Anda di halaman 1dari 40

1

I. PENDAHULUAN

SKENARIO PBL 3
Informasi 1
Tuan T usia 55 tahun dating ke RSMS dengan keluhan pinggang kanan terasa
pegal, menurut anamnesis dokter , gejala tersebut sudah dirasakan Tuan T sejak
2 hari yang lalu, rasa pegal hanya dirasakan di daerah pinggang kanan, pasien
mengaku mudah capek setiap kali bekerja, nafsu makan berkurang, sering merasa
mual, pasien juga merasa produksi air kencingnya sangat sedikit, dari pagi hingga
sore pasien mengaku hanya sekali kencing itupun dengan jumlah yang sangat
sedikit, kedua tungkai pasien juga terasa lebih besar.

Informasi 2
Riwayat Penyakit Dahulu
Tuan T merupakan penderita gula dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu,
namun tuan T jarang mengontrol gula dan tekanan darahnya, pasien juga kurang
teratur mengkonsumsi obat gula dan obat antihipertensi, terakhir kontrol 3 bulan
yang lalu kadar Gula Puasanya 200 mg/dl, tekanan darahnya 160/90 mmHg, hasil
cek darah kreatinin serum 1,8 mg/dl dan ureum 40 mg/dl, dokter sudah
menyarankan untuk tinggal di RS dan diobservasi, namun pasien menolak dan
meminta rawat jalan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua Tuan T menderita gula
Riwayat Sosial, Ekonomi, Lingkungan
Tuan T merupakan seorang manajer perusahaan yang cukup sibuk dengan
kegiatannya.

Informasi 3
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : tampak lemah
Tanda vital
Tekanan darah : 170/100 mmHg

2

Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,1
0
C
Respirasi : 26x/menit
Berat Badan : 76 Kg
Tinggi Badan : 1,65 m
Kepala : konjungtiva anemis (+)
Thorax : dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : tinggi sama dengan dinding dada, sikatrik (-), jejas (-)
Auskultasi : bising usus (+) (10x/menit)
Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (+/-), pekak alih (-)
Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), ballottement ginjal (-/-),
hepar dan lien tidak teraba
Extremitas : oedem tungkai kanan/kiri +/+

Informasi 4
Pemeriksaan Penunjang :
Lab Hasil Nilai Rujukan
Eritrosit 3,3 L : 4,5 5,5
P : 4,0 5,0
Hb (Hemoglobin) 9,2 L : 13,0 16,0
P : 12,0 14,0
Ht (Hematokrit) 40 L : 45 55
P : 40 50
Hitung jenis
Basofil 0 0,0 1,0
Eosinofil 3 1,0 3,0
Batang 3 2,0 6,0
Segmen 55 50,0 70,0
Limfosit 30 20,0 40,0
Monosit 6 2,0 8,0

3

LED (Laju Endap
Darah)
11 L : <10
P : <15
Creatinin 6,1 0,7 1,3 mg/dL
Ureum 60 20 40 mg/dL
ALT (SGPT) 18 L : <30 U/L
P : <23 U/L
AST (SGOT) 19 L : <25 U/L
P : <21 U/L
Alkaline Fosfatase 40 15 69 U/L
GGT 20 5 38 U/L
Bilirubin total 0,5 0,25 1,0 mg/dL
Bilirubin langsung 0,15 0,0 0,25 mg/dL
Protein total 65 61 82 g/L
Albumin 40 37 52 g/L
Gula darah sewaktu 240 <200 mg/dL

Diagnosis :
Gagal Ginjal Kronik Stadium 5 (GFR 14,7 ml/menit)

Informasi 5
Terapi
Memperlambat kerusakan ginjal yang terjadi
Mengatasi faktor yang mendasari gagal ginjal kronis (misalnya: kencing
manis, hipertensi, dll)
Mengobati komplikasi dari penyakit
Menggantikan fungsi ginjal yang sudah tidak bekerja
Diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kgBB)
Diet kalori 147-168 kL/kg/hari
Diet kalium <60 mmol/hari, Na <100 mmol/hari, phosphat <800 mg/hari
Hindari penggunaan obat-obatan yang diekskresikan lewat ginjal / nefrotoksik
Inisiasi hemodialisis bila CrCl <15 ml/menit
Kontrol gula dengan insulin

4

Kontrol tekanan darah dengan antihipertensi ARB (valsartan 1x80 mg) / CCB
(amlodipin 1x5 mg) / Captopril 3x25 mg
Agen perangsang eritropoesis (epoetin alfa)
Loop diuretik bisa bermanfaat bila GFR >25 ml/menit
Transplantasi
Konsul nefrologis

Informasi 6
Prognosis dipengaruhi multisistem, semakin terlambat diagnosis dan
ditangani ahli semakin meningkatkan komorbid dan mortalitas, transplantasi bisa
bermanfaat dengan survival rate 2 tahun >80%.






















