Anda di halaman 1dari 11

TUTORIAL KLINIK Identitas Pasien Nama Usia : Tn.

P : 80 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki A. PROBLEM Seorang pasien laki-laki usia 80 tahun datang ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan keluhan timbul benjolan di leher bagian kiri. Benjolan tersebut sudah berlangsung lama. Pada awalnya benjolan hanya kecil kemudian selama 2 bulan terakhir benjolan semakin membesar dengan lebih cepat. Pada bagian benjolan tersebut kadang dirasakan nyeri namun kadang tidak. Hanya akhir-akhir ini nyeri dirasakan semakin sering. Pasien mengatakan bahwa benjolan tersebut pada tahun 2006 pernah diambil bagiannya untuk diperiksa, namun pasien tidak kontrol kembali sehingga tidak mengetahui hasilnya. Pasien mengatakan bahwa telah puasa selama 7 jam sebelum dilakukan tindakan operasi. Riwayat hipertensi pada pasien dikatakan bahwa tekanan darah pasien naik turun, mencapai tekanan darah tertinggi hingga 160 mmHg, pasien tidak mengkonsumsi rutin obat antihipertensi. Riwayat asma, alergi, batuk lama, sering kelelahan dan sesak jika beraktivitas berat, DM disangkal oleh pasien. Riwayat operasi 1 kali saat pengambilan contoh jaringan pada tahun 2006. Pada pasien tersebut akan dilakukan biopsi insisi. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Baik Kesadaran : CM Vital Sign : Tekanan Darah : 180/100 mmHg Nadi : 80 x / menit RR : 16 x / menit Suhu Pemeriksaan Kepala dan Leher Mata : Konjungtiva sub anemis Leher : Pada leher bagian kiri terdapat massa dengan diameter 15 cm, lonjong, konsistensi keras, terfiksir, nyeri tekan (). Pemeriksaan Dada Paru-Paru : Kanan Retraksi dada (-), simetris Kiri Retraksi dada (-), simetris

Inspeksi

Palpasi Perkusi Auskultasi

VF (+), simetris, massa (-) VF (+), simetris, massa (-) Sonor (+) Sonor (+) Vekiluer (+) N, wheezing (-), Vekiluer (+) N, wheezing (-), ronkhi ronkhi (-) (-) : S1 S2 reguler, suara tambahan (-)

Jantung

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi : DP = DD Auskultasi : BU (+) N, peristaltik (+) N Perkusi : timpani (+) Palpasi : NT (-) B. HIPOTESIS Tumor colli (s) pada pasien riwayat Hipertensi Stage II dengan rencana operasi biopsi insisi dengan kategori ASA III

C. Mekanisme Perubahan Tekanan Darah pre operative

D. More Info Pemeriksaan Darah Rutin Leukosit : 8,0 rb/ul Eritrosit : 3,27 juta/ul Hemoglobin : 8,8 g /dl -> dimasukkan transfusi PRC 1 kolf -> 10,3 g/dl Hematokrit : 28 % Trombosit : 90 rb/ul PPT : 12,4 detik APTT : 30,5 detik HbSAg : negatif

E. Dont Know 1. Bagaimanakah penilaian pasien tersebut pada pre operatif? 2. Bagaimanakah penanganan setelah post operatif? F. Problem Solving

Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi. Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya

stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik. Premedikasi Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif. Induksi Anestesi Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu

meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb). Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). Menggunakan anestesia topikal pada airway. Pemilihan obat induksi untuk penderita Hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bias digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering

menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain. Hipertensi Intraoperatif Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bias diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. Tabel 1. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut.

Tabel 2. Golongan dan efek obat-obat antihipertensi

Manajemen Postoperatif Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu factor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita

sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. G. Pembahasan a. Status Fisik Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium maka status fisik pasien ini adalah ASA III dengan hipertensi tidak terkontrol dan anemia. b. Metode anestesi yang digunakan adalah General Anestesi dengan LMA Premedikasi Diberikan Tramadol 100 mg Induksi Recofol 100 mg Ventilasi tekanan positif dengan O2 6 liter/menit dan N20 serta halothane. Pemeliharaan Anestesi Dengan N20, O2, dan halothane. c. Diskusi Pasien memiliki hipertensi grade II dengan terapi satu hari sebelumnya adalah captopril 2x12,5 mg dan amlodipin 2 x 10 mg. Captopril merupakan golongan ACEI sehingga resiko timbulnya hipertensi intraoperatif semkin tinggi. Metode anestesi yang digunakan dengan general anestesi menggunakan LMA dengan pertimbangan : Operasi tidak membutuhkan waktu yang lama Penggunaan LMA cenderung tidak menimbulkan manipulasi saat intubasi sehingga meminimalisir goncangan hemodinamik yang sering menimbulkan hipertensi. Premedikasi dengan menggunakan tramadol 100 mg. Dipertimbangkan karena stimulus nyeri dapat mengakibatkan hipertensi sehingga diberikan anti nyeri. Proses induksi diberikan recofol/propofol 100 mg. Penggunaan recofol ini aman pada penderita hipertensi karena mengakibatkan menurunnya TD akibat berkurangnya tekanan resitensi pembuluh darah sistemik (SVR), kontraktilitas jantung dan preload yang merupakan bagian dari efek samping recofol. Tekanan darah nampak berangsur menurun setelah dilakukan induksi dan selama operasi berlangsung. Anestesi inhalasi digunakan kombinasi halothane 1-2% dan N20. Halotan memiliki analgesia lemah sedangkan anestesinya kuat. Halothan memiliki efek samping penurunan TD dan bradikardia. Penggunaan sevoflurane dinyatakan lebih baik daripada penggunaan halothane. Metode pemeliharaan anestesi dengan volatile agent yaitu halothane dikombinasi dengan N20 mempertahankan kestabilan hemodinamik sehingga lonjakan tekanan darah terjaga selama proses operasi.

H. Durante Operasi Operasi berlangsung selama 15 menit. Selama operasi berlangsung digunakan maintenance dengan N2O, O2, dan halothane 1-2%. Tidak diberikan penambahan obatobatan yan lain selama operasi berlangsung. I. Post operative Pada post operative didapatkan alderete skore > 8, dengan rincian : Kesadaran 2 Sirkulasi 2 Respirasi 2 Aktivitas 2 Warna 2 Total 10 Dalam melakukan memindahkan pasien dari ruang pulih sadar, perhatikan Aldrete score, pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat (Aldrete score ). Maka dari pasien tersebut didapatkan aldrete skor 10 sehingga dapat dipindahkan ke ruangan. Aldrete scoring system sekarang lebih banyak digunakan sekarang sebagai acuan untuk menentukan keadaan pasien di ruang pulih sadar karena keadaan pasien yang dinilai lebih terperinci dan lebih spesifik dibanding scoring system yang lain. Post opertive hari I : S : pasien mengeluhkan masih terasa nyeri di bagian benjolan. Pasien menyatakan bisa tidur. Tidak ada keluahan pusing, dan mual. Pasien sudah flatus dan sudah minum serta makan makanan yang disediakan RS. Selain itu pasien mengatakan bahwa telah dapat turun dari tempat tidur untuk pergi ke kamar mandi. Saat melakukan aktivitas tersebut pasien tidak merasa pusing. O : TD : 140/90 mmHg HR : 80x/m RR : 20 x/m T : afebris Konjungtiva sub anemis (+) Thorax : dbn Abdomen : peristaltik (+) N. NT epigastrik (-) A : Pasien 80 th dengan tumor colli (S) dengan hipertensi stage II dan anemia post biopsi insisi dengan general anesthesi hari pertama P : injeksi cefixim 2 x 1 gram Injeksi ketorolac 3 x 30 mg Amlodipin 1 x 5 mg Captopril 2 x 12,5 mg Monitoring klinis dapat dibagi menjadi pengamatan jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation); suhu (temperature), dan tingkat kesadaran (conscious level). 1. Monitoring jalan nafas (airway) Dapat diamati dengan mengobservasi tanda-tanda sumbatan seperti retraksi dinding thorax atau supraklavikula pada saat inspirasi dan/atau munculnya bising nafas. Jalan nafas yang baik paing mudah dipertahankan pada posisi miring ke kiri . Posisi ini memungkinkan lidah dan pallatum molle jatuh ke arah depan jauh dari rongga orofaring. Pemeliharaan jalan nafas yang baik dapat disebut sebagai aspek terpenting dalam perawatan post operasi. Penggunaan endotracheal tube merupakan salah satu cara untuk

