Anda di halaman 1dari 18

]DEMOKRASI ALA KAUM MUDA: BELAJAR DARI ADAT TUDANG SIPULUNG,

MUSYAWARAH YANG TERARAH

"Berdemokrasi Ala Kaum Muda" merupakan hasil Kajian Partisipasi Kaum Muda
dalam Mendorong Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis dengan fokus
Potensi Kaum Muda untuk Berpartisipasi dalam Proses Musrenbang di Kabupaten
Bima dan Kupang yang dilakukan oleh PSKK UGM dengan dana Hibah Inovatif
ACCESS Tahap II. Kerja sama dengan ACCESS dilatarbelakangi oleh kesadaran
pentingnya peran, tanggung jawab, dan hak kaum muda yang perlu ditindaklanjuti
dengan kepastian pelibatan mereka dalam proses-proses kepemerintahan lokal
yang demokratis. PSKK UGM dan ACCESS melihat setiap pemuda dalam berkiprah
secara individual maupun kolektif untuk mempresentasikan diri sendiri maupun
kelompok sehingga mampu menyumbang pada proses perubahan sosial. Kiprah
kaum muda dalam proses demokratis bersifat khas yang menunjukkan keragaman
sekaligus kesamaan secara lintas daerah. Oleh sebab itu, buku yang merupakan
hasil kajian ini diberi judul "Berdemokrasi ala Kaum Muda: Belajar dari Bima dan
Kupang".

Usia kaum muda yang berada pada titik transisi dari anak menuju dewasa menjadi
sebuah titik kritis yang perlu diperhatikan. Studi ini memperlihatkan setiap kaum
muda mampu menunjukkan perannya pada proses perencanaan pembangunan di
tingkat lokal, baik secara formal maupun nonformal, meskipun masih terbatas. Di
sisi lain, mereka menemukan banyak hambatan karena adanya generation gap
serta kurangnya daya dukung sosial dan dukungan kebijakan untuk pengembangan
potensi kaum muda. Di Kabupaten Bima dan Kupang, kaum muda dengan
keberagaman latar belakang pendidikan, ekonomi, budaya, keterampilan, dan lain
sebagainya berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk dapat
mengoptimalkan sumbangan mereka terhadap proses pembangunan. Kondisi ini
menjadi sebuah peluang besar bagi stakeholders yang terkait dengan
pemberdayaan kaum muda dan perencanaan lokal. Pelibatan kaum muda dalam
perencanaan pembangunan lokal diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan
mengoptimalkan partisipasi kaum muda sehingga tercipta better governance. []
Menjadi Muda dan Saleh: Memahami Ekspresi Islam Anak Muda Muslim Indonesia

Najib Kailani (LKiS Yogyakarta/PSSAT UGM)

Najib KailaniBeberapa tahun terakhir, penulis terlibat dalam sejumlah kegiatan dan
penelitian mengenai anak muda Muslim Indonesia mulai dari level sekolah hingga
universitas. Dari kesempatan tersebut, penulis banyak berjumpa dan berbincang
dengan siswa-siswi SMUN yang aktif di Kerohanian Islam (Rohis), aktivis dakwah
kampus yang aktif mengelola Asistensi Agama Islam (AAI), dan aktivis dakwah yang
bergiat di bidang literasi seperti penulisan dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal menarik ditemukan ketika bergumul dengan mereka. Kebanyakan
dari mereka tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, menjaga pandangan
dengan lawan jenis (ghaddul bashar), mengenakan jilbab besar, mempraktikkan
hijab, memelihara jenggot, tidak merokok, tidak berpacaran, dan sangat
bersemangat dalam kegiatan-kegiatan keislaman. Meskipun demikian, mereka
tampak cerdas dan cemerlang, mempunyai wawasan yang luas, pandai berbahasa
asing--terutama Inggris, dan kebanyakan bercita-cita studi ke luar negeri--, serta
berprestasi. Di antara mereka ada yang tinggal di asrama mahasiswa yang formal
(seperti pesantren mahasiswa, PPSDM) dan informal seperti kontrakan dan
sebagainya yang menerapkan praktik Islami di atas.

Sebagian besar pengamat menilai ekspresi keislaman yang ditampilkan anak-anak


muda ini sebagai konservatif, dan berbahaya bagi realitas keberagaman di
Indonesia. Memang tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus ditemukan ihwal
bagaimana ekspresi dan praktik berislam mereka tampak mendominasi dan
bahkan mendiskriminasi praktik berislam yang lain.[1] Meskipun demikian,
perjumpaan penulis dengan anak-anak muda ini memberikan banyak kesan dan
refleksivitas yang menuntun penulis melihat dan memahami keberadaan anak-anak
muda ini dengan cara pandang yang tidak simplistis dan apriori. Untuk memahami
fenomena ini, paling tidak ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan sebagai
pembuka wacana; Mengapa fenomena ekspresi Islam seperti ini berkembang di
Indonesia dan di kalangan anak muda? Apa konteks yang melatarinya? Bagaimana

melihat fenomena ini dalam konteks keberagaman di Indonesia?

Dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, agaknya, sedikit


banyak dapat membantu merefleksikan dan merumuskan kembali cara-cara
membincangkan isu keberagaman dalam konteks anak-anak muda Muslim ini.
Sebagai ilustrasi, akan dipaparkan tiga sketsa potret anak muda Muslim yang
mempraktikkan keislaman dengan ekspresi di atas. Potret pertama adalah seorang
siswi menengah umum negeri. Namanya Azkia, dia siswi di salah satu SMUN favorit
di Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan pesantren negeri karena kuatnya
praktik keislaman di ruang publik sekolahnya. Sebelum bersekolah di SMUN ini, dia
sudah mendengar kalau nuansa keagamaan sangat kental dipraktikkan di sekolah
tersebut. Awalnya dia enggan dengan suasana itu dan berniat memberontak
dengan kultur yang ada. Sampai akhirnya, kala dia mengikuti MOS (Masa Orientasi
Siswa), hatinya terkesan dengan kakak mentor (Pansus) yang mendampinginya
selama MOS, yang menjadi teman berkeluh kesah dan curahan hati serta
mendorongnya untuk mandiri dan berprestasi.

Tidak lama setelah itu, Azkia memutuskan untuk menjadi siswi Muslim yang baik
dan saleh di lingkungan sekolah. Ia kemudian mengenakan jilbab besar, tidak
bersalaman dengan non-mahram, tidak berpacaran. Meskipun demikian, Azkia
memilih aktif di ekstrakurikuler jurnalistik --bukan Rohis-- yang notabene dinilai
sebagai sayap bad boys dan dicap anti terhadap praktik berislam seperti yang
dipraktikkan anak Rohis di sekolahnya. Walau dekat dengan anak-anak Rohis, dia
kritis terhadap mereka. Suatu ketika, saat Valentines Day, para aktivis Rohis di
sekolahnya menempel selebaran yang berisi ajakan untuk tidak merayakan
Valentines Day karena diasosiasikan sebagai praktik Kristiani dan muatan makna
Valentines Day yang hura-hura. Azkia yang membaca selebaran itu selanjutnya
menandangi teman-teman Rohisnya dan mengingatkan mereka agar konten
selebaran tidak menyinggung agama lain, karena siswa-siswi di sekolah mereka
yang beragam latarbelakang agamanya, meski dia sendiri setuju untuk tidak
merayakan Valentines Day.

Dalam kesempatan berbincang dengan Azkia, dia selalu menyebut dirinya


moderat dan netral dalam konteks cara berislam di lingkungan sekolahnya.
Dia merasa bukan bagian dari kelompok yang konservatif maupun liberal dalam
mempraktikkan Islam. Dia tetap memegang teguh beberapa praktik berislam
sebagaimana penulis uraikan di atas. Bahkan, karena kepribadiannya ini, dia
menjadi koordinator pansus semacam panitia khusus yang mendampingi atau
mementori siswa-siswi baru saat MOS di sekolahnya.[2] Namun, dia tetap supel
dan terbuka, bahkan terkesan bersemangat dalam bercerita dan berbagi informasi
dengan penulis, tentu dengan tetap menjaga prinsip-prinsip Islam yang ia yakini.

Potret yang senada dengan Azkia juga penulis temukan pada Sarah. Saat duduk di
sekolah menengah umum, Sarah aktif di Rohis sekolah dan juga ekskul Pecinta
Alam. Seperti Azkia, Sarah mulai mengenakan jilbab saat SMU. Dia menjaga
pandangan dengan lawan jenis, tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram,
tidak berpacaran, dan seterusnya. Saat kuliah, dia memilih jurusan Sosiologi dan
tetap mempraktikkan ekspresi keislaman yang ia yakini. Selama mahasiswa, ia aktif
di kegiatan-kegiatan Rumah Zakat, Forum Lingkar Pena, dan kegiatan dakwah.
Selain itu, ia juga menjadi mentor Rohis di sebuah sekolah di Yogyakarta. Sarah
bercita-cita studi ke Eropa mesti terkadang bimbang dengan pandangannya
mengenai beasiswa yang katanya bersumber dari Yahudi dan sebagainya--. Dulu dia
sempat menolak Facebook (FB) karena gencarnya wacana yang ia dengar tentang
kaitan FB dengan Yahudi. Saat ini, dia mempunyai blog, FB, dan sering menuliskan
banyak pengalaman hidupnya di sana. Seperti halnya Azkia, Sarah juga sangat
supel, fasih berbahasa gaul anak muda dengan kombinasi bahasa gaul kearabaraban kini seperti ane, antum, dan seterusnya.

Suatu ketika, ia menulis di FBnya mengenai dunia remaja hingga keputusannya


berjilbab dengan judul Antara Aku, Majalah Gadis, dan Jilbab. Berikut torehan
hatinya:

Ide menulis cerita ini muncul saat aku melihat beberapa majalah remaja milik
adikku beberapa waktu lalu. Bukan ANNIDA atau semacamnya, tapi GADIS, OLGA,
dan SISTER. Dua yang kusebut terakhir agaknya merupakan majalah baru. Kutebak
majalah itu muncul ketika aku benar-benar telah meninggalkan dunia remaja.

