Anda di halaman 1dari 16

1

LEMBAR PENGESAHAN


Makalah referat dengan judul Paralisis Pita Suara telah diterima dan disetujui pada
Tanggal Mei 2014 sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok Periode 28 April 2014 31 Mei 2014 di RSAL dr.
Mintohardjo.




Jakarta, 24 Mei 2014


dr. Donald Marpaung, Sp.THT

















2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok di RSAL dr. Mintohardjo, mengenai PARALISIS
PITA SUARA.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.
Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak sehingga kendala-kendala yang penulis
hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada dr. Donald Marpaung, Sp.THT sebagai dokter pembimbing
dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat membantu teman sejawat serta para
pembaca pada umumnya dalam memahami Paralisis Pita Suara.




Jakarta, 22 Mei 2014








3

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.................................................................................................................1
Kata Pengantar........2
Daftar Isi.................3
BAB I Pendahuluan..................................................................................................... ...........4
BAB II Laring
II.1 Anatomi..........................5
II.2 Fisiologi..................8
BAB III Paralisis Pita Suara
III.1 Definisi..........................9
III.2 Etiologi..................................................................................................................9
III.3 Patofisiologi.........................................................................................................10
III.4 Klasifikasi dan Gejala Klinis ..............................................................................10
III.5 Pemeriksaan.........................................................................................................12
III.6 Tatalaksana..........................................................................................................12
III.7 Prognosis .............................................................................................................13
III.8. Komplikasi .........................................................................................................14
BAB IV Kesimpulan.............................................................................................................15
Daftar Pustaka.......................................................................................................................16










4

BAB I
PENDAHULUAN

Pita suara terdapat pada laring. Pita suara ini memproduksi suara ketika udara yang
berasal dari dalam paru dilepaskan dan melewati pita suara yang tertutup, sehingga
mengakibatkan pita suara tersebut akan bergetar. Paralisis pita suara merupakan gangguan
suara ketika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka maupun menutup dengan
semestinya.
Angka kejadian paralisis pita suara bervariasi antara 1.5 23%.
(1)
Tujuh puluh lima
persen pasien menderita paralisis pita suara unilateral dan sebanyak 3 30% kasus mengenai
pita suara kanan. Paralisis pita suara kongenital lebih sering terjadi dibandingkan dengan
yang didapat.
(1)
Hampir 90% paralisis disebabkan oleh lesi yang menekan saraf sepanjang
segmen perifer dan hanya 10% berasal dari sistem saraf pusat atau sebelum saraf keluar dari
foramen jugular.
Kualitas hidup pasien dengan paralisis pita suara menurun, terutama apabila kasus ini
terjadi pada pekerja yang mengutamakan penggunaan suara. Disfonia berat atau afonia dapat
menyebabkan kehilangan pendapatan atau pengangguran. Selain itu, paralisis pita suara
unilateral berpotensi mengancam nyawa, jika proteksi jalan nafas memburuk dan mengarah
ke pneumonia aspirasi.