5

II. ISI

A. Klarifikasi Istilah
1. Edema
Edema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh penimbunan
cairan di dalam jaringan tubuh. Penumpukan cairan itu terjadi di bawah
kulit bagian tertentu, seperti kaki, paru-paru, rongga perut, otak, dll.
Edema dapat terjadi apabila seseorang menderita penyakit gagal jantung
atau gagal ginjal. Edema dapat disebabkan karena penurunan tekanan
osmotik koloid, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan
permeabilitas kapiler, obstruksi limfatik, dan kelebihan natrium dan air
tubuh (Tambayong, 2007).
2. Produksi air kencing sangat sedikit
Produksi air kencing sangat sedikit dalam istilah kedokteran disebut
dengan istilah oliguria, biasanya kurang dari 400 ml/ hari pada orang
dewasa, dan dapat menjadi salah satu tanda awal dari gagal ginjal dan
masalah urologi lainnya atau penyumbatan di dalam saluran kemih.
Kondisi ini dapat diobati dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan.
Oliguria dapat menjadi prekursor untuk anuria, yaitu tidak adanya
produksi urin (Purnomo, 2003).
3. Pegal di daerah pinggang kanan
Pegal di daerah pinggang kanan disebabkan oleh penyebab non-
mekanis yaitu karena faktor-faktor yang tidak melibatkan faktor fisik, akan
tetapi lebih melibatkan berbagai organ tubuh lainnya seperti adanya
sebuah gangguan pada ginjal, mulai adanya indikasi batu ginjal serta
kandung empedu yang bermasalah (Nursalam, 2008).

B. Batasan Masalah
1. Identitas
a. Nama : Tuan T
b. Jenis kelamin : Pria
c. Umur : 55 tahun

6

2. Riwayat penyakit sekarang
a. Keluhan utama : Pegal hanya pada pinggang kanan
b. Onset : 2 hari
c. Kualitas : -
d. Kuantitas : -
e. Progresifitas : -
f. Faktor memperberat : -
g. Faktor memperingan : -
h. Gejala penyerta : Mudah capek setiap kali bekerja, nafsu
makan menurun, mual, produksi air kencing sangat sedikit dalam
sehari, tungkai lebih besar
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit gula (+), hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu.
Tuan T jarang mengontrol gula dan tekanan darahnya, kurang teratur
mengkonsumsi obat gula dan obat antihipertensi.
Terakhir kontrol 3 bulan yang lalu : Kadar Gula Puasanya 200 mg/dl,
tekanan darahnya 160/90 mmHg, hasil cek darah kreatinin serum 1,8
mg/dl dan ureum 40 mg/dl, dokter sudah menyarankan untuk tinggal di RS
dan diobservasi, namun pasien menolak dan meminta rawat jalan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Orang tua Tuan T penyakit gula (+)
5. Riwayat penyakit sosial
Tuan T seorang manajer perusahaan yang cukup sibuk dengan
kegiatannya

C. Analisis Masalah
1. Proses filtasi glomerulus dan faktor yang mempengaruhi
Menurut Sherwood (2011) terdapat 3 gaya yang berperan dalam
filtrasi glomerulus:
a. Tekanan darah kapiler glomerulus
Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini

7

bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap aliran darah
yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah kapiler
glomerulus, dengan nilai rerata diperkirakan 55 mmHg, lebih tinggi
daripada tekanan darah kapiler di tempat lain. Penyebab lebih tingginya
tekanan di kapiler glomerulus adalah garis tengah arteriol aferen yang
lebih besar dibandingkan dengan arteriol eferen. Karena darah dapat
lebih mudah masuk ke glomerulus melalui arteriol aferen yang lebar
daripada keluar melalui arteriol eferen yang lebih sempit maka tekanan
darah kapiler glomerulus tetap tinggi akibat terbendungnya darah
dikapiler glomerulus.
Sementara tekanan darah kapiler glomerulus mendorong filtrasi, dua
gaya yang lain yang bekerja menembus membran glomerulus (tekanan
osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman)
melawan filtrasi.
b. Tekanan osmotik koloid plasma
Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak
seimbang protein-protein plasma di kedua sisi membran glomerulus.
Karena tidak dapat difiltrasi maka protein plasma terdapat di kapiler
glomerulus tetapi tidak dikapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi
H
2
O lebih tinggi di kapsul Bowman daripada di kapiler glomerulus.
Timbul kecenderungan H
2
O untuk berpindah melalui osmosis menuruni
gradien konsentrasinya sendiri dari kapsul Bowman ke dalam
glomerulus melawan filtrasi glomerulus. Gaya osmotik oposan ini rata-
rata 30 mmHg.
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman
Tekanan hidrostatik kapsula Bowman merupakan tekanan yang
ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus ini, diperkirakan sekitar
15 mmHg.
Karena tekanan filtrasi netto yang menyebabkan filtrasi glomerulus
hanyalah disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya-gaya fisik yang saling
berlawanan antara plasma kapiler glomerulus dan cairan kapsula Bowman,
maka perubahan di salah satu dari gaya-gaya fisik ini dapat mempengaruhi

