Anda di halaman 1dari 14

4

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Disaster Victim I dentification
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk
mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada
INTERPOL DVI Guideline. Diperlukan DVI untuk menegakkan Hak Asasi
Manusia (HAM), sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual
diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status
perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.
6,7

Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban
massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar,
kecelakaan kapal laut, kapal terbang dan aksi terorisme. Dapat diterapkan
terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban terorisme.
7
Tugas utama DVI :
a) Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk
melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian.
b) Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit
tempat rujukan korban meninggal.
c) Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya
yang ada.
d) Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
e) Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait.
5

5


Bencana massal didefenisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan
oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba tiba atau
perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta
benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya
masyarakat untuk menanggulanginya. Dalam melakukan proses tersebut
terdapat bermacam-macam metode dan teknik indentiflers yang terdiri dari
fingerprints, dental records dan DNA, serta secondary indentifiers yang
terdiri dari property dan photography. Prinsip dari proses identifikasi ini
adalah dengan membandingkan data ante mortem dan post mortem, semakin
banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary identifiers mempunyai
nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers.
7,8

2.2 Organisasi operasi tanggap bencana
DVI memiliki tugas utama untuk melakukan koordinasi dengan tim medis
dan aparat keamanan untuk melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat
kejadian, melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit
rujukan korban meninggal, melakukan identifikasi terhadap korban meninggal
dengan sumber daya yang ada, membuat kesimpulan sementara terhadap hasil
pemeriksaan, melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait.
6
Setelah gambaran situasi awal telah diperoleh di lokasi bencana, unit
operasional yang berbeda harus dibentuk untuk melaksanakan langkah-langkah
yang tanggap bencana. Unit-unit ini harus diserahkan tugas dan tanggung jawab
spesifik:
6

6

6

a. Central emergency rescue unit.
b. Central investigation unit, including evidence collection and
sceneofcrime.
c. Victim identification unit, including recovery and evidence collection.
d. Disaster investigation unit responsible for determining the cause(s) of
the disaster.

2.3 Fase dalam melakukan tindakan DVI
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari the scene, post mortem examination,
ante mortem information retrieval, reconciliation dan debriefing.
6
a. The scene
merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah tim
pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik, dan petugas polisi)
harus sedini mungkin dikirim ke TKP. Pada fase pertama, tim awal
yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban hidup dan
korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat
mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan
bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan
label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim
pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan
sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
6,9
7

7


b. Post mortem examination
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase
ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase
ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan
dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data
postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap
gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan
DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar
interpol.
6,9
Gambar 1. Formulir post-mortem (pink form)
10
8

8

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke
dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut:
6,9
Primer : Sidik jari, profil gigi, DNA.
Sekunder : Visual, fotografi, properti jenazah, medik-
antropologi (ras, jenis kelamin, tinggi badan, perkiraan usia).
1. Fingerprinting
Sidik jari dari jenazah dikumpulkan untuk kepentingan
identifikasi korban hal ini dikarenakan tiga hal dimiliki sidik jari
yaitu pertama sidik jari itu unik, dimana sidik jari tidak mungkin
sama antara satu individu dengan individu lainnya. Kedua, sidik
jari juga tidak berubah sejak masa pembentukan (bulan ke-4
gestasi) hingga meninggal. Kerusakan akibat cedera ringan tidak
merubah bentuk sidik jari, sebaliknya kerusakan akibat cedera
yang berat biasanya membentuk jaringan parut pada sidik jari.
Ketiga, sidik jari dapat diklasifikasikan sehingga dapat
diidentifikasi.
6,7

2. Forensic pathology
Petugas patologi forensik melakukan pemeriksaan luar,
pemeriksaan dalam dan pemeriksaan rangka terhadap jenazah dan
kemudian menuliskan data yang ditemukan ke dalam formulir
post mortem. Ahli patologi forensik juga yang mengumpulkan
sampel untuk keperluan uji DNA. Disamping itu ahli patologi
forensik juga menggali informasi penting mengenai korban
9

9

meninggal seperti jenis kelamin, umur, ras, ukuran panjang tubuh.
Ketika melakukan pemeriksaan pada jenazah juga dilakukan
dokumentasi terhadap data-data yang didapat.
6
3. Forensik dentistry
Gigi dan rahang manusia memiliki keunikan tersendiri sehingga
dapat digunakan sebagai alat identifikasi. Gigi berada di dalam
rongga mulut dan dapat bertahan dari pengaruh eksternal, dimana
gigi tersusun atas zat yang tidak mudah rusak bila dibandingkan
dengan jaringan lunak (sidik jari). Data gigi dapat dikumpulkan
saat pemeriksaan post mortem yang kemudian dicocokkan dengan
data ante mortem yaitu keterangan dokter gigi yang merawat
korban.
6
c. Ante mortem information retrieval
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana
ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi
korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari
10

