pecinan.
Mengenai asal-usul kata China Benteng, menurut sinolog dari Universitas
Indonesia, Eddy Prabowo Witanto seperti yang dikutip Halim (2011), tidak terlepas
dari keberadaan Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial
Belanda itu sekarang sudah rata dengan tanah dan terletak di tepi Sungai Cisadane, di
pusat Kota Tangerang. Pada saat itu, banyak orang China Tangerang yang kurang
mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah
utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun
1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "China Benteng".
Gambar 2. Suasana Kawasan Pasar Lama Tangerang

Sumber: myhotelmyresort.com

Pecinan sebagai salah satu unsur perkotaan dapat menjadi suatu pembentuk citra
kota dan aset yang dapat dikembangkan menjadi komoditas melalui pengembangan
kawasan wisata. Selain itu, Pecinan sebagai Pasar Tradisional khas Tionghoa pun
merupakan cermin geliat ekonomi sebuah kota dan negara. Jika Pasar swalayan menjual
barang-barang yang sama dimana pun juga, yang membuat orang tetap datang ke pasar
tradisional adalah karena tiap pasar menjual barang yang menjadi ciri khas daerah dimana
pasar tersebut berada (Wongso, 2011). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
Pemerintah Kota Tangerang dalam menerapkan Pecinan sebagai Objek Wisata Kota (Nur,
2010), namun tentu intervensi yang dilakukan Pemkot harus holistic (aspek sosial, ekonomi
dan budaya) dan berkesinambungan:
Mengaktifkan kembali kegiatan yang berbudaya Cina, sehingga wisatawan seakan-akan
berada di Cina.1
Penataan Pola Spasial (Nodes, Path, Ruang Transisi antara Bangunan dan Jalan)
Tatanan dan Bentuk Bangunan
Penanganan dengan Linkage Eksternal kawasan
Landmark (Gerbang, Perabot Jalan, dsb.)
Ruang Terbuka Publik
2. Waterfront Cisadane
Tepian Air/Sungai sering tidak dihargai sebagai salah satu komponen estetis
pembentuk Urban Heritage sebagai salah satu prasarananya. Kota Tangerang memiliki
potensi Urban Heritage Waterfront berupa Bendungan Pasar Baru Irigasi Cisadane.
Bendungan ini lebih dikenal Pintu Air Sepuluh. Sesuai namanya bendung ini memiliki 10
1 Dijelaskan pada di sub-bab Activity Place

pintu air, masing-masing selebar 10 meter. Dengan tata kelola yang baik, Pintu Air Sepuluh
akan berdampak pada peningkatan sektor ekonomi dari pariwisata Waterfront Cisadane
dengan tetap memperhatikan fungsi utamanya sebagai pencegah banjir, pemasok air bersih
Kota Tangerang dan irigasi pertanian. Untuk menganalisa potensi Urban Heritage
Waterfront Cisadane, Pemerintah Kota Tangerang dapat menggunakan variabel dan
indikator berikut:
Tabel 1. Variabel & Indikator Karakteristik Kawasan Urban Heritage Waterfront
N
o
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Variabel Urban Heritage


Waterfront (UHW)
Tema
Path
Edge
District
Node
Aktivitas Tepian Air
Akses dan Ruang Terbuka
Pemandangan
Sumber dan Nilai Sejarah

Indikator
Jenis dan fungsi di kawasan sekitar sungai
Batasan dengan jalan
Batasan sungai
Jenis sub kawasan
Titik pertemuan
Atraktivitas dan Aktifitas
8 elemen kawasan tepian air
Pemandangan dari dan ke kawasan waterfront
Karakteristik kawasan dan bangunan tepian
sungai

Sumber: Drastiani (2014)

Pemerintah Belanda membangun Pintu Air Sepuluh selama enam tahun, sejak 1925
hingga 1931, dengan mendatangkan para pekerja dari Cirebon. Bendungan ini bertujuan
untuk mengatur aliran sungai Cisadane hingga membuat Tangerang menjadi kawasan
pertanian yang subur. Dari bendung ini, air didistribusikan untuk irigasi dan sumber air
baku bagi kawasan Tangerang. Sebagian besar dialirkan ke muara Sungai Cisadane di
Tanjung Burung (Teluk Naga) menuju ke Laut Jawa. Bangunan sepanjang 110 meter ini
membentang di Kali Cisadane tepatnya di daerah Pasar Baru.
Untuk mengatur turun naik seluruh pintu air yang terbuat dari besi itu, dipakai
lima mesin penggerak merek HEEMAF buatan Belanda masing-masing berkapasitas
6.000 watt. Mesin yang seumur dengan usia bendungan itu sekarang masih terawat
baik berkat tangan terampil petugas di sana. Mereka harus rajin mengganti oli mesin
setiap 500 jam dan roda giginya harus senan-tiasa dilumasi gemuk.
Gambar 3. Pintu Air Sepuluh