Mencoba bernostalgia dengan majalah yang banyak mewarnai masa transisi dari
usia kanak-kanak hingga remajaku. Masih tetap seperti dulu dengan ukuran
standar, dengan tebal halaman yang tetap sama kalaupun bertambah tak terlalu
signifikan, juga model-model dengan look yang komersil.

Itulah GADIS.

Majalah remaja yang pertama kali kubeli setelah aku selesai menonton Titanic
waktu kelas 5 SD di Empire 21 (sekarang sudah almarhum). Aku masih ingat betul
itu sekitar tahun 1998 dan yang menjadi cover sampulnya adalah Calista Argentina,
jebolan GADSAM (Gadis Sampul) yang kini wajahnya banyak menghiasi layar kaca
melalui iklan komersil sebagai Ibu muda.

Entah kenapa aku betul-betul dibuat jatuh hati oleh majalah itu. Aku yang masih
anak-anak_apalagi teman-temanku masih lebih suka membaca BOBO dkk_sama
sekali tak merasa tertinggal membaca majalah dengan segmen remaja itu.
Sempat berlangganan hingga akhirnya terpaksa stop karena nilai raportku yang
terjun bebas waktu aku SMP kelas 1 cawu 2. Setelahnya aku lebih sering membeli
dari uang sakuku atau meminjam dari teman.

GADIS memang berbeda dari kawan-kawannya. Tampilannya, isinya termasuk juga


kecerdasan mereka memilih para GADSAM yang betul-betul berkualitas. Hingga tak
heran mereka yang wara wiri dan eksis di jagad entertainment mayoritas adalah
alumni GADSAM. Sebut saja Krisdayanti, Desi Ratnasari, Bella Saphira, Cut Tary,
Ersa Mayori, Dian Sastro, Annisa Pohan (menantu SBY), Revalina S Temat, Nabila
Syakieb, Tyas Mirasih dan masih banyak lagi. Kala itu aku yang sempat penasaran
mencoba peruntungan di dunia hiburan, termasuk di antaranya melalui kompetisi
GADSAM yang digelar setahun sekali. Keinginanku harus tertunda beberapa kali
karena tinggiku yang belum mencapai batas minimum. Dan hal itu baru dapat
terealisasi saat aku duduk di bangku SMU.

Masih lekat dalam ingatanku aku yang sampai mencatok rambutku, berdandan
natural dengan smokey eyes dan mengenakan kostum 'kekecilan' hasil meminjam
pada kakak perempuanku. Tak lupa mengabadikan semuanya di sebuah studio foto
digital dengan memamerkan senyum andalan.

Dan akhirnya aku tidak lolos.

Sedih? Malu? Kecewa?

Tidak!!! Justru aku amat bersyukur.

Boleh dikatakan aku sedang dilema saat akan mengirim formulir GADSAM.

Walaupun aku melewati masa remaja dengan cara tidak biasa, namun aku sadar
betul bahwa aku harus segera menunaikan kewajibanku sebagai muslimah yang
sudah baligh. Sebenarnya keinginanku ini telah muncul sejak aku mulai berseragam
putih biru, tapi kupilih menunda karena sebuah alasan picik; aku ingin pacaran dan
kupikir muslimah berjilbab tak terlalu menarik untuk dilirik hehehe...

Nyatanya sampai aku lulus SMP, aku masih jomblo dengan fans yang tak jelas ada
atau tidak!!

Kucoba untuk menguatkan niat bahwa SMU, hal ini harus segera terwujud!! Namun
lagi-lagi tertunda. Keinginanku untuk bergabung dalam klub teater di SMU
membuatku kembali harus menunda kewajibanku untuk berjilbab. Menurut info
yang kudapat akan sulit bagiku untuk total berakting jika berjilbab.

Tapi apa yang kurencanakan sama sekali tak terwujud.

Sempat terjadi gesekan antara klub pecinta alam dengan teater yang
menyebabkanku harus memilih salah satu dari keduanya. Dan karena sejak awal
aku lebih dulu aktif di pecinta alam selain karena aku merasa amat nyaman dengan
komunitas di dalamnya, maka aku memilih mundur dari teater.

Rasa-rasanya petunjuk itu semakin terlihat jelas ketika akupun tidak lolos di
pemilihan Gadis Sampul. Segera kubulatkan tekad untuk menutup auratku tepat

pada hari kedua saat duduk di kelas 2 SMU. Tak hanya berkerudung saat sekolah
saja, tapi juga saat aku di luar rumah dan menerima tamu yang bukan muhrimku.

Sungguh itu bukan pekerjaan mudah, selain teman-temanku di sekolah yang


notabene anak gaul, populer dan belum berjilbab, di keluargakupun baru aku dan
kakakku yang telah berjilbab. Kakakku sendiri belum bisa konsisten dalam
menggunakannya. Tapi hal ini tak menyurutkan niatku untuk tetap istiqomah.

Dan lagi-lagi Allah membuktikan janjiNya.

