Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS FAKTORFAKTOR EKONOMI MAKRO YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KONSUMSI ERA PEMERINTAHAN SBY JILID I

Ditulis bersama Vera Lisna dan Nila Rifai Mahasiswa program Doktor Mayor Ekonomi Pertanian IPB

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisi pengaruh PDRB per kapita, inflasi, harga beras, dan IPM terhadap konsumsi penduduk Indonesia dan menganalisis perubahan Marginal Propensity to Consume (MPC) selama periode pemerintahan SBY jilid I (2004-2008). Uji yang digunakan adalah uji probabilitas dan uji koefisien regresi secara bersama-sama (Uji F). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I (2004-2008) terjadi peningkatan kesejahteraan yang ditunjukkan oleh berkurangnya MPC. Pengaruh kenaikan PDRB nominal per kapita sebesar 10 persen akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,6 persen jika tidak ada perubahan inflasi, harga beras, dan IPM, sedangkan peningkatan inflasi tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan konsumsi. Peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,2 persen dan peningkatan nilai IPM 10 persen akan meningkatkan konsumsi sekitar 2,3 persen. Keyword: konsumsi, MPC, PDRB, Inflasi, IPM [epn ipb] | ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKONOMI MAKRO YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT KONSUMSI ERA PEMERINTAHAN SBY JILID I

Pendahuluan
Konsumsi merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekononomi Indonesia yang sekaligus juga indikator kesejahteraan penduduk Indonesia. Sebagai indikator kesejahteraan, tingkat konsumsi akan menentukan kualitas pembangunan manusia Indonesia yang terekam dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sampai saat ini peringkatnya masih jauh dibawah negaranegara tetangga, seperi Singapura, Malaysia, Thailand, filipina, dan bahkan dengan Vietnam. Pemahaman terhadap konsumsi penduduk Indonesia selain berguna untuk memahami kondisi kesejahteraan penduduk Indonesia, juga untuk mempercepat pencapaian Millinium Development Goals (MDGs) yang sudah dicanangkan oleh pemerintahaan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) jilid I. Konsumsi penduduk Indonesia yang share-nya sebagian besar merupakan konsumsi rumah tangga menjadi prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat kondisi wilayah yang tersebar dengan beragam potensi sumberdaya alam dan beragam kesenjangan yang terjadi antar wilayah maupun antar sektor. Selain itu, keberagaman sosial ekonomi penduduk Indonesia yang sangat tinggi menjadi penghambat dalam mengukur tingkat konsumsi. Jika keberagaman geografis wilayah dan potensi sumberdaya terkait dengan indikator-indikator pendapatan, inflasi, harga-harga, dan IPM antar wilayah, maka keberagaman sosial ekonomi penduduk Indonesia terkait dengan pola konsumsi dan preferensinya. Pemerintahan SBY jilid I yang telah mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi dibandingkan negara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, yakni sekitar 4.5 persen, masih terus bekerja keras untuk keluar dari makin melemahnya indikator-indikator makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekspor yang makin melambat, dan dampak krisis global. Salah satu target utama yang digerakkan oleh pemerintah SBY jilid I adalah pasar domestik melalui peran dari konsumsi rumah tangga. Hal ini karena proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto paling besar, lebih dari 60 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang rendah saja akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga cukup besar. Hal ini menjadi alasan pentingnya menganalisis konsumsi Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan SBY jilid I, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu terjadi pertumbuhan positif, baik pengeluaran konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto ataupun investasi fisik serta ekspor neto barang dan jasa. Bahkan, ada kecenderungan mengalami pertumbuhan yang semakin meningkat, dimana pengeluaran konsumsi rumah tangga sebagai sumber pertumbuhan dan sekaligus penyumbang terbesar dalam penggunaan PDB Indonesia. Oleh karena itu, pemerintahan SBY melalui berbagai kebijakannya terus difokuskan untuk mempertahankan konsumsi rumah tangga tetap tinggi, yakni dengan merealisasikan berbagai proyek-proyek pembangunan infrastruktur, khususnya yang padat karya. Berbagai proyek ini akan membuka lapangan kerja dan