8

LFG.Laju filtasi glomerulus juga bergantung pada koefisien filtrasi (K
f
)
selain tekanan filtrasi netto. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi K
f
,
yaitu luas permukaan dan permeabilitas membran glomerulus. (Sherwood,
2011).
Luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi di dalam glomerulus
diwakili oleh permukaan dalam kapiler glomerulus yang berkontak dengan
darah. Setiap kuntum kapiler glomerulus disatukan oleh sel mesangium.
Sel-sel ini mengandung elemen kontraktil (yaitu filamen mirip aktin).
Kontraksi sel-sel mesangium ini menutup sebagian kapiler filtrasi,
mengurangi luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi di dalam kuntum
glomerulus. Ketika tekanan filtrasi netto tidak berubah maka penurunan K
f

ini menurunkan LFG. (Sherwood, 2011).
Podosit juga memiliki filamen kontraktil mirip aktin, yang
kontraksi atau relaksasinya masing-masing dapat menurunkan atau
meningkatkan jumlah celah filtrasi yang terbuka di membran dalam kapsul
Bowman dengan mengubah bentuk dan kedekatan foot process. Jumlah
celah adalah penentu permeabilitas; semakin banyak celah yang terbuka,
semakin besar permeabilitas. (Sherwood, 2011).
2. Patofisiologi gejala
a. Edema dan produksi urin sedikit
Edema menunjukkan adanya cairan berlebihan di jaringan tubuh.
Edema sering terjadi pada kompartemen cairan ekstrasel, tapi dapat
juga melibatkan kompartmen cairan intrasel (Guyton, 2012).
1) Edema intrasel
Dua kondisi yang memudahkan terjadinya pembengkakakn
intrasel yaitu depresi siemng. Peradangan metabolisme jaringan dan
tidak adanya nutrisi sel yang adekuat. Contohnya bila aliran darah ke
jaringan menurun, pengiriman oksigen dan nutrien berkurang. Jika
aliran darah menjadi sangat rendah untuk mempertahankan
metabolisme jaringan normal, maka pompa ion membran sel menjadi
tertekan. Bila hal ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke
dalam sel tidak dapat lagi dipompa keluar dari sel, dan kelebihan ion

9

natrium dalam sel menimbulkan osmosis air ke dalam sel. Edema
intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan
biasanya mempunyai efek langsung pada membran sel yaitu
meningkatnya permeabilitas membran, dan memungkinkan natrium
dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, yang diikuti dengan
osmosis air ke dalam sel (Guyton, 2012).
2) Edema ekstrasel
Edema ekstrasel terjadi apabila ada akumulasi cairan yang
berlebihan dalam ruang ekstrasel. Mekanisme fisiologi yang
berkontribusi dalam pembentukan edema yaitu peningkatan tekanan
filtraasi kapiler, penurunan tekanan osmotik koloid kapiler,
peningkatan permeabilitas kapiler, atau obstruksi pada aliran limfe
(Porth, et al., 2008 ; Guyton 2012).
a) Peningkatan tekanan filtraasi kapiler
Ketika kemampuan fitrasi pada kapiler meningkat, maka
perpindahancairan dari dalam vaskular ke ruang intersisial
meningkat. Penurunan ekskresi natrium dan air dari ginjal
memicu peningkatan volume ekstraseluler. Hal ini disebabkan
karena peningkatan volume kapiler serta perbedaan tekanan yang
terjadi mendorong perpindahan cairan ke jaringan (Porth, et al.,
2008).
b) Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler
Protein plasma selama ini digunakan untuk mendorong
kembali cairan dari jaringan ke kapiler dengan fungsinya sebagai
zat yang mengatur tekanan osmotik, yaitu sebagai protein plasma.
Perbedaaan tekanan inilah yang membuat tubuh menjadi edema.
Penyebab ini biasanya didasari karena produksi yang inadekuat
dari protein plasma yang keluar secara abnormal, terutama
albumin. Tempat yang paling sering menyebabkan kehilangan
protein adalah ginjal (Porth, et al., 2008).