Bisa dikatakan masa SMU adalah salah satu masa keemasan dalam hidupku. Aku
banyak memperoleh pengalaman dan pelajaran berharga khususnya dalam
berorganisasi. Mendapat jabatan-jabatan strategis di kepanitiaan, terpilih menjadi
pengurus MPK 3 tahun berturut-turut, berjejaring dengan anak-anak alumni bahkan
sampai alumni tahun 1998 melalui pecinta alam, menjadi siswi yang populer, vokal
dan cukup diperhitungkan di angkatanku (hehehe...insya Allah bisa dibuktikan ^^)
serta yang paling tak terduga banyaknya kakak-kakak angkatan yang mencoba
menakhlukkan hatiku hehehe.

Hingga kini jika aku mengingat kisahku dulu, aku tak pernah menyesal dengan
keputusanku berjilbab di tengah godaan untuk tetap memamerkan aurat yang
demikian dahsyat. Aku tahu aku telah mengambil keputusan yang tepat. Dunia
hiburan yang menawarkan gelimang kemewahan yang menggiurkan, menjadi tak
sebanding dengan nikmat yang telah Allah sediakan bagi hambaNya yang yakin
pada segala janjiNya.

Berbeda dengan Azkia dan Sarah di atas, potret ketiga adalah seorang perempuan
muda yang memilih mengenakan cadar di kesehariannya. Namanya Indah. Dia
mahasiswi S1 Sastra Arab di UGM. Keputusannya untuk mengenakan cadar berawal
dari sebuah SMS seorang teman lelaki sekelas yang menyatakan kecantikan Indah
saat ia mempresentasikan paper di depan kelas. Indah merasa malu dan jengah
dengan SMS tersebut dan menanyakan maksudnya kepada si pengirim SMS.
Setelah mengetahui kalau teman tersebut menyukainya dan menghindari rasa malu
yang dirasakannya, dia memutuskan mengenakan cadar dan memilih jalur salafi.

Berbeda dengan dua potret sebelumnya, saat SMU, Indah bersekolah di Madrasah
Aliyah Negeri (MAN). Dia sempat terkagum dengan ide-ide tarbiyah karena saudara
kandungnya yang aktif di PKS, namun pandangan salafi ternyata lebih memesona
dirinya. Dia menikah saat memasuki semester akhir kuliahnya. Baginya
mengenakan cadar tidak membuatnya tertutup. Dia selalu menyapa orang
dengan ramah dan mempunyai pandangan kalau di sebuah lingkungan
menganggap cadar sebagai keanehan, maka ia akan melepasnya demi
kenyamanan dia dan orang di sekitarnya.

Gambaran dari tiga potret yang penulis tampilkan di atas tampak berujung pada
ekspresi yang sama; menjadi Muslim muda yang saleh. Selain itu, anak-anak muda
ini juga menghadapi situasi yang sama; arus globalisasi, modernisasi, dan
urbanisasi yang merasuk ke setiap relung kehidupan. Kadang, pandangan umum
yang streotipe dan cenderung mengeneralisasi seringkali melihat ekspresi mereka
sebagai aneh, radikal, fundamentalis, dan tidak toleran. Namun, mengapa
ekspresi ini menjamur di kalangan anak muda Muslim perkotaan? Paling tidak ada
dua konteks yang melatari sekaligus mampu menjelaskan ihwal ini. Pertama,
realitas globalisasi, modernisasi, dan urbanisasi yang membuat banyak orang
merasa tercerabut dari keluarga inti (nuclear family) dan mengalami
individualisasi. Meskipun seorang anak SMU masih tinggal serumah dengan orang

tuanya, waktunya mungkin lebih banyak di depan televisi, mengupdate status FB,
bertemu dengan teman-teman sebaya, dan lain sebagainya, yang secara tidak
langsung, mengalami individualisasi dan terpisah dari lingkungan keluarga inti.
Apalagi para mahasiswa yang tinggal di kost dan kontrakan di kota-kota besar yang
lanskapnya bergerak cepat dan dinamis; berdirinya mall, cafe, tempat-tempat
hiburan, dan sebagainya. Situasi kemodernan ini juga mendiseminasi budaya pop
dan gaya hidup Barat dan Asia Timur yang dijajakan televisi, majalah remaja, dan
internet, yang pada gilirannya melahirkan sebuah kepanikan moral (moral panics)
di tengah masyarakat. Orang tua, guru, dan lingkungan khawatir anaknya,
saudaranya, dan tetangganya, terjangkit narkoba, seks bebas, tawuran, dan
sebagainya.

Kedua, lanskap keagamaan, khususnya Islam, seakan memenuhi ruang publik


Indonesia kontemporer. Pengajian-pengajian akbar yang digelar di mana-mana
bahkan disiarkan secara langsung di televisi, program-program televisi Islami, film,
dan sinetron Islami, majalah-majalah, dan buku-buku keislaman, serta fashion
Islami yang menjamur di mana-mana mulai dari profesor Jilbab, Al-Fath, Annisa,
sampai Karita.