[epn ipb] | Pendahuluan

mengurangi tingkat pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja yang mungkin terjadi di masa mendatang.1 Pentingnya memahami perilaku konsumsi penduduk Indonesia sebagai indikator makroekonomi esensial oleh pemerintah Indonesia, seperti yang dijelaskan di atas, tidak terlepas dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor-faktor pembentuknya. Dalam konteks nasional, konsumsi penduduk Indonesia, dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor demografi, dan faktor non-ekonomi. Faktor-faktor tersebut meliputi pendapatan atau Produk Domestik Bruto, inflasi, kekayaan rumat tangga, harga-harga, tingkat bunga, IPM, ekspektasi masa depan, dan lainnya. Dengan demikian, menganalisis konsumsi penduduk Indonesia akan sangat terkait dengan beberapa faktor-faktor tersebut, sehingga tujuan dari analisis ini adalah untuk:

1. Melihat pengaruh beberapa variabel ekonomi, yaitu PDRB per kapita, inflasi, harga beras, dan IPM terhadap konsumsi penduduk Indonesia selama pemerintahan SBY jilid I (2004-2008), dan 2. Melihat perubahan Marginal Propensity to Consume (MPC) selama periode pemerintahan SBY jilid I (2004-2008).

Kerangka Teori
Fungsi konsumsi menggambarkan hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Kemiringan fungsi/kurva konsumsi disebut hasrat mengkonsumsi marginal (Marginal Propensity to Consume = MPC), mengukur besarnya tambahan pendapatan yang digunakan untuk menambah konsumsi. Sepanjang fungsi konsumsi, tingkat konsumsi bersamaan dengan pendapatan (Dornbusch et al, 2004). Fungsi konsumsi linear mempunyai kemiringan sama (MPC konstan), sedangkan fungsi konsumsi nonlinear mempunyai kemiringan yang berubah (MPC tidak konstan/berubah). Case dan Fair (2002) menyatakan bahwa dalam Teori Keynesian tentang konsumsi: ... Jumlah konsumsi agregat tergantung terutama pada jumlah pendapatan agregat. Hukum psikologis fundamental, yang padanya kita berhak untuk bergantung dengan kepercayaan besar baik dari pengetahuan kita tentang sifat manusia maupun dari fakta-fakta terinci tentang pengalaman, adalah bahwa pria dan wanita cendrung, sebagai kaidah rata-rata, menaikkan konsumsi mereka ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan pendapatan mereka Keynes mengemukan bahwa konsumsi adalah fungsi positif dari pendapatan dan rumah tangga yang berpendapatan tinggi mengkonsumsi bagian yang lebih sedikit dari pendapatan mereka dibandingkan rumah tangga yang berpendapatan rendah. Teori Konsumsi Siklus Hidup merupakan perluasan

M Chatib Basri. Keynes dan Stimulus Ekonomi. Kompas, Senin, 12 Januari 2009| 00:13 WIB
1

