Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 DEMAM TIFOID
1.1.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi
1
.

1.1.2. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Sama dengan
Salmonella lain, Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif. Salmonella
typhi mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Bakteri ini mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Salmonella typhi juga mempunyai
makromakuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel yang dinamakan endotoksin. Salmonella typhi dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berikatan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotik
1
.





2

1.1.3. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di
dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala
dengan spektrum klinisnya sangat luas.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi)
2
. Penyakit ini diperkirakan telah
menyebabkan 216.510 kematian di seluruh dunia selama tahun 2000
3
. Insidens
penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan dapat ditularkan
melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Di Indonesia, insidens demam
tifoid banyak (91%) dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun
2,4
.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Samonella typhi dapat
mengeksekresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh
manusia dapat hidup dalam beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu atau kotoran yang kering maupun pakaian, akan tetapi bakteri ini hanya
akan dapat hidup kurang pada satu minggu raw sewage, dan mudah dimatikan
dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperature 63 C)
1.

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
vekal). Dapat juga terjadi transmisi transplansental dari seorang ibu hamil yang
3

berada dalam bakterimia pada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oral-
vekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya pada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian
1
.

1.1.4. Patogenesis
Usus kecil bagian atas merupakan tempat invasi yang utama. Monosit
memfagositosis, tetapi tidak membunuh basil pada awal penyakit, dan mereka
membawa organisme dari darah ke kelenjar getah bening mesenterika dan
retikulo-endoteria lain tempat bakteri berproliferasi sehingga menghasilkan
radang pada kelenjar getah bening, hati dan limfa. Septikimia sekunder tersebar
dari tempat ini dan biasanya lama, menginvasi organ organ lain. Kandung
empedu biasanya paling rentan dan terinfeksi dari hati melalui sistem empedu
atau darah. Mikroorganisme yang memperbanyak diri pada kandung empedu
akhirnya dikeluarkan kedalam usus
5
.

1.1.5 Diagnosis
4
A. Anamnesis
1. Demam naik secara bertahap setiap hari mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus
tinggi
2. Anak sering mengigau, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala dan
perut, diare atau konstipasi, muntah dan perut kembung
3. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai turunnya kesadaran,
kejang dan ikterus.
4

B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
memiliki lidah tifoid yaitu bagian tengah kotor dan bagian pinggir
hiperemis, meteorismus, hepatomegali, lebih sering dijumpai dari
splenomegali. Kadang kadang terdengar rongki pada pemeriksaan paru.

C. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi perifer
Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe atau pendarahan usus
Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/Ul
Limfositosis relatif
Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
2. Pemeriksaan serologi
Serologi widal: kenaikan titerestipititer O 1 : 200 atau kenaikan
4 kali titer fase akut ke fase konvalesens
Kadar IgM dan IgG (thypi-dot)
3. Pemeriksaan biakan Salmonella
Biakan darah terutama pada minggu 1 2 dari perjalanan
penyakit
Biakan susmsum tukang masih positif sampai minggu keempat

5

4. Pemeriksaan radiologi
Foto thorax, apabila diduga komplikasi pneumonia
Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intra intestinal
seperti perforasi usus atau pendarahan saluran cerna.

1.1.6. Penatalaksanaan
3

1.1.6.1. Pengobatan
1. Antibiotik
Kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari, oral atau iv dibagi dalam
4 dosis, selama 10 14 hari
Tiamfenikol 30-100mg/kgbb/hari
Amoxicillin 100 mg/kgbb/hr, oral atau iv selama 10 hari
Ampisilin 100mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi
Kotrimoksazol 6 mg/kg bb/hari, oral selama 10 hari
Azithromisin 10mg/kgbb/hari
Ceftriaxone 80 mg/kg bb/hari, iv atau im 1 kali sehari
selama 5 hari
Cefixime 10 mg/kg bb/hari, oral dibagi dalam 2 dosis
selama 10 hari

2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan
kesadaran
Dexamethason 1 3 mg /kg bb/hari secara iv dibagi dalam
3 dosis hingga kesadaran membaik
6

3. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus.
4. Demam tifoid berat harus dirawat inap dirumah sakit.
a. Cairan dan kalori
Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila
perlu asupan cairan dan kaloridiberikan melalui sonde
lambung
Pada ensefalopati jumlah kebutuhan cairan dikurangi
menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah
Penuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan
jaringan
Pertahankan sirkulasi dengan baik
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2.
Pelihara keadaan nutrisi
Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
b. Antipiretik, diberikan apabila demam > 39C, kecuali dengan
pasien kejang demam dapat diberikan dari awal
c. Diet
Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang
lebih padat dengan kalori cukup
d. Transfusi darah, kadang diperlukan pada pendarahan saluran
cerna dan flofurasi usus.
7

1.1.6.2. Pemantauan
a. Terapi
Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari
keempat sampai kelima setelah pengobatan demam tidak reda
maka harus segera kembali di evaluasi adakah komplikasi,
infeksi lain, resistensi S. typhi terhadap antibiotik atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
b. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.
1.1.6.3. Pencegahan
Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella
typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang mereka konsumsi. S. typhi dalam air atau makanan akan
mati apabila dipanasi hingga suhu 50C untuk beberapa menit atau dengan
proses iodinasi atau klorinasi. Penurunan endemisitas suatu negara atau
daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
kebersihan pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menemungan angka
kejadian demam tifoid.