Dua konteks di atas, akhirnya, mendorong para remaja ini bergabung dalam
komunitas yang dapat mengakomodir habitus keremajaan mereka yang telah
bertaut dengan budaya pop Barat dan Asia Timur, pada satu sisi, dan juga dapat
berbagi dan saling bertukar pengalaman untuk mewujudkan kesalehan di tengah
situasi tersebut seperti Rohis, dakwah kampus, dan asrama mahasiswa, di sisi yang
lain. Selain itu, ekspresi kesalehan ini juga menantang ruang publik sekuler yang
selama ini diperkenalkan oleh negara. Keberadaan ekspresi kesalehan ini tidaklah
bertujuan mengambil alih negara dan mengislamkannya, melainkan merupakan
gerak individu-individu yang berpaut untuk mengekspresikan kesalehan mereka di
ruang publik yang selama ini cenderung sekuler dan menolak kehadiran ekspresi
ini.[3] Para anak muda ini, merujuk pada Bayat dan Herrera, menafsirkan Islam
menyesuai habitus keremajaan mereka.[4] Dengan melihat tiga sketsa potret anak
muda Muslim di atas, setidaknya ditemukan bagaimana mereka mendefinisikan diri
mereka yang moderat meski tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang mereka
yakini.

Lalu, bagaimana melihat fenomena ini dalam konteks keberagaman? Menurut


penulis, dengan memahami ekspresi yang ditampilkan anak muda Muslim ini secara
apresiatif dan memahami konteksnya, terlihat adanya potensi saling menghargai
keberagaman. Realitas yang kompleks di diri anak muda Muslim ini merupakan
potensi bagi keberagaman. Kaum muda ini mesti dirangkul dan didorong untuk
berkomunikasi dengan ragam anak muda di luar mereka, baik yang ekspresi
Islamnya berbeda maupun yang sekuler sekalipun. Pengalaman LKiS yang
mempertemukan anak muda (siswa) dari berbagai SMU dan berbeda latarbelakang
menarik untuk terus dieksprimentasikan di berbagai tempat dan wilayah.[5] Namun,
upaya-upaya lain yang lebih menyesuaikan habitus keremajaan ekspresi keislaman
para anak muda ini juga perlu dipertimbangkan lebih jauh untuk mengakomodasi
perbedaan yang ada di tengah anak muda.

***

[1] Lihat Hairus Salim HS, Najib Kailani dan Nikmal Azekiyah, Politik Ruang Publik
Sekolah: Negosiasi dan Kontestasi di SMUN Yogyakarta, Monograf CRCS UGM, 2011.

[2] Uraian mengenai Pansus di MOS, lihat Hairus Salim HS, Najib Kailani dan
Nikmal Azekiyah, Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Kontestasi di SMUN
Yogyakarta, Monograf CRCS UGM, 2011 h. 36-41

[3] Lihat Saba Mahmood, Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist
Subject, Princeton: Princeton University Press, 2005 dan Charles Hirschkind, The
Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublics, New York:
Columbia University Press 2006.

[4] Asef Bayat dan Linda Herrera, Introduction: Being Young and Muslim in
Neoliberal Times dalam Asef Bayat dan Linda Herrera, Being Young and Muslim:
New Cultural Politics in the Global South and North, New York, Oxford: Oxford
University Press, 2010

[5] Lihat Farid Wajidi Kaum Muda dan Pluralisme, dalam Zainal Abidin, dkk,
Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, (Yogyakarta: CRCS
UGM, 2011)
Kaum Muda dan Civil Society
Demokrasi yang substansial bukan hanya terletak pada terselenggaranya
mekanisme pengelolaan kekuasaan, seperti adanya lembaga politik eksekutiflegislatif-yudikatif melalui prosedur pemilihan umum secara langsung, tetapi juga
harus dibarengi dengan peran masyarakat dan kultur politik yang melingkupinya.
Salah satu pilar yang sangat penting dalam konteks membangun demokrasi yang
sejati adalah tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang kuat dan mandiri
di luar negara. Almarhum Nurcholish Madjid mengatakan bahwa demokrasi yang
substansial itu membutuhkan rumah yang kokoh dan rumah tersebut adalah
masyarakat madani, dimana berbagai macam perserikatan, klub, asosiasi,
kelompok-kelompok masyarakat bergabung menjadi perisai dan perantara antara
negara dan warga negara.

Secara teoritis, kelompok cendikiawan merupakan salah satu elemen utama dalam
civil society (masyarakat madani). Dalam sosiologi pengetahuan, kelompok
cendikiawan merupakan kelas sosial baru yang menguasai ilmu pengetahuan dan
dengan pengetahuannya tersebut mereka memiliki kapital budaya untuk berkiprah
dan dikembangkan menjadi kapital politik. Dalam prespektif Gramcian, peran
kelompok cendikiawan merupakan bagian dari kelompok intelektual organik yang
bertindak untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat dalam gerakan
sosial baru yang berwatak emansipatoris dalam hegemoni dan agency proses
transformasi sosial.