5

BAB II
LARING
II.1. ANATOMI
Laring adalah suatu struktur berbentuk tabung yang terbentuk dari suatu sistem yang
kompleks yang terdiri dari otot, kartilago, jaringan ikat. Laring menggantung dari tulang
hyoid. Kerangka dari laring tersusun atas 3 kartilago yang berpasangan dan 3 kartilago yang
tidak berpasangan. Kartilago tiroid merupakan kartilago tidak berpasangan yang terbesar dan
berbentuk seperti sebuah perisai. Bagian paling anterior dari kartilago ini sering menonjol
pada beberapa pria, dan biasa disebut sebagai Adams apple. Kartilago tidak berpasangan
yang kedua adalah kartilago krikoid. Kartilago ketiga yang tidak berpasangan adalah
epiglotis. Perlekatan dari epiglotis memungkinkan kartilago tersebut untuk invert, sebuah
gerakan yang dapat membentuk untuk mendorong makanan dan cairan secara langsung ke
dalam esofagus dan melindungi korda vokalis dan jalan pernapasan selama proses menelan
(2)
.
Ketiga kartilago yang berpasangan antara lain aritenoid, kuneiformis, dan
kornikulatus. Kuneiformis dan kornikulatus berukuran sangat kecil. Aritenoid berbentuk
seperti piramid dan karena melekat pada korda vokalis, membiarkan terjadinya gerakan
membuka dan menutup dari korda vokalis yang penting untuk respirasi dan bersuara.
Laring digerakkan oleh sekelompok otot ekstrinsik dan otot intrinsik. Otot ekstrinsik
laring terletak di atas tulang hyoid (suprahioid) yang berfungsi menarik laring ke atas dan di
bawah tulang hyoid (infrahioid) untuk menarik laring ke bawah. Otot-otot ekstrinsik
suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, dan m.milohioid. Otot infrahioid
ialah m.sternohioid, m.omohioid, dan m.tirohioid. Otot-otot intrinsik laring ialah
m.krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan
m.krikotiroid. Otot tersebut bertanggungjawab dalam pergerakan pita suara.

Abduktor
tunggal pita suara adalah m.krikoaritenoid posterior, sedangkan otot utama adduktor pita
suara terdiri dari m.tiroaritenoid dan m.krikoaritenoid lateral dibantu oleh m.interaritenoid
(3)
.
6


Gambar 1. Otot-otot ekstrinsik

Gambar 2. Otot- otot ekstrinsik
Pita suara terdiri dari 5 lapisan, yaitu epitel skuamosa berlapis, lamina propia
superficial, lamina propia intermediate, lamina propia deep, dan otot.


Gambar 3. Lapisan Pita Suara
7

Terdapat dua pasangan saraf mengurus laring dengan persarafan sensorik dan
motorik, yakni dua saraf laringeus superior dan dua inferior atau laringeus rekurens. Saraf
laringeus merupakan cabang-cabang dari saraf vagus. Saraf laringeus superior meninggalkan
trunkus vagalis melengkung ke anterior dan medial di bawah arteri karotis eksterna dan
interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik interna dan cabang motorik
eksterna. Cabang interna ntuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus
piriformis, dan seluruh mukosa laring superior. Masing-masing cabang eksterna merupakan
suplai motorik untuk otot krikotiroideus. Di sebelah inferior, saraf laringeus rekurens berjalan
naik di antara trakea dan esophagus, masuk ke dalam laring tepat di belakang artikulasio
krikotiroideus, dan mengurus persarafan motorik semua otot intrinsik laring kecuali
krikotiroideus. Perjalanan saraf rekurens kiri yang lebih panjang serta hubungannya dengan
aorta, maka saraf ini lebih rentan cedera dibandingkan saraf yang kanan
(2)
.

Gambar 4. Persarafan laring

II.2. FISIOLOGI SUARA
Fonasi dihasilkan oleh interaksi siklik antara udara yang dihembuskan dan sifat
biofisika unik dari pita suara, seperti dijelaskan oleh teori fonasi myoelastic-aerodinamis.
Proses fonasi dimulai dari inhalasi udara, penutupan glotis, posisi pita suara mendekati garis
tengah. Penjelasan sederhana fonasi adalah ekshalasi menyebabkan tekanan subglotis
8

meningkat sampai pita suara bergerak ke lateral, menghasilkan penurunan tekanan subglotis
yang cepat. Kekuatan ini mengembalikan pita suara ke garis tengah termasuk penurunan
tekanan, elastisitas pita suara, dan hukum Bernoulli. Ketika pita suara kembali ke tengah,
tekanan trakea terbentuk kembali, dan siklus berulang
(4)
.

Gambar 5. Proses fonasi oleh pita suara






9

BAB III
PARALISIS PITA SUARA

II.I. DEFINISI
Paralis berarti terganggunya kemampuan anggota tubuh untuk bergerak dan berfungsi,
yang biasanya diakibatkan karena kerusakan saraf. Paralisis pita suara terjadi ketika salah
satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka ataupun menutup dengan semestinya
(5)
.

