Anda di halaman 1dari 21

Andhika Hadi Wirawan 1102010020 Skenario 3 Emergency 1.Memahami dan Menjelaskan Obstruksi Laring a.

Definisi Obstruksi laring adalah keadaan tersumbatnya laring yang dapat disebakan oleh radang akut dan radang kronis, benda asing, trauma, iatrogenik, tumor laring, dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral.

b.Etiologi dan c.Patofisiologi Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi. Sumbatan laring dapat disebabkan oleh : 1. Radang akut dan kronis 2. Benda asing 3. Trauma akibat kecelakaan 4. Trauma akibat tindakan medic 5. Tumor laring, baik berupa tumor jinak ataupun tumor ganas 6. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral Laring merupakan kotak kaku dan mengandung ruangan sempit antara pita suara (glotis), dimana udara harus melewati ruang ini. Adanya pembengkakan membran mukosa laring dapat menutupi jalan ini yang menjadi penyebab kematian. Abses Peritonial (Quinsy) Proses infeksi yang disebabkan oleh kuman penyebab tonsilitis di dalam ruang peritonsil akan mengalami supurasi (proses terbentuknya nanah karena bakteri pirogen, lalu menembus kapsul tonsil dan menjalar serta menginfeksi di sekitar gigi, ke spatium parafaringium dan pembuluh darah yang dapat menyebabkan sepsis). 1. Kelainan congenital Laringomalasia Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang bersifat progresif pada laringomalasia. Kondisi ini lebih merupakan keadaan laringneonatus yang terlalu lunak dan kendur jika dibandingakan normalnya. Saat bayi menarik nafas, laring yang lunak akan saling menempel, mempersempit aditus dantimbul stridor. Proses menelan tidak terganggu. Proses menangis mestinya normal.Pertambahan berat dan perkembangan bayi biasanya normal. Stridor merupakangejala utama dan dapat berlangsung konstan atau hanya saat bayi tereksitasi.Bersama stridor dapat timbul retraksi sternum dan dada. Biasanya bayi berusia beberapa minggu saat mulainya laringomalasia. Prognosisnya cukup baik karena kartilago akan menjadi kaku.

Bila sumbatan laring makin hebat sebaiknya dilakukan intubasi trakea danjangan dilakukan trakeastomi karena biasanya juga diikuti trakeomalsia. Orangtua pasien dinasehatkan supaya lekas datang ke dokter jika ada peradangan saluran nafas atas misalnya pilek. Stenosis subglotik Pada daerah subglotik 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan (stenosis). Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotis ialah : 1. Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mukus dan fibrosis 2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil 3. Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil 4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumenkrikoid.

Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispnoe, retraksi di suprasernal, epigastrium,interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat akan ditemukan sianosisdan apnoe sehingga mungkin terjadi gagal nafas.

2. Trauma laring Kontusio laring Bermanifestasi sebagai hematoma internal dan terkadang sebagai dislokasikartilago aritenoidea. Trauma biasanya disebabkan benda tumpul. Kunci pada terapi adalah dengan diagnosis segera. Kontusio dapat diobservasi sementarapersiapan trakeotomi tetap dilakukan. Biasanya pasien dengan kontusio cukup kooperatif untuk dilakukan visualisasi laring. Hematoma biasanya terlihat. Stenosis laring dan subglotis Jaringan parut yang mempersempit jalan nafas merupakan sekuele dari suatu penyakit atau cedera, dan penatalaksanaannya sering kali sangat sulit. Trauma tumpul atau tembus, trakeotomi tinggi, penelanan zat kaustik, luka tembak, iritasibalon tuba endotrakea merupakan penyebab stenosis laring yang paling sering dijumpai. Biasanya pasien memerlukan intubasi trakea jangka panjang bagi merekayang sangat sakit walaupun ini juga dapat mneyebabkan stenosis laring lagi. 3.Trauma Intubasi Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistulatrakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata,dan ruptur bronkial. Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakeapada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadiindikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi. Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Cuff ini dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25cmHO sehingga mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea. Tekanan cuff harus dipantau sedikitnya 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada pilot balon sedang atau melakukan teknik penggunaan volume kebocoran minimal atau volume oklusi minimal. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi. 4. Penyakit infeksi pada laring Laryngitis akut Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common cold). Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan padaorang dewasa tidak secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yangmenyebabkan radang lokal dan virus yang menyebabkan radang sistemik. Gejaladan tanda-tandanya berupa demam, malaise, suara parau sampai afoni, nyerimenelan atau berbicara, batuk kering yang lama kelamaan disertai dahak kentaldan gejala sumbatan laring. Laringitis kronik Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis, dan penyalahgunaan suara (ocal abuse ), sinusitis, reflux, dan polusi lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal. Croup Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring.Infeksi menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Meskipun saluran pernafasan lebih rendah, mungkin akan terpengaruh. Peradangan dan edema pada laring dan trakea subglotik, khususnya yang dekat dengan tulang rawan krikoid, yang paling klinis signifikan. Virus Para influenzae mengaktifkan sekresi klorida danmenghambat

