Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN TUGAS
MANDIRI

PBL: Patologi Forensik
BLOK 30
EMERGENCY MEDICINE II

Nama : Engelbertus Usman
NIM : 10-2007-104
Kelompok : B4
Tutor : dr. Irwandi


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2

2011
Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Kejahatan Seksual Pada Anak dibawah Umur

Abstrak : Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat
penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu
pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan
seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan
ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam
penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat
membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya
tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan
keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk
mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar
terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut
dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan
visum et repertum. Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan
menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik.
Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat
dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut
suatu kasus.
Kata kunci : aspek hukum, prosedur medikolegal, traumatologi, Visum et Repertum

PENDAHULUAN
Ilmu Kedokteran Forensik adalah spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam
mengungkapkan suatu kasus pidana, diperlukan adanya beberapa komponen yang ikut berperan
diantaranya masyarakat, polisi, bagian penyidik, serta para ahli yang ikut membantu.
Salah satu dari komponen ahli yang sering ikut berperan dalam mengungkapkan suatu
kasus pidana ialah dokter dimana dokter merupakan ahi dalam hal tubuh manusia. Untuk itu
sangatlah perlu bagi seorang dokter mempelajari ilmu kedokteran forensik agar dapat membantu
para pihak penyidik untuk mengungkap berbagai kasus yang ada di masyarakat.
3

Dengan mempelajari Ilmu kedokteran Forensik, maka seorang dokter dapat melakukan
berbagai pemeriksaan untuk membantu penyidikan sehingga akan didapatkan informasi-
informasi penting yang diperlukan pihak penyidik untuk mengungkap suatu kasus.
Dalam makalah ini, akan dibahas bagaimana alur tata cara yang perlu dilakukan oleh
dokter yang diminta oleh pihak keluarga korban dalam membantu mengungkapkan kasus
kejahatan seksual pada anak dibawah umur termasuk aspek hukum yang berperan didalamnya
hingga membuat laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan dari kasus tersebut.
Diharapkan, dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai tata
cara pengungkapan suatu kasus dalam ilmu kedokteran forensik serta pentingnya penerapan Ilmu
Kedokteran Forensik dalam membantu peradilan.

LAPORAN KASUS
Suatu hari seorang laki-laki berusia 45 tahun membawa anak perempuannya yang berusia 14
tahun menyatakan bahwa anaknya tersebut baru saja pulang dibawa lari oleh teman laki-laki
yang berusia 18 tahun selama 3 hari keluar kota. Sang ayah takut apabila telah terjadi sesuatu
pada putrinya.
PENGERTIAN ANAK , KONSEP DAN BATAS ANAK DI BAWAH UMUR
1) Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan mempunyai/menimbulkan akibat hukum.
Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti :
kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian,
pendewasaan, dan pengangkatan anak.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat
2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau
belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental
seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP
4

adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka
yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.
1-4
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
2

2. Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Konsep dan batasan anak di bawah umur bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak
Anak (KHA), dimana KUHP memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun,
sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun.
Secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa
lebih tepat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa
anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih
tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah
perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-
Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun,
sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah
umur adalah di bawah umur 18 tahun.
2-4,7,9
KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR
Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) jenis-jenis kekerasan yang
dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse),
kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau
physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul
kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok
pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.
5

Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak
tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan
dan kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur.
Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat
menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman
ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau
kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan
sebagainya.
Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan
bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa
seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks
dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di
bawah umur.
4-6
Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan
perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa:
kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan
keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
ASPEK HUKUM
Pasal 89 KUHP
Membuat pingsan atau tidak berdaya disemakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seornag wanita bersetubuh
dan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.


6

Pasal 286 KUHP
Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun
(2) Penuntuta hnya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai
dua belas tahun atau jika ada salah satu tersebut Pasal 291 dan Pasal 294.
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun :
1.2 Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan sesorang padahal diketahui, bahwa orang
itu pingsan atau tidak berdaya ;
2.2 Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya
harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin.
3.2 Barang siapa membujuk orang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar perkawinan
dengan orang lain.
7

Pasal 291 KUHP
(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 286, 287, 289, dan 290
mengkibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, dan 290 itu
mengakibatkan mati, dijatuhkan penjara paling lama lima belas tahun.
(3)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Bab III
Hak dan Kewajiban Anak
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.
1-7
8

Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Bab XII
Ketentuan Pidana
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2,6

Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
9

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
3,4

PROSEDUR MEDIKOLEGAL
Dalam menangani berbagai kasus yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia, seorang dokter
dapat mempunyai peranan ganda yaitu peranan pertama adalah sebagai ahli klinik sedangkan
peran kedua adalah sebagai ahli forensik yang bertugas membantu proses peradilan. Kewajiban
dokter untuk melakukan pemeriksaan kedokteran forensik ke atas korban apabila diminta secara
resmi oleh penyidik (polisi) dan jika menolak untuk melakukan pemeriksaan forensik tersebut di
atas dapat dikenai pidana penjara, selama-lamanya 9 bulan.
1. Kewajiban Dokter Membantu Peradilan
Pasal 133 KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
1) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
2) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
3,4





10

Penjelasan Pasal 133 KUHAP
2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Pasal 134 KUHAP
1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2)
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
4,5

2. Hak Menolak Menjadi Saksi/Ahli
Pasal 120 KUHAP
1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.
2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia
akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila
disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia
menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
11

3. Bentuk Bantuan Dokter bagi Peradilan dan Manfaatnya
Pasal 184 KUHAP
1) Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187 KUHAP
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi
tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
12

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang
yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya.
2-4,6
4. Sanksi bagi Pelanggar Kewajiban Dokter
Pasal 216 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya. Demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak
Sembilan ribu rupiah.
2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan
umum.
3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah
sepertiga.
3-4


Pasal 222 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
13


Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa,
dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undang-undang ia harus
melakukannya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.
Pasal 522 KUHP
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak dating
secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
5. Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA/ V et R
Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter
Saya bersumpah/berjanji bahwa:
Saya akan membuktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dank arena
keilmuan saya sebagai dokter..dst.

Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran
Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.

Pasal 322 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
14

penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

PEMERIKSAAN PADA KORBAN
Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun
dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang :
1) Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.
2) Anamnesis :
Umur.
Status perkawinan.
Haid : siklus, terakhir.
Penyakit kelamin dan kandungan.
Penyakit lain seperti ayan dll.
Pernah bersetubuh?
Waktu persetubuhan terakhir?
Menggunakan kondom ?
Waktu kejadian.
Tempat kejadian.
Apakah korban melawan ?
Apakah korban pingsan ?
Apakah terjadi penetrasi
Apakah terjadi ejakulasi ?
15

3) Periksa pakaian :
Robekan lama / baru / memanjang / melintang ?
Kancing putus.
Bercak darah, sperma, lumpur dll.
Pakaian dalam rapih atau tidak ?
Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.
4) Pemeriksaan badan :
Rambut / wajah rapi atau kusut.
Emosi tenang atau gelisah.
Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.
Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha
Trace evidence yang menempel pada tubuh.
Perkembangan seks sekunder.
Tinggi dan berat badan.
Pemeriksaan rutin lainnya.
3,8

Genitalia :
Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai
akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin
juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal
Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan,
infeksi atau iritan)
Adhesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi
labia mayor pada pemeriksaan)
Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak
karena infeksi ataun trauma)
Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin
Condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual)
Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
16

Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada
konstipasi)

Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau
mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental.
3,6,8

Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) :
Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak
cukup data yang menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab.
Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :
Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat
dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila
konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau
penetrasi sebelumnya)
Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum
(mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus
atau hemangioma)
Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput
dara( dapat akibat trauma aksidental)
Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons
disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)
Pemeriksaan ekstra genital
Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh
Deskripsikan luka
Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex
Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku

Pemeriksaan anal.
6
17

5) Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi
hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.
6) Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan cairan mani (semen)
Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan VDRL
Pemerikaan serologis Hepatitis
Pemeriksaan Gonorrhea
Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.


2,7

PEMBUATAN VUSUM ET REPERTUM
Sebelum melakukan pemeriksaan, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang dokter
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus
melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang sendiri
dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta
untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah
memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban
sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan
untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh
dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri
korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia
kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322).
3,5
18

Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et Repertum
dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan
yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat
keterangan.
2. Informed Consent
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak korban,
karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban menyetujui
dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah
yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak
memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan.
Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang
tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat
memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang berada
dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman korban
apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang
perawat atau bidan.
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar
periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan dilakukan
pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et Repertum
diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.
Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan
pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual
(PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan terhadap luka
dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk
penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan
korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan berbagai. bukti yang
19

berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang,
dan menyusun laporan visum et repertum.
Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan, keracunan, tanda
persetubuhan, penentuan usia korban dan pelacakan benda bukti yang berasal dari pelaku.
Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau pakaian korban dan
tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering dilupakan oleh dokter.
Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi sebagai
berikut :
1. Umur korban
Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu menentukan
jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah hukuman yang dapat
dijatuhkan.
Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi jika dikuatkan
oleh bukti diri (KTP,SIM dsb) , maka umur dapat langsung disimpulkan dari hal tersebut. Akan
tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu diperiksa erupsi gigi molar II
dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang gigi
molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh molar IInya, perlu
dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota molar III sudah mengalami
mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya kurang dari 15 tahun.
Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche tak dapat dipakai
untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi
seringkali jauh lebih muda dari itu.
2. Tanda kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan
adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada
leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar
pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan
akibat pencekalan dsb.
20

Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay" pada persetubuhan
yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau sekitar kemaluan,
cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme) dsb.
Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi bukan kekerasan yang
dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan secara jelas dalam
kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi oleh aparat penegak
hukum.
Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan biasa bisa disalahtafsirkan sebagai
perkosaan yang berakibat hukumannya menjadi lebih berat.
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk
membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang
mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang
perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy)
dsb.
3. Tanda persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda
ejakulasi.
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum
pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan
terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar
sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya
penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukkan adanya erosi yang dapat
disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman. Tidak
ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya penetrasi.
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya
ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi
dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Untuk uji
21

penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan fosfatase asam. Jika uji ini negatif, kemungkinan
adanya ejakulasi dapat disingkirkan. Sebaliknya jika uji ini positif, maka perlu dilakukan uji
pemastian ada tidak sel sperma dan cairan mani.
Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang
menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan
cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina.
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan Pembuatan preparat tipis yang
diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree.
Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan
Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat
pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada
pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya
tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa
memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom).
Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen sekret kelenjar
kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji Florence), cholin (dengan uji
Berberio) dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan berupa sel sperma negatif tapi komponen
cairan mani positip menunjukkan kemungkinan ejakulasi oleh pria yang tak memiliki sel sperma
(azoospermi) atau telah menjalani sterilisasi atau vasektomi.
A. Dampak perkosaan
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya penyakit
kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir, pencegahan dengan
memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan ketimbang menunggu
sampai komplikasi tersebut muncul.
1. Pelaku perkosaan
Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering dilupakan oleh
dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah terbukti adanya
22

kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku pemerkosaan. Untuk
mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula rambut dan pemeriksaan
golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip sperma/maninya.
2. Dampak Bagi Korban
Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual adalah
mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan dan memar di
bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap penyakit menular seksual dan
mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini bisa membahayakan bagi yang
mengandung maupun janin yang dikandung. Dengan demikian anak korban yang mengalami
kehamilan membutuhkan pengawasan medis secara intensif.
Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa trauma yang
dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu korban dengan korban
lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk kekerasan yang dialami korban.
Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan orang lain, mimpi buruk atau ketakutan saat
sendiri.
3. Dampak pada lingkungan sekitar korban
Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung korban. Akibatnya,
korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang akhirnya harus pindah dari sekolah
karena selalu menjadi bahan perbincangan guru dan teman di sekolahnya. Bahkan ada keluarga
korban yang harus pindah tempat tinggal karena dianggap telah membuat cemar lingkungan
tempat tinggalnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada korban dan keluarga
korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan keluarga ketika
menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan harus
mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa yang akan
datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi korban.
Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan pendampingan di bidang
hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan proses di pengadilan. Selama
23

mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses hukum yang terjadi dalam setiap
tahapnya sangatlah penting. Hal yang perlu dikawal antara lain, apakah semua proses sudah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; apakah dalam penyidikan polisi sudah
memperhatikan hak-hak anak; apakah hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
berperspektif pada korban; apakah jaksa yang merupakan wakil korban di pengadilan juga sudah
berperspektif pada korban.
B. Peranan LSM
Untuk menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan kerjasama antara beberapa lembaga
yang memiliki kepedulian terhadap korban. Dengan berjaringan, kerja yang dilakukan
diharapkan akan lebih bersinergi. Jaringan yang bisa dibangun misalnya antara rumah sakit,
LSM, kepolisian, pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas Kesejahteraan Rakyat
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB), Dinas Kesehatan, Bappeda
dan Masyarakat.
Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan menyeluruh bagi
parakorban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik dibidang klinik,
medikolegal dan psikososial ; dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan perempuan, dalam
mencapai derajat kesehatan secara optimal.
Sasaran :
1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa.
2. Korban kekerasan seksual pada anak.
3. Korban kekerasan dalam rumahtangga.
4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak.
Peran Pekerja Sosial
Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari
kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
24

Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak
kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat
Peran Relawan Pendamping : Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian
untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban
kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa
orang pendamping;
Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya;
C.
Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping.
5,6
D. Interpretasi Kasus dan Kesimpulan
Pada skenario ditulis bahwa keluhan utama si ayah membawa anak perempuannya yang
berusia 14 tahun ke IGD karena ayah curigaanaknya telah disetubuhi oleh pacarnya yang telah
membawa lari. Setelah dokter memeriksa si anak ternyata ditemukan adanya robekan lama
selaput dara disertai dengan adanya erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter
berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi persetubuhan.
Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva merupakan
tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan keluhan sakit bila kencing kemungkinan merupakan
sexual transmitted disease.
Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar, bekas
gigitan, tanda kuku dan lain-lain.
Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina di
fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban.
25


Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa persetubuhan di
luar perkawinan dengan anak di bawah umur 14 tahun adalah tindak pidana sesuai pasal 287 ayat
1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang dengan umur di bawah
18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu membuat pertimbangan dan
keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila terjadi persetubuhan, tanpa
memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka dianggap persetubuhan tadi
terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak.
Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak pidana yang
harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan suatu tindak
pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya persetubuhan dan atau
percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal 295 KUHP dengan
ancaman penjara 5 tahun.
Dokter juga bisa merujuk pada spesialis obgyn dan dokter spesialis forensic atau specialis
jiwa ataupun seorang psikolog.
Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda persetubuhan
baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan perkembangan tanda seks
sekunder,pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang menunjang misalnya swab vagina,
dan swab oral.
Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang mungkin tertinggal
(pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar pelaku) sesuai
prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum.
Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental korban dan
bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian tindak pidana.
Pengkategorian KDRTA sebagai kejahatan menjadi penting, disamping lebih penting adanya
aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan prosedur hukum, medis,
psikologis, rehabilitasi baik selama proses hukum dan sesudahnya serta reintegrasi agar korban
diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang harus dipenuhi di masyarakat baik oleh
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah pentingnya UU Perlindungan Anak dan UU
KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, jadi bukan menggunakan KUHP saja
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Autopsi. Teknik Autopsi Forensik.
Cetakan ke-4. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 2000:1-45.
2. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Autopsi pada Kasus Pembunuhan Anak.
Teknik Autopsi Forensik. Cetakan ke-4. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik FKUI.
2000:55-6.
3. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Visum et Repertum. Teknik Autopsi
Forensik. Cetakan ke-4. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 2000:72-81.
4. Mansjoer, Arief [et al.]. Ilmu Kedokteran Forensik - Visum et Repertum. Kapita Selekta
Kedokteran. Ed 3, Vol 2, cetakan ke-8. Media Aesculapius FKUI. 2009:171-81.
5. Mansjoer, Arief [et al.]. Ilmu Kedokteran Forensik Pembunuhan Anak Sendiri. Kapita
Selekta Kedokteran. Ed 3, Vol 2, cetakan ke-8. Media Aesculapius FKUI. 2009:226-9.
6. Wibisana Widiatmaka, T Winardi Abdul Munim [et al.]. Pembunuhan Anak Sendiri.
Ilmu Kedokteran Forensik. Ed 1, Cetakan ke-2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI.
1997:165-77.
7. Medikolegal. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/17330455/MEDIKOLEGAL, 14
Juli 2009.
8. Staf pengajar bagian kedokteran forensik. Prosedur medikolegal. Peraturan Perundang-
undangan Bidang Kedokteran. Cetakan ke-2. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994:11-25.
9. Leveno, Kenneth. Bayi Baru Lahir. Obstetri Williams. 2009. Ed 21. Jakarta; Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 281-338.
10. Asri, Dwi. Asfiksia, Gawat Janin, dan Resusitasi. Asuhan Persalinan normal. 2010.
Jogjakarta; Nuha Medika. Hal. 97-115.
11. Sudari. Apnea. Asuhan Kebidanan. 2010. Jogjakarta; Nuha Medika. Hal 92-3.
12. Benson, Ralph. Asfiksia Perinatal. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. 2009. Ed 9.
Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 271-2.
13. Widiatmaka W, Abdul Munim TW dkk, Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Edisi pertama; Tahun 1997.

Anda mungkin juga menyukai