Pentingnya kelompok intelektual dalam membangun masyarakat madani


merupakan suatu keniscayaan. Namun peran ideal tersebut tentu harus
dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial, politik, dan budaya dari suatu
masyarakat. Sebab, perkembangan konsep civil society sendiri terus mengalami
dinamika sesuai dengan konteks sosial-politik dari suatu masyarakat atau negara.
Peran civil society akan berbeda ketika berhadapan dengan suatu kondisi

masyarakat yang telah demokratis seperti yang terlihat dalam negara-negara yang
telah mapan sistem demokrasinya. Sebaliknya, jika negara sangat kuat maka
dengan sendirinya posisi masyarakat madaninya juga akan mengalami perbedaan
dalam peran, fungsi dan strateginya berhadapan dengan negara.

Civil Society: Kerangka Konseptual


Konsep civil society, menurut Ernest Gellner (1994), pertama kali diperkenalkan
oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on the History of Civil society (1773).
Filsuf Skotlandia pada masa renaissance ini mengamati peralihan dari masyarakat
aristokratis ke masyarakat industri, seiring dengan fase kapitalisme yang mulai
menancapkan kukunya di daratan Eropa barat. Ferguson memang cukup piawai
menguraikan implikasi sosial dan politik persoalan ekonomi masyarakat saat itu.
Akan tetapi, bukunya itu sendiri tidak cukup memadai menjelaskan fenomena civil
society, terutama dalam konteks perkembangan civil society dewasa ini.

Rumusan civil society makin menemukan bentuknya setelah Alexis de Tocquaville


pada abad ke-19 melakukan penelitian lapangan yang hasilnya termaktub dalam
karya klasiknya, Democracy in America (1969). Tocquaville sendiri terinspirasi oleh
Montesquieu. Ia menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk
memperantarai aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan. Asosiasi
perantara merupakan aset vital bagi demokrasi, kata Robert W. Hefner (2000).
Menurut definisi AS. Hikam yang merujuk pada Tocquaville, civil society adalah
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain:
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan
(self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan
tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).

Dalam melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap


memiliki tiga fungsi; Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil
society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan
kegiatan yang ditujukan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik
(public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society
melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam
kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan
ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau
countervailing forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan,
ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik

negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi
negara.

Fungsi-fungsi civil society di atas mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi


gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial-budaya ataukah pada lingkup
politik. Studi Michael W. Foley dan Bob Edwards misalnya, menunjukkan distingsi
kategoris antara civil society yang berorientasi horisontal yang lebih dekat pada
irisan budaya dengan civil society vertikal yang dianggap lebih politis. Iwan
Gardono (2001) menambahkan sebentuk civil society yang merupakan kombinasi
antara keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang menekankan pada aspek
budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan civility atau
keberadaban dan fraternity. Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam
rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Anwar Ibrahim, Nurcholish
Madjid dan Dawam Raharjo yang mengusung masyarakat madani misalnya,
termasuk prototipe kalangan yang melihat civil society sebagai konsep budaya.
Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis seperti AS. Hikam, Ahmad Baso dan
lain-lain enggan memakai istilah masyarakat madani untuk menyebut civil society,
tapi lebih suka memakai kata civil society atau sekurang-kurangnya diterjemahkan
menjadi masyarakat sipil, mereka sering dikategorikan sebagai kalangan civil
society yang bekerja pada ranah kultural. Kategori ini tidak bersifat mutlak karena
AS. Hikam misalnya, pernah menulis bahwa civil society merupakan sebuah arena
tempat para intelektual organik menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek
hegemoni tandingan.

Adapun civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis,
sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty (Iwan Gardono. 2001).
Identifikasi civil society sebagai masyarakat warga atau kewargaan yang dianut
Ryas Rasyid, civil Islamyang dikontraskan dengan regimist Islam yang dipakai
Robert W Hefner condong ke pengertian civil society secara vertikal. Dalam analisis
Iwan Gardono, perbedaan titik tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang
beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebut civil society
ternyata tidak sekadar persoalan etimologis, tapi juga mengandung perbedaan
substansi penekanan dari masing-masing konsep atau istilah civil society itu.

Sementara kombinasi vertikal dan horisontal, dalam pandangan Iwan Gardono,


tampak dalam definisi civil society menurut Ralf Dahrendorf dan Afan Gaffar,
meskipun secara umum keduanya lebih condong pada pengertian vertikal. Dengan
mengombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer,
substitutor dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam

pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka lakukan dapat
berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat (based
on communities).