penyerapan natrium melintasi epitel trakea, berkontribusiterhadap edema jalan napas. Ini adalah bagian paling sempit dari saluran napas anak. Dengan demikian, pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi diameter, membatasi aliran udara. Ini menyebabkan aliran udara turbulen danstridor, retraksi dada, dan batuk. kerusakan endotel dan hilangnya fungsi siliaterjadi. Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen trakea. Selain itu terdapat penurunan mobilitas dari pita suara karena edema. Pada penyakit yang berat,eksudat fibrinous dan pseudomembran dapat menyebabkan obstruksi jalan napasyang lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi karena penyempitan lumen yang progresif, ventilasi alveolar yang terganggu dan ketidak seimbangan ventilasi-perfusi. Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutamapada malam hari), suara serak. 5. Tumor laring Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma, mioblastoma sel granuler, hemangioma, lipoma, dan neurofibroma.

Tumor ganas laring diantaranya tumor supraglotik, tumor glotik, tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik. Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok, peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialahrokok, alkohol, dan terpajan oleh sinar radioaktif. 6. Benda asing laring Benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada saluran napas tersebut. Setiap benda asing dalam laring merupakan keadaan darurat yang perlusegera ditangani. Kejadiannya sering kali berupa seseorang yang menjepit objek didalam mulut di antara giginya dan kemudian tidak sengaja terinhalasi. Jika pasien tidak dalam keadaan distress pernafasan, tidak perlu dilakukan usaha untuk mengangkat objek di unit gawat darurat. Pengangkatan harus dilakukan di kamar operasi dengan di damping petugas anestesia. tindakan mengeluarkan benda asing itudapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Pada anak kecil benda asing dalam esofagus bagian atas dapat menekan jalan nafas dengan jalan mendilatasi esofagus. Contoh kasus benda asing misalnya sepotong daging tersangkut pada rima glotis. Korban tibatiba kolaps setelah memasukkan makanan dalam suapan besar. Benda asing tersebut harus diusahakan untuk dikeluarkan dengan cara menekan dada dari belakang yaitu manufer Heimlich. Jika tidak berhasil, sebaiknya dilakukan krikotirotomi bukannya trakeostomi.

7. Paralisis laring Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus rekuren laryngeal dapat menimbulkan paralisis laring. Pada paralisis korda vokalis bilateral, suara tidak terlalu terpengaruh. Akan tetapi rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang mengerahkan tenaga. Pasien bahkan mengalami sesak nafas saat istirahat. Sehingga pasien memerlukantrakeostomi guna mengurangi obstruksi jalan nafas. Paralisis korda vokalis unilateral pada anak memiliki cirri tambahan. Karena ukuran glotis yang kecil, maka paralisisunilateral pada anak dapat membahayakan jalan nafas, sehingga secara klinis mengakibatkan stridor. Sementara itu pada paralisis lengkap, lesi saraf vagus di atas saraf laringeus superior bilateral, dimana efek lesi serupa dengan paralisis saraf rekurens, namun lebih cendrung untuk mengalami aspirasi

d.Manifestasi Klinis 1. 2. 3. 4. Suara serak(disfoni) sampai afoni Sesak napas (dispneu) Stridor ( napas berbunyi) yang terdengar pada saat inspirasi Cekungan yang terdapat saat inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat. 5. Gelisah karena pasien haus udara( air hunger) 6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia

Benda asing di laring akan memberikan serangan batuk tiba-tiba segera setelah aspirasi benda asing terjadi. Pasiep gelisah dan memegang leher dengan jarinya (V sign), afoni, sukar bernapas sampai apnea. Tidak lama kemudian wajah membiru (sianosis). Benda asing di trakea akan menimbulkan mengi, serangan batuk tiba-tiba dan sulit ditahan untuk periode panjang, diikuti periode asimtomatik. Dapat terdengar palpatory thud dan audible snap. Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing saluran napas akan mengalami 3 stadium. 1. Stadium pertama merupakan gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. 2. Pada stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatis. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda yang tidak jelas. 3. Pada stadium ketiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru. e. Diagnosis Diagnosis pasien dengan sumbatan jalan nafas memerlukan integrasi anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi lokasi dan besarnya obstruksi.

