a. Lahir karena Undang-Undang Jaminan yang lahir karena Undang-undang merupakan jaminan yang keberadaannya ditunjuk Undang-undang tanpa ada perjanjian para pihak. Dalam perjanjian pinjam-meminjam, tidak terdapat benda khusus yang diikat atau dijadikan jaminan. Hal ini di atur dalam pasal 1131 KUHPer yang menyatakan bahwa segala kebendaan milik debitur baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Jika terjadi wan prestasi, untuk mengajukan pengadilan harus melalui gugatan perdata. Dengan demikian berarti seluruh harta benda debitur menjadi jaminan bagi semua kreditur, dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya kepada kreditur maka kebendaan milik debitur tersebut akan dijual kepada umum dan hasil penjualannya akan dibagi antara para kreditur seimbang dengan dengan besar piutang masing-masing, kecuali apabila di antara kreditu ada alasan yang sah untuk didahulukan. (Pasal 1132 KUHPer) b. Lahir karena Perjanjian Pernjanjian penjaminan di tujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitur. Pernjanjian penjaminan ini merupakan perjanjian tambahan yang melekat pada perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur. Contohnya adalah hipotik, hak tangguhan, fidusia, perjanjian penanggungan hutang, perjanjian garansi, dll. Sifat perjanjian jaminan adalah accesoir, yaitu timbul karena adanya perjanjian pokok, sehingga perjanjian jaminan tidak akan ada bila tidak ada perjanjian pokok.
2. Menurut Objeknya a. Benda Bergerak Gadai : Suatu hak yang diperoleh kreditur atas kebendaan bergerak yang diserahkan oleh debitur dan seorang lain atas nama debitur yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari kreditur lainnya. (Pasal 1150 KUHPer) Fidusia : Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud atau tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat di bebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4/1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. b. Benda Tidak Bergerak/Benda Tetap Rumah atau bangunan yang berada di atas tanah orang lain tetapi bisa diikat dengan jaminan fidusia. c. Benda Berupa Tanah Diikat dengan hak tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.4/1996 terikat atau tidak terikat, benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang di utamakan para kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya.
3. Menurut Sifatnya a. Jaminan Umum Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer. b. Jaminan Khusus Jaminan dalam bentuk penunjukkan atau penyerahan benda tertentu secara khusus sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban dari debitur kepada kreditur tertentu. c. Jaminan Perorangan Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht yaitu penangguhan hutang dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil, yaitu terdapat pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang jika si berutang tidak mampu memenuhi perikatannya. d. Jaminan Kebendaan Adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan. Kebendaan yang dijaminkan tersebut harus merupakan milik dari pihak yang memberikan jaminan kebendaan.
4. Kewenangan Menguasai Benda Jaminan a. Menguasai Benda Jaminan Kreditur yang menguasai benda jaminan merasa lebih aman terutama untuk benda bergerak yang mudah dipindahtangankan dan berubahnialinya. Contoh: Gadai b. Tanpa Menguasai Benda Jaminan Hal ini menguntungkan debitur karena tetap dapat memanfaatkan benda jaminan. Contoh: Hak hipotik dan fidusia
JAMINAN PERSEORANGAN
Pengertian jaminan perseorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah: Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,dan terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Sedangkan menurut Soebekti: Suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur) manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. (Pasal 1820
Jaminan perseorangan yang diatur dalam BUKU III KUHPerdata adalah: 1. Penanggungan Hutang (borgtocht) Penanggungan hutang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPer. Yang dimaksud dengan penanggungan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. (Pasal 1820 KUHPer) Apabila diperhatikan definisi tersebut, maka jelaslah bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan hutang, yaitu pihak kreditur sebagai orang yang berpiutang, debitur sebagai orang yang berhutang, dan pihak ketiga sebagai penanggung atau penjamin hutang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak memenuhi prestasinya. Alasan adanya perjanjian penanggungan ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam usaha dari si debitur (ada hubungan kepentingan anatara peminjam dan penjamin), misalnya si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak dari perusahaan secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan dan perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan cabang. Hak si penanggung atau penjamin: Hak untuk menuntut lebih dulu (Pasal 1831 BW) Penanggung berhak