8

1.2 DEFEK SEPTUM VENTRIKEL

1.2.1 Definisi

Defek septum ventrikel (DSV) merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan satu atau lebih lobang pada dinding yang
memisahkan ventrikel kiri dan kanan jantung. Sebelum seorang bayi
lahir, ventrikel kiri dan kanan pada jantungnya tidak terpisah. Seiring
perkembangan fetus, terbentuklah dinding yang memisahkan kedua
ventrikel ini. DSV merupakan lobang yang tesisa pada dinding pemisah
kedua ventrikel ketika dinding pemisah tidak terbentuk dengan
sempurna
6
.

1.2.2. Epidemiologi

DSV merupakan jenis Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang paling
sering ditemukan, yaitu 20% dari semua jenis PJB
4
. Pada sebagian besar
kasus, diagnosis kelainan ini ditegakkan setelah melewati masa neonatus,
karena pada minggu-minggu pertama bising yang bermakna biasanya
belum terdengar oleh karena resistensi vaskular paru masih tinggi dan
akan menurun setelah 8-10 minggu
7
.




9

1.2.3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus penyakit jantung bawaan penyebabnya
tidak diketahui. Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan
penyebabnya adalah multifaktorial. Faktor yang berpengaruh adalah :
Eksogen: berbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar X.
Endogen: penyakit genetik dan sindrom tertentu
7
.

1.2.4. Patofisiologi
Besarnya aliran pirau pada VSD tergantung pada besarnya defek
dan tahanan terhadap aliran darah (seperti tahanan vaskuler paru)
8
.
Makin rendah tahanan vaskuler paru, makin besar aliran pirau dari kiri ke
kanan. Pada bayi baru lahir, dimana maturasi paru belum sempurna,
tahanan vaskuler paru umumnya masih tinggi dan akibatnya aliran pirau
dari kiri ke kanan terhambat walaupun lubang yang ada cukup besar.
Tetapi saat usia 2-3 bulan dimana proses maturasi paru berjalan dan
mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler paru dengan cepat, maka aliran
pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan beban volum
langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal
jantung
9
. Dengan asumsi tidak terjadi stenosis pulmonar, seiring
berjalannya waktu, aliran pirau yang besar dapat menyebabkan hipertensi
arteri pulmonar, peningkatan tahanan vaskuler arteri pulmonar, dan
hipertropi ventrikel
8
.


10

1.2.5. Manifestasi Klinis
DSV Kecil. Biasanya asimtomatik. Jantung normal atau sedikit
membesar dan tidak ada gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung
biasanya normal, dapat ditemukan bising sistolik dini pendek yang
mungkin didahului early systolic click. Ditemukan pula bising
pansistolik yang biasanya keras disertai getaran bising dengan
pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri dan
menjalar ke sepanjang sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium.
DSV Sedang. Gejala timbul pada masa bayi berupa sesak napas saat
minum atau memerlukan waktu lebih lama/tidak mampu
menyelesaikan makan dan minum, kenaikan berat badan tidak
memuaskan, dan sering menderita infeksi paru yang lama
sembuhnya. Infeksi paru ini dapat mendahului terjadinya gagal
jantung yang mungkin terjadi pada umur 3 bulan. Bayi tampak kurus
dengan dispnu, takipnu, serta retraksi. Bentuk dada biasanya masih
normal. Pada pasien yang besar, dada mungkin sudah menonjol.
Pada auskultasi terdengar bunyi getaran bising dengan pungtum
maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri yang menjalar ke
seluruh prekordium.
DSV Besar. Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Pada minggu I
sampai III dapat terjadi pirau kiri ke kanan yang bermakna dan
sering menimbulkan dispnu. Gagal jantung biasanya timbul setelah
minggu VI, sering didahului infeksi saluran napas bawah. Bayi sesak
11

napas saat istirahat, kadang tampak sianosis karena kekurangan
oksigen akibat gangguan pernapasan. Gangguan pertumbuhan sangat
nyata. Biasanya bunyi jantung masih normal, dapat didengar bising
pansistolik, dengan atau tanpa getaran bising, melemah pada akhir
sistolik karena terjadi tekanan sistolik yang sama besar pada kedua
ventrikel. Bising mid-diastolik di daerah mitral mungkin terdengar
akibat flow murmur pada fase pengisian cepat.
Pada DSV besar dapat terjadi perubahan hemodinamik dengan
penyakit vaskular paru/sindrom Eisenmenger. Pada fase peralihan
antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali pasien
tampak lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik
dibanding sebelumnya. Saat terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri,
pasien tampak sianotik dengan keluhan dan gejala yang lebih berat
dibanding sebelumnya. Anak gagal tumbuh, sianotik, dengan jari-jari
tabuh (clubbing fingers). Dada kiri membonjol dengan peningkatan
aktivitas ventrikel kanan yang hebat. Bunyi jantung I normal, akan
tetapi bunyi jantung II mengeras dengan split yang sempit. Bising
yang sebelumnya jelas menjadi berkurang intensitasnya; kontur
bising yang semula pansistolik berubah menjadi ejeksi sistolik. Tak
jarang bising menghilang sama sekali. Hati menjadi teraba besar
akibat bendungan sistemik, namun edema jarang ditemukan
7
.