[epn ipb] | Kerangka Teori

dari teori Keynes. Teori Konsumsi Siklus Hidup menunjukkan bahwa rumah tangga mengambil keputusan konsumsi sepanjang hidup yang didasarkan pada harapan mereka atas pendapatan seumur hidup ( Case dan Fair, 2002). Case dan Fair (2002) menyatakan bahwa perilaku rumah tangga dalam perekonomian makro, konsumsi rumah tangga tidak sekedar tergantung pada pendapatan. Rumah tangga menentukan konsumsi dan penawaran tenaga kerja secara serempak, dan melihat ke depan dalam mengambil keputusan mereka. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga dapat digunakan untuk melihat pola konsumsi dan tingkat kesejahteraan dari rumah tangga yang bersangkutan. Kuntjoro (1984) dengan menggunakan data susenas 1978 menganalisis pola konsumsi penduduk Indonesia dan menyimpulkan sebagai berikut: (1) terdapat perbedaan pola konsumsi penduduk dari golongan pendapatan dan daerah yang berbeda, (2) proporsi anggaran belanja untuk sumber karbohidrat masih cukup tinggi, terendah 29% dan tertinggi 59% untuk penduduk berpendapatan rendah, (3) anggaran belanja protein hewani untuk sebagian besar penduduk pendapatan rendah relatif kecil, yaitu di bawah 21%, dan (4) penduduk luar Jawa-Bali lebih banyak makan ikan, dan proporsi anggaran belanja penduduk Jawa-Bali untuk daging lebih tinggi dari pada penduduk luar Jawa-Bali. Widjajanti dan Li (1996) telah melakukan analisis pola pengeluaran atau konsumsi pangan di daerah perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 1981-1993. Data yang digunakan berasal dari Susenas 1981, 1984, 1987, 1990, dan 1993. Hasil studi menyimpulkan bahwa (1) terdapat perbedaan pola pengeluaran pangan di Indonesia untuk daerah perkotaan dan pedesaan, pola tersebut telah mengalami perubahan antar waktu, (2) elastisitas pendapatan untuk sebagian besar kelompok pangan lebih besar di daerah pedesaan dari pada di perkotaan, (3) dalam priode analisis terdapat kecendrungan penurunan besaran nilai elastisitas pendapatan untuk biji-bijian khususnya di daerah perkotaan, dan (4) relatif tingginya nilai elastisitas pendapatan untuk kelompok bukan pangan pokok seperti untuk daging, telur dan susu dan buah-buahan baik di perkotaan dan pedesaan mengisyaratkan adanya potensi yang besar bagi pasar komoditaskomoditas tersebut di Indonesia di masa mendatang. Purwati (2001) telah melakukan kajian pola konsumsi dan permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diantaranya menyimpulkan: (1) Pola [epn ipb] | Kerangka Teori 4

konsumsi dan pengeluaran rata-rata rumah tangga di wilayahi KTI memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, Jawa, maupun luar Jawa. Beberapa ciri yang serupa tersebut adalah pangsa pengeluaran pangan yang masih lebih besar (lebih dari 60%) dibanding pangsa pengeluaran non-pangan; diantara jenis pangan, pangsa beras terhadap struktur pengeluaran rumah tangga maupun dalam kontribusi konsumsi energi (40-60%) dan protein (36-49%) masih dominan; (2) Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbi-umbian, mie/terigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Namun demikian perubahan harga komoditas substitusi tersebut sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan beras. Hal sebaliknya terjadi, yaitu perubahan harga beras memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan permintaan komoditas-komoditas tersebut; dan (3) Posisi beras sebagai pangan pokok telah menggeser pangan pokok non beras, yang ditunjukkan oleh besaran nilai elastisitas harga beras dibanding serealia lain atau umbi-umbian. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam penggunaan PDB Indonesia (Direktorat Diseminasi Statistik BPS, 2009). Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup semua pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa (Direktorat Diseminasi Statistik BPS, 2009). Konsumsi Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Pemerintah sebagai konsumen akhir mencakup pemerintah umum yang terdiri dari pemerintah pusat yang meliputi unit departemen, lembaga nondepartemen dan lembaga pemerintah lainnya, serta pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan daerah di bawahnya. Pengeluaran konsumsi pemerintah mencakup pengeluaran untuk belanja pegawai, penyusutan barang-barang pemerintah, dan belanja barang (termasuk belanja perjalanan, pemeliharaan, dan pengeluaran lain yang bersifat rutin), tidak termasuk penerimaan dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah yang bukan dikonsumsi sendiri oleh pemerintah tetapi dikonsumsi oleh masyarakat (Direktorat Diseminasi Statistik BPS, 2009). Pemerintah akan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 ini tetap berada di atas 5 persen dan tahun 2009 mendatang pada di kisaran 4,5-5 persen.2 Untuk itu, pemerintah akan melakukan berbagai stimulus
Kompas. Pemerintah Jaga Konsumsi Rumah Tangga: Penerbitan SBN Disesuaikan. Rabu, 26 November 2008 | 00:20 WIB, Jakarta.
2