10

c) Peningkatan permeabilitas kapiler
Ketika pori kapiler membesar dan kehilangan integritasnya
maka permeabilitasnya akan meningkat. Ketika hal ini terjadi,
protein plasma dan partikel osmotik aktif keluar ke ruang
intersisial. Meningkatkan tekanan osmotik dan berkontribusi
dalam akumulasi cairan intersisial. Contohnya pada luka bakar,
inflamasi, dan respon imun (Porth, et al., 2008).
d) Obstruksi pada aliran limfe
Protein plasma dan partikel-partikel besar tidak dapat
direabsorbsi melewati membran kapiler dari sistem limfatik.
Sehingga terjadi penumpukan cairan dalam tubuh (Porth, et al.,
2008).
Pada kasus gagal ginjal kronik, Penurunan jumlah glomeruli yang
normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Menurunnya glomerulo filtrat rate
(GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme
protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan
vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Hal ini juga menyebabkan ekskresi
urin yang sedikit dan kurang dari normal, yaitu kurang dari 400ml/dl
pada orang dewasa. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi
edema pada tubuh (Porth, et al., 2008).

11


Gambar 1. Patofisiologi Edema (Porth, et al., 2008 ; Guyton 2012).
b. Mudah capek
Pada gagal ginjal kronik, anemia merupakan temuan yang selalu
ditemukan. Salah satu gejala dari anemia adalah mudah capek atau
lelah. Anemia atau yang ditandai dengan mudah lelah dalam kasus ini
terjadi karena kekurangan eritorsit yang berada dalam tubuh. Sehingga,
oksigen dan zat makanan yang diperlukan oleh sel dalam tubuh tidak
tersuplai dengan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena pada
penyakit gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu untuk memproduksi
hormon eritropoietin dan mengalami defisiensi eritropoetin. Untuk
mengatasi hal ini, pada pasien dengan gagal ginjal kronik akan
diberikan terapi penggantian hormon eritropoetin (Price, 2013).
c. Mual dan nafsu makan menurun
Pada gagal ginjal kronik, kadar urea dalam darah yang meningkat
merangsang pusat untah di medulla oblongata sehingga menyebabkan
GFR <<
Adaptasi
Kecepatan filtrasi dan
beban solut >>
Ketidakseimbangan
glomerulus dan tubulus
Poliuri, nokturi,
azotemia
Insufisiensi ginjal
Angiotensin >>
Retensi Na+
Kelebihan volume
cairan
Cairan keluar ke ruang
intersisial
Edema
Oliguria

12

mual lalu muntah. Keberadaan zat zat toxic yang tidak di sekresi tubuh
juga dapat merangsang pusat muntah di medulla oblongata (Sylvia,
2005).
Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan
karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah
terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre),
suatu pusat kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan
atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai
ventrikel keempat Susunan Saraf. Koordinasi pusat muntah dapat
diransang melalui berbagai jaras. Muntah dapat terjadi karena tekanan
psikologis melalui jaras yang kortek serebri dan system limbic menuju
pusat muntah (VC). Pencegahan muntah mungkin dapat melalui
mekanisme ini. Muntah terjadi jika pusat muntah terangsang melalui
vestibular atau sistim vestibuloserebella dari labirint di dalam telinga.
Rangsangan bahan kimia melalui darah atau cairan otak (LCS ) akan
terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat
anti emetik. Nervus vagal dan visceral merupakan jaras keempat yang
dapat menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna disertai saluran
cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat muntah
terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan menyebabkan
timbulnya muntah. Muntah merupakan perilaku yang komplek, dimana
pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea
(mual), retching dan pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di
medulla yang mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone
(CTZ) dan 2) central vomiting centre(CVC). CTZ yang terletak di area
postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IV di luar blood brain
barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahan-bahan
proemetik di dalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF).
Eferen dari CTZ dikirim ke CVC selanjutnya terjadi serangkaian
kejadian yang dimulai melalui vagal eferan spanchnic. CVC terletak
dinukleus tractus solitaries dan disekitar formation retikularis medulla
tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk

13

bermacam-macam sinyal neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah.
Reseptor untuk dopamine titik tangkap kerja dari apomorphine
acethylcholine, vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin,
endhorphine, substance P, dan mediator-mediator yang lain. Mediator
adenosine 3,5 cyclic monophosphate (cyclic AMP) mungkin terlibat
dalam respon eksitasi untuk semua peptide. Stimulator oleh theophyline
dapat menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut
(Putra, 2008).
3. Mekanisme Hipertensi, Diabetes Melitus, dan obat mempengaruhi
kerusakan ginjal
a. Hipertensi
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi dapat menjadi penyakit primer dan menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat
menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dan sistem
renin angiotensin, dan defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis
(pengerasan ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada
pembuluh darah ginjal akibat hipertensi dan merupakan penyebab gagal
ginjal kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih (Price,
2013).
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap di
atas batas normal yang disepakati, yaitu diastolik 90 mmHg atau
sistolik 140 mmHg. Sekitar 90% kasus hipertensi merupakan kasus
hipertensi esensial yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi
esensial dapat bersifat benigna atau maligna, tergantung progresifitas
hipertensi tersebut. Hipertensi benigna bersifat progresif lambat,
sedangkan hipertensi maligna bersifat progresif cepat dan dapat
mengakibatkan kerusakan berat pada berbagai organ (Price, 2013).
Laju perkembangan hipertensi benigna berbeda-beda, rata-rata
memiliki perkembangan progresif lambat selama 20 30 tahun.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan

14

perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan
fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ
sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada
ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis benigna, yang merupakan penyempitan lumen pembuluh
darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan
mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara
histologis, lesi yang esensial adalah sklerosis arteria-arteria kecil serta
arteriol yang paling nyata pada arteriol aferen. Penyumbatan arteria dan
arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,
sehingga seluruh nefron rusak (Price, 2013).
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan
rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional
ginjal, nefron akan terganggu, dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar
melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,
menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik
(Corwin, 2000).
b. Diabetes Melitus
Nefropati diabetika adalah istilah yang mencakup semua lesi yang
terjadi di ginjal pada pasien diabetes dan merupakan salah satu
penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama.
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk (Price, 2013).
Banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa penyebab
timbulnya gagal ginjal pada diabetes melitus adalah multifaktor,
mencakup faktor metabolik, hormon pertumbuhan dan cytokin, dan
faktor vasoaktif (Ritz, et al., 2000).
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa
peningkatan mikroalbuminuria berhubungan dengan riwayat merokok,
ras India, lingkar penggang, tekanan sistolik dan diastolik, riwayat

15

hipertensi, kadar trigliserid, jumlah sel darah putih, riwayat penyakit
kardiovaskuler sebelumnya, riwayat neuropati dan retinopati
sebelumnya (Retnakaran, et al., 2006).
Penelitian lain di Inggris menyimpulkan bahwa faktor risiko
nefropati diabetik adalah : 1) glikemia dan tekanan darah; 2) ras; 3) diet
dan lipid; 4) genetik (Bilous, 2008).
Dari sekian banyak faktor-faktor risiko tersebut, tidak semuanya
bisa dijelaskan patofisiologinya, namun beberapa sumber pustaka dan
jurnal menulis pembahasannya kurang lebih sebagai berikut:
1) Faktor Metabolik
Faktor metabolik yang sangat mempengaruhi progresivitas
komplikasi diabetes mellitus adalah hiperglikemi. Mekanismenya
secara pasti belum diketahui, namun hiperglikemi mempengaruhi
timbulnya nefropati diabetik melalui tiga jalur, yaitu glikasi lanjut,
jalur aldose reduktase, dan aktivasi protein kinase C (PKC) isoform
(Ritz, et al., 2000).
2) Hormon Pertumbuhan dan Cytokin
Akibat efek promotif dan proliferatifnya, hormon
pertumbuhan dan cytokin dianggap berperan penting dalam
progresivitas gangguan fungsi ginjal akibat diabetes mellitus.
Terutama growth hormone (GH) / Insuline like growth
factors (IGFs) TGF-s, dan vascular endothelial growth
factors (VEGF) telah diteliti memiliki efek yang signifikan
terhadap penyakit ginjal diabetik (Ritz, et al., 2000).
3) Faktor-faktor vasoaktif
Beberapa hormon vasoaktif seperti kinin, prostaglandin,
atrial natriuretik peptide, dan nitrit oksida, memainkan peranan
dalam perubahan hemodinamik ginjal dan berimplikasi pada
inisiasi dan progresi nefropati diabetik (Ritz, et al., 2000).
4) Ras
Bangsa yang paling banyak menderita nefropati diabetik
adalah bangsa Asia Selatan. Mereka memiliki resiko dua kali lipat

