Anda di halaman 1dari 6

Industrialisasi dan Elit Lokal Perdesaan

Habibi Azhar
Mahasiswa Program Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
Jl. Raya Dramaga, Bogor, 16680, Jawa Barat, Indonesia
NRP: I 353130061
Email: biazhwin@gmail.com
Pendahuluan
Salah satu bentang alam yang terdapat di Indonesia adalah kawasan karst
yaitu kawasan yang dibentuk oleh proses pelarutan batuan yang berbahan induk batu
gamping dan dolomit (Kasri et al 1999). Kawasan karst Indonesia mencapai 20 %
dari total luas wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera sampai Irian Jaya
yaitu mencapai 154.000 km (Surono et al 1999, diacu dalam Samodra 2001).
Potensinya saat ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan tambang kategori C di
beberapa daerah di Indonesia.
Ciri ekologi karst yang gersang membuat kegiatan pertanian di atasnya
menjadi terbatas. Maka beberapa pemerintah daerah mengandalkan wilayah karst
sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang instan guna mengejar
pembangunan wilayah di daerah masing-masing. Hal ini terutama setelah adanya
kebijakan rent seeking yang diatur melalui Undang-undang No 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang- undang No. 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012
Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan Daerah No 7
Tahun 2008 Tentang Pertambangan Daerah. Peran negara menjadi penting dalam
memberikan izin usaha pertambangan.
Namun kegiatan usaha pertambangan yang telah jamak terjadi sering
berdampak pada kerusakan lingkungan bahkan konflik dengan kekerasan. Hal ini
karena kepentingan masyarakat sekitar tambang serta keberlanjutan ekologis yang
seharusnya dibela negara bukanlah hal yang menjadi prioritas ketika izin usaha
pertambangan diberikan. Isu peningkatan PAD menjadi hal yang politis baik bagi
penguasa (Gubernur, Bupati, maupun Walikota) serta prestise daerah tersebut.
Dominasi paradigma pertumbuhan ekonomi sebagai simbol kemajuan terlihat jelas di
sini, walaupun sebenarnya hal ini tidak menggambarkan kesejahteraan masyarakat
yang sebagian besar masih menggantungkan hidupnya sebagai petani. Lahan rakyat
baik secara paksa maupun halus telah berpindah tangan untuk dijadikan
pertambangan melalui jalur struktur birokrasi seperti dari Bupati ke Camat sampai
Tugas MK Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat Pedesaan 2014
Kades, maupun jalur informal melalui tokoh-tokoh masyarakat yang pro
pertambangan.
Setelah melihat dan membaca uraian pendahuluan singkat di atas, maka
penulis mencoba melihat industrialisasi berupa pertambangan pada era otonomi
daerah yang juga didukung oleh ujung tombak perangkat negara yaitu kepala desa.
Namun selain itu, penulis juga berusaha memberikan model kolaboratif sebagai jalan
keluar bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.
Sedangkan rumusan masalah yang coba diangkat dalam tulisan ini ialah sebagai
berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi industrialisasi menjadi pilihan untuk meningkatkan
PAD ?
2. Bagaimana peran kepala desa dalam pembebasan lahan rakyat untuk kepentingan
pertambangan ?
Tulisan ini akan mengelaborasi beberapa bahan berupa studi terdahulu mengenai
pertambangan baik berupa tesis, skripsi, maupun informasi dari surat kabar serta
sumber-sumber lainnya.
Hasil dan Pembahasan
Industrialisasi: Jalan Pintas Menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Visi suatu daerah kabupaten idealnya bersumber dari lokalitas daerah, artinya
bahwa visi tersebut harus sesuai dengan aspirasi rakyat dan kepentingan yang sedang
berkembang di daerah. Perubahan visi yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat
akan mempertegas keberpihakan suatu pemerintah daerah menyelenggarakan
kekuasaannya. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Tuban di pertengahan tahun 80an
sampai awal tahun 90an pada masa Bupati Djuwahiri yang mempunyai visi sangat
populis dengan niat untuk membangkitkan kembali Tuban sebagai kota pelabuhan
dan perdagangan melalui partisipasi masyarakat dalam sektor agraris dengan motto
Tuban Semarak. Namun dikarenakan ekologi karst Tuban yang dominan, maka visi
tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk mencapainya. Selanjutnya, untuk
menggenjot pendapatan daerah Djuwahiri berbelok ke sektor industri pertambangan,
tepatnya setelah diterbitkannya surat Gubernur Jatim nomor 143/1720/1985 yang
berisi petunjuk pembebasan tanah kas desa untuk keperluan pembangunan, Bupati
Djuwahiri membuat surat rekomendasi bernomor 460.351.8.22082 tentang
pembebasan tanah bagi pembangunan PT. Semen Gresik di Kecamatan Merakurak,
Kerek dan Jenu.