6
Sumber: jakarta.panduanwisata.id

3. Wisata Religi
Kelenteng
Boen San Bio
Kelenteng sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun sang lalu. Tempat ibadah
ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis Tionghoa, yaitu Budha, Khonghucu,
dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah
satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain, dalam prakteknya ketiga agama
tersebut dilakukan bersamaan. Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama
Tridharma. Campuran ketiga agama tersebut dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan
latar belakang orang China di Asia Tenggara. Para leluhur mereka datang dari China
Selatan dimana ketiga agama itu diterima sebagai satu kepercayaan.
Gambar 4. Kelenteng Boen San Bio

Sumber: http://jakarta.panduanwisata.id

Di Jalan Pasar Baru, Kota Tangerang itulah terdapat Vihara Nimmala yang dulunya
bernama Kelenteng Boen San Bio (Kebajikan Setinggi Gunung). Selain Kelenteng Boen
San Bio, di Tangerang masih terdapat dua kelenteng tua lainnya yaitu Kelenteng Boen Tek
Bio di kawasan Pasar Lama dan Kelenteng Boen Hay Bio di Serpong, Tangerang.
Kelenteng Boen San Bio dibangun pada 1689 oleh Oey Giok Koen, seorang tuan tanah
yang pernah berkuasa di kawasan Pasar Baru. Kini vihara ini amat terkenal dengan l0 rekor
prestasi yang berhasil diraihnya dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Antara lain,
lampion terbanyak, hio terbesar seberat 4,8 ton terbuat dari batu giok dan vihara yang
memiliki 17 Kiem Sin (patung dewa-dewa) dari batu onyx.
Boen Tek Bio
Keberadaan Kelenteng Boen Tek Bio (Padumuttara) tidak terlepas dari sejarah
Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa di Tangerang. Boen Tek Bio
adalah kelenteng tertua yang dibangun pada 1684 di kawasan permukiman
China, di Pasar Lama. Kelenteng ini juga diketahui merupakan bangunan paling tua

di Tangerang sebagai saksi sejarah bahwa orang-orang China sudah berdiam di


Tangerang lebih dari tiga abad silam.
Para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong
mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen
Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). Bio yang pertama
berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap
rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat
Boen Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk
seperti yang bisa dilihat sekarang.
Gambar 5. Kelenteng Boen Tek Bio

Sumber: http://farm7.staticflickr.com

Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi Kwan
Im di sebelah kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat untuk dewadewa lain. Berbeda dengan kebanyakan kelenteng yang ada di Indonesia maupun
yang ada di negeri Tiongkok, Kelenteng Boen Tek Bio mempunyai satu tradisi
yang sudah berlangsung selama ratusan tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama
Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut
kalendar China, di dalam Kota Tangerang berlangsung arak-arakan J oli Ka
Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini
dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang berhasil
menyedot ribuan pengunjung.
Masjid
Masjid Raya Al Azhom
Bangunan Masjid Agung Tangerang mudah dikenali dengan lima buah
kubah biru azure dan empat buah minaret menjulang seperti masjid-masjid di
Turki. Masjid megah nan indah itu adalah Masjid Raya Al Azhom yang dibangun
di atas lahan seluas 2 , 2 5 hektar dengan dana pembangunan sebesar RP 2 8 , 3
miliar. Dana itu bersumber dari APBD, mobilisasi umat, bantuan dari Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Luas bangunan Masjid mencapai 5 . 775
meter persegi, terdiri dari lantai bawah 4.845,08 meter persegi dan lantai atas 9 0 9 ,
9 2 meter persegi. Masjid yang kini rnenjadi landm ark bagi Kota Tangerang ini

dapat menampung sebanyak 15.000 jamaah.


