PENDAHULUAN
Manusia memiliki emosi yang memicu timbulnya keresahan, kegelisahan, ketegangan,
atau stres. Emosi bukanlah suatu hal yang buruk. Orang hidup adalah orang yang masih
memiliki emosi karena emosi itu sendiri merupakan kumpulan perasaan yang ada dalam hati
manusia. Ragam perasaan seperti gembira, sedih, takut, benci, cinta, dan marah merupakan
bentuk emosi.
Stres adalah suatu kondisi yang dialami oleh manusia, berupa kumpulan-kumpulan
gangguan fisik dan psikis, yang disebabkan ketidakmampuan manusia menghadapi tekanan-
tekanan fisik dan terutama tekanan psikologis. Penyebab utama stres adalah perubahan
yang drastis (ekstrim) dari suatu keadaan ke keadaan yang lain Ada stres tahap awal yang
hanya menimbulkan kegugupan, kelesuan, keletihan atau otot punggung dan
tengkuk kenceng-kenceng. Ada stres tahap gawat yang menimbulkan debaran jantung amat
keras, sesak nafas, terengah-engah, badan gemetar, dingin, keringat bercucuran, bahkan
pingsan. Salah satu dampak stres adalah depresi dengan gejala-gejala: gangguan tidur, rasa
cemas, takut dan emosi yang melemah.
Kata-kata “emosi” sering dikaitkan atau diidentikan dengan seseorangyang sedang
marah atau dengan orang yang pemarah. Pengertian tersebut secara awam dikenali dan
dipakai oleh banyak orang. Pengertian emosi yang dikaitkan dengan marah, malah
terkadang diidentikkan dengan sifat suku, Emosi melekat pada setiap orang, namun apakah
setiap orang pemarah? Emosi tidak sekedar menunjukkan orang yang pemarah apalagi
merujuk kepada stereotip untuk suku tertentu. Emotion, seperti dari asal kata bahasa
Inggrisnya, merujuk pada sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat
mengganggu. Emosi dipicu dari pandangan seseorang terhadap suatu kejadian, Emosi
berkaitan dengan sikap yang membuat efek membekas dan dirasakan terhadap suatu objek
dapat bersifat positif atau negatif. Pernyataan ini menyangkut pengertian emosi yang
dirasakan oleh setiap orang. Efek positif mendekatkan pada suatu objek dan efek negatif
menjauhkan dari objek (Newcomb,dkk, 1981:91).
Kita semua kadang-kadang mengalami stress. Masyarakat sekarang yang terpacu cepat
menciptakan stres bagi banyak anggotanya. Kita terus menerus ditekan untuk mencapai
lebih banyak dalam waktu yang semakin sedikit. Polusi udara dan suara, kepadatan
lalulintas, tindak kejahatan dan beban kerja yang berlebihan semakin sering datang dalam
kehidupan kita sehari-hari. Akhirnya, kita kadang-kadang mengalami peristiwa stres berat,
seperti kematian orangtua atau bencana alam. Pemaparan dengan stres dapat
menyebabkan emosi yang menyakitkan, seperti kecemasan dan depresi. Tetapi ini juga
dapat menyebabkan penyakit fisik, baik ringan maupun parah. Tetapi reaksi seseorang
terhadap peristiwa stres sangat berbeda : sebagian orang yang menghadapi peristiwa
stres mengalami masalah psikologis atau fisik serius sedangkan orang lain yang
berhadapan dengan peristiwa stres yang sama tidak mengalami masalah apa-apa dan
bahkan mungkin merasa peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang menantang dan menarik.
Kesehatan atau sehat dikatakan adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada
tekanan-tekanan kehidupan. Jika demikian, orang yang sehat haruslah menemukan cara-
cara untuk menjaga irama hidupnya, dengan menjaga agar stress itu berada pada
keseimbangan yang positif.
B. EMOSI
1. Pengertian Emosi
Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi terdiri dari sedih, takut, jijik, sedih dan
terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan memiliki gradasi yang berbeda.
Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian dari emosi. Emosi berkembang
karena motif dan derajat perasaan.
Menurut Richard G. Gerric dan Phillip G. Gimbardo dalam bukunya Psychology and Life hal
394 “ Emotion as a complex pattern of bodily and mental changes that includes psychological
arrousal, feelings, cognitive processes, visible expressions ( face and posture) specific
behavioural reactions made in respons to a situation perceived as personally significant.
Dinyatakan bahwa emosi dianggap sebagai perubahan mental dan fisik secara komplek,
termasuk gejala psikologi meliputi perasaan, proses kognitif, ekspressi yang terlihat, reaksi
tingkah laku khusus yang yang terjadi dalam merespon situasi yang diterima secara
signifikan.
Menurut Carolyn Saarni (2002) dalam buku (Educational Psychology 2004 :79) dia
mengatakan ” demonstrate emotional competence when we emerge from an emotion-eliciting
encounter with a sense of having accomplished what we set out to do” kita memperlihatkan
perasaan emosi, ketika dihadapkan dengan suatu perasaan untuk memenuhi apa yang kita
lakukan.
Menurut Paul Eggen & Don Kauchak (Educational Psychology 2004 : 107-108 ) “ Emotion
factors include, shame, the painful emotion aroused when people recognize that they have
failed to act or think in ways they believe are good and guilt, the uncomportable feeling
people get when they know they have caused distress for someone else. Although its
unpleasant, experiencing shame and guilt indicates that moral development is advancing and
future behaviour will improve (Damon,1988), Emphathy is the ability to experience the same
emotion someone else his feeling. 2. Factor emosi meliputi perasaan malu, perasaan
bersalah dan perasaan empati.
Charles Darwin dalam bukunya The Expression of Emotions in Man and Animal (1872-1965)
Emotion evolved other important aspects of human and nonhuman structure and functions.
Darwin juga berpandangan bahwa emosi merupakan warisan atau sesuatu yang memang
sudah ada dan akan muncul ketika berhadapan dengan situasi kejadian tertentu yang terjadi
di dunia.
2. Komponen Emosi
Komponen emosi menurut Rita L. Atkinson, Edward Smith, Richard C. Atkinson dan Daryl J.
Bem terdiri dari
Respon Tubuh Internal, terutama yang melibatkan sistem saraf otonomik
Keyakinan atau penilaian kognitif bahwa telah terjadi keadaan positif atau negatif
tertentu.
Ekspresi wajah
Reaksi terhadap emosi
Aktivitas sistem saraf otonomik tersebut dipicu oleh aktivitas di daerah otak tertentu,
termasuk hipotalamus yang memiliki peranan penting dalam banyak motif biologis
dan sistem limbik. Impuls dari area-area tersebut ditransmisikan ke nuklei di batang otak yang
mengendalikan fungsi sistem saraf otonomik. Sistem otonomik kemudian bekerja langsung
pada otot dan organ internal untuk menimbulkan beberapa perubahan tubuh yang dijelaskan
sebelumnya, dan bekerja secara tidak langsung dengan menstimulasi hormon adrenal untuk
menimbulkan perubahan tubuh lainnya.
Karakteristik untuk keadaan emosional seperti marah dan ketakutan, selama organisme
harus bersiap-siap melakukan tindakan, misalnya untuk melawan dan melarikan diri.
Beberapa respons yang sama juga terjadi selama pengalaman yang menyenangkan atau
rangsangan seksual. Tetapi, selama emosi seperti kesedihan atau dukacita, sebagian
proses tubuh mungkin tertekan, atau menjadi lambat.
Perhatian khusus ini disebabkan sebagiannya karena kepentingan sosial agresi. Pada
tingkat masyarakat, pada masa di mana senjata nuklir masih tersebar luas, satu tindakan
agresif dapat menimbulkan bencana besar. Pada tingkat individual, banyak orang sering
mengalami pikiran dan impuls agresif, dan bagaimana mereka menangani pikiran tersebut
memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan mereka dan hubungan interpersonal. Alasan
lain mengapa ahli psikologi telah memfokuskan riset mereka kepada agresi adalah karena
dua teori besar tentang perilaku sosial membuat asumsi yang sangat berbeda tentang sifat
agresi. Teori psikoanalitik Freud memandang agresi sebagai suatu dorongan, dan teori
belajar-sosial memandang agresi sebagai respons yang dipelajari. Riset tentang agresi
membantu kita menilai teori yang saling bertentangan tersebut.
