Keputusan politik penggabungan Tanah Papua menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1963 ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan negara terhadap hak-hak dasar atas rakyat papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan kesejahteraan yang dinikmati oleh sebagian besar saudara-saudaranya di provinsi-provinsi tertentu di Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak azasi manusia (HAM) dan ndikasi pengingkaran hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat. Hal-hal tersebut diatas sesungguhnya merupakan suatu ironi, karena di dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Indonesia Tahun 1945 dinyatakan dengan tergas mengenai tujuan Pemerintah Negara Indonesia yang diantaranya adalah ... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa... , termasuk didalamnya tentu saja adalah rakyat Papua. Keadaan ini mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh Tanah papua dan diekspresikan dalam berbagai bentuk. Banyak di antara ekspresi- ekspresi tersebut dihadapi dengan cara-cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Pelanggaran HAM tidak jarang menjadi warna pengelenggaraan pembangunan di Papua. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua yang ingin melepaskan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan diri sendiri. 1
Banyak studi membuktikan, dibalik kemajuan pembangunan di papua, ternyata pada saat yang sama melahirkan berbagai problem sosial budaya dikalangan penduduk lokal. Penduduk lokal Papua sampai saat ini masih jauh dari kemajuan baik iptek maupun bidang kesejahteraan yang lainnya. Papua dilihat sebagai suatu pulau yag kaya akan segala hasil alam dan dari masyarakatnya yang sadar akan kebudayaan yang membuat masyarakat Papua dikenal dikalangan mancanegara.
1 Agus Sumule, Mencari jalan tengan Otonomi Khusus Papua, halaman 47-48 Kebijakan Pemerintah saat ini tetap mengedepankan peningkatan terhadap pulau atau wilayah yang jaraknya dekat dengan pusat pemerintahan seperti halnya Jawa dan Sumatera. Pemerintah terlalu berkutat dengan kesibukan akan kehidupan pribadinya yang penuh dengan harta yang melimpah dan mengurusin para petinggi yang dapat memberikan keuntungan yang melimpah juga bagi dirinya sendiri. Ironi ini sungguh menyayat hati para masyarakat Papua terhadap pemerintahan di Indonesia. Dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak dan kewajiban dasar rakyat Papua, Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus ProvinsiPapua dikembangkan dan dilaksanakan dengan berpedoman pada sejumlah nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar ini bersumber dari adat istiadat rakyat Papua, nasionalisme yanng bertumpu pada prinsip kemanusiaan universal dan penghormatan akan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Nilai-nilai dasar tersebut dimasukan dalam rancangan otonomi khusus Papua untuk melaksanakan pelaksanaan dalam beberapa aspek Otonomi Khusus Papua dimasa yang akan datang, dan ada tujuh butir nilai dasar Otonomi Khusus Papua 2 : 1. Perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua 2. Demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi 3. Penghargaan terhadap etika dan moral 4. Penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia 5. Supremasi hukum 6. Penghargaan Terhadap pluralisme 7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara
Status Otonomi Khusus Otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi Irian Jaya/ Papua sesuai dengan ketetapan MPR nomor IV/MPR/1999 harus dipahami sebagai suatu status pemerintahan, bukan status politik. Penggunaan terminologi status politik dapat menimbulkan kesalahan intrepetasi, karena seringkali diartikan sebagai kepemilikan kekuasaan. Padahal Otonomi khusus hanya sebatas pada kepemilikan kewenangan.
Otonomi khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negatif mengenai Otonomi di kalangan rakyat
2 Agus Sumule, Mencari jalan tengan Otonomi Khusus Papua, halaman 52 Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini.
Istilah otonomi dalam otonomi khusus haruslah diartikan sebagai kebebeasan bagi rakyat Papua untuk emgnatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan. Hal lain yang tidak kalaj penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan karekteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. 3
Otonomi khusus tak menajwab persoalan yang saat ini dihadapi oleh Papua. Papua, khususnya rakyat papua merasa bahwa otonomi khusus ini adalah salah bentuk peraturan yang tidak pernah menjamin bahkan membantu rakyat papua untuk menjadi raja di tanah Papua. Rakyat Papua banyak merasakan bahwa otonomi khuss tersebut seperti kepentingan politik dan penguasa pusat untuk terus mengeruk kekayaan alam di Papua tanpa melihat rakyat Papua. Setelah diundangkan tahun 2001, Otonomi khusus tersebuttidak jelas dan tidak ada badan yang berwenang mempercepat pembangunan, memperlancar komunikasi dan memastikan dana publik digunakan untuk kesejahteraan rakyat Papua. 4
Sejak Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi papua diterbitkan, kewenangan pemerintah daerah sangat luas mulai dari kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, moneter, fiskal, agama hingga peradilan. Provinsi Papua juga mengadakan kerja sama dengan lebaga atau badan di luar negeri. 5
Permasalahan otonomi khusus di Papua tidak pernah adanya evaluasi yang berkelanjutan dari pihak pemerintah Pusat terhadap Otonomi Khusus Papua. Kelengahan ini terlihat dari hasil permasalahan yang saat ini sedang muncul kepermukaan lokal maupun dunia. Dana yang diberikan kepada Papua tercatat lebih besar dibandingkan dengan biaya
3 Agus Sumule, Mencari jalan tengan Otonomi Khusus Papua, halaman 50-51 4 Koran KOMPAS, Jumat tanggal 4 Nopember 2011 halaman 1 dan 15 5 Koran KOMPAS, Jumat tanggal 4 Nopember 2011 halaman 1 dan 15 yang diberikan kepada wilayah lain bahkan lebih besar dari pada Otonomi Khusus di Aceh. Dana mengalir triliunan rupiah setiap tahunnya dari APBN tetapi hasilnya tidak adanya perbuhan seara signifikan terhadap kondisi Papua, tetap tidak sejahtera dan semakin merana.
