Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan- bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas local atau sistemik. Kulit dan saluran napas adalah organ yang paling sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi. Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya. Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II), bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2. Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching produksi IgG ke IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Penyakit Akibat Kerja (PAK)? Apa yang dimaksud dengan Asma Akibat Kerja? Apa yang dimaksud dengan Klasifikasi Asma? Apa yang dimaksud dengan Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS)? Apa yang dimaksud dengan Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja? Cara mendiagnosa Asma Akibat Kerja? 1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK). Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Asma Akibat Kerja. Mengetahui beberapa klasifikasi Asma. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS). Mengetahui Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja. Untuk mengetahui cara mendiagnosa Asma Akibat Kerja. 1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah dengan mencari artikel-artikel yang relevan melalui studi kepustakaan yang berasal dari beberapa buku yang telah disarankan oleh Dosen sekaligus pembimbing.
Diskusi kelompok merupakan metode yang penulis gunakan untuk menyamakan pendapat serta berbagi pemahaman atas topik persoalan yang ada
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Akibat Kerja
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan
dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.
Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah silikosis yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari batu api. Pengetahuan mengenai PAK masih terbatas karena sulitnya melakukan studi epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek hygiene industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi kontrol, tidak mungkin menentukan gejala minimal, banyak karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat kerja sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan survivor population. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya laporan PAK di Indonesia. PAK tersering adalah yang mengenai saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK imunologik lain yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK yang mengenai kulit.
2.2 Asma Akibat Kerja
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat menentukan prognosis.
Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/factor dalam lingkungan kerja Asma yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan terhadap bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki disabilitas, harus pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan turunnya kualitas hidup. Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma seharusnya memberikan kompensasi. Ironisnya banyak perusahaan malah memecat pekerja tersebut. Untuk itu, perlu undang-undang yang mengatur kompensasi bagi penderita penyakit alergi akibat kerja.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik Hipereaktivitas Atopi/alergi bronkus Faktor yang memodifikasi penyakit genetik Jenis kelamin Ras/etnik 2. Faktor lingkungan Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll) Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain) Ekpresi emosi berlebih Asap rokok dari perokok aktif dan pasif Polusi udara di luar dan di dalam ruangan Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas tertentu Perubahan cuaca 2.3 Klasifikasi Asma
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat- ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2)Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru Intermitten Bulanan APE80% - Gejala<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar serangan.
- Serangan singkat.
2 kali sebulan - VEP180% nilai prediksi APE80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80% - Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. - Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur
>2 kali sebulan - VEP180% nilai prediksi APE80% nilai terbaik. - Variabiliti APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80% - Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.
- Membutuhkan bronkodilator setiap hari.
>2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik. - Variabiliti APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60% - Gejala terus menerus - Sering kambuh
- Aktifiti fisik terbatas
Sering - VEP160% nilai prediksi APE60% nilai terbaik
- Variabiliti APE>30%
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi (lihat bagan 1, bagan 2 dan bagan 6).
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat Bayi : Menangis keras
Bayi : -Tangis pendek dan lemah
-Kesulitan menetek/makan
Bayi : Tidakmau makan/minum
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata Kesadaran Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata Wheezing Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop Sulit/tidak terdengar Penggunaan otot bantu respiratorik Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradok torako-abdominal Retraksi Dangkal, retraksi interkostal Sedang, ditambah retraksi suprasternal Dalam, ditambah napas cuping hidung Dangkal / hilang Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia Frekuensi napas normal per menit
< 2 bulan <60
2-12 bulan < 50
1-5 tahun < 40
6-8 tahun < 30
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia Frekuensi nadi normal per menit
2-12 bulan < 160
1-2 tahun < 120
6-8 tahun < 110
Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis)
Tidak ada (< 10 mmHg)
Ada (10-20 mmHg)
Ada (>20mmHg)
Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik)
Pra bonkodilator
Pasca bronkodilator
>60% >80%
40-60% 60-80%
<40% <60%, respon<2 jam
SaO2 % >95% 91-95% 90% PaO2 Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) >60 mmHg <60 mmHg PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg Sumber : GINA, 2006
Tabel 3. Jenis Obat Asma
Jenis obat Golongan Nama generik Bentuk/kemasan obat Pengontrol (Antiinflamasi)
Pelega
(Bronkodilator)
Steroid inhalasi Antileukokotrin
Kortikosteroid sistemik
Agonis beta-2
kerjalama
kombinasi steroid dan
Agonis beta-2
kerjalama
Agonis beta-2 kerja cepat
Antikolinergik
Metilsantin
Kortikosteroid sistemik
Flutikason propionat Budesonide
Zafirlukast
Metilprednisolon
Prednison
Prokaterol
Formoterol
Salmeterol
Flutikason + Salmeterol.
Budesonide + formoterol
Salbutamol
Terbutalin
Prokaterol
Fenoterol
Ipratropium bromide
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Metilprednisolon
Prednison
IDT IDT, turbuhaler
Oral(tablet)
Oral(injeksi)
Oral
Oral
Turbuhaler
IDT
IDT
Turbuhaler
Oral, IDT, rotacap solution
Oral, IDT, turbuhaler, solution, ampul (injeksi)
IDT
IDT, solution
IDT, solution
Oral
Oral, injeksi
Oral
Oral, inhaler
Oral
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol (tabel 5).