C. STRES
1. Pengertian Stres
Sapolsky, seperti ditulis dalam buku Psychology and Life karangan Richard G. Gerricc dan
Phillip G. Zimbardo (2005: 406) menyatakan “stress is feling that you might report for brief
for period, you felt happiness, sadness, anger, astonish and so on that reported as a kind of
background noise for much of day to day experience” stress adalah perasaan yang
menggambarkan perasaan bahagia, terkejut dan lain-lain yang digambarkan sebagai jenis
dari latar belakang gangguan atas banyaknya pengalaman secara terus menerus.
Selanjutnya sapolsky menyatakan bahwa stress adalah pola respon suatu organisma dalam
membuat stimulus yang mengganggu keseimbangan dan kemampuannya dalam
mangatasinya.
“…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease
conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social
situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our
resources for coping”(Morgan & King, 1986: 321). Jadi stres adalah suatu keadaan yang
bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan
situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai
tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan
psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak
bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang
dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu
mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya
individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari
stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk
menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata
lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu
mempersepsi suatu peristiwa.
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang
positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan
mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan
apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat
berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
2. Karakteristik
Stres telah menjadi topik yang populer. Media sering kali menyatakan perilaku atau penyakit
yang tidak lazim pada manusia sebagai akibat dari stres atau nervous breakdown akibat
stres. Sebagai contoh, jika seorang selebritis mencoba bunuh diri, sering kali dikatakan ia
mengalami tekanan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dalam kehidupan sehari-hari di
sekolah, siswa sering kali berbicara satu sama lain tentang tingkat stres. ”Saya sangat tres!”
merupakan ungkapan yang sering didengar. Tetapi apa stres itu ? Dalam pengertian umum,
stres terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai ancaman
bagi kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut biasanya
dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres.
Tidak terhitung banyaknya peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Sebagian adalah
perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang seperti perang, kecelakaan nuklir, dan
gempa bumi. Peristiwa lain adalah perubahan besar dalam kehidupan seseorang seperti
pindah ke tempat baru, pindah pekerjaan, menikah, kehilangan kawan, menderita penyakit
serius. Sumber stres dapat berada pada individu dalam bentuk motif atau keinginan yang
bertentangan. Peristiwa yang dirasakan sebagai stres biasanya masuk ke dalam salah satu
kategori berikut : peristiwa traumatik di luar rentang pengalaman manusia yang lazim,
peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan, peristiwa
yang menantang batas kemampuan dan konsep diri kita, atau konflik internal.
Reaksi fisiologis terhadap stres menyebabkan tubuh bereaksi terhadap stresor dengan
memulai seurutan kompleks respons bawaan terhadap ancaman yang dihayati. Jika
ancaman dapat dipecahkan dengan segera, respons darurat tersebut menghilang, dan
keadaan fisiologis kita kembali normal. Jika situasi stres terus terjadi, timbullah respons
internal yang lainnya saat kita berupaya beradaptasi dengan stresor kronis.
4. Model Stress.
Cognitif Apraisal dari situasi stres, berinteraksi dengan stresor dan sumber-sumber seperti
psikal, personal dan sosial, yang berhubungan stresor. Setiap individu merespon pada
tingkatan-tingkatan yang berbeda : seperti secara psikologi, behavior (tingkah laku), emosi
dan kognitif
Stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab
dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi. Stres kerja tidak hanya
berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap biayaorganisasi dan industri. Banyak
studi yang menghubungkan stres kerja dengan berbagai hal, misalnya stres kerja
dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan
sering juga dihubungkan dengan kinerja.
