Anda di halaman 1dari 15

TEORI DAN KONSEP BAHAN PANGAN LOKAL DAN KAITANNYA DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL

DISUSUN OLEH: Kelompok 4/THP-A Rissa Indiaresty Ninta Khaudinta M. Imam Asrory Dasa Helya A. Victoria Yosavin J. (121710101004) (121710101015) (121710101037) (121710101039) (121710101048)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

ABSTRAK

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan pemenuhan akan kebutuhan pangan merupakan hak asasi setiap orang. Pada segi konsumsi pangan pokok, sebagian besar masyarakat Indonesia terpaku pada dua komoditi utama, yaitu nasi dan tepung terigu. Permasalahan konsumsi pangan tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan pengembangan pangan lokal sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah setempat. Pemerintah kemudian melakukan upaya berupa diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, mencapai pola konsumsi pangan yang tepat, mewujudkan pola pangan harapan, dan agar gizi terjangkau oleh semua tingkat pendapatan. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam pola pangan harapan. Oleh karena itu, diperlukan Angka kecukupan gizi (AKG) yang berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi.

Keyword: pangan lokal, ketahanan pangan, diversifikasi, pola konsumsi, angka kecukupan gizi

PENDAHULUAN Kebutuhan pangan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan. Ketahanan pangan minimal harus ada dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Dari berbagai aspek permasalahan di atas, sebenarnya ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh bangsa kita agar memiliki ketahanan pangan yang baik. Diantara solusi tersebut ialah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan juga merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu jenis bahan pangan yakni beras. Oleh karena itu, penting sekali dilakukan upaya diversifikasi bahan pangan non beras untuk dapat meningkatkan potensi pangan lokal yang ada di suatu wilayah sehingga mengembalikan kesadaran masyarakat untuk kembali pada pola konsumsi pangan pokok yang diimbangi dengan gizi seimbang.

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan

Lokal

dan

Kebijakan

Pemerintah

Tentang

Ketahanan Pangan Menurut Krisnamurthi (2003), pangan memiliki

pengertian yang luas, mulai dari pangan esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain) serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya. Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat baik sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Pangan lokal yang diproduksi tersebut untuk tujuan ekonomi daerah setempat. Menurut Undang-Undang Pangan No.18 Tahun 2008, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Permasalahan dalam pengembangan ketahanan pangan antara lain: a. Jumlah penduduk yang cukup besar (sekitar 211 juta jiwa tahun 2000) dan tumbuh sebesar 1,49 persen per tahun, membawa konsekuensi adanya peningkatan permintaan pangan terus menerus dengan jumlah yang besar. b. Meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, menyebabkan terganggunya kapasitas produksi pangan nasional. c. Adanya pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam (dominasi sumber karbohidrat beras dan sumber protein nabati) karena dipengaruhi berbagai faktor, antara lain : dari segi sosial budaya mencakup informasi, pengetahuan dan kebiasaan yang dipengaruhi oleh nilai dan norma, kelembagaan maupun budaya lokal yang spesifik; dan dari segi ekonomi mencakup sistem perdagangan yang kurang jujur dan bertanggung jawab, serta tingkat

pendapatan (daya beli) masyarakat rendah. d. Kebijakan pengembangan pangan yang selama ini terfokus pada beras telah mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi sumber sumber pangan karbohidrat lain; serta mempengaruhi lambatnya pengembangan usaha penyediaan bahan pangan sumber protein (antara lain : serealia, daging, telur, susu), sumber zat gizi mikro (seperti sayuran dan buah

buahan) serta potensi pangan lokal yang tersebar di wilayah. e. Masih terbatasnya pengetahuan tentang pangan tradisional terutama ketersediaan gizi yang terkandung, keamanan dan manfaat bagi kesehatan. f. Cara pengelolaan, penyajian dan pengemasan pangan tradisional; tidak menarik dan kurang higienis. g. Kurangnya perhatian pengusaha terhadap potensi pangan tradisional. h. Masyarakat di beberapa daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan secara berulang (kronis) pada musim paceklik dan kerawanan mendadak di daerah yang terkena bencana. Kerawanan kronis disebabkan keterbatasan