Rancangan bangunan Masjid Raya A1 Azhom yang memiliki esensi dan
referensi dari Al-Qur'an dan Sunah Rasul serta seni Islam (Arabesque),
mencerminkan hakikat tauhidah, serta kaitan dunia dan akhirat yang ditandai
dengan unsur-unsur garis lurus dan lengkung. Perpaduan antara suasana tradisional
dengan suasana modern ditandai dengan banyaknya tiang di sekeliling masjid,
sedangkan pada interiornya dengan ruang tengahnya yang luas, bebas tiang dengan
konstruksi teknologi tinggi pada kubahnya.
Gambar 6. Masjid Raya Al Azhom

Sumber: http://kameradroid.com

Bentuk masjid yang universal dengan kesan representatif dan megah, dengan gaya
arsitektur Timur Tengah akan menjadi ciri baru bagi kawasan pusat-pusat kota baru di
Tangerang dan memperindah arsitektur kota. Suasana keserasian dengan alam tropis
yang dicirikan dengan atap miring pada oversteknya, sehingga kesejukan udara
nuansa alam tropis akan terasa.
Masjid Raya Kota Tangerang ini yang pertama menerapkan konsep atap
berbentuk susun (konfigurasi) lima kubah bertumpuk dan kompak untuk
bangunan masjid. Semua rancangan masjid itu bukan berarti tanpa makna-makna
filosofi. Di antaranya, lima kubah mencerminkan kewajiban sholat lima waktu,
empat unit tiang menara mencerminkan empat tiang ilmu, yaitu ilmu bahasa Arab,
syariah, sejarah dan filsafat. Sedangkan tiga bagian tinggi menara mencerminkan
Iman, Islam dan Ikhsan. Menara yang masing-masing setinggi 30 meter
mencerminkan jumlah 30 juz Al-Qur'an dan enam meter tinggi kuncup menara
mencerminkan enam rukun iman.

Masjid Pintu Seribu


Masjid Pintu Seribu adalah julukan bagi Masjid Nurul Yakin. Masjid ini terletak di
Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang, Banten
(disbudpar.bantenprov.go.id). Julukan Masjid Pintu Seribu karena memiliki begitu banyak
pintu. Bahkan, pengelola masjid pun tidak tahu persis berapa jumlah pintu yang ada.
Karena mereka tidak pernah menghitung jumlah pintu yang ada di masjid itu. Berdiri
sekitar tahun 1978 dengan pendirinya yaitu seorang warga keturunan Arab dimana warga
sekitar menyebutnya dengan Al-Faqir. Semua pembiayaan pembangunan masjid ia

tanggung sendiri. Sebagai penghormatan, warga sekitar memberinya gelar Mahdi Hasan AlQudratillah Al-Muqoddam.
Pembangunan masjid ini bahkan tidak memakai gambar rancang. Sehingga disain
dasar masjid ini tidak bisa menampilkan corak arsitektur tertentu. Ada pintu-pintu gerbang
yang sangat ornamental mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque, tetapi ada juga yang
bahkan sangat mirip dengan arsitektur Maya dan Aztec. Di antara pintu-pintu masjid
terdapat banyak lorong sempit dan gelap yang menyerupai labirin. Di ujung lorong ada
beberapa ruang berukuran sekitar 4 kali 3 meter persegi. Ruang-ruang diberi nama, antara
lain, Fathulqorib, Tanbihul-Algofilin, Safinatul-Jannah, Fatimah, dan lain-lain. Salah satu
ruang bawah tanah itu ada yang agak luas. Di sini terdapat sebuah tasbih superbesar dari
kayu. Garis tengah masing-masing butir tasbihnya sekitar 10 sentimeter. Atau sekitar
kepalan orang dewasa. Ruang ini biasa dipakai Al Faqir untuk berzikir.
Gambar 7. Masjid Pintu Seribu

Sumber: www.travelerien.com

Biasanya, pemandu sengaja mematikan lampu di ruangan itu, dan mengajak yang
hadir untuk membayangkan saat-saat di alam kubur yang begitu sempit, pengap, dan gelap.
Kemudian ia mengajak berdoa bersama dalam keheningan dan kegelapan. Semua loronglorong itu akhirnya menuju sebuah ruang terbuka yang mirip stadion sepak bola. Di tempat
inilah dilakukan shalat berjamaah.
Gambar 8. Tempat Shalat Berjamaah di Masjid Pintu Seribu