Menurut Ketua Kaukus Papua di Parlemen Paskalis Kossay, penyimpangan dana otsus terjadi saat bendahara keuangan di Papua menarik dana di pusat. 6 Pemerintah dalam hal ini seolah-olah membiarkan penyimpangan tersebut terjadi. Bukti seperti ini menunjukan bahwa pemeirntah kurang berhasil untuk mengurus kepulauan Indonesia paling timur ini. Dana otsus tersebut habis oleh elit-elit lokal dan tidak tersalurkan secara penuh kepada masyarakat Papua.
Akibat dari penyimpangan yang diabaikan tersebut, banyak hal yang tak lumrah terjadi dalam pengelolaan keuangan. Ada bupati menyuruh istrinya mencairkan APBD, diamana bahwa istri dar seorang bupati tidak berhak sama sekali dalam hal penairah dana APBD maupun lain sebagainya. Bahkan ada bupati yang membeli dua peswat Boeing. Bahkan ada juga bupati yang membagikan dana kepada rakyat dengan begitu saja. Saat ini ada 27 kepalaa daerah di Papua, dan Papua Barat yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 7
Menurut anggota Komisi 1 dan Ketua evaluasi dan Pemantauan Otsus Papua, Yorris Raweyai, kucuran dana otsus ke Papua luar biasa besar dibandingakan ke daerah lain di Indonesia. Tahun 2011, transfer APBN ke APBD Papua lebih dari Rp 5 Triliu. Dana Otsus 2011 senilai Rp 28,2 triliun dan akan bertambah lebih dari Rp 4 triliun tahun depan. 8
Sayangnya dana otsus tidak menyentuh pendidikan dan kesehatan warga di kampung terpencil. Saat ini otsus sebagai pembiayaan bagi kalangan para pemimpin di Papua yang menggunakan uang tersebut hanya untuk kepentingan sendiri dan segelintir orang, tidak adanya kejelasan tentang dibawa kemana dana tersebut setelah pemerintah pusat menguurkan begitu besar dana otsus tersebut bagi Papua.
6 Koran KOMPAS, Jum;at tanggal 4 Nopember 2011 halaman 46 7 Koran KOMPAS, Jum;at tanggal 4 Nopember 2011 halaman 46
8 Koran KOMPAS, Jum;at tanggal 4 Nopember 2011 halaman 46 Aspek HAM
Selain dari aspek otsus, Papua bermasalah dengan adanya pelangaran HAM yang kian hari kian menjadi perbincangan panas di berbagai saluran televisi dan berbagai percetakan. Papua saat ini tengah ditimpa dengan kekerasan yang bersifat siklis tidak pernah surut di Papua, yang mendungand keprihatinan luas, termasuk sorotan masyarakat Internasional.
Masyarakat Papua seolah tidak pernah merasa tenang, selalu mengalami kegaduhan dan gangguan tindakan kekerasan yang ebrsifat trukturan maupun kultural. Mata rantai kekerasan seperti tidak pernah putus-putusnya. Belakangan terjadi sejumlah insiden kekerasan yang meinta korban jiwa dikalangan warga masyarakat dan aparat keamanan.
Muncul pula keteganagn oleh kasus penembakan dan aksi masa di PT Freeport Indonesia serta pembubara Kongres Rakyat Papua III yang diikuti penahanan 200 perserta kongres. Kondisi papua yang senantiasa tegang mengundang kperihatinan. Wilayah tersebut semakin sulit untuk dihindarkan dari tindakan kekerasan yang saat ini menjadi topik terhangat dalam perbincangan masyarakat nasional maupun peneliti internasional.