12

1.2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto toraks
Penilaian EKG
Pemeriksaan ekokardiografi
4
.

1.2.7. Penatalaksanaan
Anak dengan DSV kecil biasanya asimtomatik dan tidak
memerlukan obat atau tindakan bedah saat awal. Pada anak
asimtomatik, tindakan penutupan dapat dilakukan pada usia 2-4
tahun.
Jika anak dengan DSV sedang atau besar mengalami gagal jantung
simtomatik perlu diberikan obat anti gagal jantung (diuretik,
vasodilator, digoksin). Jika pengobatan medis gagal, maka perlu
dilakukan tindakan penutupan DSV pada usia berapa pun. Bayi
yang berespon terhadap terapi medis dapat dioperasi pada usia 12-
18 bulan. Pada defek besar, meski tanpa gejala, dioperasi pada usia
< 2 tahun jika didapatkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
Nutrisi tambahan, seperti formula tinggi kalori, perlu diberikan
sejak awal jika terdapat pirau yang besar, karena kebutuhan
metabolisme meningkat
4
.
13

BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1. Anamnesis
2.1.1. Ilustrasi Kasus
Seorang pasien anak laki-laki umur 21 bulan datang ke IGD RSSN tanggal
14 Mei 2014 jam 11.35 WIB, dengan keluhan utama demam terutama pada
malam sejak 3 hari yang lalu hari sebelum masuk rumah sakit, sesak, batuk
berdahak, mual, nafsu makan menurun, tidak ada keluhan muntah, serta BAB dan
BAK normal. Berat badan pasien saat masuk RS adalah 7 kg.
2.1.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit terutama malam
hari, batuk berdahak, sesak, mual, tapi tidak muntah. Nafsu makan pasien
menurun.BAB / BAK normal.
2.1.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien diketahui menderita VSD sejak umur 6 bulan.
Pasien pernah menderita DBD dan dirawat pada Desember 2013,
Pasien juga menderita asma dan bronkopneumonia
2.1.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mempunyai penyakit VSD ataupun
penyakit jantung lainnya

14

2.2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik di IGD RSSN pada tanggal 14 Mei 2104 :
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Tingkat kesadaran : CM
c. Berat Badan : 7 kg
d. Tanda vital
- Suhu : 39C
- Frekuensi nadi : 120 x / mnt
- Frekuensi nafas : 24 x / menit
e. Pemeriksaan Fisik lainnya
Mata : CA
-
/
-
SI
-
/
-

Thorax
Cor : S1S2, regular, gallop (-) murmur (-)
Pulmo : Bronkovesikuler, suaranafas
-
/
-,
Mengi
+
/
+

Extermitas: Udema
-
/
-
Sianosis
-
/
-

2.3. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
Gula darah random
2.4. Diagnosa Kerja
Obs. Febris II e.c obs DBD
VSD

15

2.5. Terapi / Tindakan
Terapi yang diberikan di IGD pada 14 mei 2014
IVFD RL 8gtt/i
Fasidol 4 x 0,8 ml
Cefadroxil syr 2 x cth
Puye rsesak(Salbutamol) 3 x 0,6 mg (bilasesak)
Puyer batuk(Ambroxol) 3 x 4 mg
Puyer Jantung I (Furosemid) 1 x 7 mg
Puyer Jantung II (Spironolakton) 1 x 6,25 mg

16

BAB III
FOLLOW UP
Hari Perawatan Pertama (14 Mei 2014)
S : Demam 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit terus menerus terutama
malam hari, batuk (+) berdahak, sesak (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan
menurun, BAB dan BAK normal
O : GDR : 70 mg%
Hemoglobin : 11,2 g/dl
Leukosit : 6500/mm
Trombosit : 112.000
Hematokrit : 33,8 vol%
14 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Siang 120 39 24 7
Malam 98 38 54

A : Obs. Febris II e.c obs DBD + VSD
P : Terapi yang diberikan :
IVFD RL 8 gtt/i (infus)
Fasidol drop 4 x 0,8mL (k/p)
Cefadroxil syrup 2 x cth
Puyer batuk (Ambroxol) 3 x 4 mg
Puyer sesak (Salbutamol) 3 x 0,6 mg (bila sesak)
Puyer jantung I ( Furosemid) 1 x 7 mg
Puyer jantung II (Sprinolakton) 1 x 6,25 mg



17

Hari Perawatan Pertama (15 Mei 2014)
S : Ibu pasien mengatakan pasien demam turun naik, batuk (+), nafsu makan
menurun, sesak (+)

O :
15 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 130 38 60 7
Siang 134 39 45
Malam 120 39,7 64

A : Obs. Febris II e.c obs DBD + VSD
P : Terapi dilanjutkan.