Industri-industri besar seperti pertambangan di Kabupaten Tuban semakin
berkembang ketika pada masa Hindarto (sejak tahun 1996) mengganti motto
Kabupaten Tuban dari Tuban Semarak menjadi Tuban Akbar. Kata Akbar
semakin menyiratkan keinginan pemerintah daerah membuka lebar bagi investasi
berskala besar dan berorientasi ekspor ketimbang pembangunan ekonomi berskala
kecil seperti industri rumah tangga serta sektor perikanan.
Kabupaten lainnya adalah Bogor. Kabupaten Bogor memiliki potensi
tambang yang beraneka ragam seperti bahan tambang golongan C yang terdiri dari
batu kapur, batu gunung (andesit), pasir, pasir kuarsa, kerikil, tras, emas dan tanah
liat. Di samping itu, terdapat juga potensi tambang emas, batubara, perak dan timah
hitam. Potensi bahan galian golongan C terdapat pada wilayah yang meliputi
Kecamatan Rumpin, Parung Panjang, Cigudeg, Nanggung, Leuwiliang, Citeureup,
Jasinga, Jonggol, Cariu, Ciampea dan Cileungsi, sedangkan potensi tambang batubara
terdapat di Kecamatan Jasinga dan Cigudeg.
Tabel 1. Potensi Galian Golongan C Kabupaten Barat
No. Jenis Galian Satuan Produksi
1.
Andesit (Batu
Gunung)
Ton 5.706.837,55
2. Pasir dan Kerikil Ton 469.222,06
3. Feldspar Ton 14.237,60
4. Tanah Urug Ton 146.540,40
5. Tanah Liat Ton 2.528.635,30
6. Batu Kapur Ton 16.274.530,21
7. Trass Ton 142.559,85
8. Emas Ton 2.873,77
9. Perak Kg 23.878,01
Sumber : Dinas Pertambangan Kabupaten Bogor
Dari sekian banyak potensi pertambangan golongan C di Kabupaten Bogor,
memungkinkan Kabupaten Bogor meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)
karena terkenal sebagai daerah yang kaya mineral padat bawah tanahnya, namun
pengelolaan hasil tambang harusnya bisa dilakukan seoptimal mungkin agar efisien,
berwawasan lingkungan, serta berkeadilan dengan dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dari data yang penulis himpun di tahun
2012, pemkab mendapat tambahan PAD sebesar 20,4 milyar dan dari jumlah itu, 40
persen di antaranya berasal dari industri pertambangan yang berada di Kecamatan
Rumpin, Cigudeg dan Jasinga. Pada tahun 2014 ini, Kabupaten Bogor melancarkan
visinya sebagai Kabupaten Termaju se-Indonesia dengan target PAD sebesar 4
Triliun. Peningkatan PAD dari lima tahun lalu sebesar Rp 290 miliar kini merangkak
menjadi Rp 1,065 Triliun. Pencapaian pertumbuhan ekonomi inipun tidak terlepas
dari kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki. Mulai dari daerah wisata,
pertambangan, kawasan industri dan pertanian (Radar Bogor, 3 Juni 2014).
Dari uraian di atas, maka ada beberapa poin yang membuat meningkatnya
perhatian pemerintah daerah terhadap industri pertambangan sebagai sumber PAD.
Pertama, sumber PAD yang sangat terbatas membuat pemda memaksimalkan peran
perusahaan daerah yang diatur UU no. 5 tahun 1974. Kedua, berasal dari pajak
daerah. Hal ini berdasarkan UU no. 18 tahun 1997 dan PP no.19 dan 20 tahun 1997.
Dalam peraturan ini terutama berkaitan dengan pengambilan bahan galian tambang
tipe C yang hasil penarikan pajaknya berbagi dengan Pemda Tingkat I (Provinsi).
Ketiga, kebijakan pemerintah terutama pada peran Bupati dalam menarik dana dari
pihak investor yang menanamkan modalnya di Tuban. Penggalian dana ini tidak
berdasarkan Perda, SK Bupati atau persetujuan DPRD, tetapi berdasarkan Lobby
Bupati dengan para pengusaha ketika mengajukan Ijin Usaha atau pada kesempatan
lainnya.
Kepala Desa dan Penguasaan Lahan Pertambangan
Pembebasan lahan di perdesaan di antaranya dapat dilakukan dengan cara
koersif seperti pengerahan aparat militer atau persuasif melalui peran kepala desa
atau sistem ekonomi berbalut moral.