Tabel 4. Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkonrol Sebagian
Tidak Terkonrol
Gejala harian Tidak ada (dua kali atau kurang perminggu) Lebih dari dua kali seminggu Tiga atau lebih gejala dalam kategori Asma Terkontrol Sebagian, muncul sewaktu waktu dalam seminggu Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu Gejala nokturnal/gangguan tidur (terbangun) Tidak ada Sewaktu waktu dalam seminggu Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu) Lebih dari dua kali seminggu Fingsi Paru (PEF atau FEV1*)
Normal < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur) Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalm setahun**) Sekali dalam seminggu***) Keterangan :
*) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar
adekwat
***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol
Sumber : GINA 2006
2.4 Reactive Airways Dysfunction Syndrome
Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau irritant induced asthma adalah reaksi non- imunologik serupa asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan (Toluen Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi. Hipereaktivitas bronkus dapat menetap sedikitnya satu tahun pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah untuk jangka waktu yang lama dapat juga menimbulkan reaksi serupa.
Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja sudah diketahui dapat menimbulkan asma. Bahan-bahan dengan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal hewan, tanaman seperti tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi sintesis IgE dan memicu reaksi asma alergi tipe I. Bahan dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic Anhydride/TMA, platina, nickel merupakan hapten yang berikatan dengan protein pembawa asal tubuh yang dapat memacu sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW tidak berhubungan dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi lambat terisolasi.
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam berbagai derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga Monday morning fever atau Monday moning chest tightness atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding karyawan pertenunan.
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim paru akibat pajanan dan sensitisasi terhadap berbagai debu organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal tanaman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan, busa, plastik dapat pula menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III dan Tipe IV.
2.5 Cara Mendiagnosis Asma Akibat Kerja
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan, imunologi (molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus, fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold standard.
Diagnosis asma akibat kerja pada prinsipnya adalah menghubungkan gejala klinis asma dengan lingkungan kerja; oleh karenanya dibutuhkan suatu anamnesis yang baik dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Anamnesis teliti mengenai apa yang terjadi di lingkungan kerjanya merupakan hal penting; seperti : kapan mulai bekerja di tempat saat ini, apa pekerjaan sebelum di tempat kerja saat ini, apa yang dikerjakan setiap hari, proses apa yang terjadi di tempat kerja, bahan-bahan yang dipakai dalam proses produksi serta data bahan tersebut. Dan yang tak kalah penting adalah peninjauan lapangan oleh pemeriksa (dokter) untuk lebih memahami situasi lapangan.
Selain anamnesis mengenai tempat kerja, yang perlu juga diketahui adalah mengenai klinis yang terjadi. Kapan mulai timbulnya keluhan, sejak mulai masuk tempat tersebut atau yang dikenal sebagai masa laten. Masa laten dapat beberapa minggu sampai beberapa tahun, umumnya 1-2 tahun.Klinis sesak, batuk, mengi dapat timbul sewaktu kerja, setelah kerja (sore maupun malam) atau keduanya. Bila frekuensi serangan lebih sering/memburuk sewaktu hari kerja dibandingkan hari libur atau akhir minggu maka dapat diduga asma yang timbul berhubungan dengan tempat kerja.
Pemeriksaan penunjang Spirometri (pemeriksaan FEV1) sebelum dan sesudah shift. Dikatakan positif bila terjadi penurunan FEV1 sebesar lebih dari 5% antara sebelum dan sesudah kerja; pada orang normal variabel tersebut kurang dari 3%. Pemeriksaan ini oleh banyak ahli diragukan sensitivitasnya karena pada suatu penelitian hanya 20% penderita asma disebabkan colophony yang turun FEV1nya selama workshift; sedangkan penurunan FEV1 juga dijumpai pada 10% kelompok orang yang tidak asma (kontrol).
Cara lain adalah pengukuran FEV1 dan FVC pada pekerja (tersangka asma akibat kerja) yang dikeluarkan dari lingkung an kerjanya dan kemudian diukur ulang sewaktu bekerja kembali. Apabila hasilnya memperlihatkan perbaikan selama meninggalkan tempat kerja dan didukung oleh perbaikan ke luhan maka dapat disimpulkan adanya hubungan keluhan klinis dan tempat kerja.
PEFR : Pemeriksaan serial PEFR (peak expiratory flow rate) selama hari-hari kerja dan beberapa hari libur di rumah, merupakan pemeriksaan asma akibat kerja yang terbaik. Dikatakan positif respons bila kurva pengukuran selama hari libur di rumah lebih baik dari sewaktu hari kerja.
Tes provokasi
Ada dua macam pemeriksaan:
Non spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan histamin atau metakolin. Pemeriksaan ini hanya membuktikan adanya bronkus hiperreaktif . Spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan alergen yang diduga penyebab. Pemeriksaan ini bila dapat dilaksanakan merupakan cara pembuktian terbaik bahwa alergen tempat kerja merupakan penyebab. Kesulitannya terletak pada penentuan alergen penyebab dan reproduksinya bila telah diketahui. Tes kulit dan tes serologi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan apabila agen penyebab nya bahan dengan berat molekul besar karena akan merangsang terjadinya reaksi imunologi (IgE).