Sekilas Civil Society di Indonesia


Sesungguhnya masyarakat madani dalam sejarah Indonesia terlebih dahulu lahir
sebelum negara Indonesia merdeka. Bahkan menurut Dawam Rahardjo, negara RI
ini dilahirkan oleh masyarakat madani. Di masa kolonial, khususnya menjelang
Perang Dunia Kedua, kaum cendikiawan memainkan peranan penting, baik dalam
proses pembentukan masyarakat maupun dalam upaya meruntuhkan negara
kolonial. Di masa kolonial, proses terbentuknya masyarakat sipil berjalan sangat
lambat. Tapi, jika kita melihat masyarakat sipil dari sudut Lockean, Rousseauan dan
Smithian, yakni sebagai masyarakat ekonomi dan masyarakat politik sekaligus,
maka masyarakat sipil yang bercorak politik lebih cepat berkembang. Di masa
kolonial Hindia Belanda, telah tumbuh berbagai jenis perhimpunan sukarela
(voluntary associations), baik yang bercorak budaya, politik, ekonomi dan
keagamaan. Pada umumnya berdirinya organisasi-organisasi itu, khususnya
menjelang Perang Dunia II, dipelopori oleh kaum cendikiawan. Boleh dikatakan,
kaum cendikiawan bersama-sama dengan ulama, -- yang sering disebut juga
cendikiawan tradisional --, memegang peranan sentral dan mewarnai pembentukan
negara. Lahirnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bercorak politik,
keagamaan, budaya dan sosial seperti Sarikat Islam (SI), Boedi Oetomo,
Perhimpunan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyyah, dan organisasiorganisasi lainnya menjadi bukti nyata bahwa organisasi-organisasi inilah yang
secara aktif memerankan dirinya sebagai masyarakat madani yang sesungguhnya
berhadapan dengan negara kolonial.
Dalam sejarah kehidupan politik Indonesia modern, negara selalu menjadi kekuatan
yang sangat dominan, kecuali setelah runtuhnya orde baru. Eksperimentasi
Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpin, menjadikan negara sangat kuat
mengatur kehidupan masyarakat. Mungkin hal ini bisa dipahami karena Indonesia
baru memulai membangun negara (state building). Dominasi negara semakin
menemukan bentuknya yang kuat ketika orde baru menancapkan kekuasaan secara
oligarkis. Pemerintahan orde baru sangat dominan dan mempunyai kekuatan
penetrasi sangat luas dalam segala dimensi kehidupan serta terjadi politisasi secara
massif dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sebagai konsekwensinya,
pertumbuhan dan perkembangan civil society senantiasa mengalami kendala baik
struktur maupun kultural, sehingga ia tetap lemah. Karena itulah pertumbuhan dan
perkembangan sistem politik demokratis senantiasa berada pada bentuk luar dan
tidak mampu berkembang secara substantif dan partisipatoris. Negara menjadi
pemegang monopoli kekuasaan baik pada ranah wacana maupun pada ranah
praksis kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui strategi-strategi

koorporasi, kooptasi, dan hegemoni, politik depolitasasi secara sistematis dan


efektif dilancarkan. Pengelompokan politik, ekonomi, dan sosial dilakkukan oleh
negara sehingga masyarakat dengan secara efeftif dapat dikontrol dan diawasi oleh
negara. Kepemimpinan politik dan sosial dimasukkan dalam startegi kontrol dan
pengawasan yang sama melalui jaringan kooptasi dan jika menolak akan
dihadapkan represi baik fisik maupun psikis.
Namun dibalik sistem politik seperti itu, seperti dikatakan Gramsci, negara juga
mempunyai peranan dalam pembinaan masyarakat. Di Indonesia era orde baru,
negara, secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil. Setidak-tidaknya,
melalui pembangunan, terutama sejak Orde Baru, negara telah mengangkat
individu-individu untuk memasuki masyarakat ekonomi yang kompetitif. Sementara
itu, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan
mengalami revitalisasi. Organisasi-organisasi kemasyarakatan, merasa tidak cukup
puas dengan peranan negara. Hal ini ikut menjelaskan gejala lahirnya LSM sebagai
kekuatan pengimbang dan kekuatan yang memberdayakan masyarakat-masyarakat
marjinal. Munculnya kelompok-kelompok kritis pada masa orde baru seperti LSM,
sekalipun mengalami represi yang luar biasa oleh negara, sesungguuhnya telah
mengarahkan pada upaya kontrol terhadap negara, sekalipun dalam posisi yang
lemah. Sampai kemudian mampu menjadi penggerak bagi runtuhnya kekuasaan
orde baru. Dan kekuatan kritis ini, pada perkembangan selanjutnya menjadi
kekuatan yang efektif dan menjadi modal utama dalam pengembangan demokrasi
di Indonesia.
Kontekstualisasi Civil Society dan Kiprah Kaum Muda
Kini kita memasuki babak baru dari kehidupan demokrasi. Dominasi negara kini
mulai pudar. Kebebasan dalam arti yang sesungguhnya telah dibuka secara lebar.
Kebebasan pers, menyampaikan pendapat, kebebasan mendirikan organisasi, partai
politik, terbuka dengan luas. Kelompok civil society diberikan kebebasan untuk
hidup dan berkembang. Negara tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi
terbangunnya kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih sehat, kompetitif
dan demokratis.