kemampuan produksi dan rendahnya pendapatan masyarakat pada daerah daerah tertentu. Strategi pengembangan konsumsi pangan diarahkan pada tiga hal yaitu produk/ketersediaan, pengolahan dan pemasaranan. Strategi pengembangannya adalah: a. Pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini adalah berupa peningkatan peran masyarakat dalam pengembangan

konsumsi pangan yang meliputi peningkatan penegtahuan/kesadaran dan peningkatan pendapatan untuk mendukung kemampuan akses pangan oleh setiap rumah tangga. b. Peningkatan kemitraan. Merupakan implementasi,

sinkronisasi dan kerjasama antara semua stakeholders dalam

pengembangan konsumsi pangan termasuk pengembangan produksi/pengembangan teknologi pengolahan pangan. c. Sosialisasi. Memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan melalui promosi, kampanye, penyebaran informasi melalui media massa (cetak dan elektronik) lomba cipta menu dan pemberian penghargaan.

Diversifikasi Pangan Menurut Riyadi (2003), diversifikasi pangan merupakan suatu proses pemilihan pangan yang tidak hanya tergantung pada satu jenis pangan, akan tetapi memiliki beragam pilihan (alternatif) terhadap berbagai bahan pangan. Demikian pula Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu (1) diversifikasi konsumsi pangan, (2) diversifikasi ketersediaan pangan, dan (3) diversifikasi produksi pangan. Pada perkembangan terakhir, Departemen Pertanian mengupayakan percepatan diversifikasi pangan yang diharapkan tercapai pada tahun 2015 melalui dua tahap, yaitu tahap I tahun 2007-2010 dan tahap II tahun 2011-2015. Untuk kurun waktu tahun 2007-2010 kegiatan difokuskan kepada penciptaan pasar domestik untuk pangan olahan sumber karbohidrat nonberas, sayuran dan buah, serta pangan sumber protein nabati dan

hewani melalui suatu kegiatan konstruksi sosial proses internalisasi diversifikasi konsumsi pangan yang dilaksanakan melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap pentingnya diversifikasi konsumsi pangan yang disertai dengan pengembangan sisi suplai aneka ragam pangan melalui pengembangan bisnis pangan. Kurun waktu 2010-2015

difokuskan pada penguatan kampanye nasional diversifikasi konsumsi dan pendidikan gizi seimbang di sekolah dan masyarakat sejak usia dini (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Pelaksanaan diversifikasi pangan harus dilakukan secara serentak, dapat dimulai di pedesaan dengan memperhatikan perilaku rumah tangga termasuk rumah tangga petani sebagai produsen sekaligus konsumen pangan (Rachman dan Mewa, 2008). Menurut Suyastiri (2008), tujuan diversifikasi konsumsi pangan berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan adalah: a. Mengurangi ketergantungan impor beras Melalui diversifikasi konsumsi pangan diharapakan akan membuat pilihan akan bahan pangan menjadi semakin beragam, sehingga dapat menekan ketergantungan terhadap impor beras. b. Mencapai pola konsumsi pangan yang tepat Ketahanan pangan menitikberatkan pada aspek alokasi sumberdaya ke arah penggunaan yang efisien, fleksibel, dan stabil dengan memanfaatkan potensi lokal yang tersedia.

c. Mewujudkan pola pangan harapan Diversifikasi konsumsi pangan memiliki sasaran untuk memberikan nutrisi atau gizi yang memadai bagi pola konsumsi rumah tangga, sehingga akan mampu untuk memenuhi pola konsumsi sehat dan bergizi di masyarakat. d. Gizi yang terjangkau oleh semua tingkat pendapatan. Melalui diversifikasi konsumsi pangan diharapkan akan mampu untuk mengalokasikan pendapatan memilih jenis komoditi pangan yang relatif lebih terjangkau. Implementasi diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal memerlukan strategi dan komitmen yang kuat dari pemerintah, petani, pengusaha, dan masyarakat. Keberhasilan program ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang dikuat dari berbagai pemangku kepentingan. Beberapa kebijakan strategis yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan upaya mewujudkan stabilitas (ketersediaan) pangan nasional adalah (1) kebijakan dan strategi diversifikasi pangan di Indonesia serta program aksi

diversifikasi pangan, (2) di bidang perberasan: kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) dan tarif impor, (3) kemandirian pangan, dan (4) kebijakan (pangan) transgenik. Secara umum, kondisi ketahanan pangan nasional 20052009 cenderung semakin baik dan kondusif, walaupun kualitas konsumsi pangan masyarakat berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2009 mengalami penurunan. Pola Pangan

Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu

mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, cita rasa.