Sudah sering disinggung, kekerasan bersifat struktural dan kultural berjalan paralel dan tumpang tindih. Kekerasan struktural lebih berhubungan dengan koprah aparat keamanan terkait dengan isu seperatisme. Papua pernah dinyatakan sebagai daerah operasi militer, yang membawa komplikasi terhadap isu pelanggaran hak asasi.
Keadaan diperburuk karena kekerasan struktural berjalan paralel dan tumpang tindih dengan kekerasan yang bercorak kultural yang berakar pada sisa-sisa kebiasaan perang suku. Namun, sensifitas kekerasan perang suku tampak terbatas karena sulit dipolitisasi, lebih-lebih karena tidak langsung menimbulkan isu pelanggaran hak asasi.
Sebaliknya, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan sebagai salah satu komponen negara langsung menimbulka kegaduhan sebagai pelanggaran hak asai. Kekerasan aparat kemanan dinilai telah melanggar panggilan tugas untuk melindungi dan memebela warga masyarakat.
Jelas pula, kasus Papua membuktikan pendekatan keamanan tidak mampu menyelesaikan persoalan. Pendekatan kemanan bisa kontraproduktif karena rawan melanggar hak asasi, yang mudah mengundang sorotan dunia internasional. Jika kekerasan dan pelanggaran hak asai terus terjadi, sorotan dunia akan meningkat yang dapat mendorong proses internasionalisasi persoalan Papua. Atas dasar itu, pendekatan keamanan seyoginya diganti dengan pendekatan kesejahteraan.
Sejauh ini sudah dicoba pendekatan kesejagteraan dengan pemberian otonomi khusus sejak tahun 2001. Namun, efektifitas otonomi khusus itu kurang dirasakan masyarakat Papua bukan karena hanya korupsi, melainkanjuga pelaksanaannya dinilai setengah hati. Pelaksanaan otonomi khusus justru menciptakan frustasi baru.
Masyarakat Papua mengharapkan dari otonomi khusus tersebut akan adanya perubahan mendasar dan membuat langkah yang lebih sejahtera dari Papua. Tetapi setelah 10 tahun dirasakan, ternyata tidak ada dampak yang dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat Papua. Frustasi juga tidak kunjung surut dari masyarakat Papua, karena kekerasan yang tidak suruh, rasa keamanan dan keadilan tidak terpenuhi. 9
Menurut catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan advokasi Hak Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumah pelanggaran HAM di Papua seperti berikut ini : Di Kabupaten Paniai, sejak tahun 1969-1997 diketahui korban meninggal duni adalah sebanyak 614 orang akibat pembunuhan oleh aparat negara. Korban hilang mencapat 13 orang. Korban pemerkosaan dari tahun 1980 sampai 1995 sebanyak 80 orang yang mencakup pelajar SD, SMTP, SMTA sampai ibu rumah tangga. Di Kabupaten Jaya Wijaya terjadi pula pelanggaran HAM dalam skali signifikan. Di kecamatan Kelila, pada tahun 1979 diketahui korban meninggal sebanyak 201 orang. Dikecamatan Assologiaima pada tahun 1977 diketahui korban meninggal sebanyak 126 orang. Di kecamatan Wasi pada tahun 1977 meninggal sebanyak 148 orang. Semua korban ini diakibatkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara Dikabupaten Biak Numfor, dari tahun 1969 sampai tahun 1997 diketahui telah timbul korban kekerasan oleh aparat negara sebanyak 62 orang.
9 Tajuk Rencana, perhatian terhadap Papua, kompas, halaman 6 tanggal 6 Nopember 2011 Di kabupaten Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun 1972 diketahui korban meninggal sebanyak 7 orang; hilang 5 orang, dan korban pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana di kabupaten-kabupaten lain, mereka ini adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.
Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum
Kongres II Papua yang berlangsug pada pertengahan tahun 2000 di Jayapura juga secara khusus menyorot soal pelanggaran HAM ini, yang dari sisi pandang Kongres memiliki dimensi politik yang tidak sederhana. Artinya pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua pada umumnya terkait dengan aspirasi yang ingin memisahkan diri dari NKRI. 10
Ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian seara tuntans dan bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di provinsi Papua. 1. Mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM, seperti cabang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peradilan HAM. 2. Dengan melakukan penelitian oleh suatu badan independen tentang sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka memungkinkan kebenaran yang sebenarnya terungkap secara bermartabat sebagai dasar untuk mencari penyelesaian yang menyeluruh, termasuk di dalamnya adalah melakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang masih tidak sepaham mengenai statur Papua di dalam NKRI. 3. Menggunakan nilai-nilai budaya masyarakat Papua untuk menylesaikan masalah- masalah HAM. 11
10 Mencari jalan tengah Otonomi Khusus Papua, penyelesaian pelanggaran HAM, halaman 233-234 11 Mencari jalan tengah Otonomi Khusus Papua, penyelesaian pelanggaran HAM, halaman 234-235