Salah satu alasan penting mempelajari stres pada guru adalah bahwa berdasarkan
pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan pada diri guru, siswa
dan lingkungan kerjanya. Stres tersebut dapat berbentuk kelelahan fisik, emosi sikap yang
negatif terhadap siswa, dan keinginan untuk mengurangi tugas-tugas personal (Schwab dan
Jackson, 1986). Konsekuensi dari kelelahan fisik dan emosi ini bisa berbentuk ketidakhadiran
guru, sehingga bisa jadi mendorong ketidakhadiran siswa dan tidak adanya prestasi
akademis.
Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak
sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah,
sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar,
pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/
kelembagaan yaitu sering absen(tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari
tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi
rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.
Menurut Sullivan dan Bhagat (1992), dalam studi mereka mengenai stress kerja (yang diukur
dengan role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan kinerja, pada umumnya
ditemukan bahwa stres kerja berhubungan secara negative dengan kinerja. Kerja guru
merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai Tujuan pendidikan. Motivasi
dalam menjalankan tugas merupakan aspek penting bagi kinerja atau produktivitas
seseorang, ini disebabkan sebagian besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Guru akan
berusaha mencapai kinerja tertentu sesuai dengan yang dikehendaki sekolah, jika merasa
senang dan puas dengan pekerjaannya.
Setiap guru yang merasa puas akan bekerja pada tingkat kapasitas penuh. Keinginan yang
timbul dalam diri guru untuk bekerja atau biasa disebutdengan motivasi kerja akan
mendorong guru untuk selalu memberikan yangterbaik bagi sekolah tempat ia bekerja. Guru
tersebut akan berusaha mencari cara dan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan
kualitas kerja dan mutu sekolahnya. Guru yang termotivasi, tidak akan puas dengan apa
yangdidapat/dicapainya, dalam dirinya ada keinginan untuk meningkatkan apa yang sudah
dicapai. Guru juga akan selalu berusaha terus untuk mendapatkan apa yang diinginkan,
dengan berusaha meningkatkan mutu secara terus-menerus maka berarti pula
meningkatkan kinerja dari guru tersebut. Guru yang mempunyai motivasi kerja akan dapat
meningkatkan kinerjanya.
F. KESIMPULAN
Baik kondisi emosi maupun stres berpengaruh terhadap kesehatan manusia, oleh
karenanya tiap orang harus mampu mengantisipasinya dengan baik, sehingga kondisi
kesehatannya tetap stabil tidak terpengaruh oleh faktor ekternal yang tidak menyenangkan.
Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi memiliki terdiri dari sedih, takut, jijik, sedih
dan terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan memiliki gradasi yang
berbeda. Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian dari emosi. Emosi
berkembang karena motif dan derajat perasaan. Emosi memiliki hubungan
yangmempengaruhiterhadapkebudayaan.
Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejalaseperti tidak sabaran,
baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif atau
mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa,
peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul
efek organisatoris/ kelembagaan yaitu sering absen(tidak masuk) kerja dengan berbagai
alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan
justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Rita L dkk. Pengantar Psikologi Jilid Dua. Tangerang : Interaksara.Cooper, C. L., &
Payne, R. (1994). Causes, Coping & Consequences of Stress at Work. USA: John Wiley &
Sons, Ltd.
Greenberg, J., & Baron, R. A. (1993). Behavior In Organizations: Understanding And Managing
The Human Side Of Work. USA: Allyn & Bacon.
Morgan, C. T., King, R. A, & Weisz, J. R. (1986). Introduction to Psychology (7th ed.). New York:
McGraw-Hill Book Co.
Newcomb, Turner, dan Converse. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: CV. Dipenogoro.
Selye, H. (1983). Selye’s Guide To Stress Research (vol. 3). New York: Van Nostrand Reinhold
Company, Inc.
Quick, J. C., & Quick, J. D. (1984). Organizational Stress And Preventive Management. USA:
McGraw-Hill, Inc.
Rice, P. L. (1999). Stress and Health (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.