[epn ipb] | Kerangka Teori

perekonomian, terutama demi menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pemerintah akan memberikan subsidi pajak sebesar Rp 12,5 triliun, mengeluarkan paket stimulus fiskal, dan menyediakan sumber pembiyaan siaga apabila kondisi pasar benar-benar jatuh (shut down). Namun demikian, selama periode 1999-2005, rumah tangga di perdesaan mengalami perubahan konsumsi dan pengeluaran yang mengarah pada pangan berbahan baku impor (Saliem dan Ariningsih, 2009). Tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga tersebut masih belum memenuhi standar kecukupan. Faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut diduga karena sangat intensifnya distribusi produk-produk pangan berbahan baku impor, seperti mie dan snack. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Ariani dan Purwantini (2009) bahwa konsumsi beras rumah tangga di Propinsi Jawa Barat menurun setelah pasca krisis, sedangkan tingkat konsumsi mie instan meningkat. Pola konsumsi pangan pokok juga berubah dari pola beras menjadi pola beras-mie instan, baik menurut wilayah maupun kelompok pendapatan. Fakta ini yang diduga menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat (baik di tingkat nasional maupun di Propinsi Jawa Barat) mengalami penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi. Hasil penelitian Kusuma (2008) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat inflasi sebagai salah satu faktor pembentuk konsumsi ternyata tidak berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat karena masyarakat telah menyesuaikan menurut pendapatannya untuk melakukan konsumsi. Selain itu, suku bunga deposito dalam jangka pendek tidak berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi, juga jumlah uang beredar. Namun demikian, pendapatan nasional, inflasi, suku bunga deposito dan jumlah uang beredar berpengaruh secara bersama-sama terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia. Sumber pertumbuhan utama Indonesia ialah ekspor barang dan jasa sebesar 4,6%, diikuti oleh konsumsi rumah tangga sebesar 3,1%, pembentukan modal tetap bruto sebesar 2,6% serta konsumsi pemerintah 0,8% (Lim, 2009). Pada tahun 2008, konsumsi rumah tangga masih menjadi komponen terbesar dalam PDB Indonesia, meskipun mengalami penurunan dibanding tahun 2007.

Metodologi
Data yang dikumpulkan dalam analisis ini terdiri dari data sekunder. Data sekunder tingkat propinsi seluruhnya dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait. Selengkapnya data sekunder yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Data yang digunakan adalah data nasional tahun 2004-2008 (pemerintahan SBY jilid I) dan data provinsi. Analisis data menggunakan data panel, berupa data Pengeluaran per kapita per bulan (Rp), PDRB per kapita harga konstan (2000 = 100) dan harga berlaku (juta Rp), Inflasi di 33 ibukota provinsi (%), Harga beras di 33 ibukota provinsi (Rp), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). [epn ipb] | Metodologi 6

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Dikumpulkan No Jenis Data Sumber Data 1. Data pengeluaran per kapita per bulan BPS yang terdiri dari pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan dan non 2. pangan. BPS dan instansi terkait 3. Data PDRB per kapita harga konstan. BPS dan instansi terkait 4. Data PDRB per kapita harga berlaku. BPS 5. Data Inflasi di 33 propinsi BPS 6. Data harga beras di 33 ibukota propinsi BPS Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Model yang digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap Pengeluaran per Kapita adalah sebagai berikut: Y = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5X5 + Dimana: Y = EXPCAP = Pengeluaran per kapita (Rp) X1 = PDRBCAP = PDRB per kapita harga konstan (juta Rp) X2 = PDRB_CU_CAP = PDRB harga berlaku (juta Rp) X3 = INFLASI = Inflasi di 33 ibukota propinsi (%) X4 = RICE = Harga beras (Rp) X5 = IPM = Indeks Pembangunan Manusia = error term persamaan Secara teoritis diharapkan adanya pengaruh signifikan antara PDRB per kapita harga konstan, PDRB per kapita harga berlaku, inflasi, harga beras dan IPM terhadap pengeluaran per kapita. Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolineaitas, yaitu adanya hubungan linear antara variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Metode pengujian yang digunakan adalah dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada model regresi. Menurut Santoso (2001), pada umumnya jika VIF lebih besar dari 5, maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel independen lainnya. Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas, yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Pada penelitian ini akan dilakukan uji heteroskedastisitas dengan menggunakan Uji Park, yaitu meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel bebas (LnX1, LnX2 dan LnX3). Hipotesa pengujian heteroskedastisitas adalah sebagai berikut: H0 H1 : tidak ada gejala heteroskedastisitas : ada gejala heteroskedastisitas [epn ipb] | Metodologi 7