1
Seperti pada kasus pembebasan lahan untuk
industri pertambangan di Kabupaten Tuban pada awal 90an yang terjadi secara halus
melalui jaringan patronase politik dan birokrasi. Di mana Bupati menjadi pengendali
pos-pos jabatan kewilayahan di tingkat kecamatan dan desa. Hal ini menjadi penting
karena posisi camat sebagai kepala wilayah berfungsi sebagai pejabat pembuat akte
tanah (PPAT) yang dapat memudahkan penyediaan lahan bagi industri pertambangan.
Sedangkan Kades dan Sekdes juga berperan penting dalam memanipulasi aspirasi
masyarakat desa karena jabatan mereka sebagai pimpinan Lembaga Musyawarah
Desa/ Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LMD/LKMD).
1
Sistem ekonomi berbalut moral yang dimaksud adalah sistem gadai. Hal ini sebagaimana dijelaskan
Yulianto dalam Kuasa Orang Desa: Relasi Patronase Kontemporer di Perdesaan Jawa Barat.
Kasus lainnya seperti yang dikemukakan oleh Tania Li (2012) pada proyek
pemindahan pemukiman yang dilakukan Departemen Sosial di dataran tinggi
Sulawesi. Kekuasaan kepala desa tersebut dapat mempengaruhi warga desa untuk
menganggap pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan (industri
pertambangan) merupakan sesuatu yang wajar sebagai penguasa. Kemudian tanpa
disadari, warga kehilangan lahan mereka tanpa bisa melawan.
Solusi: Perubahan Elit dan Manajemen Kolaboratif
Berdasarkan uraian di atas di mana peran seorang pemimpin baik itu
Gubernur, Bupati dan Walikota bahkan tidak terkecuali Kepala Desa sangat pun
menentukan arah perubahan. Maka solusi dari berbagai permasalah di atas pun harus
memulainya dari perubahan elit. Meskipun pendekatan demokratis selalu diajarkan
sebagai nilai tertinggi, tetapi tidak selamanya efektif, cepat dan tepat untuk
mempengaruhi perubahan. Penulis juga mempertimbangkan kesesuaian dengan
budaya patronase masyarakat Indonesia sehingga perubahan elit dianggap lebih
efektif. Hal ini juga diperkuat dengan penjelasan mengenai peran penting kepala desa
(sodality) dalam pembangunan desa.
Gambar.1. Fungsi dan Peran Kepala Desa
Sumber: Bahan Kuliah 2014
Kepala desa pun penulis nilai sebagai pemimpin yang paling dekat dengan
komunitas perdesaan itu sendiri, di mana wilayah industri pertambangan kebanyakan
berada. Dengan ini, artinya kepala desa dapat lebih mengerti dan memahami aspirasi
masyarakat desa sehingga pembangunan dapat lebih dirasakan oleh mereka yang
empunya lahan pertambangan tanpa mengabaikan budaya serta dampak ekologis dari
aktifitas industri tersebut. Maka manajemen kolaboratif dianggap cocok sebagai win-
win solution yaitu suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-
kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap
stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang berlaku,
dalam rangka mencapai tujuan bersama (Bahan Kuliah, 2014).
Salah satu yang bisa ditawarkan dan sudah ada beberapa yang melakukannya
adalah organisasi bisnis rakyat melalui BUMDes pertambangan. Kepemimpinan
kepala desa menjadi sangat vital sebagai komisaris. Dalam menjalankan BUMDes,
jika berhasil Kades pun mendapat gaji dari keuntungan yang diperoleh BUMDes.
Dalam bisnis tersebut, terdapat saham milik warga dan juga pengusaha dengan
perbandingan 51:49. Dengan BUMDes, diharapkan mampu mengembalikan
keberpihakan kepala desa kepada komunitas dan aset-aset desa sehingga tidak
menghilangkan atau merusak lahan warga.
Pustaka Acuan
Damanhuri, D.S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi
bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: IPB Press
Hayati, Tri. 2011. Perizinan Pertambangan di Era Reformasi Pemerintahan Daerah,
Studi Tentang Perizinan Pertambangan Timah Di Pulau Bangka
[Disertasi]. Depok: Universitas Indonesia
Lauer, Robert H. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara
Li, Murray Tania. 2012. The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri
Mochtar, Hilmy. 2011. Politik Lokal dan Industrialisasi: Politik Mobilisasi Dukungan
Pembangunan Industri Semen Tuban. Malang: UB Press
Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia Pengelolaan dan
Perlindungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung
Yulianto, Bayu A. 2012. Kuasa Orang Desa: Relasi Patronase Kontemporer di
Perdesaan Jawa Barat. Bogor: Kekal Press

Anda mungkin juga menyukai