Pola Konsumsi Pangan Menurut Santoso (2004) pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi dari kelompok padi-padian (beras, jagung, terigu) masih dominan baik di kota maupun di desa. Namun perlu diwaspadai bahwa jenis konsumsi pangan yang bersumber lemak, minyak dan gula sudah berlebihan. ini akan membawa dampak

Kelebihan dari kedua pangan

negatif bagi kesehatan terutama penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung dan diabetes (Ariani, 2004). Pangan mempunyai fungsi sosial yang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan pendidikan masyarakat. Fungsi sosial pola konsumsi pangan sebagai berikut: a. Fungsi Gastronomik

Pangan berfungsi untuk mengisi perut (gaster) kosong. Hal tersebut berhubungan dengan kesukaan, selera dan kepuasan. b. Pangan sebagai identitas Budaya Jenis pangan menentukan asal budaya mereka masing-masing yangg diolah dengan resep, cara, dan bercita rasa yang khas daerah tertentu dan etnis tertentu. c. Pangan sebagai fungsi religi dan magis Pangan dikaitkan dengan upacara khusus dan keyakinan dari setiap budaya atau daerah masing-masing. d. Pangan sebagai fungsi komunikasi Pangan sebagai sarana komunikasi non verbal pada peristiwa. Contohnya parsel dan bingkisan. e. Pangan sebagai lambang status ekonomi Jenis makanan dapat menunjukkan tingkat ekonomi dari setiap orang. Misalnya saja orang kaya makan di

restoran mewah, makan produk import dan orang miskin makan produk lokal. f. Pangan sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan Makanan majikan lebih mahal dari pada pembantu dan pangan dapat dijadikan komoditas politik antar Negara.

Angka Kecukupan Gizi (AKG) Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis

dalam perumusan acuan label gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika dan keadaan fisiologis seperti ibu hamil dan menyusui (Almaitser, 2005). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Berbagai zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan lemak maupun kelompok zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral merupakan komponen bahan makanan (FKM UI, 2007). Adapun kegunaan dari AKG yaitu untuk mengukur tingkat konsumsi, sebagai perencanaan konsumsi pangan dan ketersediaan pangan, dan untuk menentukan fortifikasi zat gizi dlm makanan. AKG di Indonesia merupakan jenis gizi yang di anjurkan yaitu meliputi energi, protein, vitamin (A, D, E, K, B, C) dan mineral Ca, P. Fe, Zn, I, Se. Rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia yaitu 2.200 Kal dan 50 g protein (tingkat konsumsi). Rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia yaitu 2.500 Kal dan 55 g protein ketersediaan). (tingkat

KESIMPULAN

Dari berbagai penjelasan materi tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi dan

dikembangkan sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat baik sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. b. Permasalahan yang dihadapi pemerintah mengenai pangan karena sebagian besar masyarakat Indonesia terpaku pada dua komoditi utama, yaitu nasi dan tepung terigu. g. Pemerintah menetapkan kebijakan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan impor beras, mencapai pola konsumsi pangan yang tepat, mewujudkan pola pangan harapan, dan agar gizi terjangkau oleh semua tingkat pendapatan. h. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam pola pangan harapan. i. Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67. Badan Ketahanan Pangan. 2006. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI., 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Krisnamurthi, B. 2003. Langkah Sukses Menuju Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Rachman, Handewi P.S. dan Mewa Pangan Ariani. di 2008. Indonesia:

Penganekaragaman

Konsumsi

Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2 bulan Juni 2008. Hal 140 154. Riyadi. 2003. Kebiasaan Makan Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Jakarta:

Prosiding Simposium Pangan dan Gizi serta Kongress IV Bergizi dan Pangan Indonesia. Santoso, S, dkk, 2004. Kesehatan dan Gizi. Cetakan kedua. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya Suhardjo.1998. Pangan dan Pertanian. Jakarta: UI Press. Suyastiri, N.,M. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 13 (2008): 51 60.

Anda mungkin juga menyukai