Hari Rawatan Ketiga (16 Mei 2014)
S : Ibu mengatakan anaknya masih demam terutama pada malam hari dan nafsu
makan masih menurun, batuk (+), sesak (+), pilek (+), ronki (-), wheezing (-)
O : BB : 7 kg
Hemoglobin : 10,4 g/dl
Leukosit : 6900/mm
Trombosit : 121.000
Hematokrit : 31,1 vol%
Widal test :
Salmonella Typhi H : (+) 1/320 Salmonella Typhi O : (+) 1/320
Salmonella Para Typhi AH : (+) 1/320 Salmonella Para Typhi AO : (+) 1/160
Salmonella Para Typhi BH : (+) 1/320 Salmonella Para Typhi BO : (+) 1/160
Salmonella Para Typhi CH : (+) 1/320 Salmonella Para Typhi CO : (+) 1/320
A : Obs. Febris II e.c obs DBD + VSD
P : Terapi dilanjutkan.

18

Hari Rawatan Ketiga (17 Mei 2014)
S : Ibu mengatakan demam anak berkurang, sesak (+)
O : KU : sedang
17 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 80 37 40 6,9
Siang 112 37,3 46
Malam 98 37,7 36

A : Demam Tifoid + VSD
P : Terapi dilanjutkan dengan perubahan :
Cefadroxil stop diganti dengan Cefixime 2 x 50 mg
IVFD RL AFF diganti dengan IVFD KA-EN IB

Hari Rawatan Keempat (18 Mei 2014)
S : Ibu pasien mengatakan anaknya masih sesak (+), nafsu makan masih
menurun
O :
18 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 130 36,8 40 6,9
Siang 126 36,2 38
Malam 36,6

A : Demam Tifoid + VSD
P : Terapi dilanjutkan dengan perubahan
Fasidol drop 4 x 0,8 ml dihentikan

19

Hari Rawatan Kelima (19 Mei 2014)
S : Demam (-)
O : KU : sedang
19 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi - 36,6 - 6,9
Siang 78 36,6 52
Malam 74 37,2 50

A : Demam Tifoid + VSD
P : Terapi dilanjutkan

Hari Rawatan Keenam (20 Mei 2014)
S : Demam (-), Rh (-), Wh (+)
O : KU : sedang
20 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 77 36 48 6,9
Siang 74 36 54
Malam 98 36,4 56

A : Demam Tifoid + VSD
P : Terapi dilanjutkan.


Hari Rawatan Ketujuh (21 Mei 2014)
S : Demam (-)
O : KU : sedang
21 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 96 36,5 54 6,9
20

Siang 95 36,2 53
Malam 100 36,5 52
A : Demam Tifoid + VSD
P : Terapi dilanjutkan.

Hari Rawatan Kedelapan (22 Mei 2014)
S : Tidak ada keluhan dari keluarga pasien
O : KU : sedang
22 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Pagi 96 36,1 50 6,9

A : Demam Tifoid + VSD
P : ACC pulang dengan obat pulang :
Puyer batuk 3 x 4 mg
Puyer sesak 3 x 0,6 mg
Puyer Jantung I 1 x 7 mg
Puyer Jantung II 1 x 6,25 mg
Cefixime 2 x 50 mg
21

BAB IV
DISKUSI
Seorang anak laki-laki umur 21 bulan datang ke IGD RSSN tanggal 14
Mei 2014 jam 11.35 WIB, dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu,
terutama pada malam hari sebelum masuk rumah sakit. Nafas tampak sesak, batuk
berdahak, mual, nafsu makan menurun, tidak ada keluhan muntah, serta BAB dan
BAK normal. Berat badan pasien saat masuk RS adalah 7 kg.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Mei 2014
didapatkan hasil sebagai berikut: kadar GDR 70 mg%, kadar hemoglobin 11,2
g/dl, kadar leukosit 6500/mm, kadar trombosit 112.000, dan kadar hematokrit
33,8 vol%. Berdasarkan pemeriksaan klinis yang dilakukan di IGD, pasien
didiagnosa observasi febris III e.c. observasi Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Ventricular Septum Deffect (VSD).
Setelah 2 hari rawatan (tanggal 16 Mei 2014) dilakukan pemeriksaan
ulang laboratorium dan didapatkan hasil: kadar hemoglobin 10,4 g/dl, kadar
leukosit 6900/mm, kadar trombosit 121.000, kadar hematokrit 31,1 vol%. Di
samping itu, juga dilakukan tes Widal dan didapatkan hasil: Salmonella Typhi H
(+) 1/320, Salmonella Typhi O (+) 1/320, Salmonella Para Typhi AH (+) 1/320,
Salmonella Para Typhi AO (+) 1/160, Salmonella Para Typhi BH (+) 1/320,
Salmonella Para Typhi BO (+) 1/160, Salmonella Para Typhi CH (+) 1/320,
Salmonella Para Typhi CO (+) 1/320. Berdasarkan hasil tersebut, pasien
didiagnosa demam tifoid dan VSD.
22