10

Sumber: http://2.bp.blogspot.com

B. Activity Place
1. Festival Musik Tradisional
Gambang Kromong
Gambang Kromong adalah orkes hasil dari pembauran antara unsur pribumi dengan
unsur China yang kemudian menjadi musik khas Betawi. Pembauran ini tampak pada alatalat musiknya. Unsur pribumi diwakilkan oleh alat seperti gambang, keromong, kemor,
kecrek, gendang, kempul, slukat, gong enam dan gong kecil, sedangkan unsur China
yakni berupa alat musik gesek seperti kongahyan, tehyan, dan skong.Pembauran juga
terjadi pada lagu-lagu yang dibawakan Gambang Kromong. Bahkan lebih tepatnya
pengadopsian. Seperti pada lagu-lagu China yang disebut pobin, seperti pobin mano
Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan
secara instrumental.
Gambang Kromong pertama dibentuk oleh Nie Hukong seorang pemimpin
golongan China yang hidup pada pertengahan abad ke-18 di Jakarta. Sebagai
penggemar musik ia pun memprakarsai penggabungan alat-alat musik yang biasa
terdapat dalam gamelan pelog slendro dengan yang dari Tiongkok. Pada
perkembangannya, musik Gambang Kromong yang berawal hanya dari peranakan etnis
China kemudian tumbuh subur dan digemari terutama di daerah pesisir, mulai dari
Tangerang hingga Bekasi.
Gambar 9. Gambang Kromong

11

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman DKI Jakarta

Kegemaran masyarakat etnik Betawi terhadap Gambang Kromong selain karena


sajian musik juga bisa dipergunakan untuk mengiringi goyang para penari. Syair
dari lagu-lagu Gambang Kromong pun mencerminkan sinkretisme Melayu-China,
seperti pengaruh alat musik Tehyan atau semacam biola China yang biasanya
terdengar dominan sepanjang lagu, sementara musikalitas gambang sendiri,
membersitkan suatu keakraban yang bernuansa Betawi Purba. Secara historis, lagulagu Gambang Kromong memang memiliki perjalanan panjang dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari peta seni rakyat Betawi. Dari cengkok melodinya, lagu-lagu
Gambang Kromong jelas terpengaruh notasi lagu bergaya China.
Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari
pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya, di
samping untuk mengiringi teater lenong. Teater rakyat Betawi ini dalam beberapa
segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti
lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul, komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang
berkembang pada awal abad ke 20.
Musik Tanjidor
Berbeda dengan Gambang Kromong yang dipengaruhi oleh unsur musik China,
Tanjidor sangat dipengaruhi oleh musik Eropa. Hal ini terlihat dari alat-alat musik
tiup seperti klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Lagu-lagu yang
dimainkan pun berirama 'Mars' dan Waltz yang sulit dilacak asal-usulnya, lagu-lagu
barat tersebut telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan pemain musik
Tanjidor dari generasi ke generasi.
Gambar 10. Orkes Tanjidor

12

Sumber: http://assets.kompas.com

Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi perhelatan atau arak-arakan


pengantin. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih
banyak digunakan oleh grup- grup Tanjidor. Pencetus awal Orkes Tanjidor adalah
VaIckenier salah seorang Gubernur Jenderal Belanda di abad ke 18. Pada jaman itu
tercatat memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik
tiup, digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling China dan penabuh tambur
Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta. Tanjidor dahulu juga disebut sebagai
Slaven-orkes karena biasa dimainkan oleh budak-budak, namun kini Tanjidor
ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan.

2. Festival Kuliner
Wisata Kuliner Malam
Pasar Lama Culinary Night Festival yang telah diadakan oleh Pemerintah Kota
Tangerang ini memiliki potensi yang semakin melengkapi wisata Kawasan Pasar Lama
sebagai Pecinan Kota Tangerang. Acara ini diadakan sekitar pukul 16.00-24.00. Panitia
acara juga menerapkan Car Free Night dengan alasan agar para pengunjung menikmati
makanan tanpa asap kendaraan bermotor atau berdesakan di jalan dengan motor atau mobil
yang lalu lalang. Pengunjung bisa menikmati beragam aneka jajanan seperti es dawet, sate,
martabak, bubur dan lain sebagainya.
Selain jajanan dan makanan tradisional yang sudah sering ditemukan, festival
kuliner seperti ini juga dapat menjadi kesempatan memperkenalkan kepada pengunjung
kuliner khas Pecinan Kota Tangerang itu sendiri. Seperti menu-menu yang ada pada
upacara pernikahan etnis Tionghoa dahulu di antaranya Bakso Lohwa baik yang original
yang dibuat dari daging babi atau yang sudah disesuaikan dengan mayoritas masyarakat
muslim Indonesia yang dibuat dari campuran ayam, udang dan sapi. Hidangan lainnya yaitu
Capcay, Sambal Godok, Ayam Goreng Bumbu Kuning, Pare Isi Daging, Kuah Kecap,
Pindang Bandeng, Rujak Penganten, dan Bihun Goreng.
Gambar 11. Tradisi Makan 12 Mangkuk dan Suasana Kuliner Pasar Lama Tangerang