Gambar 6. Anatomi pita suara

II.2. ETIOLOGI
Palisis yang terjadi pada pita suara dapat diakibatkan oleh beberapa kondisi, antara lain
trauma bedah iatrogenik pada vagus atau n. laringeus rekuren, termasuk bedah pada kepala,
leher, atau dada. Khususnya, tiroidektomi, endartektomi karotis dan bedah tulang belakang
anterior; invasi malignan pada vagus atau n.laringeus rekuren dapat terjadi akibat tumor pada
basal tengkorak, kanker tiroid, kanker paru-paru, kanker esofagus, dan metastasis pada
mediastinum (seringkali akibat kanker paru primer); pada kondisi neurologik tertentu seperti
stroke, tumor otak, maupun multiple sclerosis; kerusakan pada saraf yang mempersarafi
daerah laring. Biasanya dikarenakan tumor benigna maupun maligna, perlukaan di daerah
tersebut, infeksi virus, maupun neurotoxin seperti merkuri, arsenik, ataupun toksin difteria;
intubasi endotrakeal; dan idiopatik
(6)
.

10

II.3. PATOFISIOLOGI
Pada daerah laring, secara anatomis terdapat nervus vagus dan cabangnya yaitu
nervus laringeus rekurens yang mempersarafi pita suara. Jika terjadi penekanan maupun
kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi paralisis pita suara, di mana pita suara tidak
dapat beradduksi. Secara normal, ketika berfonasi, kedua pita suara beradduksi, tetapi karena
terjadi paralisis salah satu atau kedua pita suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara
tidak maksimal.

II.4. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS
a) Paralisis Pita Suara Unilateral
Pasien dengan paralisis pita suara unilateral biasanya bermanifestasi klinis dengan
adanya disfonia low-pitched, suara terasa berat dan lemah, yang terjadi secara tiba-tiba.
Dalam beberapa kasus, disfonia dapat high-pitched. Seringkali, paralisis ini berhubungan
dengan disfagia, khususnya dengan cairan, karena adanya ketidakmampuan glotis sehingga
dapat menyebabkan aspirasi. Hal ini terjadi jika paralisis pada n.laringeal superior dan kedua
n.laringeal rekuren
(7)
.

Manifestasi lanjut menyebabkan anestesia pada faring. Pasien dengan
paralisis pita suara unilateral seringkali memiliki gejala napas pendek atau perasaan
kekurangan udara. Sebagai tambahan, penutupan glotis diperlukan untuk menciptakan
tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP). Dengan demikian, beberapa pasien postoperatif
dengan segera akan mengalami penurunan fungsi pulmoner karena hilangnya PEEP alami
yang terjadi saat penutupan glotis.
i. Paralisis Laringeal Rekurens Unilateral
Paralisis ini terjadi akibat terganggunya nervus vagus ataupun karena adanya
kerusakan pada nervus laringeal rekurens. Paralisis pita suara kiri lebih sering terjadi
daripada paralisis pita suara kanan. Kebanyakan paralisis pita suara dikarenakan efek
samping dari pembedahan
(7)
.
ii. Paralisis Komplit Nervus Vagal Unilateral
Paralisis komplit vagal unilateral ini terjadi karena proses pembedahan misalnya pada
pembedahan bagian bawah tengkorak. Penyebab lainnya karena gangguan neurologik seperti
11

