Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1989, Pasal 1 menyebutkan
bahwa anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Dengan definisi di atas, secara sederhana tentara anak dapat diartikan sebagai anak yang menjadi tentara atau milisi, ikut dalam pertempuran, terlibat baku tembak, menjadi mata-mata ataupun dikirim untuk misi pengintaian, yang berjaga dan menyandang senjata, ataupun yang membawa logistik perang. Pada umumnya tentara anak di seluruh dunia terlibat dalam konflik bersenjata dengan alasan paksaan, baik diculik dari keluarganya ataupun deengan ancaman akan dibunuh. Konvensi Hak-hak Anak PBB yang diberlakukan pada 12 Februari 2002 telah menaikkan batas usia bagi peran serta orang dalam perekrutan wajib militer dan partisipasi dalam konflik bersenjata, dari usia 12 tahun menjadi 18 tahun. Namun selain permasalahan batasan umur tersebut, muncul lagi masalah baru yaitu bagaimana jika sang anak sendiri yang secara sukarela menjadi tentara. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi sang anak, baik secara sukarela ataupun terpaksa, untuk bergabung dalam angkatan bersenjata. Seperti yang terjadi dalam kasus tentara anak di Kolombia. Berdasarkan catatan militer Kolombia, 7685 anak saat ini bergabung dalam kesatuan polisi nasional, 7551 tergabung dalam tentara, 338 anak tergabung dengan angkatan udara, 83 anak tergabung dalam angkatan laut dan sejumlah 3445 anak berumur antara 13-15 tahun. Perekrutan anak untuk menjadi tentara dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak non-pemerintah (pemberontak). Hal yang menarik dalam kasus ini adalah karena sampai sekarang pun perekrutan anak untuk menjadi tentara di Kolombia masih terus dilakukan tanpa adanya tindakan yang keras dari dunia internasional. Hal ini sungguh ironis karena Kolombia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi CroC dan Protokol Opsionalnya. Pada akhirnya menurut HAM apapun yang menjadikan anak-anak sebagai variabel dalam sebuah konflik atau perang itu bisa merenggut hak-hak dasar anak- anak. Dengan banyaknya pembatasan terhadap pelanggaran-pelanggaran ini melalui hukum internasional pun masih saja belum efektif untuk meruntuhkan kejahatan perang seperti ini, jadi secara fitrawi harusnya HAM harus lebih besar ditegakkan dengan melibatkan seluruh elemen terkait untuk terus mendengungkan hak-hak dasar manusia khususnya hak anak.