Pasien mendapatkan terapi IVFD RL selama tiga hari (14 hingga 17 Mei
2014), kemudian diganti dengan IVFD KA-EN IB. Pasien juga mendapatkan
Cefadroxil 2 x cth (93,75mg) selama tiga hari (14 hingga 17 Mei 2014) dan
kemudian diganti dengan cefixime 2 x cth (50 mg), fasidol drop 4 x 0,8 mL,
furosemid 1 x 7 mg, spironolakton 1x 6,25 mg, salbutamol 3 x 0,6 mg, dan
ambroxol 3 x 4 mg.
Pada kasus ini pasien diberikan antibiotik cefixime untuk mengatasi
bakteri penyebab demam tifoid. Cefixime merupakan antibiotik golongan
cefalosporin yang bekerja menghambat sintesis mukopeptida di dinding sel
bakteri
11
. Pasien tidak diberikan kloramfenikol karena hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar sel darah merah (RBC) pasien 4,44 x 10
6
/L,
yakni dibawah nilai normal (4,7-6,1 x 10
6
/L). Kloramfenikol merupakan
antibiotik yang bekerja dengan cara mengganggu atau menghambat sintesis
protein mikroba yang terbukti efektif terhadap bakteri penyebab deman tifoid.
Namun, kloramfenikol dapat menyebabkan depresi sumsum tulang yang
mengarah ke anemia aplastik ataupun kelainan darah lainnya
10
.
Pasien juga mendapatkan terapi suportif berupa pemberian fasidol drop 4 x
0,8 ml (80 mg) sebagai antipiretik dalam penatalaksanaan demam tifoid. Fasidol
drop ini diberikan bila pasien demam. Pemberian cefixime dan paracetamol dalam
penatalaksanaan demam tifoid dipandang sudah tepat dan efektif.
Ventricular Septal Defect (VSD) yang dialami pasien diterapi dengan
kombinasi diuretik furosemid dengan spironolakton. Furosemid merupakan
diuretik yang paling banyak digunakan, murah, serta efektif. Namun furosemid
23

dapat menyebabkan ekskresi kalium bertambah, sehingga pada dosis besar atau
pemberian jangka lama diperlukan tambahan kalium. Kombinasi antara furosemid
dan spironolakton bersifat aditif, yakni menambah efek diuresis. Spironolakton
bersifat menahan kalium, sehingga pemberian kalium tidak lagi diperlukan.
Kombinasi kedua obat ini dipandang sudah tepat.
Dosis pemberian spironolakton pada kasus ini tidak adekuat, karena dosis
lazim spironolakton untuk pasien VSD adalah 1-2 mg/kgBB/hari, sementara dosis
yang diberikan 6,25 mg/hari. Seharusnya pasien mendapatkan terapi
spironolakton dengan dosis 7-14 mg/hari.
Selain dari kedua penyakit utama di atas, pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak dan sesak nafas. Ambroxol diberikan sebagai mukolitik untuk mengatasi
batuk berdahak pasien. Pada kasus ini, pemberian ambroxol sedikit melebihi dosis
lazim. Dosis lazim ambroxol adalah 1,2-1,6 mg/kgBB/hari, sementara dosis yang
diberikan 12 mg/hari. Seharusnya dosis yang diterima pasien dengan berat badan
7 kg adalah 8,4-11,2 mg/hari.
Pada kasus ini ditemukan beberapa potensi interaksi antar obat. Pertama,
terdapat potensi interaksi antara furosemid dengan salbutamol yang dapat
menambah efek hipokalemia
10
. Kedua, pada kasus ini juga terdapat potensi
interaksi antara spironolakton dengan KCl yang ditambahkan pada IVFD KA-EN
IB. Interaksi ini berpotensi meningkatkan efek hiperkalemia. Namun demikian,
kedua interaksi di atas dipandang tidak membahayakan pasien karena efek yang
ditimbulkan oleh interaksi furosemid dengan salbutamol (hipokalemia) dapat
ditutupi dengan pemberian spironolakton dan KCl (hiperkalemia).
24

Ketiga, terdapat interaksi sinergis antara spironolakton dengan furosemid
yang menambah efek diuresis. Interaksi ini juga dapat menyebabkan hiponatremia
serta meningkatkan resiko hipotensi. Spironolakton dan fursemid merupakan obat
diuretik yang dapat meningkatkan pengeluaran air dan natrium. Furosemid
bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada tubulus
proksimal dan distal dan lengkung Henle sedangkan spironolakton bekerja
menghambat aldosteron dalam tubulus distal yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan ekskresi natrium dan air dan penurunan ekskresi kalium
10
.

25

BAB V
KESIMPULAN

Setelah dilkakukan analisa masalah terkait obat didapatkan kesimpulan
bahwa pada kasus ini:
Korelasi antara terapi obat dengan penyakit sudah tepat.
Pemilihan obat yang diberikan telah sesuai
Terdapat permasalahan pada dosis spironolakton yang diberikan.
Tidak terdapat duplikasi terapi
Pasien tidak mengalami alergi terhadap obat yang diberikan
Tidak ada gejala/permasalahan medis yang timbul akibat obat yang
dibeerikan
Terdapat beberapa potensi interaksi antar obat.