multiple sclerosis, siringomelia, dan encefalitis. Infark brainstem, inflamasi maupun proses
malignansi juga menjadi kausa lainnya dalam paralisis komplit vagal unilateral ini.
b) Paralsis Pita Suara Bilateral
Pada paralisis pita suara bilateral keluhan khas yang sering timbul adalah hilangnya
suara secara tiba-tiba biasanya setelah operasi tiroidektomi total atau paratiroidektomi. Suara
menjadi lemah untuk beberapa bulan pada awalnya. Kemudian suara pun dapat membaik
hingga hampir normal. Terdapat episode dimana pasien tidak dapat bernapas, sering akibat
spasme laring, suara dengan nada tinggi terdengar ketika sedang berusaha untuk bernapas.
i. Paralisis Nervus Laringeal Rekuren Bilateral
Paralisis ini kebanyakan disebabkan oleh proses pembedahan tiroid, terutama total
tiroidektomi. Penyebab lainnya yang jarang adalah karena pertumbuhan tumor tiroid yang
malignan.
ii. Paralisis Komplit Nervus Vagal Bilateral
Paralisis ini biasanya melibatkan nervus kranialis, yakni nervus glosofaringeus dan
nervus hipoglosus. Pada paralisis ini terjadi imobilasasi dari pita dengan pelebaran celah
glotis.

Gambar 7. Paralisis pita suara
12

II.5. PEMERIKSAAN
Diagnosis paralisis pita suara membutuhkan pemeriksaan untuk menunjang
penegakkan diagnosis, antara lain laringoskopi indirek atau laringoskopi fiberoptic yang
merupakan satu-satunya metode untuk melihat mobilitas pita suara dalam keadaan asli.
Ketika pemeriksaan, pasien diminta melakukan maneuver menghidu, pasien melakukan
fonasi sebuah vokal. Hal ini menyebabkan pita suara bergantian aduksi dan abduksi
maksimal dan merupakan cara yang sangat baik untuk menilai derajat paresis atau
kelumpuhan.
Dapat juga dilakukan videostroboskopi yang bermanfaat untuk memeriksa pergerakan
pita suara abnormal. Videostroboskopi dapat menunjukkan penutupan tidak lengkap atau
besar celah glotal pada paralisis pita suara yang tidak terkompensasi. Selain menunjukkan
peningkatan amplitudo getaran, videostroboskopi melihat perbedaan ketinggian pita suara
dan proses vokal selama fonasi
(1)
.
Selain itu karena gangguan ini disebabkan oleh kerusakan saraf, maka diperlukan
tambahan tes untuk mencari penyebab paralisis. Untuk itu dapat digunakan X-ray, MRI
maupun CT-scan. Dapat pula dilakukan laringeal elektromiografi, dalam pemeriksaan ini
dilakukan pemasukkan jarum kecil ke dalam otot pita suara dan digunakan untuk menemukan
kelainan yang terjadi.

II.6. TATALAKSANA
Ada beberapa terapi untuk paralisis pita suara, antara lain:

1. Medikasi
Terapi dengan medikasi biasanya dipakai saat ada kelainan penyerta seperti refluks
gastroesofagus diberikan obat-obatan seperti antacid atau proton pump inhibitor dan
sinonasal alergi diberikan antihistamin.
2. Voice therapy
Terapi dapat dilakukan sendiri atau dikombinasikan dengan terapi pembedahan.
Pemilihan voice therapy ini sebagai terapi sendiri karena dalam beberapa kasus suara dapat
kembali normal tanpa terapi pada tahun pertama terjadinya kerusakan sehingga tidak
13

memerlukan pembedahan, jika pasien tidak bisa atau menolak pembedahan. Untuk terapi
yang dilakukan dengan pembedahan biasa dilakukan pada saat pre-operatif 1-2 sesi dan post-
operatif 2-3 sesi, pada terapi pre-operatif dapat menurukan muscle tension dysphonia (MTD)
sekunder dan untuk terapi post-operatif nya dapat meningkatkan kekuatan, koordinasi, dan
daya tahan otot
(6)
.
3. Pembedahan
a. Bulk Injection
Pada injeksi ini dibagi menjadi dua, yaitu temporary dan permanen. Pada temporary,
dengan endoskopik injeksi dari material yang dapat diresorpsi pada pita suara yang rusak, di
samping otot thyroaritenoid di rongga paraglotis. Dan hasilnya adalah medialisasi dari pita
suara yang paralisis, sehingga dapat meningkatkan kualitas suara dan meningkatkan fungsi
menelan. Ada banyak materi injeksi yang dapat digunakan, antara lain radiesse voice gel,
asam hialuronik, cymetra, gelfoam, dan zyplast/zyderm. Pada teknik injeksi permanen,
teknik-tekniknya sama dengan yang injeksi temporary, hanya materialnya yang berbeda,
untuk injeksi permanen ini digunakan material yang lebih permanen, seperti lemak, fascia,
CaHA, Teflon.
b. Implan struktural
Medialisasi thyroplasty/laringoplasty adalah medialisasi pita suara yang paralisis dari
approach eksternal dan dikerjakan melalui kartilago tiroid. Dibuat jendela insisi kecil dan
pisahkan kartilago tiroidnya dan implan dipasang melalui jendela insisi kearah medial
sehingga dapat memedialisasi pita suara yang paralisis. Implan yang biasa dipakai adalah
silastic block, Gore-Tex
(6)
.