H0 diterima bila |t hitung| t tabel berarti tidak terdapat heteroskedastisitas Dan H0 ditolak bila |t hitung| > t tabel yang berarti terdapat heteroskedastisitas. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (pengeluaran per kapita), maka hipotesis statistik untuk pengujian ini adalah: Uji probabilitas Menerima Ho, jika probabilitas > 0,05 Menerima Hi, jika probabilitas < 0,05 Uji Koefisien Regresi secara bersama-sama (Uji F) Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. H0 : 1 = 2 = 3 =0 H1 : Setidaknya salah satu i 0 H0 diterima jika F hitung < F tabel dan terima H1 jika F hitung > dari F tabel.

Hasil dan Pembahasan


Pengaruh faktor-faktor ekonomi makro terhadap besaran konsumsi rumah tangga sebagai bagian dari PDB pengeluaran selain pengeluaran pemerintah, investasi, dan net ekspor dihitung dengan metode analisis regresi berganda (multiple linear regression). Metode ini dapat menghasilkan estimasi besarnya pengaruh masing-masing faktor terhadap pengeluaran rumah tangga ceteris paribus, maupun keseluruhan faktor dengan tingkat signifikansi tertentu. Data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data sekunder tingkat provinsi yang seluruhnya bersumber dari BPS, yaitu :

1. Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) (nama variabel = expcap) 2. Indikator ini merupakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang mengumpulkan informasi mengenai pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi makanan dan non makanan. Dalam analisis, indikator ini dianggap sebagai dependet variable yang menjelaskan tingkat konsumsi masyarakat. 3. PDRB per kapita harga konstan (2000 = 100) (juta Rp) (nama variabel = pdrbcap) 4. Indikator ini diperoleh dari hasil bagi PDRB harga konstan total dan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB harga konstan merupakan PDRB riil sehingga dapat terbanding antar waktu. Data PDRB total diperoleh dari berbagai survei BPS dan pengumpulan data sekunder dari dinas-dinas terkait di seluruh provinsi. 5. PDRB per kapita harga berlaku (juta Rp) (nama variabel = pdrb_cu_cap) 6. Indikator ini diperoleh dari hasil bagi PDRB harga berlaku total dan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB harga berlaku merupakan PDRB nominal. Alasan penggunaan indikator ini adalah supaya terbanding dengan
[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan 8

