Anda di halaman 1dari 51

PDFaid.

com
#1 pdf solutions online

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Dari Penulis
Judul : Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Penulis : Adha Nadjemuddin Editor : Amran Amier Foto Sampul : Basri Marzuki Achun Layout : Moh. Fitrah Cetakan Pertama Juli 2013

ISBN : 978-602-17676-6-5 @ Hak Cipta dan hak intelektual dilindungi Undang-Undang Diterbitkan Oleh :
Mars Publisher

Dicetak Oleh :
Dardhanellas Offset Printing Palu

BUKU ini dibuat di tengah hiruk pikuk Pilkada Donggala 2013 dan menjemput Pemilu 2014. Ulasan di dalamnya adalah hasil elaborasi empiris dan pengetahuan saya selama menjadi wartawan yang meliput kegiatan politik di Sulawesi Tengah khususnya Donggala. Tidak ada kepentingan partai politik, calon bupati ataupun calon legislatif yang membonceng di dalamnya. Kecuali, kepentingan masyarakat, Donggala dan Sulawesi Tengah. Harapan saya pemikiran yang tertuang dalam buku ini dapat membantu pencerahan proses demokrasi di daerah tercinta ini. Buku ini juga tidak bermaksud menjatuhkan apalagi membunuh karakter dari salah satu pasangan calon bupati, calon anggota DPRD kabupaten/provinsi/DPR RI atau DPD. Bagaimana pun mereka yang membulatkan tekad bertarung dalam pesta demokrasi rakyat yang kelak dihelat, merupakan aset daerah yang harus dirawat. Sebagian nafas dan nasib daerah ini ke depan termasuk masyarakatnya berada dalam genggaman mereka. Siapa pemenang di pangung politik merebut jabatan bupati dan anggota DPRD/DPR RI dan DPD, masyarakatlah yang menentukan. Jangan kita menyalahkan orang lain jika kelak kita keliru memilih pemimpin daerah kita, karena itulah keputusan kita. Jika sekiranya dalam buku ini terdapat hal-hal yang tidak mengenakkan suasana batin pembaca, yakinlah itu tanda Anda sedang diperhadapkan pada pembelajaran
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

untuk saling menghargai perbedaan dalam berdemokrasi. Bukan karena persamaan pandangan yang membuat hidup ini dewasa, justru perbedaan pandangan itulah yang mengantar kita menjadi dewasa. Bunga yang indah di taman bukan karena bunga warnanya seragam, justru ragam warna itulah yang membuat bunga menarik di pandang mata. Tidak akan indah manusia, jika Tuhan menciptakannya dalam satu rupa yang sama. Demikian halnya dalam buku ini. Saya yakin akan lahir perbedaan cara pandang dalam memaknai demokrasi (pilkada/pemilu). Perbedaan cara pandangan itulah bagian dari demokrasi. Catatan dalam buku ini sama sekali tidak bermaksud menggurui apalagi mendikte masyarakat. Niat saya hanya untuk berbagi, agar Sulawesi Tengah bisa maju sejajar dengan daerah yang lebih maju di kawasan timur Indonesia khususnya dalam kehidupan berdemokrasi. Harapan saya tonggak kemajuan daerah itu salah satunya dipelopori dari Kabupaten Donggala. Pada bagian akhir buku ini saya juga menyajikan beberapa pokok pikiran tentang strategi membangun Donggala ke depan berbasis potensi lokal. Strategi ini bagian tidak terpisahkan dalam membangun Sulawesi Tengah ke depan. Buku ini jauh dari kesempurnaan karena saya tulis hanya sebulan. Semoga catatan yang tersaji dalam buku ini bermanfaat untuk merawat Kabupaten Donggala kini dan mendatang. Siapa lagi yang merawat kabupaten tertua di Sulawesi Tengah itu jika bukan masyarakat Donggala sendiri. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para pihak yang sudah membantu terbitnya buku ini, baik dalam penguatan judul, isi, edit, desain sampul maupun yang membantu dalam pencetakannya.
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada ibunda saya tercinta Marmin dan almarhum ayahanda saya Nadjemuddin. Jasa keduanya tak satupun yang bisa menandingi. Juga kepada istri saya, Widyawati Mardjuni, kedua anak saya Moh Fitrah dan Shavira Nurulita. Mereka sudah banyak mengorbankan waktu menunggu saya pulang ke rumah hingga kadang larut malam. Terima kasih saya persembahkan kepada to Maoge, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola karena sudah memberikan dorongan dan membantu terbitnya buku ini. Terima kasih kepada Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Tengah H. Sofyan Farid Lembah, SH, MH. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Donggala, Mahfud Masuara, SH. Kepada pakar politik Dr. Darwis, M.Si dan Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH. Kedua akademisi dari Untad ini adalah guru saya dalam bidang politik dan hukum. Demikian halnya Bapak Amran Amier, senior saya di dunia kewartawanan sudah berkenan mengedit isi dalam buku ini. Terima kasih kepada Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, tempat saya bekerja karena sudah memberikan kesempatan, dukungan dan pengetahuan.

Palu, 1 Juni 2013 Adha Nadjemuddin

II

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

III

Catatan Dari Editor

SEBAGAI jurnalis, mengedit naskah tentu menjadi perkara yang menyenangkan bagi saya. Karena itu, saya sangat bergembira sekaligus bangga, ketika penulis buku ini, Adha Nadjemuddin meminta saya mengedit buku ini melalui surat elektronik (surel). Bergembira karena saya dapat mengerjakan sesuatu yang menyenangkan. Bangga karena saya dipilih Adha, salah satu jurnalis berkualitas di Sulawesi Tengah saat ini. Adha tentu tak sembarangan saja memilih orang untuk menyunting bukunya. Sebagai jurnalis, Adha yang saya kenal adalah jurnalis yang produktif. Banyak karya jurnalistik yang telah ia tulis. Ia tak sekadar menulis berita keras (hardnews), tapi menulis secara mendalam (indepth reporting). Latar belakang sebagai aktivis pers mahasiswa serta spektrum penugasan yang luas, baik dari sudut geografis maupun sektoral, membuat Adha memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Menulis tentang Kabupaten Donggala tentu bukan hal yang sulit dan rumit bagi Adha. Selain ia adalah Putra Daerah, ia juga pernah bertugas berbilang tahun sebagai jurnalis di Donggala. Dua hal ini tentu lebih dari sekadar cukup untuk menulis tentang kampung halamannya. Sebagai jurnalis, bolehlah Adha disebut sebagai saksi sejarah untuk beberapa momentum perubahan salah satu kabupaten tertua di Sulawesi Tengah ini. Topik yang ditulis Adha di buku ini kontekstual dengan agenda demokrasi elektoral di Donggala. Momentumnya
IV
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

pas dan pantas. Pas dan pantas tak hanya diukur dari sisi waktu penyelenggaraan kegiatan elektoral, tapi juga dilihat dari sisi membangun kesadaran berpolitik yang cerdas pada masyarakat. Buku ini hadir untuk memberikan pencerahan, membangun kesadaran serta mengetuk kepedulian pada masyarakat, demokrasi elektoral bukan sekadar pesta demokrasi. Demokrasi elektoral bukan sekadar kampanye, memberikan suara lalu diam membisu. Membangun kesadaran elektoral bermakna sikap dan pilihan elektoral masyarakat penting dan berpengaruh nyata terhadap kehidupan mereka kini dan mendatang. Di titik ini sikap kritis dan evaluatif warga menjadi hal yang utama. Setiap kontestan, baik untuk Pemilu Kepala Daerah maupun Pemilu Legislatif, harus diterima secara kritis dan evaluatif. Rekam jejak kontestan menjadi indikator penilaian kritis dan evaluatif itu. Melalui buku ini, Adha mengajak masyarakat Donggala menjadikan momentum penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah tahun 2013 serta Pemilu Legislatif 2014 sebagai titik tumpu (milestone) menuju terciptanya Donggala yang maju dan masyarakatnya sejahtera. Di titik ini, masyarakat harus sadar, mereka bukanlah obyek dari peristiwa elektoral, tapi pelaku utama yang menentukan masa depannya melalui sikap elektoral yang kritis dan evaluatif. Akhirnya, di buku ini, Adha tak sekadar membangun kesadaran berpolitik secara cerdas bagi masyarakat di tanah kelahirannya, ia juga hendak membuktikan, sebagai jurnalis, adalah tugasnya untuk menggugat dan mempertanyakan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Itulah esensi jurnalisme.

Amran Amier
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

DAFTAR ISI
Halaman Sampul Dari Penulis ................. Catatan Dari Editor . . . . . . . . . . Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . Pangantar Ketua KPU Donggala . . . Epilog : Donggala Bangkit . . . . . . Prawacana : Dr. Darwis. M.Si . . . .

Pengantar KPU Donggala


Oleh: Mahfud Masuara, SH
... ... ... ... ... ... . . . . . . ....... ....... ....... ....... ....... ....... I IV VI VII IV

Pernak Pernik Donggala . . . . . . . . . . . . . . . Donggala dan Jiwaku . . . . . . . . . . . . . . . . Pertalian Dua Kepentingan . . . . . . . . . . . . . Kontrak Politik atau Pakta Integritas, Sama Saja . . . . . . . . . . . . . . . . . Waspadai Janji Politik ............... Pemekaran Pantai Barat, Komoditas Politik Menjanjikan . . . . . . . . . . Donggala Juga Butuh Jokowi . . . . . . . . . . . Rekam Jejak Calon Bupati . . . . . . . . . . . . . Demokrasi Bohong-bohongan . . . . . . . . . . . Apa Kabar Pemilih Pemula . . . . . . . . . . . . . Yang Mendesak, Yang Penting . . . . . . . . . . . Bangun Donggala Dari Desa . . . . . . . . . . . . Kilas Balik Pilkada Donggala . . . . . . . . . . . .

.. 1 . . 10 . . 15 . . 19 . . 24 .. .. .. .. .. .. .. .. 27 39 32 44 47 51 63 71

Tentang Penulis Daftar Bacaan

Sebagai penyelenggara Pemilukada 2013 dan sebagian tahapan Pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Donggala, saya menyambut gembira hadirnya buku ini. Kegembiraan itu karena dipengaruhi dua hal. Pertama, kehadiran buku ini menunjukkan kepedulian masyarakat media (wartawan) terhadap pelaksanaan pesta demokrasi yang jujur, adil, partisipatif dan dapat dipercaya. Kepedulian itu diharapkan juga tertular kepada semua komponen masyarakat sehingga pelaksanaan Pemilukada maupun Pemilu legislatif 2014 nanti terlaksana atas kesadaran politik kita bersama. Kedua, saya gembira karena buku ini ditulis bukan untuk politik pencitraan dari salah satu calon bupati atau partai politik tertentu, tetapi buku ini diharapkan dapat membangunkan kesadaran kita bersama betapa pentingnya proses demokrasi yang sehat dan berwibawa. Seperti halnya kegelisahan Adha yang tertuang dalam buku ini, itu juga menjadi bagian dari kegelisahan kami. Betapa pentingnya kita membangun kesadaran pemilih dalam menentukan pilihan politiknya secara sadar. Bukan karena memilih atas keterpaksaan atau karena bujukan materi, bujukan kekuasaan, atau karena bujukan kedekatan keluarga, tetapi benar-benar lahir atas kesadaran politik kita. Tidak kalah pentingnya, bagaimana kita membangun kesadaran bersama bukan hanya pada level pemilih tetapi juga kedewasaan politik bagi mereka yang hendak dipilih oleh rakyat. Kedewasaan berpolitik
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

VI

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

VII

sangat penting sehingga kemenangan yang diraih kelak adalah kemenangan yang terhormat, bukan dengan cara zalim. Sebagai penyelenggara, kami juga berharap, kehadiran buku ini dapat memantik semangat kelompok masyarakat lain untuk menulis lebih banyak tentang hiruk pikuk demokrasi di daerah kita. Demokrasi yang kita lalui dalam Pemilukada/Pemilu hanyalah salah satu instrumen demokrasi memilih pemimpin lokal. Paling penting dari demokrasi adalah buah dari demokrasi yakni memilih pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat. Itulah substansi demokrasi yang ingin kita wujudkan. Dengan kata lain, penyelenggaraan pesta demokrasi, bukan hanya sekedar berhasil dari sisi proseduralnya namun harus masuk pada sisi substansi dari demokrasi itu sendiri. Untuk itu, mari kita mengajak saudara kita yang belum terdaftar sebagai pemilih untuk mendaftarkan diri secara sukarela. Mengajak saudara kita bergandengan tangan menuju ke tempat pemungutan suara pada Pemilukada Donggala 4 September 2013 dan Pemilu legislatif 9 April 2014. Banyak hal menarik dikemukakan penulis dalam buku ini untuk kita respons bersama. Antara lain strategi membangun Donggala agar bisa menjadi kabupaten terdepan yang maju di Sulawesi Tengah. Keinginan penulis menjadikan Donggala sebagai kabupaten terdepan, juga keinginan kita bersama. Sebagai kabupaten tertua di Sulawesi Tengah, sudah sepantasnya Donggala hadir dengan dinamika kemajuannya. Donggala harus diperhitungkan sebagai salah satu daerah strategis karena letak geografisnya secara maritim merupakan pintu gerbang Sulawesi Tengah yang berhadapan langsung dengan Kalimantan. ***

Epilog : Donggala Bangkit


Oleh: H.Sofyan Farid Lembah,SH

JUJUR saja, sejak memasuki tahun 2013 hingga pertengahan tahun, geliat kehidupan politik masyarakat Donggala terus meningkat. Inilah tahun-tahun politik sesungguhnya yang dirasakan langsung hingga datangnya tahun 2014, bukan saja oleh para elite politik dari partai politik dan birokrasi belaka, melainkan respons masyarakat yang terlihat di hampir setiap sudut desa yang terus dijejali tumbuhnya baliho-baliho pencitraan para calon penguasa kabupaten. Masyarakat kini mulai mengenal satu persatu wajah terpampang lengkap dengan ciri khas serta slogan tertulis, yang pada intinya memberi informasi dan harapan selangit tentang sang calon penguasa. Kunjungan-kunjungan sang calon juga memberi warna tersendiri. Yang dahulunya tak tampak, kini satu persatu mendatangi hingga sampai pelosok desa dengan tak kenal lelah lengkap dengan janji serta sedikit bingkisan. Dari kain kafan hingga perbaikan sarana prasarana desa, utamanya masjid dan gereja. Inilah tahun-tahun keberuntungan orang-orang penting di desa, termasuk para tim sukses yang dibentuk dengan semangat pantang menyerah dan tidak pernah kenal lelah serta tidak pernah tidak sukses di setiap perhelatan pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah hingga pemilihan umum. Bila tahun-tahun sebelumnya sebuah proposal menjadi momok para penguasa, justru di tahun-tahun ini dianjurkan diperbanyak produk berbagai proposal mulai dari sunatan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, VIII Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

IX

massal, operasi bibir sumbing gratis, lomba domino, pertandingan olah raga, hingga konser musik dangdut dan kegiatan apa saja harus dibuat, meski tidak punya hubungan sama sekali dengan urusan politik. Inilah pesta demokrasi ala masyarakat kita. Semua sudah mafhum, tak perlu kegiatan berat-berat berupa diskusi politik, bedah visi-misi, pelatihan, sosialisasi dan desiminasi pendidikan politik. Kalaupun ada survei atau jajak pendapat, itupun masih diragukan validitasnya karena memang sebuah pesanan. Itu urusan partai politik bukan urusan penting sang calon penguasa. Hingga bila dicermati tidak nampak perbedaan isu radikal promosi program setiap calon, semua dalam genre yang sama dan hanya sedikit improvisasinya. Bisa diartikan siapapun yang terpilih kelak akan sama bentuk lagu, jenis musik hingga lirik yang diperjuangkan. Soal hasil itu adalah misteri kekuasaan. Adha Najemuddin, adalah salah seorang jurnalis muda kreatif asal Pantai Barat yang tergelitik melihat fenomena di atas. Beliau adalah pemuda yang gemas dan sekaligus cemas melihat tanda-tanda zaman yang akan dihadapi masyarakat Donggala ke depan, termasuk menyangkut kinerja pemerintah daerahnya. Jika bisa ada forum yang dimungkinkan, pasti jurnalis muda ini akan berteriak keras sekeras-kerasnya membangunkan peserta forum lewat sebuah kalimat sederhana, WAHAI SAUDARAKU, BANGUN, BANGUNLAH HARI SUDAH SIANG!!. ***
Sofyan Lembah adalah Pekerja Sosial asal Tavaili yang kini menjadi Kepala Perwakilan Sulawesi Tengah di Ombudsman Republik Indonesia yang terus mendorong perubahan perbaikan kualitas Pelayanan Publik di Sulawesi Tengah.

Prawacana
Oleh : Dr. Darwis, M.Si

ERA Reformasi yang diiringi dengan liberalisasi politik beberapa tahun terakhir ini, menyentuh secara dinamis tatanan demokrasi lokal. Demokrasi lokal merupakan integritas sistem politik nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demokrasi lokal yang bersentuhan langsung dengan politisasi masyarakat daerah dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada aras lokal merupakan tatanan pencerahan dan pendewasaan politik yang lebih cerdas dan elegan. Harapan terbitnya reformasi politik yang demikian vulgar dan dinamis tanpa kendali, dewasa ini dimanfaatkan para elite politik lokal untuk membajak demokrasi. Padahal, reformasi merupakan antitesis dari rezim Orde Baru yang otoritarian yang memberlakukan politik kroni, dan pembatasan ruang rakyat dalam lingkup politik lokal, tidak memberikan efek dan dampak positif dalam pembangunan politik di daerah. Malah, justru memunculkan aktor politik yang oportunistis dan kutu loncat. Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) merupakan hasil reformasi politik dewasa ini, sejak diberlakukan secara efektif pada tahun 2005 hingga kini tidak memberikan pencerahan politik secara signifikan. Malah, dalam banyak praktik Pilkada menimbulkan kekerasan politik dan konflik sosial antar pendukung elit. Elit tidak mampu mengendalikan pendukungnya untuk taat dari ketentuan yang berlaku. Demokrasi lokal seperti inilah justru
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

XI

memproduksi elit politik amoralitas di kancah politik baik Pilkada maupun Pemilihan Legislatif (Pileg). Deskripsi dinamika politik ini bagian dari dinamika politik lokal di Kabupaten Donggala yang tengah mengalami intensitas politik yang demikian, kurang memberikan pendidikan politik yang lebih menyentuh langsung kemaslahatan rakyat di pedesaan. Buku Adha Najemuddin, Menakar Komitmen Kerakyatan Calon Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014, cukup menarik dan lugas serta gamblang dalam menuturkan narasi empiris. Starting point, ingin disampaikan penulis adalah politik (Pilkada dan Pemilu) jangan dijadikan arena mencari kerja (job seeker), yang menggiring rakyat menjadi mental pragmatisme. Dalam politik, diperlukan landasan moralitas dan idealisme, bukan semata-mata politik yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok atau golongan, tetapi hendaknya berdiri di atas pondasi kepentingan bangsa dan negara. Buku ini merupakan langkah awal menyingkap tabir bahwa para elite politik lokal menjadikan Pilkada dan momentum Pemilu 2014 sebagai ajang politik pragmatisme dan politik transaksional. Mestinya, elit politik lebih mengedepankan ideologisasi meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup rakyat, dan membangun kebersamaan dalam membangun Kabupaten Donggala kini dan esok. Namun kenyataannya, elit politik lebih mementingkan melakukan mobilisasi massa, pencitraan politik, memberikan janji-janji politik, dan berkumpul membicarakan strategi pemenangan. Oleh karena itu, untuk terhindar dari praktik politik pragmatisme dan politik transaksional itu, penulis menawarkan beberapa poin solutif, yaitu diperlukan transparansi jejak rekam elite politik, tidak mengumbar janji, tapi hendaknya lebih realistis menawarkan program pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat setempat, dan
XII
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

harus dilakukan uji publik semua calon Bupati dan Wakil Bupati, serta para Calon Anggota Legislatif (Caleg). Di sinilah dibutuhkan terobosan politik Partai Politik untuk lebih selektif dan mengutamakan pendekatan moralitas, panutan ketokohan, kharisma, dan basis kerakyatan di daerah asalnya dalam melakukan rekrutmen politik. Adha Nadjemuddin, seorang jurnalis muda yang berbakat, sesungguhnya melalui coretan sederhana ini lebih mencurahkan kegelisahannya sebagai sosok pemuda kawasan Pantai Barat di Kabupaten Donggala agar supaya praktik politik yang dilakoni elit politik lokal dalam dua political event yang akan berlangsung tidak terjadi politik dagang sapi dan kartel politik, yang pada akhirnya dapat mendegradasi kualitas demokrasi lokal. Kedua model praktik ini adalah politik Niccolo Machiavellianisme, yang menghalalkan cara untuk memperoleh dan merebut kekuasaan politik. Politik jangan dijadikan sebagai keyakinan, demi kepentingan sebagaimana dikatakan Prof. Harold Lasswell, Who Gets, What, When and How, tetapi jadikanlah politik sebagai seni untuk memperjuangkan kemaslahatan kehidupan rakyat yang lebih baik dan layak (Good life for People). ***
Dr. Darwis, M.Si Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Kebijakan dan Otonomi Daerah