2.6 Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja
Untuk mencegah terjadinya asma akibat kerja maka pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemakaian alat pelindung, pemantauan polutan di udara lingkungan kerja sangat dianjurkan. Bila telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja merupakan hal penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus dilakukan upaya pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru.
Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat kerja diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa tahun meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya.
Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial pada umumnya:
Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor . Efektifitas kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin.
Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma akibat kerja dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid).
Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih baik dibanding hanya beta agonist saja.
Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah bronkokonstriksi yang disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan memperbaiki fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan pada akhirnya akan memperbaiki kualitas hidup.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat menentukan prognosis. Selain itu, menghindari paparan alergen penyebab ternyata hanya memberi kesembuhan 50 % penderita. Penelitian retrospektif menunjukkan gejala asma, obstruksi bronkus, dan hiperreaktivitas menetap walau tidak ada paparan alergen lagi. Dengan demikian, jelas tindakan preventif yang tepat sangat diperlukan.
Pencegahan tingkat kedua dengan deteksi diri pekerja yang menderita penyakit tersebut dan menghentikan paparan lebih lanjut. Ini akan mengurangi progresifitas penyakit, sehingga tidak menjadi lebih berat. Dokter perusahaan harus melakukan pemantauan medis secara rutin, khususnya pada pekerja yang banyak terpapar alergen.
Tindakan di tingkat tersier adalah menghindarkan pekerja yang telah terdiagnosis dari lingkungan kerja sebelumnya yang banyak alergen, ke lingkungan kerja bebas alergen. Hal ini akan mencegah kerusakan akibat asma dan hiperreaktivitas yang menetap.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki disabilitas, harus pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan turunnya kualitas hidup. Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma seharusnya memberikan kompensasi.
3.2 Saran
Saat ini sekitar 7 dari 100 pekerja penuh ( full time ) yang bekerja di sektor swasta setiap tahunnya mengalami kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Di dunia sekitar 2,8 juta kasus mengakibatkan hilangnya waktu berproduksi dan setiap tahunnya pula 6000 pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan di tempat kerja.
Perencanaan perlu dilaksanakan untuk mengidentifikasi bahaya penilaian pengendalian resiko. Perencanaan harus didokumentasikan dan terus diperbaharui sesuai dengan keadaan. Mengidentifikasikan bahaya, resiko dan implementasi pencegahan termasuk kegiatan rutin dan non rutin, dan kegiatan setiap personal yang mempunyai akses ke tempat kerja termasuk kontraktor dan tamu.
Metode untuk mengidentifikasi bahaya dan penilaian resiko :
Mendefinisikan sesuai ruang lingkup, sifat alami dan waktu untuk memastikan proaktif. Klasifikasi resiko dan identifikasi mana yang harus dihilangkan atau dikontrol. Konsisten dengan pengalaman operasi dan kemampuan pengontrolan resiko yang dimiliki. Menentukan fasilitas yang diperlukan, identifikasi pelatihan yang mungkin diperlukan atau pengembangan kontrol opersional. Memonitor langkah-langkah yang mungkin yang diperlukan untuk memastikan efektivitas dan ketepatan waktu implementasi. Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan pengontrolan resiko dijelaskan dalam formulir HIRARC (Hazard Identification Resico Assesement dan Resico Control).
Suatu perusahaan harus mempunyai kebijakan untuk selalu mamperhatikan dan menjamin implementasi, peraturan keselamatan, kesehatan dan lingkungan yang meliputi :
Peningkatan berkelanjutan Sesuai dengan aturan dan perundangan keselamatan dan kesehatan ditempat kerja yang berlaku. Mengkomunikasikan keseluruh karyawan agar karyawan sadar dan mawas mengenai kewajiban keselamatan dan kesehatan pribadi. Dapat diketahui atau terbuka bagi pihak-pihak yang berminat. Evaluasi berkala untuk mempertahankan agar tetap relevan dan sesuai dengan perusahaan. Perusahaan juga harus memiliki kewajiban-kewajiban didalam manajemen keselamatan kerja yaitu :
1. Safety Policy Mendefinisikan kebijaksanaan umum suatu perusahaan didalam hal keselamatan kerja.
2. Organisation / Management Commitment Merinci komitmen manajemen disetiap level dan dalam bentuk tindakan sehari-hari.
3. Accountability Mengindikasikan hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh bawahan untuk menjamin keselamatan kerja.
Yang dimaksud Accountability dalam manajemen keselamatan kerja adalah suatu pengukuran yang aktif oleh manajemen untuk menjamin terpenuhinya suatu target keselamatan. Didalam Accountability ini tercakup dua hal yaitu :
1. Responsibility
Yaitu keharusan menanggung aktivitas dan akibat-akibatnya didalam suatu keselamatan.
2. Authority Yaitu hak untuk memperbaiki, memerintahkan dan menentukan arahan dan tahapan suatu tindakan.