Anda di halaman 1dari 4

Pengamat Intelijen dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI), Rizal Darma Putra mengatakan

dugaan penyadapan yang diarahkan ke Indonesia bisa terkait dengan pelaksanaan Pemilu Tahun 2014. "Yang banyak diinginkan oleh Amerika Serikat, informasi adalah satu soal Pemilu 2014," ujar Rizal di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/11/2013). Selain masalah Pemilu, Rizal juga mengatakan Amerika Serikat juga diduga ingin mengetahui sikap Indonesia terkait ketegangan di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, China dan AS. "Soal posisi Indonesia terhadap sengketa di Laut China Selatan. Itu dua hal besar dan umum yang diinginkan," ucap Rizal. Selain soal Pemilu 2014 dan posisi Indonesia dalam melihat konflik di Laut China Selatan, Rizal juga menilai masih ada hal lain yang diduga ingin diketahui oleh Amerika Serikat. "Yang lainnya, masalah sikap Indonesia terhadap kebijakan investasi, kebijakan perdagangan dan lainnya," tutur Rizal.

Ust. Hafidz Abdul Rahman Beberapa waktu yang lalu sempat berkembang berita tentang penyadapan yang dilakukan oleh AS terhadap Presiden RI, Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono. Jagat intelijen dan pertahanan Indonesia pun dibuat gempar oleh berita tersebut. Namun, setelah berlangsung beberapa waktu, Badan Intelijen Negara (BIN) mengisyaratkan keterlibatan mantan pegawai Central Intelligence Agency (CIA), Edward Snowdendisingkat ES dalam penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi G20 di London pada 2009. Menurut Kepala BIN Marciano, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2013, keterlibatan Snowden disimpulkan berdasarkan informasi dari agen BIN di Inggris dan Australia. Terlepas apakah ini dilakukan oleh Snowden sendiri, atau pemerintah AS terhadap seorang presiden sebuah negara, insiden ini tetap harus dipandang serius. Terutama oleh sebuah negara yang berdaulat. Penyadapan ini merupakan bentuk lain dari aksi spionase (mata-mata) yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia. Informasi Snowden ini adalah informasi ke sekian kali, bahwa AS memang melakukan aksi spionase terhadap Indonesia. Informasi ini juga mengkonfirmasi apa yang pernah disampaikan oleh mantan KASAD, Jenderal Ryamizard Ryacudu, tentang aksi spionase tersebut. Memposisikan AS, dan Negara Penjajah Lainnya Untuk menyikapi insiden ini, pertama-tama yang harus dilakukan oleh negara adalah memposisikan AS dalam konteks geopolitik dunia, dalam hubungannya dengan Indonesia. Ini tentu tidak lepas dari mindframe (kerangka berpikir) apa yang digunakan untuk melihatnya. Tentu akan lebih mudah, jika kita mendudukan AS dan Indonesia, dengan menggunakan Islam, ketimbang mindframe yang lain. Dalam pandangan Islam, geopolitik dunia dibagi menjadi dua: Dar al-Islam (Wilayah Islam) dan Dar alKufr (Wilayah Kufur). Ini dengan asumsi, jika Khilafah ada. Nah, ketika Khilafah tidak ada, maka saat ini