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

XIII

Pernak-Pernik Donggala
Donggala juga masih buruk dari rata-rata lama sekolah yakni 7,54 tahun. Donggala di urutan ke dua terendah rata-rata lama sekolah setelah Parigi Moutong yakni 7,16 tahun. Provinsi Sulawesi Tengah sendiri sudah 8,03 tahun. Rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Palu yakni sebesar 10,98 tahun.
SEBAGAIMANA dilansir dari buku Donggala dalam angka 2011, Donggala dikenal sebagai salah satu kabupaten tertua di Sulawesi Tengah berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 33 tahun 1952. Terhitung tanggal 12 Agustus 1952, Sulawesi Tengah dibagi menjadi dua kabupaten. Pertama, Donggala dengan wilayah Palu, Donggala, Parigi dan Tolitoli. Kedua, Kabupaten Poso dengan wilayah Poso, Bungku/Mori dan Luwuk. Sejak terbentuk menjadi kabupaten, Donggala sudah melahirkan banyak daerah kabupaten baru. Bahkan kabupaten yang dilahirkan itu, sudah melahirkan lagi kabupaten. Ibarat manusia, Donggala sudah punya anak cucu. Donggala sudah memekarkan Tolitoli (1953), Kota Palu (1978), Parigi Moutong (2002). Tolitoli sendiri sudah memekarkan Buol. Sebentar lagi, Parigi Moutong juga akan memekarkan Kabupaten Tomini, Tinombo Moutong (TTM).
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Tahun 2008, Donggala memekarkan lagi Kabupaten Sigi. Sigi menjadi anak paling muda. Tinggal Pantai Barat saja yang belum mekar. Entah apa nanti namanya, Kabupaten Pantai Barat, Kabupaten Donggala Utara atau tetap Kabupaten Donggala sepanjang hayat, itu belum bisa dipastikan. Para pihak sedang berjuang untuk pemekaran Kabupaten Donggala. Kabupaten Donggala terbagi 16 kecamatan dan 168 desa dengan luas wilayah 5.275.69 kilometer bujur sangkar. Kecamatan Riopakava paling luas yakni 872,16 kilometer bujur sangkar. Banawa merupakan kecamatan terkecil yang hanya memiliki luas 74,64 kilometer. Sudah kecil, tapi penduduknya padat karena letaknya sebagai ibu kota kabupaten. Jarak tempuh darat ke ibu kota kabupaten paling jauh di ke Kecamatan Sojol Utara bagian utara Donggala yakni 267 kilometer. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli. Terjauh kedua, di Kecamatan Riovakava bagian selatan Donggala sejauh 205 kilometer. Dari ujung utara ke ujung selatan bentangan jaraknya 472 kilometer. Donggala berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli di sebelah Utara, Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Sigi serta Kota Palu di sebelah selatan. Selat Makassar dan wilayah Provinsi Sulawesi Barat di sebelah barat, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur. Sementara di tenga-tengah kabupaten ini ada ibu kota provinsi. Jika masyarakat Donggala dari utara ke selatan, harus melintasi ibu kota provinsi dulu. Di sinilah letak keunikan sekaligus yang membingungkan dari Kabupaten Donggala. Mungkin hanya satu-satunya daerah di Indonesia yang seperti ini. Donggala punya dua musim, panas dan hujan. Musim panas terjadi antara April September, sedangkan musim hujan terjadi Oktober Maret. Curah hujan tertinggi yang tercatat pada Stasiun Mutiara Palu Tahun 2009 terjadi pada
2
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

bulan Agustus. Sedangkan curah hujan terendah terjadi Februari. Belakangan ini periodesasi musim kadang-kadang tidak menentu lagi. Mestinya sudah masuk musim panas, tapi hujan masih sering mengguyur. Petani dan pelaut pun dibuat bingung perubahan musim tersebut. Administrasi pemerintahan Kabupaten Donggala terdiri dari 16 Kecamatan dan 168 desa. Kecamatan yang memiliki jumlah desa terbanyak adalah Kecamatan Banawa Selatan, 15 desa. Sedangkan jumlah desa paling sedikit adalah Kecamatan Sojol Utara, hanya empat desa. Donggala kini didiami sekitar 300 ribu jiwa penduduk. Masih menurut BPS, dari sektor pendidikan, masyarakat Donggala yang berpendidikan strata satu, magister dan doktor sebanyak 1.177 orang laki-laki dan 921 orang perempuan. Mungkin sekarang sudah lebih banyak karena tiap tahun banyak putera-puteri Donggala yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar daerah. Sementara yang berpendidikan Diploma I, II dan III sebanyak 2.336 lakilaki dan 3.222 perempuan. Jika data BPS ini diakumulasi maka jumlah masyarakat Donggala yang mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi sebanyak 7.656 orang atau sekitar 25 persen dari sekitar 300 ribu penduduk. Dari sisi pengembangan sumber daya manusia, Donggala masih punya pekerjaan rumah yang cukup berat, sebab sekitar 75 persen penduduknya lulusan SMA/SMP/SD. Satu hal yang penting bahwa tidak sedikit warga Donggala yang sudah memiliki strata pendidikan tinggi bahkan profesor, hanya saja terdaftar sebagai penduduk Kota Palu. Kondisi itu pula kemungkinannya ikut berpengaruh pada rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) Donggala hanya 70,32 poin. Lebih rendah dari IPM provinsi yakni 71,62 poin. Capaian IPM tertinggi 2011 berada di Kota Palu yaitu sebesar 76,92 poin. Sedangkan terendah berada di Kabupaten Sigi yaitu sebesar 68,16 poin. Kota
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Palu dan Kabupaten Banggai memiliki nilai IPM di atas IPM Provinsi Sulawesi Tengah. Usia Kota Palu dan Banggai jauh lebih mudah dari Donggala, tetapi IPM daerah itu lebih baik dari Donggala. Pantas saja kondisi IPM kita belum membaik karena pada 2011 angka melek huruf Kabupaten Donggala masih 94,69 persen. Donggala di urutan kedua terendah setelah Parigi Moutong 93,96 persen. Sedangkan melek huruf Provinsi Sulawesi Tengah sudah berada pada kisaran 96,12 persen. Capaian angka melek huruf tertinggi di Kota Palu yaitu sebesar 99,31 persen. Donggala juga masih buruk dari rata-rata lama sekolah yakni 7,54 tahun. Donggala di urutan ke dua terendah rata-rata lama sekolah setelah Parigi Moutong yakni 7,16 tahun. Provinsi Sulawesi Tengah sendiri sudah 8,03 tahun. Rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Palu yakni sebesar 10,98 tahun. Kondisi itu juga mungkin karena pengaruh dari ketersediaan layanan pendidikan. Di Donggala baru tersedia 12 Sekolah Menengah Umum (SMU) dan tujuh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sedangkan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 64 sekolah yang terdiri dari SLTP/MTs Negeri sebanyak 59 buah dan SLTP/MTs swasta sebanyak lima buah. Jumlah sekolah dasar jauh lebih banyak yakni 337 unit sekolah yang terdiri dari 294 unit sekolah negeri dan 43 unit sekolah swasta. Sementara itu jika kita mengacu pada data Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2011, laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Donggala hanya 8,47 persen. Pertumbuhan ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi provinsi yakni 9,16 persen. Jika dibanding dengan 11 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, pertumbuhan ekonomi Donggala berada di tengah-tengah dari 11 kabupaten/kota. Capaian laju pertumbuhan ekonomi 2011 tertinggi berada di Kabupaten Morowali
4
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

12,74 persen, sedangkan pertumbuhan terendah berada di Kabupaten Tolitoli 7,58 persen. Kabupaten Morowali dan Kota Palu memiliki pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Tengah. Dari urutan kemiskinan penduduk, Donggala berada di urutan enam dari 11 kabupaten/kota yakni 18,03 persen dari jumlah penduduk. Artinya Donggala juga berada di posisi tengah. Masih ada lima kabupaten yang lebih banyak persentase penduduk miskinnya dan lima kabupaten lebih sedikit penduduk miskinnya. Penduduk miskin terendah di Kota Palu hanya 9,24 persen, sementara tertinggi di Kabupaten Tojo Unauna yakni 22,37 persen. Dari sisi ketenagakerjaan, pencari kerja di Donggala masih mencapai 12.735 orang. Jumlah ini meningkat tajam hampir empat kali lipat dibanding 2009 hanya 34.038 orang. Data ini menunjukkan besarnya ancaman pengangguran di Donggala. Jika tidak diurus baik-baik, bisa menjadi bom waktu bagi Donggala. Jumlah penduduk terus bertambah, lapangan usaha sempit, tanah-tanah kebun semakin terbatas, peluang pegawai negeri semakin terbatas, pengangguran dimana-mana. Potensi kerusuhan sosial besar. Konsentrasi kerja pemerintah daerah akhirnya terganggu. Sedangkan tidak diganggu saja, belum tentu kerjanya bagus. Apalagi kalau sudah terganggu, bisa menjadi masalah besar. Untung saja Donggala masih banyak prestasi yang diraih. Misalnya, dalam bidang pengelolaan keuangan daerah masih meraih WTP (wajar tanpa pengecualian) dan meraih sertifikat Adipura. Sementara itu jumlah pegawai di Donggala sebanyak 5.808 orang. Ini sudah berkurang sekitar 2.000 orang dari sebelum Sigi menjadi kabupaten. Sebagian pegawai dari daerah itu sudah dikembalikan ke daerah asalnya. Gemuknya jumlah pegawai itu cukup menyedot anggaran belanja daerah. Pada 2012, anggaran yang tersedot untuk belanja pegawai mencapai Rp356,6 miliar. Sementara
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

kemampuan belanja daerahnya hanya Rp517,5 miliar. Itu baru anggaran untuk gaji, belum lagi biaya perjalanan dinas, pembelian kendaraan dinas, rumah dinas, uang makan dan minum pegawai. Mungkin jauh lebih banyak. Jauh lebih banyak biaya untuk mengurus pegawai dari pada untuk rakyat. Itu tidak mengapa jika pelayanannya bagus. Tapi kalau pegawainya malas, jam sembilan pagi baru sampai di kantor karena umumnya tinggal di Palu. Kasihan, tinggal berapa jam untuk kerja. Belum lagi kalau di kantor lebih banyak bacerita daripada kerja. Semoga saja tidak. Dari sudut pandang sejarah, Donggala memiliki bentangan sejarah panjang dari kerajaan sampai pada pemerintahan saat ini. Terlalu banyak jika mau diurai semuanya dalam buku ini. Sejak terbentuk menjadi kabupaten (1951), Donggala sudah dipimpin 17 bupati secara bergantian termasuk penjabat sementara. Mulai dari Bupati Intje Naim Dg. Mamangun (1951-1954) sampai pada Habir Ponulele (2008-2013). Sejarah Donggala itu menjadi pelajaran berharga untuk menata Donggala ke depan. Setiap periode kepemimpinan kepala daerah itu memiliki ragam dinamika yang melingkupinya, mulai dari orde lama, orde baru, era reformasi, dan entah era apalagi nanti. Adapun nama-nama bupati dan penjabat Bupati Donggala selama ini adalah sebagai berikut; Intje Naim Dg. Mamangun . . . . . . . . . . . . . 1951-1954 Radjawali Mohamad Pusadan . . . . . . . . . . . 1954-1958 Bidin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1958-1960 D.M. Lamakarate . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1960-1964 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1964-1966 H.R. Ticoalu Abd. Azis Lamadjido, SH . . . . . . . . . . . . . . 1967-1978 Drs. Galib Lasahido . . . . . . . . . . . . . . Carateker 1979
6
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Dr. Jan Mohamad Kaleb . . . . . . . . . . . . . . 1979-1984 Saleh Sandagang, SH . . . . . . . . . . . . . Carateker 1984 Drs. H. Ramli Noor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1984-1989 Kol. Inf. B. Paliudju . . . . . . . . . . . . . . . . . 1989-1994 Drs. H. Syahbuddin Labadjo . . . . . . . . . . . . 1994-1999 H. N. Bidja, S.Sos . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1999-2004 H. Adam Ardjad Lamarauna . . . . . . . . . . . . 2004-2006 Drs. H. Habir Ponulele, M.M .(pelaksana tugas 2006-208) Drs. H. Kasmudin H. M.Si . . . . . (pelaksana tugas 2008) Drs. H. Habir Ponulele, M.M . . . . . . . . . . . 2008-2013 *** Postur Anggaran HAL yang patut dipuji dari Pemerintah Kabupaten Donggala adalah mampu mengelola pertanggungjawaban keuangannya secara baik berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah. Kemampuan itulah sehingga mengantarkan Donggala sebagai kabupaten yang meraih pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dua kali berturut-turun 20112012. Dari perspektif tugas dan tanggungjawab WTP tersebut bukan barang mewah atau langka tetapi itu sudah harus menjadi target bagi pemerintah dalam pertanggungjawaban keuangannya. Justru menjadi masalah jika tidak meraih WTP, karena itu sudah standar yang diberikan oleh pengawas keuangan. Pertanyaan penting dari realisasi keuangan tersebut adalah apakah asas manfaat keuangan itu sudah berpihak pada rakyat atau belum. Bukan soal WTP atau tidak, sebab itu hanyalah penilaian atas kepatutan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya. Artinya jika uang yang dibelanjakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar ketentuan maka dianggap wajar. Untuk
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

apa WTP, jika belanja keuangan lebih gemuk untuk operasional pemerintah dibanding untuk kepentingan masyarakat. Postur realisasi belanja Donggala 2012 misalnya, sangat gemuk pada belanja operasi. Dari Rp673,3 miliar realisasi belanja, sebanyak Rp517,5 miliar diantaranya atau hampir 77 persen masuk dalam belanja operasi pemerintah. Belanja operasi tersebut terdiri dari belanja pegawai (Rp356,6 miliar), belanja barang dan jasa (Rp128,9 miliar), belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan. Sementara belanja modal hanya Rp152,1 miliar atau hanya 22 persen dari total belanja pemerintah daerah. Belanja modal terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan serta belanja aset tetap. Upaya pemerintah daerah untuk menekan biaya operasi juga belum serius, buktinya belanja operasi 2012 justru naik sebesar Rp18,1 miliar atau sekitar 3,64 persen dari tahun 2011. Jika melihat alokasi belanja modal tersebut hampir setara dengan belanja barang dan jasa. Artinya, belanja barang dan jasa pemerintah daerah terlampau gemuk sementara belanja untuk publik masih tertatih-tatih. Salah satu tugas Bupati Donggala terpilih ke depan adalah menekan belanja operasi sebesar mungkin sehingga belanja modal bisa dinaikkan. Belanja modal sangat urgen bagi daerah karena belanja tersebut akan dibelanjakan untuk kepentingan investasi dan bersentuhan dengan masyarakat. Setidaknya dalam tiga tahun anggaran (2010, 2011, 2012), belanja modal pemerintah Donggala masih tertekan. Dari Rp528 miliar realisasi belanja pemerintah, hanya hanya Rp121,7 miliar atau sekitar 22,9 persen untuk belanja modal. Sementara belanja operasional mencapai
8
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Rp404 miliar atau sekitar 77 persen. Dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut uang yang dibelanjakan untuk investasi di masyarakat hanya berkisar 22 dan 23 persen dari total belanja daerah. Berdasarkan postur APBD tersebut, apakah sudah berpihak kepada rakyat? Belum. Inilah salah satu tantangan berat bupati/wakil bupati dan anggota DPRD Donggala terpilih ke depan. Kita akan menanti sejauhmana kerja serius mereka. Oleh sebab itu, setiap tahun rakyat juga harus mengetahui untuk apa uang daerah dibelanjakan. Bagaimana dengan pendapatan asli daerah (PAD)? Untuk kondisi saat ini bagi saya, PAD belum menjadi masalah serius karena subsidi pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) belum dihentikan pengucurannya. Justru menjadi masalah jika PAD tinggi sementara pendapatan ekonomi masyarakat terseok-seok. Jika pemerintah memperkuat ekonomi masyarakat maka akan berbanding lurus dengan pendapatan daerah. Secara umum PAD Donggala kurun waktu tiga tahun (2010, 2011, 2012) mengalami peningkatan dari Rp23 miliar menjadi Rp36,1 miliar. Itulah postur anggaran publik di Donggala. ***

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Donggala dan Jiwaku


Begitu dalam duka sahabat kami yang tidak sempat mengenyam pendidikan SMP karena terkendala biaya dan jauhnya akses pendidikan. Waktu itu sekolah SMP dan MTs hanya ada di ibu kota kecamatan. Betapa belum adilnya distribusi pendidikan ketika itu. Akibatnya banyak masyakarat yang tidak bisa terpenuhi haknya untuk bersekolah.
TANAH Dampelas, bagian dari Donggala, adalah tanah tumpah darah dan awal dari sejarah peradaban hidupku. Di sana, ari-ari saya ditanam. Di sana, saya dibesarkan bersama dua adik saya. Di sana, kami menghirup udara, meneguk air, tumbuh dan berkembang menjadi remaja. Di sana, kakek kami lahir hingga berkalang tanah. Di sana, orang tua kami bercengkerama dengan alam, berharap rezeki dari alam dengan membajak sawah dan berkebun. Di tanah kelahiranku itu, saya mengenal baca tulis. Pagi sekolah di SD Negeri Rerang, sorenya belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Alkhairaat. Ingatan saya masih segar tentang kampung kami. Saban pagi, kami pergi ke sekolah dengan berjalan di jalan tak beraspal. Jika musim hujan, kami menenteng sepatu dan dipasang setelah tiba di sekolah. Jika musim kemarau, kami bermandikan debu. Dinding sekolah kami yang sebagian masih terbuat dari pitate dilumuri debu jalanan.
10
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Paling sial, jika jalanan dilintasi mobil tronton memuat kayu log sehingga separuh dari rumah penduduk tidak kelihatan tertutup debu. Kalau mobil besar ini melintas, satu kampung berdebu. Masih tertanam di ingatan saya, kami diperintahkan guru berbaris di pinggir jalan saat menyambut pejabat daerah datang ke kampung kami. Kami berbaris dengan bendera merah putih terbuat dari kertas di tangan. Saya masih ingat seorang guru, menitipkan pertanyaan kepada murid, saat seorang pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berkunjung ke sekolah kami. Masih terbayang, suatu ketika saya tampil membacakan puisi pada acara pekan olahraga antar dusun (Pordus) di kampung kami. Saya masih ingat pernah tampil menghafal pidato pada Maulid Nabi di tengah-tengah masyarakat di desa. Masih segar di ingatan saya, kami belajar menggunakan pelita minyak tanah. Keesokan harinya hidung kami belepotan hitam akibat asap pelita. Belum semua rumah dialiri listrik yang bisa membantu kami belajar. Hanya ada satu dua orang yang memiliki mesin generator. Dari generator itulah dialirkan ke rumah-rumah. Menyala pukul 18.00 Wita, padam pukul 10.00 Wita. Jarang menyala hingga pukul 00.00 Wita, kecuali menjelang malam lebaran. Jika ada kegiatan malam hari, seperti pesta pernikahan, lampu petromaks menjadi andalan. Dulu belum ada siaran televisi yang mampu menjangkau kampung kami. Kami belum mengenal berita-berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk dunia olah raga, kami paling populer dengan petinju Indonesia Ellyas Pical, petinju profesional pertama Indonesia yang menjadi juara dunia. Untuk dunia selebriti, kami hanya mengenal Raja Dangdut Rhoma Irama melalui film-filmnya yang nge-top pada eranya. Laga Ellyas Pical di ring tinju dan film asmara Rhoma Irama itu masih digandakan menggunakan kaset pita. Itulah teknologi
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

