KETEKNIKAN DESA UNTUK TEKAN PENGANGGURAN Oleh : Ki Supriyoko
Isyu ketenagakerjaan di Indonesia yang senantiasa aktual dalam beberapa tahun terakhir ini adalah masalah pengangguran. Relatif tingginya angkatan kerja di satu pihak, dan terbatasnya lapangan kerja yang telah dibuka pada pihak yang lain telah menyebabkan munculnya kaum tuna kerja dalam jumlah yang relatif tinggi pula.
Dari tahun ke tahun jumlah kaum tuna kerja alias penganggur cenderung meningkat, dan akhirnya berubah men jadi kompleksitas ketenagakerjaan yang menghambat berputarnya roda-roda pembangunan nasional yang tengah kita jalankan.
Presiden Soeharto baru-baru ini kembali mengamanatkan agar supaya dilaksanakan usaha-usaha yang maksimal untuk menghindari meningkatnya angka pengangguran di negeri yang tercinta ini; dengan ungkapan lain perlu dilakukan usaha-usaha yang maksimal untuk menekan angka pengangguran tenaga potensial di negara kita sampai pada bilangan yang sekecil mungkin.
Pengangguran dan setengah pengangguran merupakan salah satu bentuk pemborosan sumber daya yang paling potensial, serta akan menurunkan daya beli masyarakat yang kemudian dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu menghindari pengangguran berarti secara langsung dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Pengangguran Tinggi
Berbicara tentang pengangguran di negara kita memang sangat menarik, karena dewasa ini negara kita masih termasuk salah satu "anggota" dari negara-negara dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada thn 1985 yang lalu di Indonesia terdapat 62.457.138 angkatan kerja produktif. Akan tetapi dari keseluruhan jumlah tersebut yang benar-benar bekerja secara penuh, yaitu dengan 2 kriteria bekerja 35 s/d 60 jam per minggu, hanya sebanyak 35.804.329 orang saja. Jadi, kalau dipersentasekan maka jumlah tenaga kerja yang bekerja secara penuh hanya 57,3% dari keseluruhan angkatan kerja.
Angka tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa di negara kita masih terdapat kaum tuna kerja yang relatif tinggi; yaitu sebanyak 26.652.809 orang, terdiri dari para 'tuna kerja tidak kentara' bagi yang bekerja kurang dari 35 jam pada tiap minggu-nya, serta para 'tuna kerja kentara' bagi yang tidak atau belum mempunyai pekerjaan sama sekali.
Jumlah tersebut tentunya sangat tinggi mengingat bahwa pada awal tahun 80-an angkanya masih berkisar pada bilangan 19.000.000 orang.
Tingginya angka pengangguran di negara kita juga dapat diamati pada "sirkulasi kerja" yang terjadi dalam departemen tenaga kerja, Depnaker; dalam artian jalannya arus pendaftaran tenaga kerja, permintaan tenaga kerja, serta penempatan tenaga kerja.
Di dalam pidato pertanggungjawaban presiden RI di depan sidang umum MPR tanggal 1 Maret 1988 yang lalu dilaporkan bahwa pada tahun 1987/88 (data dihitung sampai Desember 1987) yang lalu, jumlah pendaftar kerja secara nasional pada Depnaker mencapai 566.324 orang; sedangkan permintaan tenaga kerja hanya sebanyak 88.468 orang. Setelah melalui prosedur dan tata cara seleksi akhirnya hanya sebanyak 60.026 orang yang berhasil ditempatkan pada pos-pos kerja di lapangan.
Hal tersebut berarti bahwa Depnaker baru berhasil menempatkan 10,6% dari seluruh pencari kerja yang secara resmi mendaftarkan diri melalui Depnaker. Angka yang kecil, tetapi tidak mungil. Angka ini akan menjadi lebih kecil lagi apabila pencari kerja yang "enggan" mendaftar pada Depnaker ikut diperhitungkan di dalamnya.
Ilustrasi-ilustrasi tersebut di atas menunjukkan betapa masih tingginya angka pengangguran di negara kita saat ini.
Lembaga Keteknikan
Masalah pengangguran memang bukan monopoli negara kita; banyak negara- negara lain yang "dipusingkan" oleh masalah yang sangat kompleks ini, tidak terkecuali bagi beberapa negara yang sudah termasuk dalam barisan negara industri sekalipun.
Di negara-negara maju masalah pengangguran bahkan bukan saja semata-mata merupakan isyu ketenagakerjaan lagi, akan tetapi telah berubah menjadi isyu politik yang sering diangkat ke permukaan untuk meraih kepentingan politis tertentu; misalnya untuk kampanye pemilihan presiden, perdana menteri, dan sebagainya.
3 Lepas dari itu semua berbagai negara telah melakukan eksperimentasi untuk mencari jalan keluar masalah pengangguran.
Negeri Belanda telah bereksperimentasi dengan lem baga keteknikan guna menekan angka pengangguran. Lembaga yang diberi nama Centrum Voor Vakopleiding van Volwassenen (CVVV) merupakan pusat pendidikan kejuruan bagi para orang dewasa, secara rapi dikoordinasi oleh Kementerian Sosial (Ministerie van Sociale Zaken). Pada negara yang "sekecil" ini telah dibangun sebanyak 30-an CVVV yang tersebar di berbagai kota.