16

terkena komplikasi mikroalbuminuria dan proteinuria (Bilous,
2008).
5) Diet dan Lipid
Beberapa penelitian membuktikan adanya penurunan kadar
albumin urin yang signifikan setelah dilakukan intervensi diet.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian lain yang
menyatakan bahwa terjadi perubahan kadar albuminuria setelah
dilakukan koreksi glikemik pada DM tipe 2. Perubahan ini
mungkin disebabkan karena perubahan hemodinamik akibat
penurunan glikemia dan juga mungkin disebabkan karena
penurunan intake protein. Hubungan antara kadar lipid plasma,
albuminuria, dan gangguan fungsi ginjal juga dilaporkan oleh
sebuah penelitian dengan 585 sampel yang melakukan diet selama
3 tahun dan berhasil menurunkan kadar albuminuria, tetapi kadar
glukosa puasa dan trigliserid bervariasi. Kadar trigliserid juga
berhubungan dengan peningkatan albuminuria dan proteinuria
(Bilous, 2008).
6) Genetik
Peran gen polimorfisme Angiotensin Converting
Enzime (ACE) dan angiotensinogen pada pasien dengan
mikroalbuminuria telah dilaporkan oleh sebuah penelitian dengan
180 sampel. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
albuminuria dengan insersi dan delesi dalam gen ACE, tetapi kadar
albuminuri meningkat pada pasien homozigot dengan genotip DD.
Tetapi penelitian ini belum cukup kuat untuk diambil sebuah
kesimpulan (Bilous, 2008).
7) Riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya
Nefropati diabetik, yang merupakan suatu penyakit ginjal
kronis, merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal terminal yang
juga merupakan komplikasi dari penyakit kardiovaskuler.
Mekanisme patogenesis antara penyakit kardiovaskuler dan
timbulnya nefropati diabetik belum diketahui dengan pasti. Faktor

17

risiko yang sudah diketahui menyebabkan timbulnya nefropati
diabetik dan penyakit kardiovaskular adalah hiperglikemi,
hipertensi, peningkatan kadar kolesterol LDL, dan albuminuria.
Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga merupakan faktor risiko
adalah hiperhomosisteinemia, inflamasi/stres oksidatif,
peningkatan produk akhir glikasi, dimetilarginin asimetrik, dan
anemia (Aso, 2008).
Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD
dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium, sebagai berikut (Price,
2013):
1) Stadium 1 atau fase perubahan fungsional dini
Stadium 1 ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi
ginjal, sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% di atas normal,
dan peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular.
2) Stadium 2 atau fase perubahan struktural dini
Stadium 2 ditandai dnegan penebalan membran basalis
kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit bahan
matriks mesanglial yang dapat mengenai lumen kapiler
glomerulus, menyebabkan iskemia, dan menurunkan daerah
filtrasi, sehingga GFR biasanya tetap dalam kisaran normal yang
tinggi.
3) Stadium 3 atau fase nefropati insipien
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang
menetap, ekskresi albumin urin antara 30 hingga 300 mg/24 jam,
yang hanya dapat dideteksi dengan radioimmunoassay atau metode
laboratorium sensitif lain. Kadar GFR normal hingga normal tinggi
dan peningkatan tekanan darah juga ditemukan.
4) Stadium 4 atau fase nefropati diabetik klinis
Stadium ini ditandai dnegan proteinuria yang positif dengan
carik celup (>300 mg/ 24 jam) dan dengan penurunan GFR yang
progresif. Retinopati diabetik serta hipertensi hampir selalu ada
pada stadium 4.

18

5) Stadium 5 atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif
Fase ini ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN
dan kreatinin serum) yang disebabkan oleh penurunan GFR yang
cepat, yang pada akhirnya berkembang menjadi ESRD dan
membutuhkan dialisi atau transplantasi ginjal.
c. Obat
Obat Antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal.
Pada kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan
penumpukan pada ginjal sehingga bisa memperburuk fungsi ginjal.
Oleh karena itu diperlukan perhatian dan penanganan yang khusus
terutama pemilihan obat antihipertensi yang aman bagi ginjal. Obat-
obat golongan Inhibitor ACE (Angiostensin-Converting Enzyme) dan
ARB (angiotensin II receptor blocker) atau kombinasi keduanya dapat
menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular
(Dipiro, 2008).
Penggunaan -blocker sebenarnya memerlukan perhatian yang
khusus terutama pada pasien gagal ginjal. Hal ini karena terapi
hipertensi dengan -bloker pada penderita gagal ginjal kronik telah
dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal menurun, efek ini mungkin
disebabkan karena terjadi pengurangan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerolus akibat pengurangan curah jantung dan penurunan
tekanan darah oleh obat (Alam, et al., 2008).
Namun pertimbangan penggunaan blocker kardioselektif,
seperti Bisoprolol pada pasien gagal ginjal disamping untuk mengontrol
tekanan darah adalah untuk mengurangi terjadinya resiko infark,
jantung koroner, mengurangi kebutuhan O2 dari jantung, serta untuk
menstabilkan kontraktilitas miokard (Rahmawati, 2006).
Selain obat-obat tersebut, dalam penanganan hipertensi pada pasien
gagal ginjal juga digunakan kombinasi terapi lainya dari obat seperti
Clonidine, Amlodipine, serta obat golongan Angiotensin Reseptor
Blocker (ARB) yaitu Losartan dan Valsartan. Hal ini dilakukan untuk
tujuan mengontrol tekanan darah pasien yang sebagian besar fluktuatif