11

elektronik paling modern di kampung kami. Tahun 1980, hanya ada tiga pemilik televisi hitam putih di kampung. Untuk menyaksikan film, biasanya kami membayar Rp100 per orang. Jika filmnya baru, harganya biasa naik sampai Rp250 per orang. Kami menonton layaknya di sebuah bioskop. Masih segar di ingatan saya, bagaimana kami bermain di pematang sawah saat orang tua kami membajak sawah dengan mengandalkan tenaga sapi. Belum ada traktor tangan (handtractor) seperti sekarang. Jika musim bajak sawah tiba, saya melihat karib kerabat orang tua kami bergotong royong membangun irigasi. Mereka bergotong royong menancapkan bambu-bambu di sungai, lalu menumpukkan karung-karung berisi pasir di sela-sela bambu itu. Cara ini digunakan untuk menghalau air agar masuk ke pematang sawah. Kegiatan itu bertahun-tahun mereka lakukan karena ketiadaan irigasi. Begitulah sekilas potret kehidupan di kampung kami era 1970-1980. Memasuki era 1990, sedikit sudah mengalami kemajuan. Transportasi dari kampung kami ke Palu sudah mulai lancar. Jika era 1970, angkutan umum yang dikenal hanya Hardtop, era 1990 sudah ada angkutan mini bus. Perjalanan dari kampung kami ke Palu, ibu kota Donggala sudah bisa ditempuh lebih cepat. Jarak tempuh sekitar 160 kilometer bisa ditempuh tujuh hingga delapan jam dengan angkutan mini bus. Berangkat pukul 08.00 WITA tiba di Palu pukul 15.00 WITA. Anak-anak di kampung sebagian besar sudah bersekolah di ibu kota kecamatan. Malah sudah ada yang sekolah di Palu dan Jawa mengikuti keluarga. Setelah tamat sekolah dasar, saya melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri cabang Palu di Sabang. Dari sekitar 30 orang seusia saya tamat SD, hanya sekitar 10 orang melanjutkan pendidikan di SMP . Selebihnya sudah terjun ke kebun dan sawah membantu orang tua. Saya
12
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

termasuk beruntung, karena orang tua mampu menyekolahkan saya. Masih terkesan di mata saya, kami bolak balik dari kampung ke sekolah lanjutan pertama dengan mengayuh sepeda sejauh 17 kilometer. Belum hilang di ingatan saya seorang sahabat pulang dari sekolah jatuh dari jembatan di Desa Sioyong hingga membuat matanya nyaris buta. Saya pun terjatuh karena jalan yang kami lalui banyak berlubang. Luka itu hingga kini masih berbekas. Begitu dalam duka sahabat kami yang tidak sempat mengenyam pendidikan SMP karena terkendala biaya dan jauhnya akses pendidikan. Waktu itu sekolah SMP dan MTs hanya ada di ibu kota kecamatan. Betapa belum adilnya distribusi pendidikan ketika itu. Akibatnya banyak masyakarat yang tidak bisa terpenuhi haknya untuk bersekolah. Kondisi itu sungguh jauh dengan kondisi sekarang. Di desa kami dulu hanya ada sekolah dasar, sekarang sudah ada SMP dan SMA. Dari sepenggal kisah tersebut, cukup menjadi alasan saya untuk berbagi kepada keluarga dan masyarakat Donggala khususnya di wilayah pantai barat. Berbagi tentang gagasan pentingnya kita merespons banyak hal, khususnya terkait dengan kepedulian kita memajukan Kabupaten Donggala. Salah satu momentum politik yang membuat saya terdorong untuk menyikapinya adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) Donggala yang akan berlangsung 4 September 2013. Setidaknya dua alasan pokok dan penting kenapa kita perlu serius terhadap Pilkada kali ini. Pertama, Pilkada tahun ini adalah momentum paling menentukan wajah Donggala lima tahun mendatang. Hitam-putih atau maju mundurnya Donggala ke depan, tergantung pilihan kita. Waktu dua-tiga menit di bilik suara
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

13

sangat menentukan nasib daerah kita. Jika kita keliru dalam menentukan pilihan dan sikap politik, maka kita akan menyesal selama lima tahun. Kita harus menunggu lima tahun lagi untuk memulihkan kondisi itu. Oleh sebab itu, partisipasi politik aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan. Pilkada tidak boleh hanya dipandang sebagai cara untuk memilih kepala daerah secara formal seremonial, tetapi juga harus dipahami sebagai media untuk pendidikan demokrasi. Media untuk belajar menghargai perbedaan dan menyalurkan pendapat secara etik. Siap atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus menjalani pesta demokrasi (pilkada) itu karena sudah menjadi ketentuan negara. Apakah nanti kita memilih calon pemimpin yang terbaik dari yang baik, atau yang baik dari yang terburuk itu soal lain. Satu hal yang pasti, kita mau memilih karena kita tidak ingin kembali ke sejarah kelam daerah kita yang serba tertinggal. Donggala harus lebih maju dan berdampak pada membaiknya kesejahteraan masyarakatnya. Kedua, Pilkada Donggala dilaksanakan bertepatan dengan tahun politik menjelang Pemilu 2014. Pilkada dan Pemilu adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduaduanya menentukan wajah Donggala lima tahun mendatang. Jika sikap politik yang kita tempuh berbeda saat Pilkada dan Pemilu, maka kita menabrakkan dua kepentingan yang sama. Yakni kepentingan membangun Donggala agar menjadi daerah terdepan di Sulawesi Tengah. ***

Pertalian Dua Kepentingan


Lihat saja, gejala pemimpin di negeri kita. Setelah ia berhenti menjadi pejabat, tanahnya dimana-mana. Mobilnya gonta-ganti. Rumahnya bertebaran kendati itu rumah dinas sekalipun dibeli dengan harga murah. Dibeli dengan mengorbankan nama orang lain. Kita tentunya tidak ingin mantan bupati Donggala ke depan, bersenang-senang dari hasil korupsinya, sementara rakyat terus terhimpit dengan berbagai masalahnya.
SEBELUM membedah calon bupati/wakil bupati maupun calon anggota DPR/DPRD yang akan kita pilih nanti, ada baiknya kita membedah diri kita sendiri. Kita membedah tentang apa kebutuhan kita secara umum, yakni tentang kebutuhan bersama di lingkungan kita, kebutuhan bersama di desa kita, kebutuhan bersama di kecamatan kita. Kebutuhan yang kira-kira akan kita nikmati bersama dan memberi keuntungan secara bersama pula untuk kepentingan jangka panjang. Tentunya kebutuhan kita adalah mencakup kebutuhan sekarang dan kebutuhan mendatang. Bukan kita membedah kebutuhan pribadi, lalu menjadikan itu sebagai agenda kepentingan pribadi untuk mengeruk untung dari Pilkada. Saya yakin dan pecaya terhadap karakter masyarakat Donggala, tidak mudah dibeli oleh calon bupati hanya untuk kepentingan sesaat. Jika kepentingan pribadi menjadi acuan kita untuk memilih calon pemimpin di daerah, maka bisa dipastikan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

14

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

15

cita-cita demokrasi yang sedang kita bangun rusak dan tidak memberi makna untuk kesejahteraan bersama melainkan untuk kepentingan pribadi. Jadilah kita anggota masyarakat pragmatis, yakni individu yang hanya mementingkan dirinya sendiri untuk kepentingan sesaat. Sementara hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Contoh, jika kita memilih seseorang karena uangnya, atau karena dia sudah membagi-bagikan bahan makanan pokok, lalu menjadikan itu alasan utama untuk memilih yang bersangkutan, maka jadilah kita individu masyarakat yang pragmatis. Bagi saya, tidak salah jika kita menerima sesuatu pembagian dari calon bupati/wakil bupati atau calon anggota legislatif (Caleg). Tapi, itu bukan alasan utama untuk membuat kita jatuh hati padanya. Saya sangat meyakini, pemberian sesuatu karena ada kepentingan politik maka imbalan yang diharap pun adalah imbalan politik. Kondisinya akan jauh berbeda jika seseorang royal membagikan hartanya tanpa kepentingan politik. Ini dua hal yang berbeda. Kita sering mendengar orang berkata, semakin banyak uang yang dihabiskan seorang calon pejabat untuk pemenangannya, maka ia pun akan mencari uang sebanyak-banyaknya sebagai pengganti atas uang yang sudah ia keluarkan. Inilah yang sering menjadi pembicaraan masyarakat luas. Secara logika, seseorang yang menjadi pejabat tidak akan mungkin ia mau berhenti menjadi pejabat dalam kondisi miskin. Kalau pun ada itu pejabat langka dan fenomenal. Lihat saja, gejala pemimpin di negeri kita. Setelah ia berhenti menjadi pejabat, tanahnya dimana-mana. Mobilnya gonta-ganti. Rumahnya bertebaran kendati itu rumah dinas sekalipun dibeli dengan harga murah. Dibeli dengan mengorbankan nama orang lain. Bahkan tidak jarang pejabat kita menambah istri. Kita tentunya tidak
16
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

ingin mantan bupati Donggala ke depan, bersenang-senang dari hasil korupsinya, sementara rakyat terus terhimpit dengan berbagai masalahnya. Biasanya, pendekatan paling ampuh dan taktis dilakukan politisi untuk kepentingan politiknya adalah memberikan sesuatu untuk kepentingan sesaat. Hanya untuk kepentingan saat itu. Supaya dibilang peduli, diberikanlah sesuatu barang dan janji. Jarang kita menjumpai politisi atau calon bupati yang memberikan sesuatu untuk kepentingan jangka panjang. Inilah yang kita butuhkan dari seorang calon kepala daerah atau calon legislatif, yakni memberikan keuntungan jangka panjang melalui pendekatan program kerja, bukan pendekatan uang atau pendekatan baliho. Pertanyaan berikutnya, apakah program yang ditawarkan itu cocok untuk kepentingan jangka panjang kita atau tidak. Atau program itu sekadar penyenang hati masyarakat saja. Ini juga harus dijawab dengan logika. Bukan dengan belas kasihan. Untuk menentukan kebutuhan jangka panjang kita, perlu cara atau strategi tersendiri. Misalnya, dengan melakukan inventarisasi kebutuhan kita dari masingmasing lingkungan, desa dan kecamatan. Apa kebutuhan kita yang sesungguhnya dan mendesak. Kebutuhan itulah yang ditawarkan kepada calon bupati/wakil bupati atau Caleg. Contoh, Desa A di Kecamatan B, berdasarkan identifikasi di sektor pertanian ternyata Desa A membutuhkan pembangunan irigasi, perluasan perkebunan dan pertanian, pembukaan jalan ke kantong produksi, perbaikan mutu pertanian; persediaan pupuk yang cukup, murah dan penyediaan bibit unggul, atau penguatan modal usaha pertanian. Maka kebutuhan itulah yang disodorkan kepada calon bupati/calon anggota legislatif. Demikian halnya pada sektor kesejahteraan rakyat.
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

17

Desa B Kecamatan C, membutuhkan pembangunan gedung sekolah, penambahan guru, tenaga medis, dan pembangunan Puskesmas. Maka, kebutuhan itu harus menjadi tawaran masyarakat kepada calon kepala daerah/ anggota legislatif. Tapi ada baiknya itu tidak sekadar tawaran, tetapi kita juga perlu mencari tahu bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan calon agar keinginan itu bisa terwujud. Jadi, bukan sekadar janji bahwa calon itu mengiyakan keinginan masyarakat. Harus jelas kapan bisa dilaksanakan dan bagaimana caranya. Sehingga, masyarakat punya pegangan. Bila perlu masyarakat melibatkan diri dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Jika konsep analisa kebutuhan itu sudah siap, pemerintah desa tidak perlu lagi buang waktu lama, buang tenaga dan pikiran hanya untuk bikin Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Rencana itu saja yang dimatangkan lalu diajukan ke pemerintah dan minta anggota DPR/DPRD, wartawan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengawalnya. Itulah pertalian dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah. Kepentingan masyarakat dipenuhi, dan keinginan pemerintah di lain pihak juga berjalan yakni keinginan untuk mensejahterakan rakyatnya. Pertalian dua kepentingan tersebut tidak akan bisa bertemu dalam satu ruas jika masing-masing berjalan sendiri. DPRD-nya berjalan sendiri, Bupatinya juga keinginannnya lain, masyarakat pun begitu. Keinginan masyarakat juga lain. Jika demikian kondisinya, sudah dipastikan cita-cita membangun kesejahteraan tidak akan bisa diwujudkan. Jadilah citacita itu hanya sebatas janji politik. Hanya sebatas penghias demokrasi dan sebagainya. ***
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Kontrak Politik Atau Pakta Integritas Sama Saja


Banyak janji politik yang disampaikan calon pemimpin biasanya hanya sekadar penarik simpati agar masyarakat mau memilihnya, namun kadang janji politik itu tak kunjung terealisasi. Supaya calon pemimpin memiliki beban politik maka dibuatlah kontrak politik.

KETIKA Jokowi (Joko Widodo) mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012, ia menandatangani kontrak politik dengan warga bantaran Waduk Pluit di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Kontrak politik itu ditandatangi 15 September 2012, menjelang pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Kontrak politik itu intinya tiga poin. Pertama, jika Jokowi terpilih menjadi gubernur maka ia akan melibatkan warga Muara Baru dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kedua, Jokowi akan melindungi dan memenuhi hak-hak warga kota. Ketiga, Jokowi harus terbuka dalam penyebarluasan informasi kepada warga kota. Kontrak politik adalah perjanjian antara dua pihak yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan kekuasaan. Biasanya antara calon kepala daerah/calon anggota DPRD dengan masyarakat pemilih. Istilah kontrak politik mulai populer setelah reformasi. Dulu pada era
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

18

19

orde baru tidak ada istilah kontrak politik. Yang ada adalah janji politik dari calon penguasa. Kontrak politik sebetulnya komitmen calon pejabat atau penguasa secara tertulis yang ditandatangani bersama masyarakat melalui wakilnya. Kontrak politik sebetulnya lahir karena adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpinnya. Banyak janji politik yang disampaikan calon pemimpin biasanya hanya sekadar penarik simpati agar masyarakat mau memilihnya, namun kadang janji politik itu tak kunjung terealisasi. Supaya calon pemimpin memiliki beban politik maka dibuatlah kontrak politik. Oleh bebebapa pakar hukum mengatakan kontrak politik tidak bisa ditegakkan di ranah hukum karena klausul dalam kontrak perjanjian itu terlalu abstrak atau terlalu umum. Sedangkan kontrak hukum haruslah rinci. Kontrak politik hanya bersifat menekan. Artinya, dengan adanya kontrak politik itu penguasa terpilih memiliki beban politik yang harus ia laksanakan. Belakangan ini muncul lagi istilah Pakta Integritas di ranah politik. Pakta integritas atau dalam bahasa Inggris Integrity Pact adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. Jadi Pakta Integritas bukan untuk ranah politik. Pakta integritas ataupun kontrak politik yang dimunculkan oleh calon pemimpin adalah manifestasi untuk mengembalikan kepercayaan yang sudah mulai luntur di tengah masyarakat. Terlepas apapun namanya, kontrak politik atau pakta integritas tetap penting. Setidak-tidaknya menjadi beban kerja politik bagi calon pemimpin terpilih. Apalagi jika kontrak politik itu diberikan embel-embel sumpah atas nama Allah. Beban pemimpin terpilih akan semakin berat. Selain ia sudah menandatangani kontrak politik, ia juga
20
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

melalui proses sumpah atas nama Allah saat dilantik. Masyarakat Donggala perlu menempuh jalan baru untuk mempercepat pembagunan di daerahnya salah satunya dengan mengajukan kontrak politik kepada calon pemimpin. Agar kontrak politik itu tidak menimbulkan persepsi yang macam-macam, maka kontrak politiknya harus dibuat secara detail. Kontraknya harus jelas dan dapat diukur sehingga bisa dievaluasi secara terukur pula. Apakah kontrak politik itu sudah dilaksanakan atau tidak, ada bukti-bukti fisik yang bisa diukur. Misalnya, warga Desa Talaga, Kecamatan Damsol, ingin membangun Rumah Adat Dampelas terapung di tepi Danau Talaga dan siswa miskin dari desa itu diberikan beasiswa sebanyak 10 orang setiap tahunnya. Contoh lain, warga Desa Rerang, Kecamatan Damsol, ingin membangun irigasi atau dermaga pelabuhan pendaratan ikan. Maka kontrak politiknya harus berisi secara detil tentang pembangunan irigasi atau tempat pendaratan ikan. Adapun contoh kontrak politiknya adalah sebagai berikut; Kontrak Perjanjian Calon Bupati dengan Warga Desa Talaga --------------------------------------Pada hari ini, Senin, tanggal 10 Juni tahun 2013 bertempat di Desa Talaga, Kecamatan Damsol. Bahwa kami yang bertanda tangan di bawah ini Adha Nadjemuddin, calon bupati Donggala Periode 2013-2018. Kami berjanji di hadapan masyarakat Talaga, jika kami terpilih menjadi bupati Donggala dan wakil bupati Donggala maka kami akan; 1. Membangun rumah adat Dampelas di tepi Danau Talaga seluas 10 x 10 meter dalam waktu tiga tahun dan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

21

pembangunannya dimulai tahun kedua kepemimpinan kami. 2. Membangun jalan permanen dari jalan trans Sulawesi ke lokasi umah adat tersebut. 3. Memberikan beasiswa berupa uang tunai sebanyak Rp500 ribu per siswa per tahun kepada 10 orang siswa miskin dari Desa Talaga. 4. Pemberian beasiswa tersebut akan diberikan tahun ke dua kepemimpinan kami sampai berakhirnya masa jabatan kami. 5. Jika kami tidak melaksanakan pembangunan rumah adat tersebut dalam waktu tiga tahun, dan tidak memberikan beasiswa miskin seperti pada poin 1, 2 dan 3 di atas maka kami bersedia mundur atau dituntut mundur oleh masyarakat Desa Talaga dan DPRD Donggala. Demikian janji politik ini kami buat sebagai bentuk komitmen politik kami dalam membangun kabupaten Donggala. Talaga, 10 Juni 2013 Tertanda Adha Nadjemuddin Menentukan isi kontrak politik harus mendapat persetujuan bersama seluruh komponen masyarakat karena kontrak politik berisi kepentingan umum dan memberi dampak luas kepada masyarakat. Kontrak politik sebaiknya dirumuskan berdasarkan analisis kebutuhan utama masyarakat. Sebab jika semua masyarakat meminta kontrak politik yang tidak bisa dijangkau oleh pembiayaan
22
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

APBD itu juga sulit direaliasikan pemerintah daerah. Kecuali kontrak politik jangka panjang. Kontrak politik jangka panjang bisa diperpanjang kepada setiap pergantian calon bupati. Kontrak politik jangka panjang adalah terkait dengan rencana pembangunan jangka panjang 10 - 15 tahun yang tidak bisa dianggarkan dalam APBD lima tahun. Contoh, masyarakat di Wilayah Pantai Barat ingin agar pemerintah membangun kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Terkait dengan program jangka panjang tersebut saya membahasnya secara terpisah dalam buku ini. ***

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

23

Waspadai Janji Politik


Maka bisa dipastikan, intervensi bupati dalam penerimaan pegawai akan terjadi. Artinya, penerimaan pegawai tidak murni lagi karena ada campur tangan pejabat. Ini lebih berbahaya karena akan merugikan masyarakat luas. Masyarakat yang tidak memiliki kedekatan dengan pejabat pasti susah masuk pegawai. Diskriminasi terhadap rakyat pun terjadi.
POLITIK meraih simpati tidak pernah lepas dari janji. Tidak sah rasanya pesta politik jika tidak ada janji politik. Janji membangun ini dan itu. Janji akan memperjuangkan itu dan ini. Janji mensejahterakan rakyat. Janji pendidikan gratis. Janji kesehatan gratis. Janji bangun masjid. Janji bangun jalan. Janji memasukkan warga menjadi pegawai negeri sipil. Masih banyak lagi macam janji-janji politik yang akan dan telah dilontarkan calon bupati/wakil bupati atau Calon Anggota Legislatif (Caleg) maupun janji tim sukses. Demi kepentingan politik, gen keluarga pun mulai dicari. Jika dulunya dicuek, sekarang dicari. Dulu ditengok pun tidak, sekarang jauh di pelosok desa pun dicari. Saya khawatir begitu menjadi pejabat, semua janji dan keluarga dilupakan atau pura-pura lupa. Janji politik untuk pencitraan diri bagi seorang calon bupati adalah hal wajar. Tujuannya agar mendapat simpati
24
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

dari masyarakat. Sebaik apapun janji yang dijanjikan calon bupati, tergantung sejauh mana kita mencermati janji itu. Apakah janji tersebut masuk akal atau tidak, tergantung kemampuan masyarakat menganalisanya. Misalnya, jika seorang bupati berjanji akan memberikan alokasi anggaran setiap desa satu miliar per tahun. Jika di Kabupaten Donggala terdapat 200 desa maka pemerintah harus menyiapkan Rp200 miliar per tahun. Jika APBD Donggala hanya Rp400 miliar, maka janji tersebut dipastikan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin desa mau dibiayai Rp200 miliar per tahun sementara kemampuan APBD-nya hanya Rp400 miliar. Bagaimana dengan belanja lain-lain, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa. Artinya, janji tersebut tidak masuk akal. Makanya itulah pentingnya kenapa APBD perlu diketahui rakyat, agar rakyat tidak gampang dibodohi. Demikian halnya jika seorang bupati berjanji akan mengangkat putera daerah kecamatan A menjadi pegawai negeri sipil. Maka bisa dipastikan, intervensi bupati dalam penerimaan pegawai akan terjadi. Artinya, penerimaan pegawai tidak murni lagi karena ada campur tangan pejabat. Ini lebih berbahaya karena akan merugikan masyarakat luas. Masyarakat yang tidak memiliki kedekatan dengan pejabat pasti susah masuk pegawai. Diskriminasi terhadap rakyat pun terjadi. Oleh sebab itu biarkanlah calon bupati berjanji tergantung sejauh mana rakyat menganalisis masuk akal atau tidaknya janji itu. Bagaimana jika calon bupati/calon wakil bupati berjanji akan membangun, memajukan pertanian dan perkebunan masyarakat. Jika janji ini menurut masyarakat sangat menyentuh kepentingannya, maka perlu dicari tahu, bagaimana cara atau strategi apa yang dilakukan calon bupati bersangkutan untuk bisa merealisasikan janjinya itu. Tahun ke berapa kira-kira janji itu bisa direalisasikan. Jangan karena janji itu menyentuh
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