26

BAB VI
EDUKASI PASIEN

1. Cefixime merupakan antibiotik sebagai terapi untuk demam tifoid, diminum
2x1/2 cth (50mg) pada jam 8 pagi hari dan pada jam 8 malam hari, setelah
makan. Obat ini harus dihabiskan penggunaannya.
2. Furosemid dan spironolakton merupakan diuretik sebagai terapi untuk
penyakit VSD pasien, diminum masing-masing 1x1 bungkus pada pagi hari
setelah makan. Obat ini akan menyebabkan pasien akan sering berkemih.
Tidak perlu khawatir karena itu menandakan obat bekerja dengan baik.
3. Salbutamol merupakan obat asma. Diminum 3x1 bungkus (0,6 mg) pada pagi,
siang, dan malam hari, setelah makan.
4. Ambroxol merupakan mukolitik atau obat batuk berdahak bagi pasien.
Diminum 3x1 bungkus (4 mg) pada pagi, siang dan malam hari, setelah
makan.
5. Pasien sebaiknya tidak makan makanan pedas, asam dan pasien juga belum
boleh banyak beraktivitas (hindari capek).
6. Pasien dianjurkan banyak beristirahat.
7. Usahakan keluarga pasien dapat menghindari faktor pemicu yang dapat
menyebabkan asma pasien kambuh.
8. Apabila pasien lupa meminum obat dan baru teringat saat hampir atau pada
saat jam minum obat berikutnya, jangan menggandakan obat untuk diminum.
Cukup minum obat hanya untuk jam saat itu.
27

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
(edisi2). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Nelwan, RHH. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK, 39, 4, 247-
250.
3. Crump, J.A., Luby, S.P., Mintz, E.D. 2004. The Global Burden of Typhoid
Fever. Bulletin of The WHO, 82, 346-353.
4. Pudjiadi, A.H (Ed). 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. Behrman, R.E, Kliegman, R.M. 2010. Nelson Essensi Pediatri (edisi 4).
Jakarta: EGC.
6. Schumacher, K.R. 2011. Ventricular Septal Defect. http://www.nlm.nih.gov.
Diakses hari Rabu tanggal 21 Mei 2014.
7. Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., Setiowulan, W (editor). 2000.
Kapita Selekta Kedokteran (edisi 3). Jakarta: FKUI.
8. Baffa, J.M. 2014. Merck Manual for Health Care Professionals: Ventricular
Septal Defect (VSD). http://www.merckmanuals.com. Diakses hari Selasa
tanggal 27 Mei 2014.
9. Roebiono, P.S. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/poppy.roebiono/material/diagnosisdanta
talaksanapjb-2.pdf. Diakses hari Rabu tanggal 21 Mei 2014.
10. American Society of Health-System Pharmacist. 2011. AHFS Drug
Information Essential. Bethesda: ASHP.
11. Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. San Fransisco: Ovid.





28

Lampiran 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


No Pemeriksaan Normal Tanggal
14 Mei 2014
1. Guladarah
Random <100 mg% 70 mg%
Nuchter 75-115 mg%
2 jam PP < 150 mg%
2. Ureum 20-40 mg%
3. Kreatinin 0,6-1,1 mg%
4. Total protein 6 8 mg%
Albumin 3,5-5,2 mg%
Globulin 1,5-2,5 mg%
5. Uric acid 3 6 mg%
6. SGOT P : <37 U/L
L : <31 U/L
7. SGPT P : <42 U/L
L : <32 U/L
8. Alkali Fosfatate 35-117 U/L
9. Total Billirubin 0,3-1 mg%
Direct 0,0-0,4 mg%
Indirect 0,0-0,6 mg%
10. HBSaG
11. Anti HBS
29

Pemeriksaan Hematologi

PARAMETER NORMAL TANGGAL
14 Mei 2014 16 Mei 2014
WBC 4,8-10,8 [10
3
/uL] 6,5 6,9
RBC L : 4,7-6,1[10
3
/uL]
P : 4,2-5,4 [10
3
/uL]
4,01
HGB L : 14-18 [g/dL]
P : 12-16 [g/dL]
11,2 10,4
HCT L : 42-52 [%]
P : 37-47 [%]
33,8 31,1
MCV 79-99 [fL] 77,6
MCH 27-31 [pg] 25,9
MCHC 33-37 [g/dL] 33,4
PLT 150-450 [10
3
/uL] 112 121
RDW-CV 11,5-14,5% 14,3
PDW 9-13 [fL] 15,4
MPV 7,2-11,1 [fL] 10,5
P-LCR 15-25 [%] 30,3

DIFFERENTIAL
NEUT# 1,8-8 [10
3
/uL] 3,2
LYMPH# 0,9-5,2 [10
3
/uL] 3,1
NEUT% 50-70 [%] 45,2
30

LYMPH% 25-40 [%] 45,5


Pemeriksaan Serologi/Imunologi

Widal Test (16 mei 2014)

Salmonella Thypii H (+) 1/320 Salmonella Thypii O (+) 1/320
Salmonella Para Typii AH (+) 1/320 Salmonella Para Typii AO (+) 1/160
Salmonella Para Typii BH (+) 1/320 Salmonella Para Typii BO (+) 1/160
Salmonella Para Typii CH (+) 1/320 Salmonella Para Typii CO (+) 1/320
31