Para penganggur diberi prioritas untuk dididik di lembaga tersebut, meskipun tidak tertutup bagi para "non penganggur" yang ingin memperoleh keterampilan di bidang tertentu. Mereka diberi keterampilan keteknikan praktis, misalnya instalasi listrik, pembubutan, otomotif, perumahan, dan sebagainya. Dengan bekal keterampilan itulah mereka akan bekerja di masyarakat dengan pendapatan atau penghasilan yang layak.
Dengan berdirinya lembaga tersebut ternyata angka pe-ngangguran di negeri "Bunga Tulip" itu dapat ditekan lebih rendah.
Upaya menekan angka pengangguran dengan mendirikan lembaga-lembaga keteknikan seperti tersebut di atas juga diaplikasikan di negara kita. Dalam beberapa tahun terakhir ini telah didirikan Balai Latihan Kerja (BLK), dengan berbagai keterampilan di dalamnya: industri, pertanian, manajemen, dan sebagainya. Lembaga ini langsung dikoordinasi oleh Depnaker.
Di samping BLK maka negara kita sejak akhir tahun 70-an juga telah bereksperimentasi dengan lembaga keteknikan lain ialah lembaga politeknik. Berbagai politeknik telah didirikan di berbagai kota dengan berafiliasi pada perguruan tinggi negeri di kota yang bersangkutan. Lembaga ini memang dikoordinasi oleh Depdikbud, bukan oleh Depnaker sebagaimana dengan BLK tersebut.
Ekspansi ke Desa
Peran BLK dan lembaga politeknik di negara kita memang tidak dapat dikesampingkan, tetapi harus diakui bahwa peran lembaga tersebut masih perlu untuk dibenahi dan disempurnakan lagi. Kedua jenis lembaga keteknikan ini memang telah terbukti mampu memberikan bekal keteram pilan pada para pemuda di negara kita, dan dengan bekal tersebut sebagian dapat memanfaatkannya untuk berkompetisi dalam pasar kerja, sekaligus memenangkan peluang yang tersedia.
Dengan demikian secara tidak langsung kehadiran BLK dan lembaga politeknik dapat menekan angka pengangguran di negara kita.
Lembaga BLK dan politeknik memang perlu dikembang kan lagi, akan tetapi arah pengembangannya harus sudah diekspansi ke daerah pedesaan. Dengan 4 ungkapan lain pembangunan BLK dan politeknik justru harus diprioritaskan di daerah pedesaan.
Setidak-tidaknya ada dua alasan utama yang pantas dijadikan pertimbangan diprioritaskannya daerah pedesaan untuk pembangunan lembaga keteknikan: pertama, mayoritas tenaga potensial di daerah pedesaan belum termanfaatkan secara optimal, dan kedua para pemuda di pedesaan memang cocok diberi keterampilan menengah melalui lembaga ketek nikan tersebut.
Banyak negara yang telah memanfaatkan potensi desa melalui pengembangan lembaga keteknikan di pedesaan. Kenya dan Kuba merupakan contoh dari banyak negara yang gencar mengembangkan lembaga keteknikan di pedesaan, melalui programnya yang disebut 'politeknisasi desa'.
Dengan dicanangkannya program politeknisasi desa tersebut maka pemerintah Kenya dan Kuba secara intensif menggalakkan pembangunan lembaga keteknikan di daerah pedesaan. Bengkel-bengkel sekolah dan laboratorium hidup mulai dibangun, demikian pula dengan program-program terapannya.
Para siswa kalau pagi hari diberi latihan terapan di sawah-sawah atau di bengkel- bengkel kerja, sedangkan kalau sore hari diberi pelajaran teoretis di kelas. Pagi pegang cangkul atau kunci, sore pegang pena. Demikianlah kira-kira ungkapan yang tepat untuk pelaksanaan program politeknisasi desa tersebut. Dan program ini ternyata benar-benar membawa kemajuan yang sangat berarti karena para tenaga potensial di pedesaan memperoleh peningkatan keterampilan yang terapan untuk bekerja.
Dengan ungkapan lain dengan dibangunnya lembaga-lembaga keteknikan di pedesaan tersebut maka para pemuda pengangguran di pedesaan diberi bekal keterampilan untuk mencari kerja, bahkan ada yang "membuat" kerja sendiri. Ahirnya terbukti pula bahwa program politeknisasi desa tersebut dapat menekan angka pengangguran.
Implikasinya: apabila pembangunan BLK, politeknik dan lembaga keteknikan lainnya di negara kita dapat diekspansi ke daerah pedesaan maka kehadirannya tentu akan dimanfaatkan oleh masyarakat desa. Mereka akan lebih bergairah dalam berkompetisi di pasar kerja dengan bekal keterampilan yang diperoleh dari lembaga keteknikan.
Upaya tersebut di atas baik secara langsung maupun tidak langsung akan lebih melicinkan penurunan angka pengangguran di negara kita.
BIODATA SINGKAT; 5 nama: Drs. Ki Supriyoko, M.Pd. pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa dan Ketua Lembaga Penelitian Sarjanawiyata Taman- siswa Yogyakarta prof: Pengamat masalah pendidikan dan ketenagakerjaan