19

akibat kondisi ginjal pasien yang telah menurun (Sjamsiah, 2005; Alam,
et al., 2008).

D. Menyusun Daftar Hipotesis
1. Sindroma Nefrotik
a. Definisi
Sindroma nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema
proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia (Betz, 2009).
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, akhir akhir ini dianggap
sebagai suatu antigen antibodi. Berdasarkan penyebabnya, sindroma
nefrotik dapat dibagi menjadi (Alatas dkk., 2012) :
1) Sindroma nefrotik bawaan, karena naternafoetal reaction
2) Sindroma nefrotik sekunder
3) Sindroma nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya
Sindroma nefrotik mungkin disebabkan oleh beberapa penyakit.
Hal ini dapat ditanyakan pada anamnesis riwayat penyakit dahulu.
Berikut ini hal yang mungkin menyebabkan sindroma nefrotik
(Speicer & Smith, 2014) :
1) Glomerulonefritis akut
2) Glomerulonefritis kronik
3) Obat-obatan nefrotoksik
4) Gigitan serangga
5) Sindroma nefrotik idiopatik
6) Lupus eritematosus sistemik
7) Diabetes mellitus
8) Klasifikasi
b. Penegakkan diagnosis
Tabel 1. Penegakkan diagnosis sindroma nefrotik (Alatas dkk., 2012;
Betz, 2009; Mitchell dkk., 2008; Speicer & Smith, 2014).
Jenis
Pemeriksaan
Hasil Pada Sindroma Nefrotik
Gejala klinis KU Edema

20

Kuantitas


KP
Edema anasarka (seluruh tubuh),
termasuk vagina/skrotum, asites,
hidrotoraks
anoreksia, muntah muntah oleh
karena edema mukosa lambung,
infeksi kulit (pada kasus berat),
keletihan, intoleransi aktivitas, sulit
bernapas, nyeri abdomen, kadang :
oligouria, diare
Pemeriksaan fisik TB, BB

TD
Wajah
Edema
Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
sehingga sangat mungkin obesitas
Hipertensi >>
Inspeksi : Pucat
Palpebra atau pretibia. Edema
massif simetris. Edema Bila lebih
berat akan diseertai asites, efusi
pleura, dan edema skrotum.
Pem. Penunjang Urinalisis Ditemukan lipid-lipid urin
Urin gelap berbusa
kultur bila perlu.
Proteinuria Massif : >3,5 gm atau >40mg/m2
LPB/ jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2mg/mg atau dipstick 2+
Hematuria V/X
Hiperkolesterolemia V
Hipoproteinemia V
Hipoalbuminemia V (2,5 g/dL)
Kreatinin Normal
Kadar
komplemen
C3
Bila dicurigai lupus eritematosus
sistemik pemeriksaan ditabah
dengan komplemen C4, ANA, dan

21

antids-DNA

2. Gagal Ginjal Akut
a. Definisi
Gangguan ginjal akut/ GnGA (Acute kidney injury/ AKI)
merupakan istilah pengganti dari gagal ginjal akut, didefinisikan
sebagai penurunan mendadak dari fungsi ginjal (laju filtrasi
glomerulus/LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan
peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen
serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk mengatur
homeostasis cairan dan elektrolit (Mansjoer, 2007).
b. Klasifikasi Gagal Ginjal Akut (Mansjoer, 2007).
1) Gagal ginjar pra renal
GGA prarenal adalah terjadinya penurunan aliran darah
ginjal (renal hypoperfusion) yang mengakibatkan penurunan
tekanan filtrasi glomerulus dan kemudian diikuti oleh penurunan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Keadaan ini umumnya ringan
yang dengan cepat dapat reversibel apabila perfusi ginjal segera
diperbaiki. Pada GGA prarenal aliran darah ginjal walaupun
berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat
metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila
hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan
NTA. GGA prarenal merupakan kelainan fungsional, tanpa
adanya kelainan histologik atau morfologi pada nefron.
2) Gagal ginjal renal
Gagal ginjal renal yaitu kelainan yang berasal dari dalam
ginjal dan yang secara tiba tiba menurunkan pengeluaran urin.
Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi
pada ginjal, yang mudah mengalami kerusakan bila terjadi
iskemia atau oleh obat nefrotoksik, oleh karena itu kelainan
tubulus yang disebut Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan
penyebab terbanyak GGA renal.