menjaga jalan nafas pada masa pemulihan. Pada penggunaan obat anesthesia yang lambat dieliminasi (seperti eter dan halotan), endotrakheal tube baik untuk digunakan sampai refleks laring kembai pulih. Penghisapan cairan di orofaring harus dilakukan sebelum pelepasan endotracheal tube untuk mencegah adanya aspirasi arah atau lendir. 2. Pernafasan (breathing) Respirasi dapat diamati dengan memonitor pergerakan dada atau dengan melakukan ekspirasi melalui telapak tangan pada mulut atau hidung pasien. Oksigenasi juga dapat diperkirakan dalam beberapa derajat dengan mengamati warna pasien. Warna kebiruan menunjukkna terjadinya hipoksia, dan ha ini paling mudah dilihat pada sektar bibir atau lidah. Untuk dapat menentukan warna tersebut dibutuhkan pencahayaan yang baik. Pemberian suplementasi oksigen dapat mencegah terjadinya hipoksemia, tetapi masalah yang muncul adalah tidak bisa terdeteksinya apnea oleh pulse oxymeter. 3. Sirkulasi (circulation) Sirkulasi dapat diamati dengan palpasi nadi (takikardia mengarahkan pada deplesi volume) dan dengan merasakan perifer (tangan yang dingin dengan perfusi buruk mengarahkan pada hipovolemia atau hipotermia akibat operasi yang lama). Kecepatan jantung harus berada pada keadaan normal, kira-kira 60 90 kali per menit. Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama kana menyebabkan gagal ventrike kiri, infark miokird, disritmia, edema paru atau perdarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitropusid (niprus) 0,5-1,0 mikrogram/kgBB/menit. 4. Tingkatan kesadaran (Conscious Level) Tingkat kesadaran harus dimonitor dengan mengobservasi kembalinya berbagai refleks; seperti; refleks berkedip, refleks menelan, dan refleks bersuara, serta berespon tehadap perintah. Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukkan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam berikutnya. Pulse oximetr dimonitor hingga pasien sadar kembali sambil meakukan pemeriksaan suhu. Pemulangan Pasien Kriteria pemulangan(kriteria klinis): 1. Apabila pasien sudah sadar dan mengenal lingkungan dicoba untuk setengah duduk(kepala diganjal dengan beberapa bantal). Bila pasien merasa pusing ditidurkan kembali (ganjal diambil). Prosedur ini dapat diulangi bila pasien merasa sudah enak kembali. 2. Bila selama 15 menit pasien tidak mengeluh apa-apa , dapat dicoba untuk duduk. Bila ada keluhan (pusing, mual atau muntah) dikembalikan posisi semula, atau kalau perlu posisi tidur lagi. Kemudian prosedur dapat diulang lagi. 3. Bila selama 15 menit dalam posisi duduk tidak ada keluhan . dicoba duduk dengan kaki menjuntai. Ini dilakukan pula selama 15 menit. Sementara itu pasien dicoba untuk minum dengan diber air putih. 4. Bila pasien dapat tahan pada posisi ini, maka coba untuk turun dari tempat tidur, dan diminta untuk memakai pakaiannnya sendiri. Pasien dapat memakai pakaian sendiri berarti fungsi koordinasi pasien sudah kembali, dengan demikian pasien siap untuk dipulangkan. Pada pasien ini pemberian anti nyeri yaitu ketorolac juga dapat menjadi salah satu alternatif tidak melonjaknya tekanan darah saat stimulus nyeri hebat post operatif dialami

pasien. Selain itu tetap diberikan obat antihipertensi post operatif untuk mengontrol tekanan darah. Pasien seudah mengalami flatus dan gerakan peristaltik pasien kembali normal sehingga pasien dapat minum dan makan karena traktus gastrointestinal kembali seperti semula, sehingga resiko muntah post general anesthesi dapat terhindari. J. Decision Making Tumor colli (s) dengan Hipertensi Stage II dan Anemia Pre Biposi Insisi denga Kategori ASA III.

Anda mungkin juga menyukai