Selama penilaian, harus selalu diperhatikan keadaan umum pasien, Kenyamanan bernafas, usaha bernafas, dan oksigenasi perifer. Pasien dengan obstruksi saluran nafas dapat agitasi akibat ketakutan /hipoksia, tetapi pasien tanpa agitasi terutama letargi dapat mengalamiobstruksi dan hiperkapnea. Pemeriksaan awal mencakup tanda vital, pulse ximetry dan identifikasi tanda trauma kepala dan leher. Tulang servikal harus dievaluasi dan distabilisasi. Pasien dengan kesulitan bernafas akan menghindari berbicara dan mencari posisi yang dapat membantu memperbesar jalan nafas. Waktu munculnya stridor penting untuk diketahui. Gejala saluran nafas mula-mula muncul pada saat relaksasi neuromuskular, yaitu pada saattidur. Riwayat infeksi, trauma leher dan kepala, masuknya benda asing harus ditanyakan. Seluruh pasien, harus ditanyakan seluruh gejala kelainan kepala dan leher, seperti turunnyaberat badan, batuk, hemoptisis, disphagia, odinophagia, perubahan suara, otalgia, nyeritenggorok, emesis dan hematemesis. Selama pemeriksaan, pemeriksa harus mendengarkan dengan seksama nafas pasien. Pada pasien normal, tidak ada usaha bernafas. Stridor, bunyi spontan yang dihasilkan oleh pasien dengan obstruksi saluran nafas yang signifikan, disebabkan turbulensi aliran udarayang melewati daerah yang stenosis. Stridor dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasidan berat obstruksi saluran nafas. Stridor inspirasi terjadi pada obstruksi di supraglotis danglottis. Stridor ekspirasi terjadi pada obstruksi glottis, subglottis, dan tracheal.

Snoring, getaran palatal pada orofaring yang menyempit sering ditemukan pada pasien denganpenyempitan diameter orofaring, pasien obese atau obstruksi nasal. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laringoskopi. Pada orang dewasa dilakukan laringoskopi tidak langsung dan pada anak dilakukan laringoskopi langsung. Pemeriksaan laboratorium dan radiografik dapat dilakukan padapasien dengan ancaman obstruksi saluran nafas. Diagnosis Croup Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penemuan klinis dan riwayat perjalanan penyakit. Pada epiglotitis, foto Rontgen jaringan lunak leher dapat memperlihatkan pembengkakan yang khas pada daerah supraglotik memenuhi saluran nafas. Sedangkan pada laringitis subglotis akut foto Rontgen lateral leher akan memperlihatkan penyempitan di infraglotik. Apusan dan biakan dari sekret laring harus dilakukan untuk menentukan organisme penyebab. Manfaatnya sedikit untuk perencanaan terapi awal, tetapi berguna jika organisme tersebut resisten terhadap terapi awal itu. Pada laringitis subglotis akut, kadar serum antibodi mungkin menolong untuk mendiagnosis adanya infeksi virus, terutama bila terdapat kenaikan titer.

Diagnosis trauma laring Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar perkiraan adanya trauma yang berat dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi tak langsung, laringoskopi langsung dan bronkoskopi untuk menentukan adanya edema, hematoma, mukosa dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara. Rontgen foto leher dan dada harus dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring dan trauma trakea. Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea. Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja. Diagnosis tumor Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan laring langsung, biopsi serta pemeriksaan patologi-anatomik.

Diagnosis Diagnosis klinis benda asing disaluran napas ditegakan berdasarkan anamnesis adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul choking (rasa tercekik), gejala, tanda, pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan pemeriksaan radiologik sebagai pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti benda asing disaluran napas ditegakan setelah dilakukan tindakan endoskopi atas indikasi diagnostik dan terapi. Anamnesis yg cermat perlu ditegakan karena kasus aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa kedokter pada saat kejadian. Perlu diketahui macam benda atau bahan yg teraspirasi dan telah berapa lama tersedak benda asing itu. f.Diagnosis Banding

Diagnosis Banding 1. Benda asing pada laring 2. Faringitis 3. Bronkiolitis 4. Bronkitis 5. Pnemonia
g.Tatalaksana Penanggulangan sumbatan laring

Klasifikasi sesak nafas Jackson Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4derajat berdasarkan kriteria Jackson :derajat berdasarkan kriteria Jackson : 1. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal tanpa sianosis ringan 2. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I dan lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. 3. Jackson III adalah Jackson II dan berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas. 4. Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson IIIdisertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.

Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya jalan napas lancer kembali. Tindakan konservatif dengan : 1. Stadium 1 : Pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermitten. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran napas ini dapat dengan cara dapat dengan cara memasukan pipa endotrakea melalui mulut ( Intubasi orotrakea) membuat trakeostoma atau melakukan krikotirotomi. 2. Stadium 2 dan 3 : intubasi endotrakea dan trakeostomi 3. Stadium 4 : krikotirotomi Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah. Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama, sedangkan juka ruangan perwatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi .

1. INTUBASI ENDOTRAKEA Tindakan penyelamat nyawa dan dapat dilakukan tanpa atau dengan anestesi topikal dengan silokain 10%. Jangan melebihi 6 hari dan selanjutnya lebih baik dilakukan trakeostomi. Komplikasinya stenosis laring atau trakea. Indikasi 1. 2. 3. 4. Mengatasi sumbatan saluran napas atas Membantu ventilasi Memudahkan menghisap sekret dari traktus trakeobronkial Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung

Intubasi endotrakea adalah: 1. Untuk mengatasi sumbatan saluran napas atas 2. Membantu ventilasi 3. Memudahkan dan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial 4. Mencegah aspirasi sekret yang ada di ronggamulut atau yang berasala dari lambung Pia endotrakea yang dibuat dari bahan polyvinylchloride dengan balon (cuff) pada ujungnya yang dapat diisi dengan udara dan sampai sekarang masih sering dipakai untuk intubasi. Ukuran pipa endotrakea ini harus sesuai dengan ukuran trakea pasien yang umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter dalamnya 7-8,5 mm. Pipa endotrakea yang dimasukan melalui hidung dapat dipertahankan untuk beberapa hari. Secar umum dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi . komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis laring atau trakea. Tehnik intubasi endotrakea Intubasi endotrakea merupakan tindakan (livesaving procedure) dan dapat dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%. Posisi pasien tidur terlentang , leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita suara terlihat. Dengan tangan kanan pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus memalui celah antara kedua pita suara ke dalam trakea. Pipa endotrakea dapat juga dimasukkan melalui salah satu lobang hidung sampai rongga mulut dan dengan cunam Magill ujung pipa endotrakea dimasukkan ke dalam celah antara kedua pita suara sampai trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Apabila menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang itu, pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.

Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglottis diangkat horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring terlihat jelas. Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukan melalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester. Memasukan pipa endotrakea ini harus hati-hati karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea. Untuk mengatasi sumbatan laring maka intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama. Jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi dahulu. 2. TRAKEOSTOMI Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan anterior trakea untuk bernapas. Dapat dilakukan darurat atau terencana. Indikasi : 1. Mengatasi obstruksi laring 2. Mengurangi ruang rugi di saluran napas atas 3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis 4. Memasang respirator 5. Mengambil benda asing dari subglotik, bila tidak memiliki bronkoskop. Teknik Trakeostomi Pasien tidur telentang, bahu diganjal bantal kecil agar kepala mudah diekstensikan sehingga leher lurus dan trakea terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit daerah leher dibersihkan secara a dan antisepsis dan ditutup dengan kain steril. Disuntikkan obat anestetikum (novokain) di antara krikoid dengan fosa suprasternal secara infiltrasi. Dibuat sayatan kulit berbentuk vertikal di garis tengah mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal, atau horizontal pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kurang lebih 2 jari di bawah krikoid orang dewasa. Sayatan kurang lebih 5 cm, jangan terlalu sempit agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadi emfisema kulit. Dengan gunting tumpul, kulit dan jaringan di bawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral sampai tampak trakea berupa pipa dengan susunan cincin-cincin tulang rawan berwarna putih. Ismus tiroid yang ditemukan diklem pada dua tempat dan dipotong di tengahnya. Sebelum dilepas, kedua tepinya diikat dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan diikat bila perlu. Lakukan aspirasi dengan semprit berisi novokain, bila benar trakea maka waktu dilakukan aspirasi terasa ringan dan udara yang terhisap akan menimbulkan gelembung udara. Buat stoma dengan memotong cincin trakea ketiga dengan gunting tajam. Kemudian pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai agar tidak sulit memasukkan atau mudah lepas. Fiksasi kanul dengan tali pada leher pasien dan tutup luka operasi dengan kain kasa. Untuk mengurangi refleks batuk dapat disuntikkan novokain sebanyak 1 ml ke dalam trakea. Perawatan Pascatrakeostomi Sekret di trakea dan kanul harus sering diisap keluar, dan kanul dalam dicuci sekurangkurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Jika untuk jangka waktu lama, kanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kasa di bawah kanul diganti setiap basah agar tidak terjadi dermatitis.