Sekalipun demikian, reformasi politik yang terjadi di Indonesia bukan berarti telah
melahirkan transformasi politik secara menyuluruh. Sendi-sendi kehidupan yang
diwariskan oleh sistem sebelumnya masih cukup kuat berakar dalam kehidupan
politik kita. Kepemimpinan politik masih dipengaruhi oleh kultur politik Indonesia
sebelumnya. Bahkan dalam bidang ekonomi, kelas menengah ekonomi dan strategi
pemberdayaan ekonomi masih didominasi oleh model yang diwariskan sistem
ekonomi sebelumnya. Birokrasi yang seharusnya mampu untuk mendorong ke arah
pelayanan publik bagi masyarakat dan mendorong ke arah penciptaan
pertumbuhan ekonomi yang kompetitif dan daya saing yang tinggi, justru masih

diwarnai oleh penyimpangan yang sangat signifikan. Sehingga tak heran jika di era
reformasi ini, Indonesia masih dihantui oleh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
sekalipun pemerintah menggembar-gemborkan pemberantasan KKN tersebut.
Ditambah lagi dengan upaya penagakkan hukum masih jauh dari harapan, karena
aparat penegak hukum yang tidak konsekwen melakukan tugas-tugas penegakkan
hukum.

Dalam rangka reformasi meyeluruh, pemberdayaan civil society adalah sebuah


keniscayaan apabila tujuan jangka panjangnya adalah sisyem politik demokratis
yang benar-benar partisipatoris. Karena peran civil society sangat besar untuk tetap
menumbuhkan dan mempertahankan sistem demokrasi yang partisipatoris. Larry
Diamond mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi bagi demokrasi
yang dilihat dari enam aspek. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber
daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi
keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberi dasar
bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan
pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, bila diorganisir
dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi
persaingan demokratis. Ketiga, civil society juga akan memperkaya peranan partaipartai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektifitas politik dan
meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas
negara. Dalam arti bahwa civil society, karena kemandiriaannya terhadap negara,
mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi
peran negara. Kelima, sebagai wadah seleksi dan lahirnya para pemimpin politik
yang baru. Dan terakhir, menghalangi dominasi rezim militer.

Untuk memberdayakan civil society, bagaimana strategi pemberdayaannya?


Bagaimana kiprah kaum muda dalam kerangka memberdayakan civil society
tersebut? Paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan dalam rangka
pemberdayaan civil society. Pertama, memperkuat dan menumbuhkan organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan potensi dan wilayah garapannya masing-masing.
Organisasi masyarakat sipil ini didorong untuk memiliki kapasitas dan keswadayaan
sehingga mampu menciptakan kemandirian baik secara politik, ekonomi, dan sosial
di lapisan bawah. Sebagai contoh, NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan
ribuan pesantren didorong untuk melaksanakan program yang mengarah pada
pemberdayaan masyarakat melalui pesantren sehingga dapat melahirkan
masyarakat yang mandiri secara ekonomi, sosial dan politik.

Kedua, memperkuat kelas menengah muda yang tangguh yang berasal dari
kalangan cendikiawan dan profesional muda yang berpendidikan tinggi dan

berpengalaman bisnis dalam lingkup global. Dalam rumusan sejarah demokrasi,


justru kelas inilah yang menjadi penggerak dan pioner bagi muncul demokrasi
seperti yang terjadi di negara-negara yang demokrasinya mapan. Kendati di
Indonesia kelas sosial ini masih terbatas, namun jika didorong sedemikian rupa
mereka dapat menjadi kelompok sosial yang mandiri dan memiliki daya tawar yang
kuat terhadap negara.

Ketiga, memperkuat dan menumbuhkan organisasi seperti LSM, asosiasi, organisasi


profesi, organisasi berbasis warga dan lain-lain, yang dapat menghimpun dan
menyuarakan kepentingan masyarakat atau anggotanya. Lembaga-lembaga
perantara (mediating structure) ini sangat untuk merumuskan, mengartikulasikan
dan menyalurkan kepantingan sosial-ekonomi mereka sebagai organisasi yang
tumbuh dari bawah.

Strategi pemberdayaan civil society di atas, diarahkan kepada upaya mewujudkan


kapasitas kemandirian yang tinggi, sehingga secara bersama-sama dapat
mempertahankan demokrasi. Civil society seperti ini diharapkan menjadi sumber
input bagi masyarakat politik (political society), seperti orsospol, birokrasi, dan
sebagainya dalam mengambil keputusan publik. Pada saat bersamaan, political
society juga dapat melakukan rekruitmen politik dari kelompok-kelompok dalam
civil society sehingga kualitas para politisi dan elit politik akan sangat tinggi.
Hubungan antara civil society dan political society, sesungguhnya bersifat simbiosis
mutualistis atau saling menguntungkan dalam proses menciptakan kepemimpinan
politik yang lebih demokratis dan berkualitas. Antara civil society dan political
society bukan malah saling menegasikan, bila memang situasi politik telah betulbetul demokrasinya telah terkonsolidasi dengan baik.

Bagi kaum muda, momentum sekarang tentu sangat tepat untuk berkiprah dalam
mengembangkan dan memperkuat civil society dalam rangka menciptakan
kepemimpinan politik yang berkualitas. Indonesia yang kini memasuki era
demokratis menjadi wahana bagi kelompok muda untuk berkiprah dalam rangka
pemberdayaan civil society. Sebab peran-peran yang dikemukakan di atas, secara
strategis hanya dapat dilakukan oleh kaum muda. Wallahu alam Bi shawab
Diposkan oleh Tb H Ace Hasan Syadzily di 03.23
Label: Artikel

Anda mungkin juga menyukai