Lampiran 2.Tanda - Tanda Vital
14 Mei
2014
Nadi
(x/menit)
Suhu
(
o
C)
Pernafasan
(x/menit)
Berat Badan
(Kg)
Siang 120 39 24 7
Malam 98 38 54
15 Mei 2014
Pagi 130 38 60 7
Siang 134 39 45
Malam 120 39,7 64
16 Mei 2014
Pagi 80 37 40 6,9
Siang 112 37,3 46
Malam 98 37,7 36
17 Mei 2014
Pagi 130 36,8 40 6,9
Siang 126 36,2 38
Malam 36,6
18 Mei 2014
Pagi 36,6 6,9
Siang 78 36,6 52
Malam 74 50 37,2
19 Mei 2014
Pagi 77 48 36 6,9
Siang 74 36 54
Malam 98 36,4 56
20 Mei 2014
Pagi 96 36,5 54 6,9
Siang 95 36,2 53
Malam 100 36,5 52
21 Mei 2014
Pagi 96 36,1 50 6,9



32

Lampiran 3: Data Obat
1. Fasidol
Komposisi Paracetamol 60 mg/0,6 ml
Indikasi Antipiretik dan analgetik
Dosis 10-15 mg/kgBB/ dosis
Kontra Indikasi Hipersensitif terhadapp obat ini
Efek Samping Kerusakan hati, mual, muntah
Pemberian obat Sesudah makan
Interaksi Obat Antikonvulasan, anti koagulan oral, isoniazid,
fenotiazin

2. Puyer Jantung I
Komposisi Furosemid 7 mg
Indikasi Edema dan hipertensi
Dosis 1,2-1,6 mg/kgBB/hari. Max : 6mg/kgBB/hari
Kontra Indikasi Anuria, hipersentisivitas
Efek Samping Hipotensi ortostatik, bingung,
ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemi,
hiponatremi, hipokloremia), fotosensitivitas
Pemberian obat Setelah makan (pagi hari)
Interaksi Obat Antikonvulsan, antidiabetes, antihipertensi,
barbiturat, glikosida jantung (digoksin),
kloralhidrat, indometasin, litium, norepinefrin,
salisilat, sukralfat


33

3. Puyer Jantung II
Komposisi Spironolakton 6,25 mg
Indikasi Edema, hipertensi, CHF, aldosteronisme
primer, hipokalemia
Dosis
Kontra Indikasi Anuria, gangguan ginjal berat, hiperkalemia,
hipersensitivitas
Efek Samping Hiperkalemia, hiponatermia, anoreksia,
muntah, diare, nyeri perut, gastritis, perdarahan
lambung, sakit kepala, demam, rush, vaskulitis.
Pemberian obat
Interaksi Obat ACE Inhibitor, antihipertensi, barbiturat,
kortikosterioid, digoksin, diuretik, litium,
NSAID, suplemen makanan dan atau makanan
yang mengandung kalium, vasopresor
(norepinefrin)

4. Cefadroxil
Indikasi Faringitis dan tonsilitis, infeksi kulit, infeksi
saluran kemih, pencegahan endokarditis
Dosis
Kontra Indikasi Hipersensitivitas
Efek Samping Dispepsia, mual, muntah
Pemberian obat
Interaksi Obat


34

5. Cefixime
Indikasi Infeksi saluran pernafasan, otitis media akut,
faringitis dan tonsilitis, infeksi saluran kemih,
gonorrhea, infeksi salmonella dan shigella
Dosis 10-15mg/kgBB/hari
Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap cefixime atau
cefalosporin lainnya
Efek Samping Gangguan saluran pencernaan ( diare, nyeri
perut, mual, muntah, dispepsia, flatulen)
Pemberian Obat Setelah makan
Interaksi Obat Antikoagulan oral, karbamazepin, nifedipin,
probenesid, salisilat, tes glukosa dan tes keton

6. Puyer Sesak
Komposisi Salbutamol 0,6 mg
Indikasi Bronkospsme pada semua jenis asma bronkial,
bronkitis kronik dan emfisema
Dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/hari
Kontra Indikasi Hipersensitifitas
Efek Samping Sakit kepala, palpitasi, takikardia, tremor halus
otot rangka
Pemberian obat Pada saat perut kosong
Interaksi Obat MAOI, penyekat beta selektif dan non selektif.


35

7. Puyer Batuk
Komposisi Ambroxol 4 mg
Indikasi Terapi sekretolitik pada penyakit
bronkopumonal akut dan kronik yang
berhubungan dengan sekresi mukus abnormal,
dan gangguan transportasi mukus
Dosis 1,2 1,6 mg/kgBB/hari
Kontra Indikasi Hipersensitifitas
Efek Samping Gangguan GI ringan, reaksi alergi
Pemberian obat Berikan setelah makan
Interaksi Obat Amoksisilin, doksisiklin, eritromisin
36

Lampiran 4. Pemberian Obat Bersamaan
NO Nama Obat Dosis Frek Rute
TANGGAL
14 Mei 2014 15 Mei 2014 16 Mei 2014 17 Mei 2014 18 Mei 2014
1 IVFD RL iv STOP
2 Fasidol 0,8 ml 4x1 po 12 18 22 8 12 18 22 8 12 18 22 8 12 18 22 STOP
3 Cefadroxil syr 2x3/4 cth po 18 8 18 8 18 8 STOP
4
Puyer batuk
(Ambroxol) 4 mg 3x1 po
18 8 12 18 8 12 18 8 12 18 8 12 18
5
Puyer sesak
(Salbutamol) 0,6 mg 3x1 po
8 12 18 8 12 18 8 12 18 8 12 18
6
Puyer jantung I
(Furosemid) 7 mg 1x1 po
8 8 8 8 8
7
Puyer jantung II
(Spironolakton) 6,25 g 1x1 po
8 8 8 8 8
8 IVFD KA-EN IB iv
9 Cefixime 50mg 2x cth po 18 8 18