untuk menuntut agar harta benda si debitur disita dan dijual atau dilelang terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Jika tidak mencukupi barulah penanggung wajib membayar hutang debitur tersebut. Apabila Pasal 1831 BW ini akan diterapkan maka harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjiannya. Penanggung yang akan menuntut hak penjualan lebih dahulu harus menentukan barang-barang yang mana dari debitur yang akan dijual terlebih dahulu untuk membayar hutangnya. Penanggung tidak boleh menunjuk barang yang dalam keadaan sengketa, barang-barang yang dibebankan hak tanggungan atau barang yang tidak berada dalam kekuasaannya, dan barang yang berada diluar wilayah Indonesia. (Pasal 1834 BW) Hak untuk membagi hutang (Pasal 1836 dan 1837 BW) Jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa orang penanggung untuk suatu hutang dan untuk seorang debitur, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang dan dalam pasal 1837 BW dikatakan bahwa kreditur mempunyai hak untuk membagi piutangnya atas bagian masing-masing penanggung pada saat penanggung ini digugat dimuka Hakim. Jika piutangnya telah dibagi atas tuntutan seorang penanggung, kemudian ada seorang atau beberapa teman penanggung berada dalam keadaan tak mampu, maka si penanggung tersebut diwajibkan membayar untuk orang-orang yang tidak mampu itu menurut bagiannya. Hak untuk mengajukan tangkisan (Pasal 1847 BW) Si penanggung dapat menggunakan tangkisan kepada si berpiutang untuk menolak kewajibannya, kecuali untuk alasan yang melulu menyangkut pribadi debitur sendiri. Jadi tangkisan yang dikemukakan atau yang digunakan oleh debitur kepada kreditur karena tidak melaksankan prestasi dapat pula digunakan oleh penanggung terhadap kreditur. Misalnya, pada perjanjian pokoknya, debitur tidakmengembalikan pinjamannya karena kreditur sendiri juga punya pinjaman pada debitur. Maka alasan ini dapat digunakan pula oleh penanggung untuk tidak melaksanakan kewajibannya kepada kreditur. Hak untuk di berhentikan dari penanggungan karena terhalang untuk melakukan suborgasi yang diakibatkan dari kesalahan kreditor. (Pasal 1848 BW) Dikatakan bahwa penanggung dibebaskan apabila karena perbuatan kreditur si penanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-haknya, hipotik-hipotiknya dan hak istimewanya dari si berpiutang itu. Penanggung yang telah membayar hutang debitur ke kreditur secara hukum akan menggantikan kedudukan kreditur terhadap debitur. Jika hal ini tidak terlaksana karena kesalahan dari kreditur sendiri maka akibatnya penanggungan akan diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian penanggungan akan batal. Misalnya seperti kreditur yang mengutamakan menjual barang jaminan terlebih dahulu, jika belum cukup barulah kreditur akan menuntut penanggungnya. Penanggung merasa rugi karena penanggung menjadi tidak terjamin dengan benda-benda jaminan itu. Akibat-akibat penanggungan antara debitur dan si penanggung: Menurut Pasal 1831 BW, untuk membayar hutang terlebih dahulu untuk melunasi hutang debitur, si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang selain jika si berutang lalai, sedangkan barang kepunyaan debitur harus disitadan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Pasal 1832 BW, Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya jika: a. Ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual b. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibat-akibat perikatannya diautr menurut asas- asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung menanggung c. Debitur dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi d. Debitur dalam keadaan pailit e. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim Kreditur tidak diwajibkan untuk menyita dan menjual lebih dahulu benda-benda debitur selain apabila itu diminta oleh si penanggung pada waktu ia pertama kali dituntut di muka Hakim. (Pasal 1833 BW)
Akibat-akibat Penanggungan antara debitur dan penanggung dan antara para penanggung: Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran hutang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan penanggung kepada kreditur. Penanggung juga berhak menuntut uang pokok dan bunga, serta penggantian biaya dan kerugian jika ada. (Pasal 1830 BW) Jika si penanggung telah sekali membayar hutangnya, ia tidak dapat menuntutnya kembali dari si berutang yang telah membayar untuk kedua kalinya jika penanggung tidak memberitahukan kepada si berutang tentang pembayaran yang telah dilakukannya. (Pasal 1842 BW) Penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan, bahkan sebelum ia membayar utangnya (Pasal 1843 BW): a. Apabila ia digugat dimuka Hakim untuk membayar b. Bila si berutang telah berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya di dalam suatu waktu tertentu c. Apabila utangnya dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya d. Setelah lewat sepuluh tahun jika perikatan pokok tiak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali apabila perikatan pokok sedemikian sifatnya, hingga ia tidak dapat dapat diakhiri sebelum lewatnya suatu waktu tertentu Jika berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang sama, maka penanggung yang melunasi hutangnya berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk bagiannya. (Pasal 1844 BW) Hapusnya penanggungan hutang: Hapusnya penanggungan hutang diatur dalam pasal 1845 sampai dengan pasal 1850 BW. Di dalam Pasal 1845 BW disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya seperti di sebutkan dalam Pasal 1381 BW, bahwa terdapat 10 cara berakhirnya perjanjian penanggungan hutang, yaitu pembayaran, penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penitipan atau penitipan, pembaruan hutang, kompensasi, pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau pembatalas, dan berlakunya syarat pembatalan. Terhadap kreditur itu, penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai pribadi debitur itu (Pasal 1847 BW). Contohnya jika kreditur dahulu pernah mempunyai hutang terhadap debitur dan belum melunasinya, maka debitur dapat menggunakan tangkisan untuk tidak melunasi hutangnya dalam perjanjian pokoknya, begitu juga dengan penanggung. Dalam Ps 1848 BW, dikatakan bahwa penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena perbuatan kreditur sipenanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-haknya, hak tanggung- annya dan hak-hak utama dari kreditur. Maksudnya adalah apabila harta kekayaan Debitur, yang nantinya akan menjadi jaminan untuk penjamin, telah dialihkan oleh Debitur karena Kreditur sebelumnya telah melepaskan haknya terhadap harta kekayaan dimaksud atau bahkan harta kekayaan dimaksud telah diterima oleh Kreditur sebagai pembayaran kewajiban Debitur, maka penjamin akan kehilangan (kesempatan terhadap) harta kekayaan Debitur yang akan/dapat menjadi jaminan atau sumber pelunasan kewajiban Debitur kepada penjamin nantinya.
2. Perjanjian Garansi Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kedudukan perjanjian garansi dalam Buku Ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal 1233 dan 1234. Pasal 1233: Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir karena adanya persetujuan. Pasal 1234 : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat menjamin. Perjanjian Garansi adalah perjanjian penanggungan atau borgtocht dimana Bank yang menjadi pihak ketiga (penanggung, guarantor, borg) bersedia bertindak sebagai penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Contoh perjanjian garansi, yaitu terdapat bank yang merupakan suatu pihak yang menjamin atau disebut penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Perjanjian (pokok) tersebut biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah bank (A) dengan pimpinan proyek (Y) untuk mengerjakan suatu proyek tertentu. Dan pengerjaan proyek oleh si A inilah yang dijamin oleh si Bank, sehingga Pimpinan Proyek Y dapat merasa aman bila bekerjasama dengan si A. Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian garansi dalam hal jaminan produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya adalah sama-sama suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen atau pelaku usaha lah yang berperan sebagai penjamin yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas produk yang diperjualbelikan oleh penjual (debitur) kepada pembeli (kreditur). Dalam KUHPerdata perjanjian garansi serupa dapat kita lihat juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 dengan juga memperhatikan Pasal 1831 atau Pasal 1832 KUHPerdata. Untuk menjamin kelangsungan Bank Garansi, maka penanggung mempunyai Hak istimewa yang diberikan undang-undang, yaitu untuk memilih salah satu, menggunakan pasal 1831 KUH Perdata atau pasal 1832 KUH Perdata. Pasal 1831 KUH Perdata: Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Sedangkan pasal 1832 KUH Perdata berbunyi: Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya Perbedaan kedua pasal tersebut menjelaskan, bahwa jika Bank menggunakan pasal 1831 KUH Perdata, apabila timbul cidra janji, si penjamin dapat meminta benda-benda si berhutang disita dan dijual terlebih dahulu. Sedangkan jika menggunakan pasal 1832 KUH Perdata, Bank wajib membayar Garansi Bank yang bersangkutan segera setelah timbul cidra janji dan menerima tuntutan pemenuhan kewajiban (klaim). Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi yang mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504 KUHPer mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya tersebut. Perbedaan antara Perjanjian Penanggungan dengan Perjanjian Garansi adalah: Bentuk Perjanjian Penanggungan tercantum dlm perjanjian pokoknya sedangkan bentuk perjanjian Garansi berdiri sendiri. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung dalam perjanjian garansi adalah penggantian kerugian yang timbul sedangkan dalam perjanjian penanggungan adalah memenuhi perutangan yang tidak dipenuhi oleh debitur.