Gambar 12. Kanul silikon

Gambar 13. Kanul metal

Gambar 14. Alat alat trakeostomi

3. KRIKOTIROTOMI Krikotirotomi adalah tindakan penyelamat yang lebih mudah dan lebih cepat dapat dilakukan pada pasien dalam keadaan gawat napas dan darurat dengan cara membelah membran krikotiroid. Kontraindikasi Anak di bawah usia 12 tahun, tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan laringitis. Komplikasi Stenosis subglotik akan timbul bila dibiarkan terlalu lama, jadi sebaiknya diganti trakeostomi dalam waktu 48 jam. Teknik krikotirotomi Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi, pada artikulasi atlanto oksipitalis. Identifikasi dan fiksasi puncak tulang rawan tiroid (Adams apple) dengan jari tangan kiri. Raba tulang rawan tiroid ke bawah sampai menemukan kartilago krikoid dengan telunjuk jari tangan kanan: Membran krikoid terletak di antara kedus tutang rawan ini. Infiltrasi daerah ini dengan anestetikum kemudian buat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah terlihat sebelah tepi bawah kartilago tiroid, tusukkan pisau dengan arah ke bawah untuk menghindari tersayatnya pita suara. Masukkan kanul bila tersedia, atau pipa plastik untuk sementara.

4. PERASAT HEIMLICH Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak di hipofaring. Prinsipnya adalah memberi tekanan ke dalam dan atau rongga perut sehingga diafragma terdorong ke atas, kemudian udara dalam paru terdesak mendorong sumbatan laring ke luar. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati, dan fraktur iga .

Teknik Perasat Heimlich Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya. Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan pada perut bagian atas. Rongga perut ditekan ke arah dalam dan atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan tertempar keluar. Pada bayi penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan. Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, penolong berlutut dengan kaki pada kedua sisi pasien. Sebelumnya posisi muka pasien dan leher harus lurus. Kepalan tangan kanan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium. Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong benda asing ke luar. Posisi muka pasien harus lurus, leher jangan ditekuk ke samping agar jalan napas merupakan garis lurus.

h.Prognosis

Prognosis umumnya baik dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomik.
2.Memahami dan Menjelaskan Steven Johnson Syndrome a.Definisi Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. b.Etiologi

Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).

Infeksivirusjamur bakteri parasit

Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksiniakoksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik Coklat udara dingin, sinar matahari, sinar X penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

Obat Makanan Fisik Lain-lain

c.Patofisiologi Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komlemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.

Reaksi hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. Reaksi hipersensitif tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

d.Manifestasi Klinis Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di : Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Trias Steven Johnson Syndrom

e. Diagnosis Diagnosis Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik. Pemeriksaan laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain pemeriksaan biopsy. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan elektrolit. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Imaging studies : a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnose (Adithan, 2006). Histopatologi : Kelainan berupa :

Infiltrate sel mononuclear disekitar pembuluh darah dermis superficial. Edema dan ekstravasasi SDM didermis papilar. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. Nekrosis sel epidermal dan kadang diadneksa. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

f.Diagnosis Banding Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).

g.Tatalaksana Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

h.Komplikasi Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

i.Prognosis a. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele. b. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang terkena. c. Sampai dengan 15% ddari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk. Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatan mortalitas. d. Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah: 1. Usia >40 tahun 2. Keganasan 3. Heart rate >120 4. Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10% 5. Kadar glukosa serum >14 mmol/L 6. Kadar bikarbonat <20 mmol/L 7. Kadar BUN >10 mmol/L e. Angka mortalitas sebagai berikut: SCORTEN 0-1 3,2% SCORTEN 2 12,1% SCORTEN 3 35,3% SCORTEN 4 58,3% SCORTEN 5 atau lebih 90%

Anda mungkin juga menyukai