37

Lampiran 4. Pemberian Obat Bersamaan (Lanjutan)

NO Nama Obat Dosis Frek Rute
TANGGAL
19 Mei 2014 20 Mei 2014 21Mei 2014
1
Puyer batuk
(Ambroxol) 4 mg 3x1 po
8 12 18 8 12 18 8 12 18
2
Puyer sesak
(Salbutamol) 0,6 mg 3x1 po
8 12 18 8 12 18 8 12 18
3
Puyer jantung I
(Furosemid) 7 mg 1x1 po
8 8 8
4
Puyer jantung II
(Spironolakton)
6, 25
mg 1x1 po
8 8 8
5 IVFD KA-EN IB iv

6 Cefixime 50mg 2x cth po 8 18 8 18 8 18
38

Lampiran 5. Tabel Analisa DRPs
N
O

JENIS
PERMASAALAHAN

ANALISA MASALAH

PERMASALAHAN
YANG TERKAIT
DENGAN OBAT

KOMENTAR /REKOMENDASI


1
Korelasi antara terapi
obat-dengan penyakit

1. Adakah obat tanpa
indikasi medis?
2. Adakah pengobatan yang
tidak dikenal?
3. Adakah kondisi klinis
yang tidak diterapi? dan
apakah kondisi tersebut
membutuhkan terapi obat
?

Tidak ada
permasaalahan.
Tidak ada obat tanpa indikasi klinis dan
semua kondisi klinis diterapi.
2 Pemilihan obat yang
sesuai
1. Bagaimana pemilihan
obat? Apakah sudah
efektif dan merupakan
obat terpilih pada kasus
ini?
2. Apakah pemilihan obat
tersebut relative aman?
3. Apakah terapi obat dapat
ditoleransi oleh pasien?

Tidak ada
permasaalahan.
Pada kasus ini pemilihan obat sudah efektif,
relatif aman, dan dapat ditorensi oleh
pasien.
3 Regimen dosis 1. Apakah dosis, frekwensi
dan cara pemberian
Ada permasaalahan.

Dosis pemberian spironolakton pada
kasus ini tidak adekuat, karena dosis
39

sudah
mempertimbangkan
efektifitas keamanan dan
kenyamanan serta sesuai
dengan kondisi pasien?
2. Apakah jadwal
pemberian dosis bisa
memasikmalkan efek
terapi, kepatuhan ,
meminimaIkan efek
samping,interaksi obat,
dan regimen yang
komplek?
3. Apakah lama terapi
sesuai dengan indikasi ?












lazim spironolakton untuk pasien VSD
adalah 1-2mg/kgBB/hari. Seharusnya
pasien mendapatkan dosis spironolakton
7-14mg/hari.
Dosis pemberian ambroxol pada kasus
ini sedikit melebihi dosis lazim. Dosis
lazim ambroxol 1,2-1,6mg/kgBB/hari,
seharusnya dosis yang diterima pasien
8,4-11,2mg/hari.
4 Duplikasi terapi 1. Apakah ada duplikasi
terapi
Tidak ada
permasaalahan.


Dalam kasus ini tidak terdapat duplikasi
terapi.

5 Alergi obat atau
intoleran
1. Apakah pasien alergi atau
intoleran terhadap salah
satu obat (atau bahan
kimia yang berhubungan
dengan pengobatanya)?
2. Apakah pasien telah tahu
yang harus dilakukan jika
terjadi alergi serius?
Tidak ada
permasaalahan.
Pasien tidak alergi terhadap obat yang
diberikan
40

6 Efek merugikan obat

1. Apakah ada gejala /
permasaalahan medis
yang diinduksi obat?

Tidak ada
permasaalahan.
Tidak ada permasalahan terhadap efek yang
merugikan terhadap obat
7 Interaksi dan
Kontraindikasi

1. Apakah ada interaksi obat
dengan obat? Apakah
signifikan secara kilnik?
2. Apakah ada interaksi obat
dengan makanan?
Apakah bermakna secara
klinis?
3. Apakah ada interaksi obat
dengan data
laboratorium? Apakah
ber-makna secara klinis?
4. Apakah ada pemberian
obat yang kontra indikasi
dengan keaadaan pasien?
Ada permasaalahan.

Pada kasus ini terdapat potensi interaksi
antara furosemid dengan salbutamol,
sehingga dapat menambah efek
hipokalemia.
Terdapa tinteraksi yang sinergis antara
spironolakton dengan furosemid,
sehingga menambah efek diuresis dan
dapat juga menyebabkan hiponatremia,
serta hipotensi.
Pada kasus ini terdapat potensi interaksi
antara spironolakton dengan IVFD KA-
EN IB (terdapat kandungan KCl),
sehingga dapat menambah efek
hiperkalemia.
Pemberian NSAID dapat mengurangi
efek dari diuretik.

Anda mungkin juga menyukai