data pengeluaran per kapita yang diperoleh dari Susenas sehingga nilainya merupakan nilai nominal atau sesuai harga berlaku. 7. Inflasi di 33 ibukota provinsi (%) (nama variabel = inflasi) 8. Indikator ini dikumpulkan dari hasil Survei Harga Konsumen yang dilakukan di 33 ibukota provinsi. Meskipun sejak tahun 2008 survei dilakukan di 66 kota besar tetapi untuk menjaga keterbandingan antar waktu maka data inflasi yang digunakan berasal dari kota yang sama yaitu ibukota provinsi. 9. Harga beras di 33 ibukota provinsi (Rp) (nama variabel = rice) 10. Data harga beras merupakan harga beras eceran di pasar tradisional yang diambil dari hasil Survei Harga Konsumen. Alasan penggunaan data ini sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga adalah karena beras merupakan komoditas dengan kontribusi terbesar dalam penghitungan garis kemiskinan yang menjadi batas penentu status kemiskinan penduduk Indonesia. 11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (nama variabel = ipm) 12. IPM merupakan indikator komposit yang menggambarkan kondisi agregat tiga aspek sosial ekonomi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli. Indikator kesehatan dicerminkan oleh angka harapan hidup. Indikator pendidikan dicerminkan dari angka buta huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator daya beli dicerminkan dari paritas daya beli atau PPP (Purchasing Power Parity). Data dihitung dari hasil Susenas, Sensus Penduduk (SP), dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS).
Meskipun pemerintahan SBY jilid I berakhir sampai tahun 2009 tetapi karena beberapa data tahun 2009 tidak tersedia maka untuk tetap menjamin keterbandingan antar tahun maka digunakan data tahun 2004-2008 tingkat provinsi. Analisis ini menggunakan data panel dengan mengumpulkan data provinsi selama 5 tahun sehingga diperoleh 165 observasi (33 provinsi x 5 tahun) dan sebanyak 825 data (33 provinsi x 5 tahun x 5 variabel). Analisis statistik dilakukan dengan bantuan paket komputer SPSS 13.0 for Windows. Ringkasan statistik dari masing-masing variabel yang disajikan pada Tabel 4.1. sampai Tabel 4.6. menunjukkan adanya peningkatan konsumsi per kapita per bulan selama periode 2004 2008 dari rata-rata Rp. 232.772,- menjadi Rp. 518.220,- atau sekitar 123%. Demikian juga dengan PDRB riil per kapita, pdrb nominal per kapita, inflasi, rata-rata harga beras, dan IPM. PDRB riil per kapita selama periode 2004 2008 meningkat sekitar 15,5%. Sementara PDRB nominal per kapita, inflasi, rata-rata harga beras, dan IPM masing-masing meningkat sekitar 86,6%, 64,7%, 87,3%, dan 6,8%. Tingginya peningkatan inflasi tersebut terutama disebabkan oleh perubahan selama periode 2004 2005 dengan peningkatan lebih dari 200% yaitu yaitu dari 7,11 persen menjadi 18,15 persen. Hal ini diduga kuat akibat adanya kenaikan harga BBM sebanyak 2 kali pada tahun 2005.

[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan

Tabel 4.1. Ringkasan Statistik Rata-rata Pengeluaran Per Kapita Tahun N Minimum Maximum Mean Std. Deviation expcap (Rp) 2004 33 140897 538468 232772 82815 2005 33 142307 623294 259808 92150 2006 33 196968 736223 331825 105660 2007 33 20474 714222 349784 104410 2008 33 31326 1064810 518220 147759 2004-2008 165 140897 1064810 338482 146935 Tabel 4.2. Ringkasan Statistik PDRB Riil Per Kapita Tahun N Minimum Maximum Mean Pdrbcap (juta Rp) 2004 33 2.29 32.92 7.68 2005 33 2.17 33.21 8.10 2006 33 2.29 34.84 8.29 2007 33 2.44 36.73 8.57 2008 33 2.52 38.65 8.87 2004-2008 165 2.17 38.65 8.30 Tabel 4.3. Ringkasan Statistik PDRB Nominal Per Kapita Tahun N Minimum Maximum Mean Pdrb_cu_cap (juta Rp) 2004 33 2.71 48.34 10.32 2005 33 2.83 62.45 12.87 2006 33 3.03 67.53 14.46 2007 33 3.35 70.35 16.11 2008 33 4.02 101.86 19.25 2004-2008 165 2.71 101.86 14.60 Tabel 4.4. Ringkasan Statistik Inflasi Tahun N Minimum Maximum Inflasi (%) 2004 33 3.44 15.44 2005 33 11.31 41.11 2006 33 4.17 15.55 2007 33 2.64 16.91 2008 33 8.39 20.51 2004-2008 165 2.64 41.11

Std. Deviation 7.12 7.62 7.78 7.95 8.24 7.67

Std. Deviation 10.13 12.88 14.20 15.39 20.49 15.13

Mean 7.11 18.15 7.43 7.64 11.71 10.41

Std. Deviation 2.16 5.55 2.43 2.47 2.62 5.34

[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan

10

Tabel 4.5. Ringkasan Statistik Rata-Rata Harga Beras Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008 N 33 33 33 33 33 165 Minimum 2445 2955 3942 4646 4680 2445 Maximum Rice (Rp) 3972 5001 5883 6763 7587 7587 Mean 3091 3667 4665 5483 5791 4539 Std. Deviation 376 457 425 503 721 1152

Tabel 4.6. Ringkasan Statistik IPM Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008 N 33 33 33 33 33 165 Minimum 57.8 60.6 62.1 62.8 63.4 57.8 Maximum ipm 71.3 75.8 76.1 76.3 76.6 76.6 Mean 65.8 68.4 69.3 69.8 70.3 68.7 Std. Deviation 3.2 3.5 3.3 3.1 3.1 3.6