II.7. PROGNOSIS
Hasil dari terapi pada paralisis pita suara adalah sangat baik. Kebanyakan pasien
dapat kembali berbicara hampir normal dan bahkan normal dan dengan minimal atau tanpa
limitasi dari fungsi berbicara. Tetapi untuk bernyanyi, kemungkinan tidak akan bisa dengan
sempurna, karena kemampuan pita suara sudah terbatas
(8)
.

14

II.8. KOMPLIKASI
Komplikasi dari terapi pembedahan adalah suara yang kurang baik, kesulitan
bernafas, dan migrasi dari implan. Pada saat pembedahan yang mencakup manipulasi dari
saluran nafas, faktor seperti hematoma, edema dapat menyebabkan kesulitan bernafas, dan
untuk mencegah dari komplikasi ini maka pada saat operasi harus dilakukan dengan tepat dan
sangat hati-hati serta dengan pemberian kortikosteroid pre dan post-operatif, dan resiko akan
lebih besar jika proses pembedahan adalah bilateral.
Walaupun pembedahan sangat penting jika ada disfagia, kebanyakan pembedahan
dilakukan untuk memperbaiki kualitas suara. Sering kualitas suara yang buruk atau tidak ada
perbaikan setelah operasi dapat diperbaiki dengan pengulangan medialisasi laringoplasty
dengan atau tanpa arytenoid adduction.














15

BAB IV
KESIMPULAN

Paralisis pita suara terjadi ketika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat
membuka ataupun menutup dengan semestinya yang dapat disebabkan oleh disfungsi dari
nervus vagus dan nervus laringeal rekurens. Etiologi paralisis pita suara di antaranya karena
trauma bedah iatrogenik, invasi malignansi pada saraf, kondisi neurologic tertentu, kerusakan
pada saraf, intubasi endotrakeal, maupun idiopatik. Paralisis pita suara dapat terjadi secara
unilateral maupun bilateral. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dapat dilakukan melalui
penggunaan medikasi, voice therapy, maupun pembedahan. Pada saat paralisis ini dapat
diterapi dengan baik, dapat memperbaiki kualitas hidup dari penderita.













16

DAFTAR PUSTAKA

1. Simpson, Blake. Treatment of Vocal Fold Paralysis. Head & Neck Surgery
Otolaryngology, 4th Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. 61: 848-860.
2. Adams GL, Boies Jr LR, Highler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.
3. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala Leher edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007
4. Sulica, Lucian. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. Head & Neck
Surgery Otolaryngology, 4th Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. 58:
818-824.
5. National Institute on Deafness and Other Comunication Disorders (NIDCD). Vocal Cord
Paralysis. Available at www.nidcd.nih.gov. Accessed on May 20, 2014.
6. Mayo Clinic Staff. Vocal Cord Paralysis. Available at www.mayoclinic.com. Accessed
on May 20, 2014.
7. The Merck Manual. Vocal Cord Paralysis. Available at www.merckmanuals.com.
Accessed on May 2-, 2014.
8. Medline Plus. Laryngeal Nerve Damage. Available at
www.nlm.nih.gov/medlineplus.com. Accessed on May 20, 2014.

Anda mungkin juga menyukai