sebenarnya hanya ada satu, yaitu Dar al-Kufr (Wilayah Kufur). Meski begitu, banyak negara yang termasuk dalam kategori ini merupakan Bilad Islamiyyah (Negeri Muslim). Negeri-negeri Muslim ini jumlahnya banyak, lebih dari 50 negara. Dengan tidak adanya Khilafah yang memayungi mereka, maka wilayah-wilayah ini termasuk dalam kategori Dar al-Kufr (Wilayah Kufur). Tetapi, dengan berdirinya Khilafah, yang insya Allah tidak lama lagi, wilayah-wilayah ini akan disatukan dalam satu negara, dan kembali menjadi Dar al-Islam (Wilayah Islam). Selain itu, negeri-negeri Muslim yang berjumlah lebih dari 50 itu, saat ini berada dalam cengkraman negara-negara Kafir penjajah. Ada yang dijajah oleh AS, Inggeris, Perancis maupun Rusia. Meski secara fisik merdeka, tetapi negeri-negeri Muslim ini belum lepas dari cengkraman negara-negara Kafir penjajah. Inilah yang sesungguhnya menjadi alasan, mengapa negara-negara penjajah itu melakukan mata-mata terhadap berbagai aktivitas penguasa di negeri tersebut, tidak lain untuk memastikan, bahwa mereka dan negerinya tidak jatuh ke tangan negara penjajah yang lain. Selain untuk memastikan negeri tersebut tetap dalam genggamannya, mereka juga ingin memastikan, jangan sampai Khilafah berdiri di salah satu negeri kaum Muslim ini. Karena dengan berdirinya Khilafah di sana, maka ini akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan penjajahan mereka di negerinegeri Muslim, sekaligus mengakhiri hegemoni mereka di dunia. Karena itu, umat Islam, termasuk para penguasa kaum Muslim, di dalamnya termasuk aparat keamanan di setiap negeri Islam, harus mempunyai mindframe dan kesadaran politik yang benar. Kerangkan berpikir dan kesadaran politik yang membuat mereka, dan umat ini melek terhadap setiap tindakan, dan manuver yang dilakukan oleh negara-negara Kafir penjajah terhadap negeri mereka, dan diri mereka sendiri. Negara Kafir Harbi Filan, Hukman dan Muahad Klasifikasi di atas, diikuti dengan klasifikasi berikutnya oleh para ulama. Mereka membedakan lagi, antara Daulah Muharibah Filan, Hukman dan Muahadah. Daulah Muharibah Filan adalah negara Kafir yang terang-terangan memusuhi Islam dan kaum Muslim. Contohnya, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan Cina. Kondisi ini bisa berubah, mengikuti kebijakan politik negara-negara itu terhadap Islam dan kaum Muslim di seluruh dunia. Sedangkan Daulah Muharibah Hukman adalah negara-negara Kafir yang dihukumi sebagai musuh Islam dan kaum Muslim, tetapi tidak secara terang-terangan melakukan permusuhan. Dihukumi demikian, karena mereka tidak terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan Negara Islam. Contohnya, Jepang, Korea Selatan, misalnya. Terkahir adalah Daulah Mu ahadah, negara yang terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan Negara Islam. Negara seperti ini, sebenarnya termasuk dalam kategori Muharibah Hukman, terutama ketika masa perjanjiannya telah berakhir. Sikap politik dasar Negara Islam (Khilafah) terhadap semua negara tadi pada dasarnya adalah hubungan perang. Meski secara riil, belum tentu berperang. Namun, sikap dasar ini penting untuk ditegaskan, agar senantiasa muncul kesadaran dan kewaspadaan terhadap negara-negara tersebut. Dengan sikap dasar ini, maka strategi pertahanan dan keamanan negara bisa dibangun dengan tepat dan efektif. Misalnya, ketika AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan Cina ditetapkan sebagai Negara Kafir Harbi Filan, berarti hubungan yang terjadi antara Negara Islam dengan mereka adalah hubungan perang, bukan hubungan damai, apalagi persahabatan. Dalam kondisi hubungan perang, maka hubungan diplomatik