13

Sumber: www.griyawisata.com dan nationalgeographic.co.id

Kue-kue Tradisional Pecinan pun dapat diperkenalkan kepada Pengunjung seperti


pada tradisi Makan 12 Mangkuk. Makanan dalam 12 mangkuk itu melambangkan
kesinambungan rezeki pada masing-masing bulan selama setahun. Rasa masakan di
setiap mangkuk dibuat berbeda dengan rasa asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih,
berlemak. Hal tersebut guna menggambarkan kondisi kehidupan terutama masyarakat etnis
Tionghoa yang menikah bahwa mereka tidak akan selalu menghadapi kondisi yang
menyenangkan (Halim, 2011). Kue-kue lain yang dapat disuguhkan kepada pengunjung
dengan makna filosofis di dalamnya antara lain Kue Pepe, yaitu kue lapis dari tepung
beras yang mengharap agar pasangan pengantin bisa lengket terus sampai kakek nenek.
Kue Lapis Legit sebagai pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis. Kue Mangkok
yang mekar melambangkan rezeki dan cinta yang terus mekar. Kue Ku berbentuk
kura-kura sebagai lambang panjang umur. Ada lagi ketan Tetel yang dicocol dengan
Serundeng Ebi, dan Apem Cukit yang dicocol dengan Kinca Duren.
3. Waterfront Cisadane
Karnaval Ciliwung/Peh Chun
Perayaan Peh Chun di Tangerang diperkirakan mulai dilaksanakan sejak tahun 1910.
Hal ini karena sungai-sungai di Jakarta sudah menjadi dangkal sehingga perayaan Peh
Chun dipindahkan ke Tangerang. Dengan sungai Cisadane yang cukup luas, maka
Tangerang memenuhi syarat untuk melaksanakan perayaan Peh cun. Ada beberapa versi
asal-usul Peh Chun, tetapi Halim (2011) menjelaskan bahwa Pesta Peh Chun adalah
untuk memperingati l00 hari tahun baru China (Imlek). Tahun Baru Imlek atau yang
disebut Sin Tjia oleh masyarakat keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula
dari ungkapan rasa gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk
menyambut musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di
sawah.
Lomba perahu naga adalah salah satu kebiasaan penting pada hari Peh Cun, di
wilayah Tangerang kota acara Peh cun diselenggarakan di sungai Cisadane. Lokasi lomba
biasanya di mulai dari tepi sungai Cisadane yg berdekatan dengan vihara Boen tek bio
hingga finish di dekat jembatan Gerendeng. Tradisi asal Cina ini sudah menjadi bagian dari
tradisi yang menambah khasanah keragaman kultur budaya Tangerang. Bahkan dahulu,
meski pesta Peh Chun dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, masyarakat Betawi pun
menikmatinya sebagai hiburan tersendiri. Karnaval yang diadakan di Kali Ciliwung
menjadi ajang anak muda Betawi mencari jodoh.