25

kepentingan kita, lalu dibiarkan janji itu menggelinding tanpa dikritisi. Itulah pentingnya jika masyarakat kritis sehingga calon pemimpin tidak seenaknya mengumbar janji politik. Bagaimana jika ada calon bupati berjanji akan membagi-bagikan bibit sawit gratis. Bibit kakao gratis. Bibit durian gratis. Atau bibit palawija secara gratis. Sebagai petani, tentu sudah terbayang di benak kita. Jika itu sawit berapa lama dia panen. Dimana lahannya. Siapa yang membangun pabriknya. Bagaimana teknik perawatan dan sebagainya. Dengan demikian, terhadap janji politik calon bupati, masyarakatlah yang pandai-pandai menyaring janji politik tersebut. Masyarakat harus waspada. Itu kuncinya. ***

Pemekaran Pantai Barat, Komoditas Politik Menjanjikan


Satu hal penting, Pantai Barat jangan lagi sekadar gombal politik, sekadar janji politik, sekadar orasi di panggung kampanye atau sekadar jalan mencari simpati. Masyarakat yang cerdas, pasti akan bisa memilih dan memilah, mana sekadar janji, mana yang sungguhsungguh. Oleh sebab itu butuh cara untuk menganalisa janji politik pemekaran Pantai Barat.
SEMUA pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati, juga Calon Anggota Legislatif (Caleg) mempunyai strategi untuk merebut simpati masyarakat. Demikian halnya partai politik. Mereka berharap dengan strategi dan isu yang digelindingkan masyarakat bisa jatuh hati. Pemekaran Donggala menjadi kabupaten dan kota, yakni Daerah Otonom Baru (DOB) Pantai Barat dan Kota Donggala pasti menjadi isu strategis. Wacana Kabupaten Pantai Barat diembuskan di Pantai Barat, pembentukan Kota Donggala diembuskan di Banawa dan sekitarnya. Dua-duanya pasti dan telah menjadi komoditas politik menarik dan menjanjikan. Apalagi dengan masuknya beberapa tokoh penggagas rencana pembentukan Kabupaten Pantai Barat ke dalam daftar calon bupati/wakil bupati maupun Caleg. Isu politik Pantai Barat dan Kota Donggala akan sulit dielakkan. Sekitar tahun 2002 sampai 2003, saya termasuk salah

26

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

27

seorang yang sering terlibat dalam rencana pembentukan Kabupaten Pantai Barat. Saya bahkan masuk dalam salah seorang Tim Perumus. Beberapa kali kami menggelar pertemuan berpindah-pindah tempat. Biasa di kediaman Mantan Sekretaris Kota Palu Maulidin Labalo, biasa juga di rumah mantan Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Tengah Indra B Wumbu. Beberapa kali di kediaman Kepala Bagian Humas Kota Kota Palu Kasman Lassa, ketika itu. Pelbagai gagasan dan strategi politik kami bahas agar Pantai Barat cepat terbentuk menjadi DOB berpisah dengan induknya, Donggala. Bahkan mobilisasi massa dengan mengepung Gedung DPRD Donggala (di Jalan Hasanuddin Kota Palu, ketika itu) juga sudah dilakukan. Para demonstran untuk Pantai Barat sudah mengeluarkan energinya berorasi hingga tenggorakan mereka kering. Urat leher mereka tegang. Tapi semua gagasan dan strategi itu belum mempan. Hanya bagus dikonsep. Tapi kita tetap bersyukur dan memberi apresiasi karena banyak tokoh yang peduli dengan Pantai Barat. Masih banyak yang peduli dengan nasib rakyat Pantai Barat. Masih ada orang mau berkorban untuk Pantai Barat. Itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Harus diakui dan dihargai. Kelak para pejuang Pantai Barat itu akan masuk dalam daftar sejarah Pantai Barat. Perjuangan Pantai Barat belum berakhir. Pantai Barat hanyalah sukses yang tertunda. Pantai Barat kalah selangkah dengan Sigi. Sigi sudah terwujud menjadi kabupaten pada 24 Juni 2008 setelah DPR RI menjatuhkan palu sidang penetapan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Sigi. Sigi kemudian resmi menjadi daerah otonom tanggal 21 Juli 2008 melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah. Cita-cita Sigi menjadi kabupaten terkabulkan, sementara Pantai Barat masih asyik dengan wacananya.
28
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Sebentar lagi Pantai Barat akan menjadi konsumsi politik menjelang Pilkada dan Pemilu 2014. Salahkah? Tentu tidak. Bahkan semakin baik karena nanti akan tercipta pendapat yang utuh tentang Pantai Barat. Pendapat tentang kabupaten yang ideal, kabupaten yang menjanjikan, kabupaten masa depan. Satu hal penting, Pantai Barat jangan lagi sekadar gombal politik, sekadar janji politik, sekadar orasi di panggung kampanye atau sekadar jalan mencari simpati. Masyarakat yang cerdas, pasti akan bisa memilih dan memilah, mana sekadar janji, mana yang sungguhsungguh. Oleh sebab itu butuh cara untuk menganalisa janji politik pemekaran Pantai Barat. Tidak sekadar janji tapi harus ada desain solusi untuk bisa memastikan bahwa Pantai Barat bisa diwujudkan. Bagaimana caranya? Target tahun berapa? Apa garansinya? dan sebagainya. Apakah nanti namanya Kabupaten Pantai Barat, Kabupaten Donggala Utara atau Kabupaten Bonto Mariri, itu hanya soal nama. Intinya, bagaimana substansi pelayanan kemasyarakatan lebih dekat dan nyaman bisa diwujudkan. Sebagai warga Pantai Barat, saya juga ikut gelisah dengan letak geografis Pantai Barat. Bayangkan, untuk mengurus administrasi ke pusat pemerintahan di Banawa, kita harus melintasi Kota Palu. Hanya untuk ke ibu kota kabupaten, kita harus melewati satu daerah. Ini aneh. Mungkin hanya ada di Sulawesi Tengah. Itu baru dari letak georafisnya. Belum lagi soal pelayanan kesejahteraan rakyat, khususnya kesehatan. Pantai Barat tidak punya rumah sakit yang repsentatif. Orang dari Sojol paling ujung, misalnya, mungkin lebih dekat kalau ke Tolitoli dibanding ke Palu apalagi Banawa. Pasien sempat meninggal di jalan baru sampai ke rumah sakit. Korban kecelakaan lalu lintas yang tidak bisa tertangani di puskesmas, sempat kehabisan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

29

darah baru sampai ke rumah sakit. Untung di daerah Pantai Barat itu masih banyak orang-orang tua yang arif. Bisa menghentikan tetesan darah dari luka hanya dengan doa atau jampi-jampi. Masih banyak orang tua arif di Pantai Barat yang masih percaya dengan obat-obat tradisional yang bisa menghentikan aliran darah di luka. Itu masih lebih baik karena luka luar. Bagaimana kalau masyarakat stroke. Tidak mungkin ditolong dengan jampi-jampi. Korban stroke harus ditolong dengan medis. Ini baru satu sisi kesusahan Pantai Barat. Masih banyak yang lain. Terlalu banyak makan ruang jika diulas semua dalam tulisan ini. Melihat kondisi ini, Kabupaten Pantai Barat menjadi keharusan. Menjadi tugas bersama untuk memperjuangkannya. Bukan hanya tugas calon bupati, calon anggota legislatif. Satu hal yang tidak terlupakan bahwa pembentukan daerah otonom adalah keputusan politik. Perjuangannya juga harus dengan politik. Walaupun pemerintah daerah sampai lumpuh memperjuangkan Pantai Barat, jika tidak mendapat dukungan politik dari DPR RI, itu akan sia-sia. Oleh sebab itu diperlukan keterlibatan calon anggota DPR RI. Harus ada spesial kontrak politik kepada calon anggota legislatif pusat. Kontribusi mereka untuk Pantai Barat harus nyata. Bukan sekadar janji atau gombal politik. Bukan hanya mengirimkan baliho ucapan hari raya Idul Fitri setiap tahun. Kita tidak butuh baliho ucapan. Kita butuh komitmen politik dari mereka untuk Pantai Barat. Memang, pembentukan daerah otonom tidak semudah menyalakan pelita. Butuh syarat-syarat sesuai ketentuan undang-undang. Jumlah penduduk, luas wilayah, potensi daerah, kabupaten induk tidak boleh mati. Itu harus dipenuhi. Caranya harus dengan komitmen yang kuat, kemauan politik legislatif, dukungan masyarakat, dukungan pemerintah provinsi, dukungan
30
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

perguruan tinggi, maupun dukungan anggaran. Mungkin Pantai Barat lebih layak menjadi daerah otonom dari daerah lain yang sudah otonom di Sulawesi Tengah. Tapi karena tidak mendapat dukungan penuh. Pantai Barat tetap menjadi seperti sekarang. Kabupaten mimpi. Solusi tentang Kabupaten Pantai Barat dapat ditempuh melalui dua skema. Skema pertama, Banawa dan sekitarnya menjadi Kota Donggala berkedudukan di Banawa. Sementara Kabupaten Donggala beribukota di Pantai Barat. Skema kedua, sebagian wilayah Pantai Barat membentuk wilayah sendiri. Misalnya, Kabupaten Donggala Utara, terdiri dari lima kecamatan, Sojol Utara, Sojol, Dampelas, Balaesang dan Balaesang Tanjung. Ini lebih baik karena pelayanan bisa lebih dekat, dibanding ibu kota Donggala dipindah ke Pantai Barat tetapi ibukotanya berkedudukan tidak jauh dari Kota Palu. Ini juga percuma, karena pelayanan khususnya masyarakakat dari Sojol tetap saja jauh dari pusat pemerintahan. Apapun itu, Pantai Barat selalu menjadi komoditas politik yang menjanjikan. ***

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

31

Rekam Jejak Calon, Itu Penting


Mana tahu calon itu ternyata memiliki cacat hukum, cacat moral, cacat sumber daya manusia dan sebagainya. Jika itu yang terjadi celakalah masyarakat karena memilih atas ketidaktahuannya. Ibarat memilih dalam ruang gelap, tidak jelas apakah yang dipilih itu bagus atau tidak.

BANYAK hal sebetulnya menjadi hambatan pemilih untuk menentukan sikap politiknya. Salah satunya kurang mengetahui rekam jejak (track record) seorang calon pemimpin yang akan dipilih. Untuk calon bupati/wakil bupati masih lebih mudah karena hanya sedikit yang mau dipilih. Untuk Pilkada Donggala 2013 paling banyak enam pasang calon. Beda halnya dengan Pemilu. Banyak Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang bisa dipilih. Satu daerah pemilihan tingkat kabupaten dengan 12 partai politik peserta Pemilu 2014, jumlah Caleg tidak kurang dari 50 orang. Belum termasuk Caleg Provinsi, Caleg DPR RI dan Caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Dengan banyaknya daftar politisi itu tidak mungkin semuanya bisa diketahui satu persatu. Habis waktu hanya untuk mereka. Belum lagi soal partainya. Apakah partai itu sudah cocok untuk kondisi Indonesia kini atau belum. Akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap calon
32
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

inilah sehingga pemilih kadang tidak mau pusing lagi. Cuek. Siapa kau, siapa saya. Dari pada bingung pilih saja teman dekat. Padahal belum tentu teman dekat memiliki kemampuan untuk menjadi bupati atau wakil rakyat. Kondisilah yang dapat menjebak pemilih, sehingga hanya asal pilih. Bahkan ada yang tidak mau memilih karena alasan tidak tahu. Ini keputusan politik yang lebih baik karena ia menentukan sikap atas kesadaran politiknya untuk tidak memilih karena tidak tahu siapa yang harus dia pilih. Dibanding, misalnya, ia memilih calon yang ia tidak kenal. Mana tahu calon itu ternyata memiliki cacat hukum, cacat moral, cacat sumber daya manusia dan sebagainya. Jika itu yang terjadi celakalah masyarakat karena memilih atas ketidaktahuannya. Ibarat memilih dalam ruang gelap, tidak jelas apakah yang dipilih itu bagus atau tidak. Lalu bagaimana masyarakat bisa mengetahui rekam jejak seorang calon bupati atau Caleg? Di sinilah peran penting dari tim sukses seorang calon. Calon atau tim sukses harus rajin menyosialisasikan diri ke masyarakat. Melalui diskusi, berdialog atau melalui pernak pernik brosur tentang rekam jejak seorang calon. Ini hanya cara. Tetapi tawaran saya, dialog dengan cara bertatap muka langsung dengan masyarakat adalah cara yang paling efektif dan mendidik. Dengan cara itu masyarakat bisa mengetahui lebih dekat tentang visi calon yang bersangkutan, mengetahui identitas calon, mengetahui jalan pikirannya, mengetahui sikap dan karakter melalui gerak tubuh seorang calon. Cara itu akan jauh berbeda dengan baliho atau kalender atau alat peraga kampanye lainnya. Baliho yang sudah melalui sentuhan teknologi komputer bisa direkayasa. Wajah yang berbatu-batu bisa diubah menjadi mulus. Rambut putih bisa diubah jadi hitam. Yang muncul ke permukaan bukan wajah sesungguhnya. Tapi sudah
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

33

melalui polesan teknologi desain dan cetak (grafika). Baliho atau alat peraga cetak lainnya hanya sekadar wadah untuk memperkenalkan nama, memperkenalkan identitas, mempublikasikan wajah meskipun itu sudah lewat proses polesan. Bukan berarti baliho tidak penting. Fenomena politik sekarang lebih cenderung perang baliho dibanding perang gagasan atau perang program kerja. Lebih asyik perang kalender dibanding menemui langsung masyarakat dengan berdiskusi atau saling berbagi. Baliho dan kalender bisa saja mengecoh pemilih karena kita tidak tahu siapa sesungguhnya sosok yang terpampang di baliho itu. Baliho memang cara baik jika dibarengi dengan sosialisasi langsung ke masyarakat. Baliho atau alat peraga cetak lainnya hanyalah pernak pernik politik. Hanya simbol-simbol yang tidak bisa diajak berdiskusi. Rekam jejak calon penting karena di sana kita akan melihat bagaimana karir politik atau karir birokrasi seorang calon. Kita akan tahu seberapa bagus mutu calon itu. Seberapa luas pengetahuannya tentang tugas dan fungsinya jika menjadi bupati/wakil bupati atau menjadi Anggota DPRD. Kita akan tahu bagaimana pengalaman organisasinya. Kita akan tahu dari mana asal usul dan sebaran keluarganya. Dari sana kita bisa melihat bagaimana komitmen keagamaan seorang calon. Dari sanalah kita bisa mengambil keputusan bahwa si A atau si C yang pantas dipilih. Masyarakat tidak sekadar merabaraba lagi. Tidak sekadar menerka-nerka, tapi mengetahui betul bahwa calon yang ia pilih memiliki kemampuan manajerial kepemimpinan yang mumpuni. Memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Calon yang dia pilih adalah calon pemimpin pekerja keras dan sebagainya. Masyarakat tidak lagi memilih kucing dalam karung. Bagaimana calon bisa dikenal lebih dalam oleh
34
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

masyarakat, itu juga tugas partai politik pengusung. Partai politik memiliki tanggungjawab besar dalam memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan. Partai tidak boleh lepas tangan hanya sekadar mengantar seseorang calon bupati ke kursi pencalonan, atau sekadar memasang namanama daftar Calon Anggota Legilatif. Tapi partai harus mengantar calon sampai ke tujuan akhir. Tujuan akhir bukan sebatas merebut jabatan, tetapi lebih jauh ke depan, yakni mewujudkan cita-cita politik seorang calon. Partai politik pengusung harus mampu menerjemahkan program kerja bupati terpilih. Kegagalan seorang pemimpin itu juga kegagalan partai politik. Di sinilah pentingnya penyatuan dua kekuatan legislatif (DPRD) dan eksekutif (bupati). Artinya bupati yang didukung dengan kekuatan legislatif akan lebih mudah mewujudkan cita-cita perjuangannya dibanding bupati yang tidak mendapat dukungan penuh legislatif. Oleh sebab itu, memilih bupati harus didukung dengan kekuatan legislatif. Bila tidak berjalan linier, keinginan masyarakat juga akan sulit dipenuhi oleh bupati terpilih karena yang berkuasa di DPRD ingin berjalan sendiri, bupati terpilih juga punya keinginan lain. Tidak bisa ketemu. Dampaknya rakyat menjadi korban. Tanggungjawab partai politik yang lain juga harus bertanggung jawab secara moral dalam mencegah pendukungnya untuk tidak berbuat kekacauan jika calon yang ia usung kalah. Ketika calon yang dia usung kalah, partai harus tampil di depan mencegah terjadinya pengrusakan. Bukan sebaliknya, partai yang mengompori pendukung membakar Kantor KPU. Inilah fenomena politik buram di negeri kita belakangan ini. Ada partai atau calon pemimpin yang tidak siap kalah. Hanya siap menang. Ini bukan mental seorang pemimpin. Banyak calon yang hanya jago berpidato tentang demokrasi, tentang perbedaan pilihan, tetapi tidak siap kalah. Ini calon pemimpin aneh
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

35

bin ajaib. Ada lagi yang lebih celaka dan bisa membawa petaka, yakni setoran sejumlah uang dari calon bupati/wakil bupati kepada partai politik pengusung. Uang menjadi ukuran. Kalau ada uang, kita usung. Kalau tidak, nanti dulu. Hampir tidak ada lagi partai yang sekadar memuat orang tanpa biaya. Tidak ada partai yang mau lari kosong. Kecuali itu kadernya sendiri. Tidak semua partai begitu, tapi ada juga partai yang sudah menentukan tarif. Misalnya, satu kursi Rp500 juta atau Rp200 juta. Alasannya macam-macam. Untuk ongkos politik, mahar, biaya operasional, biaya lobi, biaya kampanye, dan sebagainya. Itu baru setoran ke partai. Tentu mungkin ada juga uang ucapan terima kasih kepada ketua partainya. Kondisi itu semua membuat ongkos politik menjadi mahal. Seorang calon bupati harus menyiapkan banyak uang. Maka siapa yang tidak punya uang, biar pun pandai, punya gagasan bagus, kredibilitasnya tidak diragukan lagi, tapi kalau tidak punya uang jangan mimpi menjadi bupati, wali kota atau gubernur. Sebaliknya, bila ada uang. Ada penyokong dana, biar pun hanya kemampuan biasa-biasa saja bisa mencalonkan diri menjadi pejabat. Inilah wajah demokrasi kita hari ini. Demokrasi semakin mahal, sementara substansinya masih jauh dari harapan. Kapan kondisi ini bisa menjadi baik. Jawabnya, ada di tangan rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus berani mengubah wajah demokrasi kita di negeri ini. Dialah rakyat yang sesungguhnya. Rakyat anti suap, rakyat anti korupsi, rakyat anti kemapanan, rakyat yang selalu merindukan perubahan. Oleh sebab itu kita butuh rakyat yang terdidik secara politik, mandiri dalam mengambil keputusan dan berani mengatakan tidak jika itu salah. Hidup rakyat! Tidaklah heran karena mahalnya ongkos politik itu, sehingga muncul istilah calon independen atau calon perseorangan. Calon ini didukung oleh masyarakat dengan
36
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

batas dukungan minimal. Lewat jalur inilah orang yang sedikit modal bisa maju menjadi calon pemimpin di daerah sendiri. Itupun tidak semuanya gratis. Karena tidak semua masyarakat mau menyerahkan kartu tanda penduduk sebagai bukti mendukung secara gratis. Akhirnya ada yang nekat pakai calo. Seratus kartu tanda penduduk terkumpul dibayar sekian. Makin banyak yang terkumpul makin banyak bonusnya. Tidak peduli apakah itu diketahui oleh pemilik KTP-nya atau tidak. Itu urusan nanti. Semoga saja calon independen/perseorangan yang menjadi calon bupati di Donggala 2013 tidak menggunakan cara-cara tidak baik itu. Seorang kawan menyarankan saya agar menuliskan juga rekam jejak calon bupati Donggala dalam tulisan ini. Saya tidak bisa menyanggupinya, karena saya khawatir bisa menimbulkan persepsi subjektif yang bisa membuat salah satu calon diuntungkan sementara yang lain dirugikan. Lagi pula saat buku ini saya susun, belum semua pasangan calon bupati ditetapkan KPU. Ada lagi cara lain untuk mengetahui rekam jejak seorang calon. Misalnya, jika calon itu pernah menjabat kepala dinas, pernah menjabat organisasi kemasyarakatan, pernah menjadi anggota DPRD, apalagi kalau sudah pernah menjabat bupati di daerah lain. Selama yang bersangkutan memegang jabatan tersebut, adakah program-program spektakuler yang pernah dibuat. Atau programnya biasabiasa saja, tidak memberi dampak besar terhadap kepentingan masyarakat. Dia menjalankan program hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Selama ia menjabat, adakah sesuatu kepentingan besar masyarakat yang ia perjuangkan. Atau jangan-jangan saat dia memegang jabatan itu hanya bekerja untuk kepentingan proyek, mengeruk untung dari proyek itu. Jika itu yang terjadi celakalah kita memilih pemimpin yang tidak mengedepankan kepentingan masyarakat.
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