Nilai Marginal Propensity to Consume (MPC) yang menggambarkan perubahan pengeluaran per kapita yang diakibatkan oleh tambahan pendapatan per kapita dihitung menggunakan data PDRB nominal per kapita karena data pengeluaran per kapita merupakan data current. Hasil yang disajikan pada Tabel 4.7. menunjukkan pengaruh PDRB nominal per kapita yang sangat signifikan terhadap konsumsi dalam hal ini pengeluaran per kapita. Selama periode 20042008 terjadi penurunan MPC yang mengindikasikan adanya perbaikan kesejahteraan karena porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi semakin berkurang sedangkan sisanya ditabung. Namun demikian, pada tahun 2006 terjadi peningkatan MPC dari 0.749 menjadi 0.783 yang juga diduga kuat sebagai dampak dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Sebelum data panel lima tahun ini digunakan untuk estimasi model regresi dan pengaruh masing-masing indikator terhadap konsumsi, terlebih dahulu diuji keberadaan multicollinearitas dan heteroscedasticity dalam data. Jika hasil uji tidak menunjukan keberadaan keduanya maka data tersebut selanjutnya dapat digunakan. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh masing-masing indikator terhadap pengeluaran per kapita dilakukan uji hipotesa sebagai berikut : H0 : 1 = 2 = 3 = 4 = 0 vs H1 : Paling sedikit satu i 0 ; i = 1, 2, 3, 4 H0 : i = 0 vs H1 : i 0 ; i = 1, 2, 3, 4

[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan

11

Tabel 4.7. Nilai MPC, 2004 - 2008 Tahun MPC 2004 0.821 2005 0.749 2006 0.783 2007 0.775 2008 0.778

T value 8.010 6.295 7.018 6.820 6.902

Sig. 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

Hasil analisis statistik yang diperoleh adalah R2 sebesar 0,729 menunjukkan bahwa 72,9% variasi pengeluaran per kapita disebabkan oleh indikatorindikator PDRB per kapita, inflasi, harga beras, dan IPM.
b Model Summary

Model 1

R R Square .854a .729

Adjust ed R Square .722

Std. Error of the Estimate 77445. 16498

DurbinWat son 1. 302

a. Predic tors: (Cons tant ), ipm, inf lasi, rice, pdrb_cu_c ap b. Dependent Variable: expcap

sebesar 0,000 sehinga H0 ditolak. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Nilai PDRB per kapita, inflasi, harga beras, dan IPM secara bersama-sama terhadap perubahan pengeluaran per kapita.
b ANOVA

Model 1

Regress ion Res idual Tot al

Sum of Squares 3E+012 1E+012 4E+012

df 4 160 164

Mean Square 6. 453E+011 5997753578

F 107.585

Sig. .000a

a. Predic tors : (Const ant ), ipm, inf lasi, rice, pdrb_cu_cap b. Dependent Variable: expcap

Tidak ada masalah dengan kenormalan data.

Tidak ada heteroscedasticity atau dengan perkataan lain variansi homogen yang ditunjukkan oleh diagram pencar antara standardized predicted value dan regression studentized residual yang tidak berpola.
[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan 12

Nilai VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 10 dan tolerance lebih dari 0,1 pada seluruh variabel independent menunjukkan tidak adanya multicollinearitas antar variabel yang disyaratkan dalam mengestimasi model regresi.
a Coeffici ents

Model 1

(Constant) pdrb_cu_cap inf lasi rice ipm

Uns tandardized Coef f icients B Std. Error -622501 132353. 4 4470.520 458.898 1002.643 1140.634 53. 714 5. 857 9333.219 2052.131