14

Gambar 12. Festival Cisadane dan Lomba Perahu Naga

Sumber: http://sharia.co.id/ dan Tan Sudemi

Kendati acara Peh Chun sempat dilarang oleh pemerintah setelah meletusnya
peristiwa G-30 S/PKI, Pemerintah Kota Tangerang mengangkat kembali tradisi Peh Chun
sejak tahun 2000 yang terus berlanjut hingga sekarang. Peh Chun digelar kembali melalui
Festival Cisadane. Pada festival ini digelar kegiatan lomba perahu Naga dan atraksi
kesenian khas daerah seperti tarian barongsay, liong, debus dan atraksi kesenian khas
daerah lainnya. Dalam kegiatan tersebut selain dapat menyaksikan berbagai atraksi
hiburan, pengunjung juga dapat berbelanja berbagai barang kerajinan dan suvenir yang
merupakan hasil kerajinan rakyat dan juga hasil produksi industri di Kota
Tangerang.
Penutup
Kota Tangerang jelas memiliki potensi besar dan unik sebagai tujuan wisata kota.
Pluralitas budaya, sosial serta ekonomi di dalamnya adalah keunggulan yang sudah
dibuktikan oleh sejarah. Semua syarat kota wisata telah memadai, dan akan semakin
menarik apabila dikembangkan dengan manajemen dan perencanaan pengelolaan yang
baik. Kota Tangerang yang dikenal Kota Seribu Pabrik industri-industri global sudah
selayaknya berupaya mandiri dalam penguatan ekonomi lokal (PEL), salah satunya melalui
pariwisata.
Rekomendasi alternatif lain yang mungkin dapat dicoba Pemkot dalam
meningkatkan pariwisata Kota Tangerang yaitu melalui karya sastra seperti novel dan
juga film. Walaupun dahulu bangunan bersejarah Kota Tangerang pernah juga
dijadikan lokasi film seperti pada zaman Benyamin S, namun kondisi kekinian telah
menunjukkan bukti bahwa film mampu menghipnotis emosi para penontonnya
sehingga menjadi wisatawan ke lokasi di mana film itu terjadi. Di Indonesia bisa
diambil contoh novel dan film Laskar Pelangi di Belitung, Film Senandung di Atas
Awan di Wamena, film 5 CM di Gunung Semeru dan film Pendekar Tongkat Emas di
NTT. Lokasi film yang sebelumnya kurang popular dan terisolir mendadak tenar dan
ramai dikunjungi wisatawan setelah novel atau filmnya laris. Tentu saja, Kota
Tangerang tidak akan kehabisan akan latar bersejarah yang bisa dijadikan karya seni
yang menarik.

15

Tinjauan Pustaka
Ashworth, G. J. dan Tunbridge, J. E. 1990. The Tourist-Historic City. London & New York:
Belhaven Press
Drastiani, R. 2014. Pengembangan Kawasan Tangga Buntung sebagai Creative Cluster
Industry di Kawasan Wisata Tepian Ilir Sungai Musi Palembang. Teknik
Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada. Dimuat dalam Temu
Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2014.
Halim, W. 2011. Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju Masyarakat Berperadaban
Akhlakul Karimah. Auracitra, Cetakan II
Nur. Khilda W. 2010. Revitalisasi Kawasan Pecinan Sebagai Pusaka Kota (Urban Heritage)
Makassar. Program Magister Bidang Keahlian Perancangan Kota. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Priono, Y. 2012. Identifikasi Produk Wisata Pariwisata Kota (Urban Torism) Kota
Pangkalan Bun Sebagai Urban Heritage Tourism. Arsitektur Universitas
Palangka Raya. Dimuat dalam Jurnal Perspektif Arsitektur Volume 7/No.2,
Desember 2012
Shaw, G dan Wiliams, Allan M. 1994. Critical Issues In Tourism. Oxford: Blackwell
Publishers
Internet:
Zuliansyah, R.A. 2014. Festival Kuliner Pasar Lama Kembali Curi Perhatian Warga
[internet].
[diunduh
2015
Mei
26].
Tersedia
pada,
http://www.tangerangnews.com/kotatangerang/read/13696/Festival-KulinerPasar-Lama-Kembali-Curi-Perhatian-Warga
Maureen, S. 2012. Jelajah Pecinan Kota Tua Tangerang [internet]. [diunduh 2015 Mei
26]. Tersedia pada, http://jejakwisata.com/your-destination/destination-andattraction/java/214-jelajah-pecinan-kota-tua-tangerang.html
Anonim. 2013. Masjid Pintu Seribu [internet]. [diunduh 2015 Mei 26]. Tersedia pada,
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-pintu-seribu
Nuh, M. 2008. Masjid Pintu Seribu [internet]. [diunduh 2015 Mei 26]. Tersedia pada,
http://www.eramuslim.com/hikmah/rihlah/masjid-pintu-seribu.htm#.VWSvRUqqko
Wongso, William. 2011. Pasar Lama Tangerang [internet]. [diunduh 2015 Mei 26].
Tersedia
pada,
http://wwkuliner.blogspot.com/2011/07/pasar-lamatangerang.html
Neidzar. 2015. Festival Cisadane 2015 Dimeriahkan 100 Perahu Hias [internet]. [diunduh
2015 Mei 26]. Tersedia pada, http://sharia.co.id/2015/05/22/festival-cisadane2015-dimeriahkan-100-perahu-hias/

Anda mungkin juga menyukai