37

Demikian halnya dalam mengukur kekayaan seorang calon. Seorang mantan pejabat, misalnya, dia memiliki banyak harta. Sementara yang bersangkutan tidak memiliki bisnis di luar. Suaminya atau istrinya hanya pegawai biasa. Apalagi jika suami atau istrinya tidak memiliki pekerjaan. Tidak ada harta warisan dari orang tua yang banyak. Banyak simpanan uang di bank dan sebagainya. Lalu tibatiba dia memiliki banyak harta. Padahal di sisi lain gajinya bisa diukur. Kebutuhan rumah tangganya bisa ditaksir. Anaknya banyak. Ada yang sekolah di luar negeri atau di sekolah di tempat yang mewah. Belum lagi kalau dia memiliki istri simpanan. Beternak mobil dan rumah. Dari mana dia mendapatkan harta sebanyak itu? Entalah. Itulah sebabnya kita penting mengetahui jejak-jejak seorang calon. Sehingga tidak asal menjatuhkan pilihan. Bukan berarti kita sewot, iri, gila urusan orang lain, tetapi ini terkait dengan jabatan publik yang akan diemban yang bersangkutan. Jika yang bersangkutan bukan pejabat publik, kita tidak perlu pusing. Itu urusan dia. Dia membangun istana, membeli rumah mewah di Jakarta, beternak mobil, menambah istri sekalipun, itu urusan yang bersangkutan karena dia bukan pejabat publik yang rentan dengan urusan keuangan rakyat. Dia bukan orang penting yang bersentuhan dengan kebijakan orang banyak. ***

Donggala Juga Butuh Semangat Jokowi


Jujur, komitmen, kreatif/inovatif dan memiliki jaringan yang luas tidak cukup menjadi modal seorang pemimpin jika ia tidak memiliki keberanian dalam mengambil keputusan. Tidak berani melakukan terobosan baru. Tidak berani berkorban untuk kepentingan rakyat. Tidak berani mempertaruhkan jabatannya untuk kepentingan rakyat. Tidak berani bertindak atas nama kebenaran.
JIKA saya ditanya, sosok calon pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Donggala lima tahun mendatang. Jawabnya, masyarakat Donggala butuh sosok seperti Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Mungkin terlalu ideal dan sulit mencari sosok sekaliber Jokowi, tapi paling tidak mendekati kriteria yang dimiliki Jokowi. Pengamatan saya dari berbagai referensi bacaan, setidaknya Jokowi memiliki lima kriteria yang perlu ditransfer ke calon bupati Donggala maupun calon legislatif. Tentu saja, pilihan kita berbeda soal kriteria calon pemimpin ini. Lima kriteria calon tersebut sebagai berikut; 1. Jujur Jujur dalam kamus bahasa Indonesia artinya lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Mencari pemimpin yang jujur bukanlah hal yang mudah. Pemimpin

38

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

39

jujur itu semakin langka. Tidak semua calon pemimpin mengantongi kriteria ini. Sederhananya, jika pemimpin tidak jujur, maka pasti ia akan membohongi rakyat yang ia pimpin. Ia tidak akan jujur terhadap anggaran. Tidak jujur terhadap aturan. Tidak jujur dalam menjalankan amanah. Dengan demikian maka pemerintahannya tidak akan mampu mengemban amanah pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Oleh sebab itu kita butuh pemimpin yang jujur. Jujur terhadap masyarakat maupun jujur terhadap dirinya sendiri. Donggala butuh pemimpin yang jujur melaporkan harta kekayaannya terhadap negara. Ia jujur terhadap sumber-sumber harta yang ia peroleh sebelumnya. Pemimpin yang jujur tidak akan pernah menyembunyikan dari mana harta yang ia peroleh. Untuk ukuran pegawai negeri sipil yang memiliki gaji terbatas, misalnya, tidak mungkin menjadi milyuner, jika ia tidak memiliki bisnis di luar kerjanya. Tidak mungkin ia menjadi kaya, jika tidak menerima suap. Seorang bupati tidak akan menjadi milyuner jika hanya mengharap gaji. Tunjangan seorang bupati hanya berkisar tujuh juta rupiah per bulan. Jika kriteria jujur ini terpenuhi maka bisa dipastikan calon pemimpin itu juga bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Jika ia calon pemimpin yang jujur maka ia pasti akan menjadi pemimpin yang berakhlak terpuji dan patuh terhadap penciptanya. 2. Komitmen Komitmen artinya perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu atau kontrak. Kriteria yang satu ini tidak kalah pentingnya dengan kejujuran. Kita butuh pemimpin yang memiliki komitmen tinggi. Komitmen terhadap janji politiknya. Komitmen membangun daerah, komitmen memperjuangkan kepentingan rakyat, komitmen mengangkat masyarakat dari kemiskinan,
40
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

komitmen membangun rakyat dari keterisolasian, dan komitmen untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Bupati yang memiliki komitmen tidak mudah diintervensi oleh siapapun. Apalagi jika intervensi datangnya dari pengusaha. Bupati harus memiliki otoritas untuk memperjuangkan kepentingan masyarakatnya. Bukan kepentingan kelompok sebagian kecil orang yang ingin menambang uang dari jabatan tersebut. 3. Kreatif dan Inovatif Kreatif dalam kamus bahasa Indonesia artinya memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yang -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi. Sementara inovasi adalah pemasukan atau pengenalan halhal yang baru; pembaharuan: Penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Tidak sedikit orang yang memiliki ambisi menjadi pemimpin di negeri ini. Tetapi hanya ingin menjadi pemimpin tidak cukup, jika tidak memiliki daya cipta atau pembaharuan. Pemimpin tidak sekadar memerintah, tetapi bagaimana ia bisa menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi orang banyak. Donggala butuh pemimpin yang kreatif mencari anggaran dari pusat mengingat luasnya Kabupaten Donggala yang harus dibiayai. Donggala butuh pemimpin kreatif mencari investor, karena banyak sumber daya alam yang belum bisa dikelola maksimal karena keterbatasan dana. Tidak ada modal yang mampu menggerakkan masyarakat sehingga sumber daya alam yang tersedia tidak bisa digerakkan untuk kesejahteraan rakyat. Donggala butuh pemimpin yang kreatif membangun sumber daya manusa karena tiap tahun
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

41

banyak putera-puteri Donggala yang tidak bisa mendapat pekerjaan karena minimnya sumber daya manusia. Donggala butuh pemimpin yang kreatif menggerakkan aparatur pemerintah sehingga bekerja sebagaimana fungsi dan tugasnya. Lihat saja, Jokowi dan Ahok. Gubernur dan wakil gubernur fenomenal di Indonesia yang berani melakukan inovasi dalam pengangkatan kepala dinas. Mereka melelang jabatan kepala dinas. Siapa yang bersedia sepanjang tidak melanggar ketentuan, tandatangani kontrak kinerja. Bagi yang tidak mampu mundur. Donggala tidak butuh pemimpin yang hanya pandai di belakang meja. Hanya perintah sana, perintah sini tanpa memberikan solusi. Donggala sebagai kabupaten tertua di Sulawesi Tengah dalam lima tahun mendatang butuh loncatan program sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan Donggala tidak boleh hanya diserahkan pada kemauan alam, tetapi perlu sentuhan kebijakan yang progresif. 4. Memiliki Jaringan Luas Jaringan (networking) dibutuhkan karena Donggala masih membutuhkan pembangunan di berbagai sektor. Di sektor keuangan misalnya, membangun Donggala tidak cukup hanya mengandalkan APBD-nya. Perlu dukungan APBN, APBD provinsi dan swasta. Hanya bupati yang memiliki pengalaman dan jaringan luas bisa melakukan itu. Donggala juga harus tersebar di seantero dunia sehingga dikenal luas. Perjuangan untuk itu butuh jaringan yang luas dari bupati dan segenap anggota DPRD-nya. 5. Berani dan tegas Jujur, komitmen, kreatif/inovatif dan memiliki jaringan yang luas tidak cukup menjadi modal seorang pemimpin jika ia tidak memiliki keberanian dalam mengambil keputusan. Tidak berani melakukan terobosan
42
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

baru. Tidak berani berkorban untuk kepentingan rakyat. Tidak berani mempertaruhkan jabatannya untuk kepentingan rakyat. Tidak berani bertindak atas nama kebenaran. Tidak berani mengganti kepala dinas yang malas. Tidak berani bertindak jika daerahnya dirampas oleh pemodal untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, Donggala ke depan butuh pemimpin berani dan tegas. Lima kriteria calon bupati/wakil bupati atau anggota DPRD tersebut di atas sudah cukup bagi saya dijadikan pegangan dalam menjatuhkan pilihan di Pilkada Donggala 4 September 2013 juga Pemilu 9 April 2014. Lima kriteria ini ada pada Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Donggala butuh figur seperti Jokowi. ***

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

43

Demokrasi Bohong-bohongan
Masih teringat cerita dulu, karena perbedaan pilihan calon kepala desa, hubungan sosial di desa itu jadi renggang. Saling tidak tegur sapa. Ketemu di jalan saling cuek. Padahal kebun-kebun mereka di kampung, masih berdampingan. Semua itu terjadi karena kita memahami demokrasi sebatas merebut kekuasan. Sebatas hanya jalan memilih calon pemimpin. Belum dipahami sebagai jalan untuk membangun kesejahteraan bersama.
PARA penyeru perdamaian pasti memimpikan suasana damai. Suasana tentram, aman dan nyaman. Para penyeru demokrasi pasti ingin kehidupan demokrasi yang sehat. Kehidupan yang saling menghargai dan menghormati perbedaan. Kecuali provokator yang selalu bahagia jika terjadi kekacauan. Terjadi ketidakpastian dalam banyak hal. Apa hubungan perdamaian dan provokator dengan Pilkada dan Pemilu? Banyak peristiwa di beberapa daerah yang menjadi cerita buram dari sejarah Pilkada. Mulai dari yang tampak nyata di permukaan hingga yang tak tampak nyata. Mulai dari pembakaran fasilitas publik karena tidak puas, tidak tegur sapa, melancarkan serangan di media massa, kelemahan lawan politik dicari-cari, hingga pada renggangnya hubungan keluarga. Bahkan ada yang satu rumah tidak saling tegur sapa karena perbedaan pilihan. Inilah wajah demokrasi bohong-bohongan. Di luar,
44
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

dia berteriak demokrasi, menyerukan penghormatan atas perbedaan, tapi dalam praktiknya, di dalam, dia justru yang tidak mengamalkannya. Lain di bibir lain di hati. Kekhawatiran ini menghinggapi saya dalam Pilkada Donggala 2013 dan Pemilu 2104. Saya khawatir kelak ada calon yang tidak puas lalu melancarkan serangan dengan berbagai cara. Kalau begitu, jadilah demokrasi kita, demokrasi bohong-bohongan. Demokrasi lain di bibir lain di hati. Masih teringat cerita dulu, karena perbedaan pilihan calon kepala desa, hubungan sosial di desa itu jadi renggang. Saling tidak tegur sapa. Ketemu di jalan saling cuek. Padahal kebun-kebun mereka di kampung, masih berdampingan. Semua itu terjadi karena kita memahami demokrasi sebatas merebut kekuasan. Sebatas hanya jalan memilih calon pemimpin. Belum dipahami sebagai jalan untuk membangun kesejahteraan bersama. Itu dulu. Sekarang saya berkeyakinan masyarakat sudah beranjak dewasa. Meskipun masih ada yang berpikiran seperti dulu, itu ciri masyarakat yang belum maju. Dalam banyak kasus, biasanya bukan karena masyarakatnya yang tidak dewasa, tapi calon pemimpinnya yang kadang egois, tidak mau mengalah. Padahal dia seorang tokoh. Masyarakat akhirnya ikut terbawa arus. Supaya dibilang pengikut setia, mereka pun rela menjadi pemimpin 'perang'. Nyawa pun mau dipertaruhkan hanya untuk kepentingan politik. Masih bagus kalau keputusannya itu benar, langkah-langkah penyelesaian rasional, tidak menimbulkan ekses negatif. Kalau tidak, celakalah kita. Untuk meminimalisir konflik politik Pilkada dan Pemilu, biasanya lembaga penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) mengajak calon bupati menandatangani pakta integritas. Berbagai seruan Pilkada/Pemilu damai pun bertebaran di mana-mana. Walau pun sudah ada upaya
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

45

seperti itu, kadang masih terjadi kekacauan di momen pesta demokrasi itu. Akibatnya, ongkos yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampaknya akan lebih banyak. Sudah dikuras APBD untuk membiayai Pilkada, beban pembiayaan terhadap kerusakan fasilitas publik pun tergerus. Belum lagi dampak sosial berupa gangguan keamanan dan disharmoni. Sementara masih banyak kebutuhan lain yang menunggu suntikan anggaran. Pilkada akhirnya berbuah petaka. Kekacauan pesta demokrasi memang tidak selalu berdiri sendiri. Banyak sumbu-sumbu penyebab terjadinya kekacauan. Mulai dari tidak jujurnya wasit pemilu, banyaknya intervensi dari penguasa, keberpihakan pemerintah kepada salah satu calon peserta pemilu, kampanye hitam yang menyerang calon lain, minimnya pengawasan, dan kurangnya pemahaman terhadap aturan dan sebagainya. Pemantik kekacauan itu mestinya tidak ada. Semua harus menjalankan tugas dan fungsinya secara benar. Semakin banyak masyarakat yang terlibat mengawasi pilkada/pemilu semakin baik hasilnya. Di sinilah pentingnya peran kita. Kita tidak ingin menambah catatan buram sejarah Pilkada di negeri ini. Ini harus dibangun dari para calon bupati, para tim sukses, penyelenggara pemilu, pemerintah dan masyarakat. Harus ada kesepakatan bersama untuk mewujudkan demokrasi yang sehat. Kesepakatan memilih calon pemimpin dengan jalan damai. Kita harus mewujudkan substansi demokrasi yakni untuk kesejahteraan bersama. Bukan sekadar demokrasi mencari kekuasaan, demokarasi mencari pemimpin, demokrasi di tempat pemungutan suara. Itu hanya jalan demokrasi. ***

Apa Kabar Pemilih Pemula


Begitu bahayanya. Pemilu bukan lagi dipahami sebagai proses atau jalan mencari pemimpin yang berkualitas, tapi dipahami sebagai satu momentum untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Masa depan kualitas pemilu di Indonesia tidak terlepas dari proses pendidikan politik terhadap generasi baru. Baik pendidikan politik yang dilalui, baik pula hasilnya. Begitu sebaliknya, kalau sudah buruk awalnya maka tugas berat kita semua untuk memperbaikinya.
SUATU hari, saya mewawancarai Pakar Politik Universitas Tadulako Dr. Darwis M.Si tentang pemilih pemula. Darwis adalah salah seorang putera daerah Donggala dari Sojol. Sejak kuliah strata satu (S1) di Makassar hingga doktor di Universitas Gadja Madah, Yogyakarta, semuanya di bidang ilmu politik. Karir akademisnya berkesinambungan. Anak muda ini pantas disebut pakar politik. Saya kagum dengan beberapa analisisnya tentang potensi dan ancaman bagi pemilih pemula. Siapa pemilih pemula itu? Mereka adalah warga yang berusia 18 tahun atau sudah menikah. Saya belum menemukan data berapa banyak jumlah pemilih pemula di Donggala dan Sulawesi Tengah. Yang pasti pemilih pemula adalah massa yang mengambang karena belum bersentuhan dengan ideologi partai tertentu atau calon bupati tertentu. Karena mengambang itulah sehingga
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

46

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

47

menjadi rebutan semua partai politik dan calon bupati. Menurut Darwis, biasanya massa mengambang itu gampang terpengaruh sehingga cara-cara yang dilakukan untuk mempengaruhi mereka pun dengan cara instan. Contoh dengan cara diberikan uang atau berikan hiburan artis. Pemilih pemula atau pemilih baru belum mengenal banyak tentang liku-liku dunia politik. Masih lugu. Karena keluguan itulah sehingga pemilih pemula perlu diberikan pemahaman yang mendidik tentang politik. "Pendidikan politik yang mencerdaskan dan bukan dengan pendidikan politik uang," kata Darwis. Pemahaman politik yang dimaksud bukan sekadar bagaimana cara mencoblos, melipat dan memasukkan kertas suara di kotak, tapi lebih jauh yakni tentang substansi dari politik itu sendiri. Harapan kita, pemilih pemula mau datang ke tempat pemungutan suara bukan karena bujukan uang atau karena dimobilisasi, tetapi datang karena kesadarannya. Dia datang karena siapa yang dia pilih, diyakini bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat. "Dia mau memilih si A, misalnya, karena ia melihat perjuangan si A itu bagus untuk dirinya dan masyarakat," kata Darwis. Sebagai pemula, biasanya pengalaman pertama yang mereka peroleh akan terbawa terus menerus. Artinya, jika sejak awal pemilih pemula sudah terbiasa terlibat dalam politik uang, politik belas kasihan karena sudah menerima sesuatu pemberian dari sang calon, maka ini akan terbawa secara terus menerus dari pemilu ke pemilu. Seakan-akan setiap ada pemilihan bupati atau pemilu identik dengan bagi-bagi uang, bagi-bagi kebutuhan pokok, bagi-bagi baliho dan sebagainya. Begitu bahayanya. Pemilu bukan lagi dipahami sebagai proses atau jalan mencari pemimpin yang berkualitas, tapi dipahami sebagai satu momentum untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Masa depan kualitas pemilu di Indonesia tidak terlepas dari proses
48
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

pendidikan politik terhadap generasi baru. Baik pendidikan politik yang dilalui, baik pula hasilnya. Begitu sebaliknya, kalau sudah buruk awalnya maka tugas berat kita semua untuk memperbaikinya. Pemilih pemula adalah potensi baru yang diharapkan bisa membawa perbaikan demokrasi di tanah air. Pemilih pemula perlu disentuh dengan pemahaman yang baik tentang memilih seseorang calon pemimpin dan partai politik. Pemilih pemula harus diberikan akses yang luas untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang menjadi pilihannya. Dia harus memilih calon pemimpin tepat, misalnya, calon yang tidak memiliki rekam jejak buruk di masyarakat. Calon yang tidak pernah dipenjara karena korupsi, calon yang tidak pernah dipenjara karena membunuh, calon yang tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, calon pemimpin yang tidak suka menyuap demi kepentingannya. Dengan demikian, pemilih pemula sebagai ujung tombak harapan bangsa bisa menggunakan hak pilihnya dengan cerdas. Tugas siapa memberikan pendidikan politik? Tentu saja ini tugas partai politik, penyelenggara pemilu dan masyarakat terdidik secara politik seperti dosen dan guru. Partai politik sebagai pemilik aset pemilih pemula memiliki tanggungjawab besar dalam merawat pemilih pemula. Partai jangan hanya sibuk mengurus kampanye lalu mengabaikan pendidikan politik yang mencerdaskan bagi pemilih pemula. Untuk apa dia ikut memilih, apa fungsi dan hakikat pemilu, kepada siapa dia harus menitipkan amanah dan sebagainya. Metode pendidikannya pun harus dua arah. Berikan ruang kepada pemilih pemula untuk bertanya atas hal-hal yang ingin ia tahu. Dalam beberapa kesempatan, saya pernah mendengar seorang politisi muda merawat pemilih pemula dengan pendekatan preman. Ia mendekatkan diri ke pemilih pemula dengan menyajikan hiburan band dan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

49

menghamburkan minuman keras. Ada pesta pora dengan minuman keras dengan penyanyi seksi. Lewat pesta minuman keras itulah ia kemudian bisa dikenal dengan pemilih pemula. Biar lebih akrab, ia juga kadang menyuplai minuman keras dalam waktu tertentu. Bagi mereka yang sudah termakan dengan pendekatan itu kemudian simpati dengan calon politisi yang bersangkutan. Politisi itu kemudian dipuja sebagai calon pemimpin yang peduli dengan generasi muda. Ini masalah serius yang kadang masih dijumpai di masyarakat. Cara ini dianggap ampuh dalam membangun hubungan dengan pemilih pemula. Tidak heran, jika calon dari kalangan agamis (ustadz) bisa kalah dari cara-cara preman. Ini ironis dalam negara yang sedang belajar berdemokrasi. ***

Yang Mendesak, Yang Penting

Dari kondisi geografis ini maka salah satu yang mendesak dibangun di Donggala adalah membangun kawasan bisnis baru berbasis agrobisnis-maritim.

