Anda di halaman 1dari 10

Momentum Politik Anak Muda

Pilkada 2020 dapat menjadi pintu bagi anak-anak muda untuk berkiprah

menunjukkan kepemimpinannya dengan berpegang pada integritas,

kapasitas, dan tentu loyalitas pada cita-cita bangsa.

OlehYOHAN WAHYU
2 Januari 202108:35 WIB·6 menit baca
TEKS 

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Syifa (20) menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Kota Depok, Rabu
(9/12/2020), untuk perubahan dan pemimpin yang mau turun melihat,
mendengar, dan merasakan kondisi masyarakat.

Pilkada 2020 jadi bukti sosok-sosok muda mendapatkan tempat di hati

pemilih. Jika tren ini menguat, bukan tidak mungkin pada masa depan anak-

anak muda berpotensi menduduki jabatan-jabatan politik.


Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak 2020 memang masih

didominasi oleh generasi yang telah malang melintang di dunia politik. Pada

tahap pencalonan, sebagian besar yang diajukan adalah calon-calon kepala

daerah maupun wakil kepala daerah berusia 50 tahun ke atas.

Sementara itu, mereka yang berusia muda lebih banyak diajukan sebagai

calon wakil kepala daerah. Kelompok usia 31-40 tahun, misalnya, lebih

banyak ditemui di pencalonan wakil kepala daerah. Dari kategori calon wakil

kepala daerah dari kelompok usia ini mencapai 12,9 persen, jauh lebih banyak

dibandingkan anak-anak muda yang diajukan sebagai calon kepala daerah

yang hanya 9,8 persen.

Meskipun belum mendominasi di tahapan pencalonan, sebagian besar unggul

dalam perolehan suara pemilih di pilkada 9 Desember 2020.

Litbang Kompas mencatat dari kelompok calon kepala daerah berusia 31

tahun atau di bawahnya, separuh lebih dari mereka unggul di pilkada tahun

ini.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Salah seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara di TPS 003


Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, menggunakan
hak pilihnya dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bandung, Rabu
(9/12/2020).

Setidaknya tren ini terlihat dari hasil rekapitulasi akhir perolehan suara di

Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 20 nama calon kepala daerah yang

berusia 31 tahun atau di bawahnya, sebanyak 11 orang (55 persen) di

antaranya unggul dalam rekapitulasi KPU. Sebut saja di antaranya Bupati

Tasikmalaya Ade Sugianto dan Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.

Kedua kepala daerah petahana tersebut sama-sama berusia 30 tahun saat

pilkada tahun ini. Keduanya juga sama-sama menggantikan kepala daerah


yang terpilih di pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Ade Sugianto naik

menjadi Bupati Tasikmalaya menggantikan Uu Ruzhanul Ulum yang menjadi

Wakil Gubernur Jawa Barat. Mochamad Nur Arifin yang dilantik menjadi

Bupati Trenggalek menggantikan Emil Elestianto Dardak yang terpilih

menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur.

Baca juga : Menanti Upaya Kreatif Mengangkat Kabupaten Kediri

Menariknya lagi, kedua bupati petahana yang unggul dalam perolehan suara

di Pilkada 2020 ini didampingi sosok calon wakil bupati yang juga relatif

sebaya. Ade Sugianto didampingi wakil bupati terpilih Cecep Nurul Yakin

yang juga berusia 30 tahun saat pilkada digelar. Hal yang sama juga dialami

Mochamad Nur Arifin yang didampingi sosok Syah Muhamad Natanegara

yang baru 31 tahun.

Di Trenggalek sendiri bukan pertama kalinya pasangan yang sama-sama

muda. Saat Pilkada 2015, Emil Elestianto Dardak-Mochamad Nur Arifin jadi

pemenang. Saat dilantik, Emil berusia 31 tahun 9 bulan, sedangkan Arifin saat

itu baru berusia 25 tahun, bahkan Arifin kemudian dianugerahi sebagai wakil

bupati termuda di Indonesia oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri).


KOMPAS/IQBAL BASYARI

Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak (kiri) menandatangani Komitmen


Bersama Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi pada Pemerintah
Provinsi Jawa Timur, Senin (10/7/2020) di Surabaya.

Anak muda dan politik

Tidak heran jika kemudian kemenangan sejumlah sosok anak muda dalam

Pilkada 2020 ini memperkuat sinyalemen bahwa anak-anak muda tidak bisa

lagi di luar panggung kekuasaan, tak bisa lagi sekadar sebagai penonton.

Apalagi tren pemilih di Indonesia menunjukkan, anak muda adalah penentu

arah politik di masa depan. Pada Pilkada 9 Desember lalu, sekitar 54,4 persen

pemilih juga berusia 40 tahun ke bawah.


Pilkada 2020 ini memperkuat sinyalemen bahwa anak-anak muda tidak
bisa lagi di luar panggung kekuasaan, tak bisa lagi sekadar sebagai
penonton.

Memaknai fenomena politik dan anak muda ini, bupati terpilih Trenggalek

Mochamad Nur Arifin melihat hal ini tidak lepas dari tuntutan dan jejak

sejarah politik di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari peran anak muda.