antara kedua negara pasti tidak ada. Kedutaan mereka di negeri-negeri kaum Muslim juga tidak ada. Ketika ada warga negara mereka yang memasuki wilayah negeri-negeri kaum Muslim, maka mereka ditetapkan sebagai Mustamin (orang yang masuk dengan visa). Itupun dengan catatan, bahwa mereka masuk untuk belajar Islam, bukan yang lain. Jika mereka melakukan mata-mata, maka mereka bukan hanya wajib dideportasi, tetapi bisa juga dijatuhi hukuman mati. Hal yang sama, bisa diberlakukan kepada warga negara yang lain, di luar Kafir Harbi Filan. Dengan demikian, kontrol negara terhadap warga negara asing yang memasuki wilayahnya menjadi jelas. Karena ada patokan dan standar yang jelas. Dengan demikian, maka peluang mereka untuk melakukan aksi spionase bisa dengan mudah dicegah. Strategi Pertahanan dan Informasi Jika mindframe, sikap dasar, patokan dan standar tersebut diterapkan, sebenarnya masalah ancaman terhadap pertahanan dan keamanan dari luar lebih mudah dideteksi. Tinggal akses informasi dan komunikasi di dalam negeri yang menjadi sumber ancaman terhadap pertahanan dan keamanan. Juga sistem informasi dan komunikasi melalui jaringan satelit. Dalam konteks yang terakhir ini, dibutuhkan kerja keras negara. Meski ada yang mengatakan, tidak mungkin akses informasi dan komunikasi tidak ditutup, apalagi di era seperti ini. Pernyataan seperti ini sekilas memang benar. Tetapi, kalau pun ini terjadi, justru ini menjadi tantangan bagi Negara Khilafah, untuk menciptakan teknologi yang bisa mengontrol semuanya tadi. Terlebih dengan kebijakan luar negeri Khilafah, yang tidak membolehkan adanya hubungan luar negeri yang dilakukan oleh siapapun, kecuali oleh Negara Khilafah. Kebijakan ini, mau atau tidak, menuntut Khilafah untuk membangun teknologi informasi dan komunikasi yang bisa mendukung kebijakannya itu. Jika tidak, maka ini akan menjadi pintu aksi-aksi spionase, yang pasti akan membahayakan eksistensinya. Kesimpulan Dengan demikian, memang sulit membendung, apalagi mengatasi aksi spionase di negeri-negeri kaum Muslim, di seluruh dunia, jika mindframe, sikap dasar, patokan dan standar yang digunakan tidak jelas seperti saat ini. Padahal, dengan Islam, semua persoalan tadi bisa diselesaikan. Apalagi, jika yang digunakan sebagai mindframe, sikap dasar, patokan dan standar yang digunakan, baik oleh umat Islam maupun penguasanya adalah asas manfaat. Mengapa? Karena asas manfaat ini tidak jelas standarnya, menurut siapa, apa ukurannya? Juga tidak jelas. Perlu diperhatikan, digunakannya asas manfaat sebagai mindframe, sikap dasar, patokan dan standar dalam hubungan dengan negara lain, membuktikan, bahwa sebuah negara itu tidak mempunyai akidah (ideologi). Inilah yang terjadi di seluruh negeri kaum Muslim. Memang umat Islam mempunyai akidah Islam, tetapi akidah itu tidak digunakan sebagai dasar, dan mindfram, yang dengannya kemudian terbentuk sikap dasar, patokan dan standar halal-haram. Inilah yang menjadi masalah mendasar dari kasus-kasus yang terjadi tadi. Karena itu, dari sinilah, sesungguhnya masalah ini harus diselesaikan. Jika tidak, mustahil bisa diselesaikan. Wallahu alam.

Pengamat Militer: Political Bargain kita Powerless Meski penyadapan yang dilakukan Amerika terhadap Indonesia melanggar kedaulatan, namun menurut Muhajir Effendi, pemerintah tidak dapat berbuat lebih dari sekedar memberikan nota protes. Jadi ini masalahnya teknologi maupun political bargain kita powerless, ungkapnya seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 115 Jumat (8-21 Nopember). Menurutnya, praktek penyadapan semacam ini termasuk tindakan ilegal dan bisa dikatagorikan sebagai international cyber crime. Tuduhan Serendah rendahnya, untuk tindakan itu adalah melanggar etika diplomasi. Tentu tindakan itu dapat dikatagorikan melanggar kedaulatan negara. Kecuali yang menjadi sasaran adalah pejabat negara musuh dan dalam keadaan perang, tegasnya. Muhajir juga menegaskan seharusnya lebih dari sekedar protes. Masalahnya, adakah kemampuan kita untuk melakukan itu? Pelanggaran kedaulatan yang lebih parah dari itu saja kita tidak berdaya. Misalnya pelanggaran laut oleh kapal-kapal selam dan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat tempur siluman negara lain yang selama ini tidak terendus oleh kemampuan radar yang kita punya, bebernya. Makanya, menurut Muhajir, ada langkah yang cukup tepat yang dilakukan Kemenhan yaitu melengkapi BAIS dengan teknologi anti sadap. Hanya sayang alat itu dibeli dari perusahaan Inggris, tidak dibikin sendiri. artinya kunci rahasia teknologi itu tetap di tangan orang lain. Tidak bisa dijamin berfungsi 100%. Dan jangan sampai disalah gunakan, misalnya digunakan untuk menghindari penyadapan oleh KPK sehingga kalau ada korupsi di lingkungan Kemenhan bisa tid ak terendus, pungkasnya.*+ Joko Prasetyo

Anda mungkin juga menyukai