UNTUK membangun Donggala menjadi daerah yang maju diperlukan program yang berkesinambungan dan sinergi dengan visi-misi pemerintah provinsi dan program nasional. Jika keinginan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat mengepakkan sayap ke zona barat, maka Donggala juga harus mengarahkan kemudinya ke zona barat. Bukan ke zona utara atau selatan. Kapan tujuan berbeda, tidak akan pernah ketemu. Bahkan sampai kiamat pun tidak pernah tercapai. Begitu halnya dengan pembangunan di daerah. Jika provinsi ingin maju dan sejajar dengan provinsi lainnya yang lebih maju di kawasan timur Indonesia, maka kabupaten juga harus mengejar target yang sama. Bagaimana caranya, itu tergantung dari cara cerdas masing-masing bupati. Seandainya saya memilih di Donggala pada Pilkada 4 September 2013 dan Pemilu 2014 maka saya mengajukan rencana program kepada calon bupati. Program yang bisa
50
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

51

menjadi titik awal sejarah peradaban baru di daerah ini. Peletakkan sejarah itu akan difokuskan pada dua titik penting yakni ujung Donggala bagian selatan dan Donggala di bagian utara. Ini menjadi pilihan karena dua titik ini berada di daerah perbatasan dua provinsi dan kabupaten. Sebelum membahas program itu ada baiknya kita memetakan Kabupaten Donggala dalam kerangka geografis dan demografis. Secara geografis Kabupaten Donggala berada pada posisi strategis. Daerah ini secara umum, dari utara (Pantai Barat) berbatasan dengan Tolitoli, sampai ke selatan (Banawa), berbatasan dengan Sulawesi Barat, berhadapan dengan maritim, Selat Makassar. Masyarakat Donggala juga bisa dibilang sebagai masyarakat maritim. Hampir setengah dari jumlah desanya berada di pesisir. Posisinya berhadapan dengan Kalimantan, daerah yang selama ini menjadi incaran dunia investasi. Sejarah orang-orang tua kami dulu, mereka lebih banyak menjalin hubungan bisnis dengan Kalimantan secara konvensional. Masyarakat Donggala lebih akrab berbisnis ke Kalimantan dari pada ke Palu. Orang-orang tua kami sejak awal sudah berdagang sapi ke Kalimantan. Menjual pasir dengan perahu layar ke Kalimantan. Menjual kelapa biji sampai membawa beras bahkan masyarakat kita berani berbisnis berisiko tinggi dan terlarang yakni menjual kayu hitam (eboni). Kultur masyarakat yang sudah terbangun sejak dulu ini adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan. Orang gampang membaca sejarah, menulis sejarah, tapi tidak semua orang mampu membuat sejarah. Pendahulu kita sudah membuat sejarah peradaban bisnis dengan Kalimantan. Kondisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Masyarakat Donggala, khususnya pria, lebih memilih ke Kalimantan mengadu nasib mencari kerja dibanding ke Palu. Kalimantan memang memiliki daya pikat yang luar biasa.
52
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Sekarang tidak sedikit orang Donggala yang sudah meraih sukses di sana. Bahkan ada yang menjabat kepala desa hingga wali kota. Orang-orang Donggala yang terdidik sudah mulai merangsek ke partai politik. Beberapa warga Donggala sudah menjadi pengurus partai politik di Kalimantan. Sedikit lagi, orang-orang berdarah Donggala sudah menjadi pemimpin di sana. Kini sudah ada yang menjadi pemimpin dalam komunitas perusahaan. Menjadi mandor di perkebunan sawit, memimpin preman di pelabuhan dan sebagainya. Ini potensi yang perlu disikapi, perlu digarap secara serius. Donggala bagian utara (Pantai Barat) merupakan daerah transit. Daerah ini terhubung dengan Tolitoli dan Parigi Moutong. Juga terhubung dengan Manado dan Gorontalo. Letak geografis ini sangat potensial untuk mendukung Donggala bagian Pantai Barat menjadi trans bisnis. Pebisnis dari Parigi Moutong, Gorontalo dan Manado yang memiliki jaringan bisnis ke Kalimantan lebih efektif dan efesien jika melewati pantai barat dibanding ke Pantoloan. Persoalannya sekarang, bagaimana mungkin para pelaku bisnis dari Tomini, Tinombo, Moutong, Gorontalo, Bolaang Mongondo dan Manado mau melintas di Pantai Barat jika tidak ada infrastruktur pelabuhan di sana. Jalan yang sempit. Tidak ada fasilitas pergudangan. Tidak ada hotel/penginapan yang repsentatif. Tidak ada pusat pelayanan pemerintahan dan sebagainya. Dari kondisi geografis ini maka salah satu yang mendesak dibangun di Donggala (Pantai Barat) adalah membangun kawasan bisnis baru berbasis agrobisnis-maritim. Pembangunannya harus dilakukan secara terencana, melalui studi kelayakan dan obeservasi, sistematis, berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak terutama pemerintah pusat dan swasta. Tugas bupati terpilih adalah bagaimana meyakinkan pemerintah pusat dan swasta agar terpanggil membantu Pemerintah Donggala merealisasikan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

53

pembangunan kawasan bisnis ekonomi baru itu. Kenapa pusat kawasan bisnis berbasis agrobisnismaritim yang perlu dibangun? Alasannya jelas, potensi paling besar untuk jalur perdagangan dan distribusi produksi hasil pertanian dan perkebunan di Donggala wilayah utara adalah Kalimantan. Bahkan jalur ini juga masuk jalur perdagangan internasional. Kita perlu membangun pelabuhan untuk memperpendek jarak dan mempercepat distribusi barang. Petani di Pantai Barat tidak perlu lagi melalui Kota Palu, lalu ke Kalimantan. Hasil-hasil produksi pertanian tidak sempat busuk sudah sampai ke Kalimantan. Kalau melintas lewat Palu lagi, ada rentang waktu yang dilalui sehingga hasil-hasil pertanian seperti sayur mayur dan buah-buahan membusuk baru sampai ke Kalimantan. Selain itu ongkosnya juga besar. Jika ada pelabuhan di Pantai Barat, jalan di perlebar, jalan baru yang terhubung ke Parigi Moutong ditambah. Jalan poros Tambu-Kasimbar diperlebar. Praktis akan memancing geliat ekonomi di sekitarnya. Pelaku bisnis dari Teluk Tomini, Parigi Moutong, Gorontalo dan Manado akan melirik ini sebagai potensi baru. Ada jalan bisnis baru. Ada peluang baru membangun penginapan/hotel, membangun rumah makan, membangun rumah tokoh dan usaha-usaha produktif lainnya. Masyarakat akan termotivasi bekerja, memanfaatkan lahan-lahan tidur karena akses pasarnya sudah dekat. Kelak akan tercipta pusat pertumbuhan ekonomi baru, sehingga ekonomi tidak hanya berputar di ibu kota provinsi semata, tetapi sudah terdistribusi ke daerah sekitarnya. Seingat saya, sudah banyak hasil penelitian kerjasama pemerintah daerah dengan perguruan tinggi terkait pusat pertumbuhan ekonomi baru, tapi kenapa tidak pernah direalisasikan. Padahal sudah banyak anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai penelitian
54
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

itu. Memang untuk membangun pusat pertumbuhan kawasan bisnis baru tidak semudah menyalakan kompor gas. Perlu studi, survei, komitmen dan dukungan politik oleh semua pihak termasuk dukungan masyarakat. Tetapi itu bukan menjadi hambatan. Jika tidak dimulai sekarang kapan lagi. Sementara pertumbuhan penduduk tidak bisa dibendung. Kebutuhan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu. Di mana pusat kawasan bisnis baru itu mau dibangun, itu urusan nanti. Tergantung hasil studinya, kelayakannya, daya dukung tempatnya, efesiensi dan efektivitasnya. Jika misalnya itu dibangun di Desa Tambu. Maka kita butuh keikhlasan Masyarakat Tambu untuk membebaskan lahannya. Menjaga keamanan dan mendukung kebijakan pemerintah daerah. Tapi ini hanya pikiran saya. Hanya cita-cita saya, yang ingin Donggalaku maju dan memimpin pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah. Mungkin calon bupati atau Calon Anggota Legislatif (Caleg) mempunyai cita-cita lain. Saya juga belum pernah mendengar atau berdiskusi dengan para calon bupati itu. Masih secara geografis. Donggala juga memiliki bentangan pantai yang panjang. Karakter wilayah ini merupakan potensi besar bagi masyarakat untuk terjun dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan. Banyak masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan. Tapi tidak sungguh-sungguh. Pekerjaan nelayan hanya sampingan. Bukan pekerjaan serius. Sambil menunggu musim panjat kelapa, musim panen kakao, musim tanam sawah, maka laut menjadi pelarian. Sekadar mengail agar tidak keluar uang membeli ikan. Jadilah masyarakat kita menjadi nelayan tradisional, sehingga belum melirik potensi perikanan dan kelautan sebagai industri yang menjanjikan. Kenapa? Pemerintah selama ini hanya memberikan bantuan katinting. Bantuan ala kadarnya saja. Seberapa mampu perahu mesin katinting menjangkau
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

55

potensi ikan. Paling jauh mungkin 10 kilometer. Sementara potensi ikan besar ada di laut lepas. Butuh kapal besar. Bukan katinting. Kenapa potensi laut dan perikanan belum menjadi andalan utama? Ya itu tadi, karena nelayan kita tidak didukung peralatan memadai. Belum ada investasi perikanan besar yang berdiri di sana. Belum ada tempat pendaratan ikan. Belum ada tempat pengawetan ikan. Belum ada pabrik es. Listrik pun kadang-kadang. Kadang menyala, lebih banyak padamnya. Kondisi ini tidak mendukung. Sebagai masyarakat maritim, jika tidak segera disikapi secara serius akan terancam oleh derasnya kapitalisasi alat tangkap yang datang dari luar mengambil potensi perikanan di Donggala. Masyarakat akhirnya hanya menjadi penonton. Hanya menjadi masyarakat pendengar tentang cerita menggiurkan hasil tangkapan ikan oleh teknologi modern. Masyarakat nelayan kita terus terpinggirkan. Padahal salah satu ciri masyarakat maritim adalah masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi dan suka terhadap tantangan. Masyarakat nelayan kita terlambat menyesuaikan dengan gelombang modernisasi alat tangkap. Penetrasi nelayan kita lambat terhadap teknologi alat tangkap karena tidak ada keseriusan pemerintah. Pengadaan kapal nelayan, malah dikorupsi. Pemerintah lebih suka membangun wisma puluhan miliar dari pada membeli kapal nelayan. Untung belakangan ini ada program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan bantuan kapal hibah 20 gross ton. Tapi belum memadai karena tidak semua nelayan bisa tertampung. Kebijakan pemerintah untuk membantu nelayan dengan kapal motor dilakukan saat potensi perikanan sudah digasak oleh orang luar. Peluang untuk memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan sangat besar karena zona laut di pantai barat
56
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

khususnya tidak masuk dalam Zona Cagar Alam. Keuntungan ini tidak membatasi ruang gerak nelayan untuk menangkap dan memanfaatkan potensi kelautan. Apalagi yang penting? Pantai Barat potensi kakaonya besar. Sawahnya luas. Masih banyak hutan yang belum digarap. Banyak pohon kelapanya. Lalu kenapa masyarakat masih mengeluh? Karena harga kakao tidak stabil, harga kopra selalu melorot. Masyarakat tidak boleh sembarang membabat hutan. Kayu yang hanya untuk dipakai bangun rumah pun dicurigai. Padahal tidak sedikit penjahat hutan berdasi berkeliaran di negeri ini berkedok investasi perkebunan. Kenapa harga kopra selalu melorot. Karena tidak ada pabrik pengolahan minyak kelapa. Produksi kopranya hanya dijual kepada pedagang pengumpul. Hanya jadi gadaian kepada mandor-mandor kopra di kampung. Tidak ada industri hilir yang siap menangkap itu. Sabut kelapa hanya jadi sampah. Tidak ada perusahaan daerah yang mau memanfaatkan itu sebagai potensi industri hilir untuk alas kasur, untuk mebel atau untuk dindinding kedap suara. Kreativitas pemerintah masih rendah untuk menemukan teknologi baru. Padahal Pantai Barat gudangnya kelapa. Produksi kelapa pada tahun 2010 mencapai 47.482 ton. Kalau diuangkan dengan estimasi harga Rp1000 per kilogram berarti ada uang yang beredar di kantong rakyat sebanyak Rp47 miliar per tahun dari kelapa. Itu baru dari buahnya. Belum sabut dan tempurungnya. Begitu juga dengan kakao kita cenderung lesu. Produksi kakao dari waktu ke waktu terus merosot tajam. Coba lihat data statistik Donggala Dalam Angka 2011. Produksi tanaman kakao tahun 2010 hanya 14.414 ton. Dibanding tahun 2009 lebih banyak yakni 22.161 ton. Produksi turun sekitar 7.747 ton. Artinya, jika harga kakao rata-rata Rp20 ribu per kilogram, maka petani kakao kita
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

57

kehilangan pendapatan sekitar Rp154 miliar. Jumlah yang tidak sedikit. Bisa dibayangkan kalau kita lebih serius mengurus kakao. Jika tadinya produksi kakao hanya 22 ribu ton per tahun, bisa naik menjadi dua kali lipat yakni 44 ribu ton per tahun. Kalau diuangkan dengan estimasi harga Rp20 ribu per kilogram berarti ada uang yang beredar di masyarakat sebanyak Rp880 miliar. Jumlah yang lebih banyak dari APBD Donggala dalam setahun. Kebijakan pembangunan di daerah tampaknya belum berorientasi pada sektor agraris. Keadaan agraris kadang masih diabaikan, sementara lebih dari separuh jumlah penduduk di Sulawesi Tengah hidup dari sektor agraris. Kalau ekonomi masyarakat kita kuat, pemerintah tidak perlu pusing dengan bantuan langsung tunai. Pemerintah tidak perlu pusing dengan pendidikan gratis. Pemerintah tidak perlu keluarkan anggaran untuk rehab rumah ibadah, karena ekonomi masyarakat kita sudah kuat. Tapi kalau ekonomi masyarakat lemah, wajar kalau masyarakat kita kemudian berharap uluran tangan pemerintah. Bupati Donggala dan Anggota DPRD terpilih sebetulnya tidak perlu terlalu pusing dengan program macam-macam yang sulit dijangkau. Studi banding sanasini. Hanya bikin habis uang APBD. Perkuat saja perkebunan kakao, kelapa dalam, kopi, peternakan dan sebagainya. Perbaiki akses pasarnya, jaga mutunya. Sudah jelas di sana ada potensi pendapatan. Tidak perlu pusing cari investor mau kelola tambang. Justru itu hanya merusak lingkungan. Orientasi pemerintah kita sekarang cenderung mengelola sumber daya alam secara eksploitatif. Menghambur Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sudah banyak gunung yang dicukur investor dengan menjual materialnya ke Kalimantan sampai ke Papua. Padahal yang untung besar hanya investor, masyarakat tetap susah. Pemerintah
58
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

daerah hanya mendapat retribusi dari pemuatan materialnya. Investor mandi uang, rakyat mandi debu. Rumah rakyat disapu banjir karena lingkungan rusak sementara investornya berpesta pora di hotel-hotel mewah. Jika bencana terjadi, ongkos yang dikeluarkan untuk membiayai kerusakan dan risiko sosial lebih banyak dibanding pendapatan daerah. Pemanfaatan sumber daya alam secara eksploitatif sudah harus dihentikan. Lebih arif jika pemerintah ke depan memperkuat potensi kearifan lokal di sektor pertanian. Jangan lagi masyarakat kita diiming-imingi program yang sulit dijangkau. Misalnya dengan perkabunan sawit. Sejarah masyarakat agraris di Donggala tidak familiar dengan sawit. Masyarakat lebih familiar dengan kebun kakao, kelapa dalam, kopi, melaut, beternak dan menggarap sawah. Ini mestinya yang perlu diperkuat. Masalahnya, bagaimana perkebunan kakao kita mau kuat kalau hama penggerek buah dan batang saja tidak pernah musnah. Pestisida mahal. Usia kakao sudah tua. Program Gerakan Nasional (Gernas) perbaikan mutu kakao tidak merata. Itu pun orientasinya lebih dominan proyek dari pada pemberdayaan. Rencana program tidak transparan. Banyak masyarakat tidak tahu apa maunya pemerintah. Rencana bangun pabrik kakao hanya habis diomongan. Hanya habis di forum-forum diskusi. Hanya ramai di pemberitaan media massa. Hanya rajin mengunjungi pameran investasi sampai ke luar negeri. Sudah banyak kebun kakao masyarakat yang rusak, pabrik kakao tak kunjug dibangun. Tidak ada upaya serius percepatan menangkap kebutuhan masyarakat. Uang APBD lebih banyak diserap ke program-program koordinasi, perjalanan dinas, makan minum, dari pada belanja modal. Kenapa tidak dimaksimalkan saja untuk bantu petani kakao, petani kelapa, petani kopi. Apakah karena mengurus petani itu tidak ada uang perjalanan dinasnya
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

59

sehingga kita tidak mau serius mengurus. Entahlah. Bagaimana dengan peternakan. Ini juga tidak kalah besar potensinya dengan pertanian dan perkebunan. Sektor peternakan kita masih didukung dengan areal yang luas. Suatu hari saya terlibat diskusi dengan Dekan Fakultas Peternakan Untad, Prof. Dr. Kaharuddin Kasim, MSi. Beliau putera kelahiran Sabang, Kecamatan Damsol. Kami diskusi, mengkaji bagaimana prospek peternakan. Sederhana jawaban profesor itu. "Harga daging itu tidak ada sejarahnya turun. Malah cenderung naik. Semakin banyak penduduk, semakin tinggi konsumsi daging. Harga daging juga akan semakin mahal," kata Kaharuddin. Betul kata Pak Profesor. Sekarang harga seekor sapi, berkisar tujuh juta sampai delapan juta. Lima tahun lalu harganya mungkin hanya empat sampai lima juta. Luar biasa kenaikannya. Begitu juga dengan kambing. Harga sekarang berkisar dua juta rupiah per ekor sampai tiga juta per ekor. Ternak lainnya juga berharga seperti kerbau, kuda, domba, babi, dan unggas. Populasi sapi tahun 2010 sebanyak 30.422 ekor, kambing 22.941 ekor, kerbau 55 ekor, kuda 85 ekor, domba 170 ekor dan babi 5.405 ekor. Potensi ayam juga lumayan. Jenisnya juga beragam ada ayam ras broiler, ayam ras petelur, ayam buras dan itik. Itu semua potensi peternakan yang nilainya tinggi. Tidak sedikit putera-puteri bangsa ini pendidikannya dibiayai dari peternakan. Termasuk saya. Dulu waktu paceklik kakao di kampung, orang tua saya menjual sapi untuk bantu biaya pendidikan. Kita kembali ke Pak Profesor Kaharuddin. Sebagai pakar, Kaharuddin tentu fasih bicara peternakan. Kaharuddin menilai, kita belum menjadikan peternakan sebagai unggulan daerah. Masyarakat kita beternak hanya ala kadarnya. Masyarakat kita belum serius beternak. Penyebabnya banyak faktor. Antara lain belum ada program yang serius dan bersinergi dengan melibatkan
60
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

berbagai pihak seperti perguruan tinggi. Hasil-hasil penelitian perguruan tinggi belum diimplementasikan, hanya sebatas program penelitian saja. Program orientasi proyek. Padahal setiap tahun anggaran yang dikucurkan cukup banyak. Pemerintah provinsi misalnya, tahun anggaran 2013, Pemerintah Sulawesi Tengah mendapat alokasi anggaran lebih dari Rp30 miliar yang bersumber dari dana dekonsentrasi sebesar Rp7,6 miliar dan tugas pembantuan Rp27,2 miliar. Awal tahun 2012, saya menyempatkan diri berkunjung ke Pesantren Pewunu, Marawola, Kabupaten Sigi. Pesantren Alkhairaat Kabeloa yang dirintis almarhum KH Zakir Hubaib tahun 1989 itu mengelola peternakan sapi berbasis pesantren. Di atas lahan tandus seluas 14 hektare, Zakir Hubaib merintis peternakan sapi yang dimodali oleh Kementerian Daerah Tertinggal secara bertahap sejak 2008. Kementerian meluncurkan modal awal Rp1 miliar. Modal inilah yang dikembangkan pesantren bersama masyarakat di daerah itu. Pengelolaan peternakan itu disulap sedemikian rupa sehingga terbangunlah kandang, bak penampungan air dan tempat penampungan tahi sapi. Tahi sapi itu dimanfaatkan untuk pupuk kandang dan gas. Pupuk kandang dipakai untuk menyuburkan kebun, sementara gas digunakan masyarakat memasak. Dulu masyarakat pakai pupuk olahan pabrik untuk kebun, sekarang sudah pakai pupuk olahan sendiri. Dulu masyarakat sekitarnya memasak pakai kayu api, sekarang sudah pakai gas. Pesantren membangun kerjasama masyarakat dengan cara bagi hasil. Induk sapi yang melahirkan anak pertama diberikan kepada masyarakat peternak. Anak kedua baru diberikan ke pesantren. Kalau anaknya dua, satu untuk pesantren, satu untuk masyarakat. Begitulah kira-kira contoh mengelola peternakan modern dan itu sudah dibuktikan oleh masyarakat
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

61

pesantren. Jika yang lain bisa kenapa kita tidak. Banyak orang pandai di bidang peternakan yang belum difungsikan pemeritah. Pemerintah tidak boleh berjalan sendiri, perlu menggandeng pihak lain. Jangan karena ada nilai proyek lalu pemerintah tidak terbuka dengan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan. ***

Bangun Donggala Dari Desa

Jika saja, pemerintah menyisihkan satu miliar rupiah per tahun dari APBD selama ibu kota pindah ke Banawa, maka kita sudah punya modal Rp13 miliar untuk lembaga penjamin keuangan daerah. Ini bukan modal sedikit untuk menggerakkan usaha kecil di desa.