10

keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,
bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter
keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak
berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila
keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban
maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban.
Data ante mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan
standar interpol.
6,9
Gambar 2. Formulir ante-mortem (yellow form)
10
d. Reconciliation
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat
yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante
Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam
Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. Setelah
data PM dan AM cocok kemudian jenazah dicatat secara
administrasi dan dikembalikan ke pihak keluarga.
6,9

e. Debriefing
Fase ini dilakukan setelah proses identifikasi selesai. Pada
fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses
identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban
bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
11

11

identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di masa
yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang
tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang
ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan
masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang
wajib dibahas pada saat debriefing.
6,9

2.4 Identifikasi korban
Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada
awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan, dengan adanya
perkembangan masalah-masalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan
maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang
berhubungan dengan manusia.
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh
dokter Alfonsus Bertilion pada awal abad ke 19 dengan memanfaatkan ciri umum
seseorang seperti ukuran antropometri, warna rambut, mata dan lain-lain.
Kenyataannya, cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahan-
perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia
selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.
11,12

Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari
(daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-
1712. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana
identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya
2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 X 10
9
:1. Kendala dari

12

12

sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk
pembanding.
11,12
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan saat ini berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan
untuk mengidentifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai
displin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi
melalui sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai identifikasi medik.
11,12
Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang
kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang
untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris,
dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.
11.13

2.5 Metodologi identifikasi
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai
metode dari yang sederhana sampai yang rumit.
14,15

a. Metode sederhana:
1. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini
mudah karena masih baik, cara ini mudah karena identitas dikenal
melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini
tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta
harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang
berduka, stress, sedih, dll)
13

13

2. Melalui kepemilikan (property) identitas cukup dapat dipercayai
terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri)
3. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan
lain sebagainya.
b. Metode ilmiah, antara lain : Sidik jari, serologi, odontologi, antropologi.
Cara cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin
ilmu ternyata dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikernal.
Dengan metode ilmiah ini didapatkan akurasi yang sangat tinggi dan juga
dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profilinf
(sidik DNA). Cara ini mempunyai banyak keuggulan tetapi memerlukan
pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan
identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit.
Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang
lebih rumit.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara
saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh
karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat.
Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan
memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).
Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan
membandingkan dara-data tersanfka korban dengan data dari korban yang
tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi,
sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai
14

14

faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik
harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri
identitias yang pasti.
3,4

Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah
dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia
melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi
atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara
lain mengenai umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah,
DNA.
14,16
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas
umur korban misalnya, maka pencaharian dapat dibatasi pada data-data
orang hilang yang berada disekitar umur korban. Dengan demikian
penyidikan akan lebih terarah.

2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda-tanda khusus pada korban
tersebut.
Disini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur
atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain: misalnya adanya gigi
yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada
bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Di samping ciri-ciri diatas, juga
15

15

dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto
korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak
korban dengan foto semasa hidupnya.
14,16,17
c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.
11,14

Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan
tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan teknik ini adalah:
1). Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2). Foto korban harus baik posisinya maupun kualitasnya.
3). Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4). Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.

2.6 Setelah korban Teridentifikasi
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah
yang meliputi antara lain:
11,16,18

a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diderahkan sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah
yang meliputi antara lain :
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
16

16

c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap, penerima, hubungan keluarga dengan
korban.
d. dibawa kemana atau dimakamkan dimana.

Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang
dibantu oleh keluarga korban. Sangat penting untuk tetap memperhatikan file
record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan
dengan baik juga berkepentingan agar pihak lain Interpol misalnya dapat melihat,
mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini
dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
11,16,18
Identifikasi pada korban bencana massal adalah suatu hal yang sangat sulit
mengingat beberapa hal dibawah ini:
11,16,18
1. Jumlah kondisi banyak dan kondisi buruk
2. Lokasi kejadian sulit dicapai
3. Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
4. Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.
Sehingga penting pada pelaksanaannya tugas identifikasi massal ini adalah
koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan
transportasi.
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di
bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan
penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di Provinsi Sumatra Utara
diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatra
17

17

Utara, Dinas Perhubungan, Dinas sosial, Palang Merah Indonesia dan Instansi
terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak, dan Satlak.

Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi
(Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan penyelidikan dan penyidikan sebab dan
akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban banyak
membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya
pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim ivestigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan,
kelalaian ataupun kesengajaan (terosis bom). Masih diperdebatkan mengenai
jumlah korban untuk dimasukkan dalam kriteria korban massal.

Anda mungkin juga menyukai