Mulai dari era memperjuangkan kemerdekaan sampai gerakan

menumbangkan Orde Baru dengan lahirnya Reformasi tak lepas dari peran

anak muda.

”Anak muda dan politik menjadi satu keharusan jika kita semua berorientasi

kepada cita-cita dan masa depan,” ungkap Arifin.

Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Wali kota Pasuruan terpilih Adi

Wibowo yang juga mewakili generasi muda. Menurut dia, bonus demografi di

Indonesia menuntut peran anak muda lebih agresif dan proaktif di dunia

politik. Pada tahun 2030-2035, Indonesia akan mendapatkan bonus

demografi, di mana negeri ini akan lebih banyak ditopang oleh 52 persen

penduduk dengan usia produktif.


KOMPAS/DOKUMENTASI KPU KOTA PASURUAN

Adi Wibowo, STP, MSi, calon Wakil Wali Kota Pasuruan

Menurut Adi, dengan komposisi anak muda yang lebih banyak dan ditopang

idealisme, bangsa ini diyakini akan lebih maju. Bagaimanapun tongkat estafet

kepemimpinan akhirnya juga harus diteruskan kepada generasi penerus.

”Jika anak muda tidak turun tangan ambil bagian dalam politik, ikut berjuang

dan memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa ini, kepada siapa kita

akan menggantungkannya?” jelas Adi.

Regenerasi kepemimpinan
Fenomena munculnya pemimpin muda, terutama yang di bawah 30 tahun,

menunjukkan regenerasi kepemimpinan. Hal itu tidak bisa dihindari karena

secara demografi, penduduk yang usia produktif, terutama di bawah 40 tahun,

kurang lebih sudah setengah dari total penduduk Indonesia.

Selain dari sisi jumlah penduduk, perkembangan dunia digital turut membuka

ruang bagi mereka, para generasi milenial, untuk mendapat panggung di

dunia politik. Fenomena Partai Solidaritas Indonesia sebagai pendatang baru

di Pemilu 2019 menjadi contoh bagaimana basis anak muda yang

dikembangkan oleh partai ini sedikit banyak sudah mendapatkan tempat di

memori pemilih.

Meskipun PSI gagal secara nasional meraih kursi di DPR, perolehan kursi di

DPRD tidak bisa dipandang sebelah mata. Partai yang membawa narasi

politik anak muda ini paham akan tren ke depan soal peran anak muda di

panggung politik.

Baca juga : Politik Gaya Generasi Milenial

Fenomena anak muda dan politik ini ditangkap oleh Ketua Perkumpulan

Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho sebagai sesuatu yang lumrah sebagai

tuntutan zaman. Bahkan menurut dia, apa yang terjadi di pilkada bukan tidak

mungkin terjadi di level kepemimpinan nasional. Perkumpulan Kader Bangsa


yang dipimpinnya selama ini menggalang kekuatan anak muda untuk

dipersiapkan sebagai pemimpin di daerahnya. Sejumlah pelatihan digagas

perkumpulan ini telah melahirkan banyak alumni di jajaran pimpinan

lembaga legislatif maupun eksekutif. Bupati Trenggalek terpilih Mochamad

Nur Arifin menjadi salah satu alumni dari perkumpulan ini.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Wakil Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin (kedua dari kanan) saat
menyampaikan paparan dalam lokakarya ”Penguatan Kerja Sama dan
Kemitraan Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat” di University Club,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (27/8/2018).

Menurut Dimas, dengan semakin bergeraknya regenerasi kepemimpinan di

tataran masyarakat, baik itu di tingkatan daerah, domain swasta, maupun

masyarakat sipil, desakan natural pergerakan kepemimpinan pada tataran

kepemimpinan nasional tampaknya juga tidak bisa dihindari.


”Fenomena kebangkitan kesadaran politik anak-anak muda milenial akan

sangat berpengaruh dalam perkembangan politik nasional ke depan,” ujar

Dimas.

Tentu akhirnya, semua tetap bertumpu pada kapasitas dan integritas anak

muda untuk siap dan layak memimpin masyarakat. Kapasitas terkait

pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melayani serta

memajukan masyarakatnya. Sementara integritas adalah terkait komitmen

moral, karakter, akhlak dan budi pekerti agar menjadi pemimpin yang baik

dan akuntabel. Selain kedua hal tersebut, Dimas menambahkan soal loyalitas,

yakni kesetiaan kepada negara dan bangsanya. Tak lupa juga komitmen

kepada nilai-nilai kemanusiaan universal, demokrasi, dan hak-hak sipil warga

negara.

Jadi, apa yang terjadi pada Pilkada 2020 dapat menjadi pintu bagi anak-anak

muda untuk berkiprah menunjukkan kepemimpinannya dengan berpegang

pada integritas, kapasitas, dan tentu loyalitas pada cita-cita bangsa. Inilah

momentum politik anak muda. Masa depan Indonesia ada pada tangan-

tangan mereka! (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)

Anda mungkin juga menyukai