SEJAK ibu kota Kabupaten Donggala pindah dari Palu ke Banawa, 28 Juli 1999, saat itu juga perhatian dan kucuran anggaran daerah dicurahkan ke Banawa. Mulai dari pembebasan lahan untuk pembangunan perkantoran, pembangunan fisik gedung perkantoran, pembukaan jalan lingkar, perbaikan infrastruktur dalam kota, pembangunan taman dengan menimbun laut, pembangunan tempat pendaratan ikan, pembangunan rumah sakit, pembangunan rumah jabatan dan perumahan pegawai hingga mobilisasi pegawai negeri sipil setiap hari dari Palu ke Banawa. Pembiayaan pemindahan ibu kota kabupaten itu wajib hukumnya sesuai perintah Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1999 tentang Pemindahan Ibu Kota Donggala dari Palu ke Banawa. Beleid itu memerintahkan, pembiayaan yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota daerah
62
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

63

dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Donggala dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. 13 tahun sudah ibu kota Donggala dipindahkan ke Banawa. Tidak sedikit anggaran yang tersedot untuk pembangunan ibu kota Donggala itu. Jalan lingkar misalnya, menghabiskan anggaran Rp50 miliar. Pembangunan mes pemda di Jalan Diponegoro Rp34,6 miliar. Pembangunan Gedung DPRD dan Gedung Sekretariat Bupati juga puluhan miliar. Belum lagi jalan-jalan yang terhubung dari kantor satu dengan kantor lainnya di Gunung Bale. Sudah cukup banyak. Perhatian selama ini di Banawa membuahkan hasil. Donggala meraih sertifikat Adipura dari pemerintah pusat. Sertifikat itu menasbihkan Donggala sebagai daerah bersih dengan daya dukung lingkungan yang memadai. Banawa yang dulunya kusut dan kusam kini cerah dan terang benderang, meski listriknya masih byar pet. Namun, ini memang bukan perkara Donggala semata, tapi juga daerah lain di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah memang masih mengalami krisis energi listrik. Namun, sebentar lagi Sulawesi Tengah akan terang benderang dengan masuknya aliran listrik PLTA Sulewana, Poso ke sistem jaringan listrik Palu. Jaringan kelistrikan Palu sendiri telah telah terkoneksi ke beberapa daerah termasuk Donggala. Jika janji PLN tidak meleset, pasokan listrik berlebih. Tidak ada lagi alasan klasik bagi pemerintah, Sulawesi Tengah terhambat maju karena belum didukung ketersediaan listrik. Saat ini, penggelontoran anggaran untuk mempercantik wajah ibu kota Donggala boleh dikurangi. Pembiayaan selama 13 tahun melalui APBD itu sudah cukup. Ke depan saatnya pemimpin daerah terpilih bersama segenap anggota DPRD yang baru mengubah
64
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

paradigma pembangunannya. Pembangunan harus diarahkan ke daerah-daerah tertinggal. Tidak saja tertinggal karena infrastrukturnya tetapi juga sumber daya manusia dan kesehatannya. Ini penting bukan saja karena mau mengejar perbaikan indeks pembangunan Millennium Development Goals (MDGs), tapi juga untuk memperkuat Donggala sebagai daerah strategis menyambut kebangkitan ekonomi yang didukung letak geografis Donggala yang berhadapan dengan maritim dan potensi sumber daya alamnya. Penguatan Donggala tersebut sekaligus persiapan Donggala sebagai daerah penyangga kebutuhan konsumsi Kota Palu yang setiap tahun mengalami kemajuan signifikan. Kita menanti kejutan baru dari pemimpin Donggala yang baru agar daerah ini mengalami kemajuan, pertumbuhan, keadilan dan pemerataan pembangunan. Pemerataan bermakna pelaksanaan pembangunan tidak hanya di ibu kota kabupaten, tapi juga di daerah-daerah terpencil sekalipun. *** KINI, mari sejenak kita berkunjung ke Kecamatan Balaesang Tanjung. Kenapa? Karena di daerah ini pada Juli-Agustus 2012, terjadi tragedi kemanusiaan yang menewaskan warga karena konflik tambang emas. Kilauan emas yang terpendam dalam perut bumi Balaesang Tanjung membawa petaka, air mata, darah, dan nyawa. Tragedi Balaesang Tanjung menjadi contoh cerita buram anak negeri akibat salah urus. Mereka marah karena pemerintah daerah dinilai abai terhadap aspirasi warga yang menuntut pencabutan izin perusahaan tambang yang berencana melakukan eksplorasi emas di daerah itu. Bukannya masyarakat menjadi sejahtera karena potensi yang dimiliki daerah itu malah memendam duka. Duka
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

65

yang sangat mendalam akibat meninggalnya warga dan potensi alam mereka hendak dieksploitasi. Duka mereka itu masuk dalam catatan sejarah hitam perjalanan Donggala. Kenapa kita ke Balaesang Tanjung? Karena di sana ada sejarah nusantara yang pernah bersinggungan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia. Di sana ada Kerajaan Balaesang yang berjasa dalam memerdekan negeri ini. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk sebuah kemerdekaan. Bulu nyawa saya sempat merinding setelah membaca Balaesang dalam Angka 2011 yang diterbitkan BPS. Di sana diceritakan bagaimana Kerajaan Balaesang berhasil melucuti senjata-senjata tentara Portugis hingga akhirnya kapal yang mereka tumpangi kandas dan tenggelam di sebuah karang. Masyarakat mengenalnya karang tersebut dengan nama Pasik Parumbian di Perairan Selat Makassar. Beberapa buah meriam kuno yang digunakan menghabisi nyawa rakyat Indonesia menjadi saksi bisu perjuangan orang tua dulu. Meriam yang kini sudah menjadi besi tua itu tergeletak diam di Desa Rano dan Desa Ketong. Itu saksi sejarah yang tidak bisa dilupakan bangsa ini. Sejarah itu mestinya menjadi penyemangat bagi pemerintah daerah untuk memperhatikan pembangunan Balaesang Tanjung. Itu hanya sebagian kecil dari cerita masa lampau Balaesang. Masih banyak lagi yang belum tergali dan terpublikasi seperti perjuangan pendahulu mereka melawan penjajah Belanda. Jika kini masyarakat Balaesang Tanjung belum menikmati kesejahteraan dan bebas dari belengggu keterisolasian, dimanakah nurani pemerintah? Kenapa kita ke Balaesang Tanjung? Sebelum Balaesang Tanjung mekar menjadi Kecamatan Balaesang Tanjung, kondisi jalan menuju daerah itu sama saja ketika
66
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

masih satu kecamatan dengan Balaesang induk. Jalannya masih memprihatinkan. Padahal di sana banyak potensi yang bisa membantu perbaikan ekonomi masyarakatnya. Mulai dari sektor perkebunan, wisata dan perikanan kelautan. Di sana ada Danau Rano yang menyimpan keindahan. Di sana ada teluk dan pantai yang menjulur ke laut lepas. Bahkan bisa menjadi pintu gerbang perdagangan antarpulau. Wilayah ini juga memiliki sejarah kerajaan sebagai bagian kekayaan budaya di tanah air khususnya Donggala. Pada satu kesempatan, saya bertemu dengan seorang warga Balaesang Tanjung di Palu. Ia sedih karena jalan menuju kampungnya belum diaspal. Banyak sungai yang belum dibangunkan jembatan. Kalau musim hujan mereka takut menyeberang ke Balaesang induk karena sungaisungai yang dilintasi, ganas dengan banjirnya. Bisa dibayangkan, jika itu berlangsung berhari-hari. Pada saat bersamaan ada warga yang hendak dirujuk ke rumah sakit di Kota Palu karena Puskesmas di sana tidak mampu menanganinya. Mau tidak mau harus menunggu banjir surut. Harus menunggu genangan air di jalan raya kering. Ironis bukan? Kondisi itu menjadi alasan kuat untuk memfokuskan pembangunan Donggala ke daerah-daerah terbelakang. Masih banyak daerah yang menjerit karena susah akses jalannya. Susah sumber air bersihnya. Susah irigasinya. Lumpuh sumber daya manusianya dan sebagainya. Pemerintah tidak perlu mengedepankan pembangunan gedung megah. Untuk apa gedung megah dengan anggaran puluhan miliar sementara rakyat sengsara. Bukan gedung megah di ibu kota yang membuat rakyat sejahtera, bukan mobil mewah pejabat yang membuat masyarakat kenyang. Paradigma pembangunan Donggala setidaknya lima tahun mendatang harus dibangun dari desa. Sebut saja, program Membangun Desa Mengepung Kota. Hal ini sejalan
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

67

dengan visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah agar Sulawesi Tengah sejajar dengan daerah yang lebih maju di Indonesia. Membangun Desa Mengepung Kota, bagi saya mendesak. Angka kemiskinan Donggala masih mencapai 18,03 persen (BPS Sulteng, 2011). Sebarannya banyak di pedesaan. Kondisi kemiskinan di Donggala jika dibanding dengan Kabupaten Sigi yang dimekarkan Donggala lebih buruk karena angka kemiskinannya hanya 14,03 persen. Angka kemiskinan di Donggala masih lebih tinggi dibanding Banggai 11,25 persen. Masih lebih baik Tolitoli 15,03 persen. Bahkan masih jauh lebih baik Buol 17,40 persen. Tiga daerah perbandingan itu merupakan daerah yang dihasilkan Donggala. Bukan alasan Donggala karena lelah melahirkan sehingga ia sendiri tidak terurus. Begitu juga dengan kondisi ketersediaan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan perekonomian Donggala juga masih perlu sentuhan serius. Sarana kesehatan seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Poskesdes dan Polindes Donggala baru 85,33 persen. Masih ada sekitar 15 persen desa belum memiliki sarana kesehatan. Masyarakat hidup dari sektor Pertanian yang persentasenya di Sulawesi Tengah sebanyak 71,26 persen. Jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat dari total panjang jalan di Donggala baru 90,67 persen yang bisa dilalui. Kondisi pasar dengan bangunan permanen/semi permanen masih ada 36 persen lagi yang belum memiliki bangunan permanen. Padahal ini pusat transaksi ekonomi masyarakat di desa. Di sisi lain, entah mengapa, pemerintah justru bernafsu membangun gedung megah. Lihat saja, Mes Pemda yang dibangun dengan anggaran Rp30 miliar lebih. Sementara untuk satu unit pasar tradisional di kampung mungkin tidak sampai satu miliar. Bagaimana ekonomi mau baik, kalau fasilitas ekonominya saja tidak dibangun.
68
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Lembaga Perkreditan Rakyat di Donggala menurut BPS nol persen. Artinya tidak ada lembaga perkreditan di desa yang bisa membantu masyarakat dalam membantu permodalan. Koperasi hanya 22. Itu pun mungkin tinggal namanya saja. Aktivitasnya sudah megap-megap. Mati hidup. Jangan salahkan jika rendahnya fasilitas penjamin keuangan di desa dijadikan peluang oleh para rentenir meraup untung dari desa karena tidak ada lembaga keuangan yang bisa menjadi sandaran masyarakat di kampung. Membangun desa tidak saja membangun infrastrukturnya, tetapi juga memperkuat lembaga keuangannya. Ini masalah klasik. Masyarakat kita akhirnya bergantung pada rentenir. Pinjaman bunga tinggi. Tidak ada keinginan serius pemerintah untuk membangun lembaga penjamin keuangan rakyat. Pemerintah lebih suka bikin pelatihan di mana-mana tapi tidak dimodali. Selesai pelatihan , selesai urusan. Panitia buat laporan pertanggungjawaban, sementara yang dilatih silahkan cari modal sendiri. Jika saja, pemerintah menyisihkan satu miliar rupiah per tahun dari APBD selama ibu kota pindah ke Banawa, maka kita sudah punya modal Rp13 miliar untuk lembaga penjamin keuangan daerah. Ini bukan modal sedikit untuk menggerakkan usaha kecil di desa. Ini juga karena rendahnya dorongan dari DPRD. Kurang inisiatif mendorong pemerintah untuk berinovasi. Padahal dalam setahun anggota DPRD dua kali turun reses ke daerah pemilihan masing-masing. Dua kali setahun menyerap aspirasi masyarakat. Yang direspons hanya masalah-masalah besar yang mengandung nilai proyek fisik. Kurang peduli dengan hal-hal kecil. DPRD hanya asyik bermain di ranah politik. Padahal DPRD tidak lagi seperti zaman order baru dulu, mendengar apa kata penguasa. Bahkan cenderung hanya sebagai penghias demokrasi di Indonesia. DPRD sekarang sudah sejajar dengan esksekutif
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

69

dengan tiga fungsi utama yakni legislasi (membuat undangundang, hak atas anggaran dan pengawasan. Saya khawatir ada calon anggota legislatif yang tidak mengerti apa fungsi dan tugas DPRD. Kalau ada, ini bisa membawa petaka. Di lain sisi masyarakat juga perlu dikoreksi. Perlu diintervensi cara pandangnya oleh kaum cerdik pandai dan pemerintah. Masih ada sebagian masyarakat kita yang belum terdidik mengelola uang. Diberi pinjaman bukan untuk mengembangkan usaha, tapi dipakai beli kendaraan, bersenang-senang. Mungkin juga dipakai kawin lagi. Ini masalah yang harus dijawab oleh calon bupati dan calon anggota DPRD Donggala ke depan. Di sinilah kita membutuhkan calon bupati dan calon anggota DPRD yang respons terhadap kebutuhan masyarakat desa. Saatnya kita tanya kepada para calon pemimpin itu, seperti apa bentuk komitmen dan program mereka untuk membangun desa. Di sinilah pentingnya kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang peduli dan peka dengan kondisi masyarakatnya, calon pemimpin yang punya gagasan, calon pemimpin yang punya keberanian mengambil keputusan membela rakyat. Jika masyarakat salah memilih, jangan kita salahkan Pilkada dan Pemilu, karena kita sendiri masih suka menjadi masyarakat yang dipimpin oleh pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat. Salah menentukan pilihan bukan berarti salah calon pemimpin memberi janji, tapi salah kita mencerna janji. ***

Kilas Balik Demokrasi Donggala


Warna-warni politik di Donggala sudah cukup menjadi pelajaran pendidikan politik bagi masyarakatnya. Saatnya membangun demokrasi di kabupaten tertua di Sulawesi Tengah itu dengan sehat tanpa noda, tanpa darah, tanpa air mata.

PEMILU Kepala Daerah (Pilkada) 2008 dan Pemilu 2009 lancar dihelat di Donggala. Hasilnya sudah dituai dan dapat diukur berdasarkan angka-angka statistik Donggala yang tersaji di berbagai media. Pemilu 2009 maupun Pilkada tidak mungkin diulang lagi, yang memungkinkan adalah memperbaiki kualitasnya pada pemilu berikutnya. Kualitas tersebut tidak saja pada proses, tapi juga hasilnya. Kita akan berusaha sebaik mungkin agar kualitas pemilu mendatang lebih baik, sehingga baik pula hasilnya untuk rakyat. Di sinilah peran penting rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. Jika kita menoleh ke belakang pascareformasi, Partai Golkar masih memegang peranan penting di Donggala, walau terjadi penurunan perolehan kursi. Pemilu 1999 misalnya, Golkar masih mempertahankan 21 kursi, hingga akhirnya berhasil mengantarkan Ketua DPD partai berlambang pohon beringin itu, Adam Ardjad Lamarauna
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

70

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

71

sebagai bupati dalam pemilihan di DPRD. Perolehan kursi itu terus merosot pada Pemilu 2004 hanya 17 kursi. Dan pada puncak keterpurukannya terjadi pada Pemilu 2009 yakni tujuh kursi. Pada Pemilu 2009, kekuatan Golkar salah satunya masih ditopang dari Kabupaten Sigi. Setelah di Sigi menjadi Kabupaten, kursi Golkar tersisa lima kursi. Kondisi ini menunjukkan tidak ada dominasi perolehan kursi di DPRD Donggala. Dari sisi ketokohan, mereka yang melenggang ke DPRD Donggala masih didominasi tokoh-tokoh lama yang sebelumnya pernah menjabat anggota DPRD, seperti Budi Luhur (kini menjadi Ketua DPRD Sigi), Harsin Gotian dan Ahmad Mardjanu. Perolehan kursi Golkar di Donggala ternyata juga berdampak buruk terhadap perolehan kursi Golkar di DPRD Provinsi. Jika beberapa pemilu sebelumnya Golkar Donggala berkontribusi sampai empat kursi di DPRD Provinsi. Pada Pemilu 2009 hanya mampu berkontribusi dua kursi. Total kursi Golkar di DPRD Provinsi 2009 hanya sembilan kursi. Padahal pada Pemilu 1999, Golkar menguasai nyaris separuh kursi di DPRD Sulteng dengan 23 kursi. Pemilu 2004, Golkar mulai redup dengan mengemas 17 kursi hingga akhirnya saat ini tinggal sembilan kursi. Sokongan kursi Golkar di provinsi umumnya dari Donggala, Banggai/Banggai Kepulauan dan Tojo Unauna/Poso/Morowali. Sementara dari Kota Palu sendiri hanya meraih satu kursi. Partai Demokrat tampaknya membayang-bayangi Partai Golkar. Pada Pemilu 2004, Demokrat di Donggala belum memberi andil kursi. Perolehan suara yang mampu diraih hanya 2,76 persen, jauh di bawah PDIP yakni 7,25 persen atau lima kursi. Demokrat juga masih di bawah tekanan PPP yakni 6,81 persen atau empat kursi. Bendera Demokrat baru bisa berkibar pada Pemilu 2009. Meskipun Demokrat keluar sebagai pemenang Pemilu 2009 secara
72
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

nasional, tetapi di Donggala, Demokrat belum mampu melambung Partai Golkar. Demokrat masih berada di urutan kedua dengan perolehan lima kursi. Setelah Sigi mekar, Demokrat tinggal empat kursi. Meski hanya selisih satu kursi dengan Golkar, tetapi persentase perolehan suara sah Demokrat jauh tertinggal. Golkar 14,8 persen, sementara Demokrat hanya 7,4 persen. Kontribusi perolehan suara kursi Demokrat di Donggala untuk provinsi juga di urutan kedua. Dari jumlah perolehan suara, Demokrat jauh tertinggal dari Golkar, yakni 20.945 untuk Demokrat dan 48.817 untuk Golkar. Demokrat Donggala hanya mampu memperoleh satu kursi untuk provinsi. Komposisi Golkar dan Demokrat di Provinsi hampir sama dengan Donggala. Ketua DPRD dan Wakil Ketua I masing-masing dari Golkar dan Demokrat. Selain dua partai tersebut, partai yang patut diperhitungkan di tingkat provinsi adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), masing-masing mengemas empat kursi. Sementara Hanura dan PDS, masing-masing tiga kursi. PPP yang pada Pemilu sebelumnya cukup baik, justru pada Pemilu 2009 anjlok sehingga hanya mampu memperoleh dua kursi, sama dengan Gerindra, PKPI dan PKPB. Sementara di Kabupaten Donggala, setelah Golkar dan Demokrat, kekuatan politik menengah pada Pemilu 2008 masing-masing diraih oleh PPP, Gerindra, dan PKS. Ketiganya masing-masing meraih tiga kursi. Tetapi dari persentase, PPP masih unggul yakni 6,9 persen. Sementara Gerinda dan PKS masing-masing hanya 5,2 persen dan 5,1 persen. Pemilu 2009, PPP merosot dibading Pemilu 2004 yang mencapai empat kursi atau 6,8 persen. Sementara itu PDIP pada Pemilu 2009 hanya mampu meraih dua kursi atau 6,2 persen. Partai berlambang moncong banteng putih itu justru jauh merosot dari Pemilu
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