Standardized Coef f icients Beta .460 .036 .421 .228

t -4.703 9. 742 .879 9. 170 4. 548

Sig. .000 .000 .381 .000 .000

Collinearity Statistics Toleranc e VIF .758 .985 .803 .676 1. 319 1. 015 1. 245 1. 479

a. Dependent Variable: expc ap

sebesar 0,000 pada PDRB per kapita sehingga H0 ditolak dan Nilai mengindikasikan adanya pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap pengeluaran per kapita sebesar 0,460 jika variabel-variabel lainnya konstan. sebesar 0,381 (> 0.05) pada inflasi sehingga H0 tidak ditolak dan tidak Nilai mengindikasikan adanya pengaruh signifikan terhadap pengeluaran per kapita. sebesar 0,000 pada harga beras sehingga H0 ditolak dan mengindikasikan Nilai adanya pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap pengeluaran per kapita sebesar 0,421 jika variabel-variabel lainnya konstan. sebesar 0,000 pada IPM sehingga H0 ditolak dan mengindikasikan Nilai adanya pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap pengeluaran per kapita sebesar 0,228 jika variabel-variabel lainnya konstan.

[epn ipb] | Hasil dan Pembahasan

13

Dari hasil analisis statistik di atas dapat disimpulkan bahwa selama periode 2004 2008 yang juga merupakan era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I terjadi peningkatan kesejahteraan yang ditunjukkan oleh berkurangnya MPC. Selain itu, kenaikan PDRB nominal per kapita sebesar 10 persen akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,6 persen jika tidak ada perubahan inflasi, harga beras, dan IPM. Demikian juga dengan peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,2 persen. Sementara itu peningkatan nilai IPM 10 persen yang disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat aspek kesehatan, pendidikan, dan daya beli juga akan meningkatkan konsumsi sekitar 2,3 persen. Sedangkan, peningkatan inflasi tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan konsumsi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung rasional dalam membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi. Sehingga, apabila harga-harga meningkat maka perilaku masyarakat dalam membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi berubah misalnya dengan mengurangi jumlah atau menurunkan kualitas barang konsumsi.

Kesimpulan
Selama periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I (2004-2008) terjadi peningkatan kesejahteraan yang ditunjukkan oleh berkurangnya MPC, sedangkan pengaruh:

1. kenaikan PDRB nominal per kapita sebesar 10 persen akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,6 persen jika tidak ada perubahan inflasi, harga beras, dan IPM, 2. peningkatan inflasi tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan konsumsi, 3. peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan konsumsi sekitar 4,2 persen, dan 4. peningkatan nilai IPM 10 persen akan meningkatkan konsumsi sekitar 2,3 persen.

[epn ipb] | Kesimpulan

14

Daftar Pustaka
Ariani, M. dan T.B. Purwantini. 2009. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat. Peneliti Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%2810% 29%20soca-mewa%20 ariani%20dkk%281%29.pdf. BPS. 2004. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta. BPS. 2005. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta. BPS. 2006. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta. BPS. 2007. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta. BPS. 2008. Statistik Indonesia 2009. BPS, Jakarta. Case, K.E. dan Fair, R.C. 2002. Priciples of Economics fifth edition, Edisi Indonesia. PT Prenhallindo. Jakarta. Direktorat Diseminasi Statistik BPS. 2009. Data Strategis BPS. CV. Nasional Indah, Jakarta Dornbusch, R. dkk. 2004. Macroeconomics 8Th Edition. Edisi Indonesia. PT. Media Global Edukasi. Jakarta. Kuntjoro, S.U. 1984. Permintaan Bahan Pangan Penting di Indonesia. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusuma, B.V. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Masyarakat Di Indonesia (Tahun 1988-2005). Skripsi. Universitas Islam Indonesia Fakultas Ekonomi Yogyakarta Lim, R. 2009. The Economy is Slowing Down. Capital Indonesia. Economics Update, Mega

Purwati, H.S.R. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Diseratsi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saliem, H.P. dan E. Ariningsih. 2009. Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga Di Perdesaan: Analisis Data SUSENAS 1999 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://pse.litbang. deptan.go.id/ind/ pdffiles/MU_Pros_2_2009.pdf Widjajanti, E. And Elton Li. 1996. Food Expenditure Pattern in Urban and Rural Indonesia: 1981 to 1993. Australian Agribussiness Review: 93-111.

[epn ipb] | Kesimpulan

15

Anda mungkin juga menyukai