73

2004 yang memperoleh lima kursi atau 7,25 persen. Kemorosotan suara itu mengakibatkan perolehan kursi PDIP sama dengan Hanura, PAN dan PKB masing-masing dua kursi. Adapun komposisi fraksi di DPRD Donggala pascapemekaran Sigi dari 30 anggota DPRD adalah lima dari fraksi Golkar, empat orang fraksi Partai Demokrat, tiga orang fraksi Gerindra, tiga orang fraksi PPP, enam orang fraksi PKS, empat orang fraksi Donggala Berjuang dan lima orang dari fraksi Donggala Harapan. *** KEDEKATAN emosi saya dengan hiruk pikuk pesta Demokrasi di Donggala berawal tahun 2002. Ketika itu Surat Kabar Harian Radar Sulteng tempat saya bekerja, menempatkan saya di Kabupaten Donggala. Setahun lebih saya beradaptasi dengan lingkungan pemerintahan Donggala di bawah kepemimpinan Bupati Nabi Bidja termasuk di lingkungan DPRD di bawah pimpinan Ridwan Yalidjama. Dari lingkungan tempat tugas itulah saya diperkenalkan banyak tentang Donggala dari kacamata birokrasi maupun politik. Dari situ pula saya mengenal lebih dekat sejumlah tokoh politik dan birokrat di Donggala, seperti almarhum Adam Adrjad Lamarauna, Ridwan Yalidjama, Nabi Bidja, Budi Luhur, Kasmudin dan beberapa pejabat lainnya. Setahun tugas di Donggala (2003), tidak terasa tensi politik mulai meninggi menjelang peralihan kepemimpinan dari Nabi Bidja ke Adam Ardjad Lamarauna. Tingginya tensi politik ini bahkan menyeruak hingga ke pedesaan. Padahal, ketika itu, penentu siapa bupati untuk satu periode hanya di tangan 45 Anggota DPRD Donggala. Menjelang Pemilihan Bupati Donggala, 7 Januari 2004, gesekan politik kian memanas. Isu yang tak pernah
74
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

terdengar sebelumnya muncul ke permukaan. Adam Ardjad bahkan ikut kena batunya. Mantan Bupati Donggala itu disebut tidak lulus SMA, meski mantan kepala sekolah SMA Negeri 1 Palu Mohammad Hado dan Polres Palu sudah mengeluarkan keterangan, Adam Ardjad kehilangan ijazah dan pernah mengikuti ujian akhir nasional pada 29 Mei 1961. Beberapa karib kerabat Adam Ardjad yang pernah kuliah di Universitas Gadjamadah seperti Ma'ruf Bantilan juga bercerita bahwa dirinya pernah kuliah bersama Adam Ardjad di Yogyakarta. Meskipun sudah ada penjelasan seperti itu, gelombang penolakan terhadap Adam Ardjad tetap datang silih berganti. Bahkan kedatangan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno pada 7 Maret 2004 untuk melantik Adam Ardjad - Habir Ponulele dijemput dengan unjuk rasa. Meski serangan terhadap Adam Ardjad Lamarauna begitu kencang, politik keterwakilan di DPRD akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Adam Ardjad bersama pasangannya Habir Ponulele sebagai bupati dan wakil bupati periode 2004-2009. Adam Ardjad/Habir mengumpulkan 22 suara dari 44 pemilih sementara saingannya Nabi Bidja/Ali Hanafi Ponulele meraih 20 suara. Dua suara dinyatakan cacat. Adam Ardjad sebagai Ketua DPD Golkar Donggala ketika itu mengantongi modal 21 suara dari Partai Golkar. Adam Ardjad/Habir Ponulele sendiri diusung Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Malino (Fraksi Gabungan), lima suara. Di atas kertas Adam Ardjad/Habir unggul 26 suara. Sementara Nabi Bidja dan Ali Hanafi diusung oleh Fraksi PDIP (tujuh suara), Fraksi Persatuan Pembangunan dan Bintang Keadilan (FPPBK), enam suara. Sementara Fraksi TNI/Polri memilih abstain atau tak mengusung calon. Hasilnya, Adam Ardjad/Habir hanya meraih 22 sura, Nabi Bidja/Ali hanya 20 suara. Kemenangan Ardjad/Habir akhirnya disambut sorak oleh para pendukungnya.
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

75

Penjagaan di kediaman Adam Ardjad di Jalan Sis Aljufrie langsung diperketat. Satuan Polisi Pamong Praja diperintahkan berjaga. Keberhasilan Adam Ardjad/Habir dalam merebut kursi bupati dan wakil bupati Donggala belum sempurna digapai. Adam Ardjad/Habir seyogyanya dilantik 8 Maret 2004 ternyata ditunda oleh Hari Sabarno melalui kawat Dirjen Otonomi Daerah Depdagri No.131.52/312/Otda tanggal 5 Maret 2004 yang ditujukan kepada Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele. Kawat itu menginstruksikan penundaan pelantikan bupati/wakil bupati terpilih Ardjad Lamaruna dan Habir Ponulele. Namun radiogram itu tidak menyebutkan alasan penundaan. Gelombang unjukrasa pendukung Adam Ardjad/Habir Ponulele pun tak terbendung. Sekitar seribu orang dari berbagai desa mengepung kantor Gubernur Sulawesi Tengah mempertanyakan pembatalan pelantikan Adam Ardjad/Habir. Massa pengunjuk rasa yang datang bergelombang dengan menumpang belasan bus dan truk itu mengusung puluhan spanduk. Mereka mengecam tindakan Mendagri Hari Sabarno membatalkan pelantikan Senin, 8 Maret 2013. Pengunjukrasa bahkan membawa boneka kertas Dirjen Otda Depdagri Oentarto Sindung Mawardi. Boneka itu diarak massa, lalu dibakar di halaman kantor Gubernur Sulteng. Sekalipun melibatkan ribuan massa dan tanpa pengamanan polisi, aksi unjuk rasa masyarakat Donggala itu berlangsung tertib. Walau pun badai terus menghunjam Adam Ardjad dan Habir, keduanya tetap dilantik menjadi bupati Donggala yang ke-14. Di tengah perjalanan kepemimpinannya, ternyata takdir ilahi berkehendak lain. Adam Ardjad meninggal dunia pada 16 November 2006 di sebuah hotel di Jakarta. Ia terkena serangan jantung. Kepergian Bupati Donggala itu meninggalkan duka mendalam bagi rakyatnya dan pengurus Partai Golkar. Wakil Presiden sekaligus Ketua
76
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla, juga ikut melayat jenazah almarhum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Demikian halnya kerabat dan kawan-kawan almarhum yang berada di Jakarta langsung mendatangi hotel tempat menginap sekaligus tempat dia ditemukan meninggal. Mereka, antara lain, Anggota DPD dari Sulteng Ihsan Loulembah, juga petinggi DPP Partai Golkar Burhanudin Napitupulu, Yamin Tawari, Tajuddin Noersaid, Sofhian Mile, Aulia Rachman, Malkan Amin, Idrus Marham dan lain-lain. Kepergian Adam Ardjad praktis diganti oleh Wakil Bupati Habir Ponulele hingga berakhirnya masa jabatan pasangan bupati ini akhir 2008. Saya sengaja menyajikan proses terpilihnya Adam Ardjad/Habir Ponulele dalam panggung sejarah perpolitikan di Donggala karena pasangan bupati itu adalah dipilih terakhir kalinya oleh DPRD. Dapat dikatakan, model pemilihan kepala daerah kali itu sedang mengalami transisi demokrasi dari sentralisasi kekuasaan ke era desentralisasi. Penentuan kepala daerah tidak lagi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah pusat seperti pada era orde baru sebelumnya. Model demokrasi penentuan kepala daerah sedang beranjak dari model pemilihan DPRD ke pemilihan langsung (Pilkada). Berbagai dinamika politik yang dilalui Kabupaten Donggala telah menjadi bagian dari catatan sejarah perpolitikan di Sulawesi Tengah. Periode selanjutnya 2008-2013, pemilihan Bupati sudah melalui pemilihan langsung oleh rakyat lewat momentum Pilkada. Pilkada Donggala bukanlah daerah pertama di Sulawesi Tengah yang menyelenggarakan sistem pemilihan langsung. Tiga daerah sebelumnya hampir dalam waktu yang bersamaan pada 2004 melaksanakan pilkada pertama yakni Tolitoli, Tojo UnaUna dan Banggai. Dari Pilkada inilah sekaligus menjadi pintu masuk yang terbuka lebar bagi masyarakat IndoneMenakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

77

sia untuk menjadi calon kepala daerah. Pilkada tersebut sekaligus meretas pengaruh klan atau kelompok kekerabatan yang besar, dalam penguasaan panggung politik di daerah. Meskipun klan masih memberi pengaruh namun tidak menghalangi peluang bagi masyarakat luas untuk mencalonkan diri menjadi bupati sepanjang memiliki modal politik dan modal ekonomi. Cerita Pilkada Donggala 16 Oktober 2008 lain lagi. Pilkada yang dimenangkan Habir Ponulele-Aly Lasamaulu (Halal) tersebut juga menyimpan sejarah politik yang tidak kalah menariknya. Kemungkinan Pilkada Donggala pertama itu dalam sejarah Pilkada di Indonesia yang diikuti calon paling banyak. KPU Donggala pada 9 September 2008 secara resmi menetapkan tujuh pasangan calon bupati yang berhak mengikuti putaran pilkada. Mereka adalah Abubakar Aljufri-Taufik M Burhan (AKTA) dan pasangan Datu Wajar Lamarauna-Usman Kulase (TULUS) dari calon perseorangan. Sementara dari pasangan yang diusung partai politik adalah Habir Ponulele-Aly Lasamaulu (HALAL) dari Partai Golkar, Syafrun Abdullah-Arus Abdul Karim (SYAFAR) dari PDIP dan PPNUI, Kasman Lassa-Ahmad Ariefianto (KASMARAN) diusung oleh PKS, PKPI dan PBR, Mauliddin Labalo-Abdurachman (MADU) diusung PDK, PDS dan partai nonkursi, serta pasangan Suardin Suebo-Timuddin Bouwo (SANTUN) diusung PKB, PAN dan beberapa partai nonkursi. Penetapan pasangan calon bupati tersebut cukup alot karena pasangan calon yang diusung PPP dan PBB tidak memenuhi syarat karena terkendala ijazah. Dua partai itu kemudian mengajukan penggantinya yakni Nabi BidjaRasyid Thalib (NAR). Namun tetap tidak lolos karena dukungan PBB dianggap tidak sah karena hanya diajukan oleh Wakil Ketua DPC dan Wakil Sekretaris. Selain itu batas waktu perbaikan berkas pun sudah melewati batas waktu. Bakal calon Nabi Bidja-Rasyid Thalib pun terlempar.
78
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Gong pemungutan dan penghitungan suara Pilkada Donggala pun ditabuh 16 Oktober 2008. Hasilnya KPU menetapkan pasangan Habir-Aly menang. Namun belakangan digugat dari pasangan calon lain karena masyarakat Sigi yang sudah menjadi daerah otonom baru masih ikut memilih di Donggala. Masuknya Sigi tersebut menjadi pintu lahirnya gelombang unjukrasa dari pasangan calon bupati yang lain yakni pasangan Kasman Lassa-Arif (Kasmaran). Namun perjuangan mereka sia-sia karena KPU memutuskan masyarakat Sigi tetap menjadi pemilih di Donggala. Ini juga menjadi bagian menarik dari catatan sejarah Pilkada di Donggala. Masih ikutnya masyarakat Sigi menjadi pemilih di Donggala karena usia Sigi sendiri belum melewati 18 bulan. Berdasarkan surat KPU Sulawesi Tengah KPU No. 2371/15/VII/2008 dinyatakan bahwa Sigi boleh mengikuti Pilkada Donggala. Adapun isi surat tersebut antara lain menyatakan bahwa pengisian anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota tidak dilakukan bagi provinsi/ kabupaten/kota yang dibentuk 18 bulan sebelum pemilu berikutnya. Selain itu, sesuai rapat dengar pendapat antara KPU dengan Komisi II DPR tanggal 8 Juli 2008, bahwa terhadap pemekaran 12 kab/kota yang disahkan DPR pada 24 Juni 2008 tidak dilakukan pembuatan daerah pemilihan. Ini berarti di kabupaten/kota pemekaran tidak dilakukan pemilu 2009. Selain itu pengisian jabatan bupati/walikota defenitif selambat-lambatnya dua tahun. Dengan demikian, pengisian keanggotaan DPRD dilakukan setelah pemilu 2009 dengan mengacu pada hasil pemilu 2009. Atas dasar itulah maka masyarakat yang mendiami 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Sigi masih mengikuti pemilu bupati dan wakil bupati Donggala pada Oktober 2008. Tanggal 28 Oktober 2008, KPU Donggala akhirnya menetapkan Habir Ponulele-Aly Lasamaulu sebagai bupati
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

79

dan wakil bupati periode 2009-2013. Rapat pleno yang dipimpin Ketua KPU Donggala M. Rifai, pasangan HALAL memperoleh 83.463 (35 persen). Sementara pesaingan terdekatnya Kasman Lassa-Arif mendulang suara sekitar 16 persen. Penetapan Habir-Aly tersebut masih dibayangbayangi aksi unjuk rasa oleh sekelompok masyarakat yang menyebut diri sebagai Aliansi Masyarakat Banawa dan Pantai Barat (AMBARA). Di dalam ruangan KPUD rapat pleno, di luar gedung ratusan orang berunjuk rasa karena tidak puas. Bahkan peristiwa itu menimbulkan korban akibat bentrok. PPK Kulawi ketika itu tersinggung atas tuduhan pengunjukrasa yang mengatakan KPU Donggala sampai tingkat bawah telah melakukan pembohongan publik. Karena ketersinggungan itu sempat terjadi kekacuan. seorang warga yang hendak melerai bahkan terkena pukulan hingga luka di kepala. Perjalanan Pilkada Donggala 2008 ternyata tidak berjalan mulus. Proses demokrasi menyimpan noda, darah dan air mata. Warna-warni politik di Donggala sudah cukup menjadi pelajaran pendidikan politik bagi masyarakatnya. Saatnya membangun demokrasi di kabupaten tertua di Sulawesi Tengah itu dengan sehat tanpa noda, tanpa darah, tanpa air mata. Dari beberapa pesta demokrasi yang digelar, mulai pilkada kabupaten, pilkada provinsi, pemilu legislatif dan pemilihan presiden, partisipasi politik masyarakat Donggala cenderung menurun. Kemungkinan banyak faktor mempengaruhinya. Bukan semata-mata karena masyarakat jenuh tetapi bisa jadi juga karena kesadaran politik masyarakat itu sendiri untuk tidak memilih karena dianggap memilih atau tidak sama saja, tidak memberi perubahan. Persentase pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejak tahun 2008 sampai Pilgub 2011 menurun sekitar lima persen. Jumlah Pemilih Pilkada Donggala 2008 sebanyak 305.513, namun yang menggunakan hak pilihnya hanya
80
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

241.728 atau sekitar 79 persen. Pemilih Pemilu legislatif 2009 sebanyak 316.322 orang dan yang menggunakan hak pilihnya hanya 241.765 atau 76 persen, Jumlah Pemilih Pemilu Presiden 2009 sebanyak 329.615 dan yang menggunakan hak pilihnya hanya 241.728 atau 73 persen, Jumlah Pemilih Pilgub 2011 sebanyak 178.739, dan yang menggunakan hak pilihnya hanya 133.059 atau 74 persen. ***

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

81

Daftar Bacaan
- Adha Nadjemuddin, E-book, Balada Politik Ridwan Yalidjama, Januari 2010. - BPS Donggala, Donggala Dalam Angka 2011. - Darlis, Tempo Interaktif, Bupati Donggala Tewas di Hotel Mulia, Kamis, 16 November 2006. - Darlis, Tempo Interaktif, Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Pilkada Donggala, Senin, 24 November 2008. - Fery El Shirinja, Radar Sulteng, Aktivitas mantan Cabup/Cawabup setelah Gagal Menangkan Pilkada Donggala, 09-11-2008. - gatra.com, Demonstran Masih Duduki Gedung DPRD Donggala, 29 Juli 2005 - JB. Priyono (Kepala BPS Sulteng), Memahami Data Kemsikinan dan upaya solusinya, Public Exposes 49 tahun Sulawesi Tengah, Pressroom Kantor Gubernur, 8 April 2013. - Jafar G Bua, Tuntut Bupati Tak Dilantik, Warga Donggala Hadang Mendagri, Detiknews, Senin, 01/03/2004. - Jafar G Bua, Diduga Pakai Ijazah Palsu, Warga Donggala Tolak Bupati Terpilih, Detiknews, Jumat, 30/01/2004. - Jafar G Bua, blog, Damai Dirajut dengan Melae. - Jafar G Bua, Catatan Sepanjang jalan, Ribuan Masyarakat Donggala Kepung Kantor Bupati dan DPRD, Thursday, July 28, 2005. - Pemerintah Kabupaten Donggala, Pidato Pengantar Nota Keuangan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun 2012. - Pemerintah Kabupaten Donggala, Nota Keuangan tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Donggala Tahun Anggaran 2012. - Prof. Dr. rer. pol Patta Tope, SE, Capaian Pembangunan Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012, Public Exposes 49 tahun Sulawesi Tengah, Pressroom Kantor Gubernur, 8 April 2013 - Ruslan Sangadji, Blog, Penetapan Pilkada Donggala Ricuh, Wednesday, October 29, 2008. - rstmopm, posorukun.blogspot.com, 2008_09_01_ archive.html - Yardin Hasan, blogspot Catatan Sepanjang Perjalanan.

TENTANG PENULIS Penulis lahir di Desa Rerang, Kecamatan Dampelas, Donggala, 23 November 1976. Sejak menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu tahun 1998, penulis sudah aktif di dunia kewartawanan. Sekarang bekerja di Kantor Berita Nasional ANTARA. Penulis salah seorang pendiri Lembaga Penerbitan dan Pers Kampus STAIN Datokarama Palu. Lembaga tersebut hingga 2013 masih eksis. Penulis pernah bekerja di hampir semua jenis media, televisi, surat kabar, online, radio dan kantor berita Indonesia. Pernah menjadi kontributor RCTI di Tolitoli, pernah menjadi presenter RadarTV, NuansaTV, Pemimpin Redaksi di Radio Alkhairaat, Radio Ramayana Palu, Radio Cendekia Tolitoli, Radio Bittara Tolitoli. Selama di Tolitoli pernah mendirikan televis lokal PT. Maleo Cendekia Televisi Tolitoli, 2006. Penulis terpaksa menutup usaha tersebut karena tidak ada investor yang berminat di bidang penyiaran lokal. Penulis pernah bekerja di beberapa surat kabar lokal maupun nasional. Pernah menjadi wartawan Harian Radar Sulteng dan kontributor Harian Pelita Jakarta. Penulis juga pernah menjadi pemimpin Redaksi Harian Metro Tolis. Selain di dunia jurnalis, penulis juga pernah menjadi dosen di STAIN Datokarama Palu dan Konsultan Manajemen Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Penulis juga aktif di berbagai organisasi kepemudaan seperti Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Sulteng, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Donggala, Ikatan Mahasiswa DDI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Wakil Ketua KNPI Sulawesi Tengah. Dan semasa mahasiswa pernah menjabat Ketua Senat Fakultas Ushuluddin. Beberapa buku yang pernah ditulis baik yang tercetak maupun dalam bentuk E-book, diantaranya Rekam Jejak Parlemen Tolitoli, Jejak-Jejak Pariwisata Sulteng, Balada Politik Ridwan Yalidjama dan Jalan Terjal NU Tolitoli. Saat ini sedang menyelesaikan beberapa judul buku.
Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Adha Nadjemuddin Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014

Menakar Komitmen Kerakyatan Calon, Dalam Pilkada Donggala dan Pemilu 2014 Adha Nadjemuddin

Anda mungkin juga menyukai