22

3) GGA Postrenal
GGA postrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan
urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat.
Penyebab tersering adalah obstruksi. Obstruksi aliran urin ini
akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transpor
tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang
permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi.
c. Penegakkan Diagnosis Gagal Ginjal Akut (Mansjoer, 2007).
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu :
1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual,
muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki.
Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan
cairan).
4) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5) Tremor tangan.
6) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang
dapat dijumpai adanya pneumonia uremik.
8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan
kejang).
9) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat
mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan
laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan
protein), perfusi tidak benar.
Pemeriksaan dan pengujian dapat membantu mendiagnosa gagal
ginjal akut dan membantu menyingkirkan masalah-masalah lain
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Hasil tes laboratorium dapat
berubah tiba-tiba (dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu).
1) Tes urin (urine) mungkin abnormal.

23

2) Kreatinin serum, BUN, kreatinin klirens, dan serum kalium
dapat meningkat.
3) kimia gas darah arteri dan darah mungkin menunjukkan asidosis
metabolik.
4) Ginjal atau USG perut adalah tes pilihan, tapi perut x-ray, CT
scan perut, atau perut MRI dapat mengetahui apakah ada
penyumbatan pada saluran kemih.
5) Tes darah dapat membantu mengungkap penyebab kegagalan
ginjal.

3. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Pada
kasus gagal ginjal ini, ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik ini terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal.
Sebagian besar penyakitnya merupakan penyakit parenkim gagal
ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus
urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik (Price &
Wilson, 2013).
Gagal ginjal kronik ini memiliki memiliki kriteria sebagai
berikut (Suwitra, 2009). :
1) Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
a) Kelainan patologis
b) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes
pencitraan (imaging tests)

24

2) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m
2

selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dihitung
dengan rumus Kockcroft-Gault, gagal ginjal kronik diklasifikasi
dalam beberapa derajat penyakit (Suwitra, 2009).
Table 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Suwitra, 2009).
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m
2
)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat
90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun ringan
60 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun sedang
30 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun berat
15 29
5 Gagal ginjal <15

b. Penegakan Diagnosis
Gambaran klinis, pasien gagal ginjal kronik meliputi:
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
eritomatosus sistemik, dan lain sebagainya.
2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma.
3) Gejala komplikasinya antara lain, hiepertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan
keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida) (Suwitra,
2009).
Gambaran laboratoris, pasien gagal ginjal kronik meliputi:
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

25

2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kretainin serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan
rumus Kockcroft-Gault.
3) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar Hb,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolic.
4) Kelainan urinalis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
isostenuria (Suwitra, 2009).

E. Diagnosis Kerja Kasus PBL 3
Gagal Ginjal Kronik Stadium 5

F. Belajar Mandiri
Sudah dilaksanakan

G. Mengambil Informasi yang Dibutuhkan
1. Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal memiliki banyak sebab, beberapa di antaranya dimulai
di bagian tubuh lauin dan mempengaruhi fungsi ginjal secara sekunder.
Berikut ini adalah sebagian penyebabnya (Sherwood, 2011):
1) Organisme penginfeksi, baik melalui darah maupun masuk ke
saluran kemih melalui uretra.
2) Bahan toksik, misalnya timbal, arsen, pestisida atau bahkan pajanan
berkepanjangan aspirin dosis tinggi.
3) Respon imun yang tidak sesuai, misalnya glomerulonefritis, yang
kadang menyertai infeksi streptokokus di tenggorokan karena
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang menyebabkan
kerusakan inflamatorik lokal di glomerulus.
4) Obstruksi aliran urin akibat batu ginjal, tumor, atau pembesaran
kelenjar prostat, dengan tekanan balik mengurangi filtrasi
glomerulus serta merusak jaringan ginjal.

26

5) Insufisiensi aliran darah ginjal yang menyebabkan kurangnya
tekanan filtrasi, akibat sekunder gangguan sirkulasi misalnya gagal
jantung, perdarahan, syok, atau penyempitan dan pengerasan arteri
renalis oleh arterosklerosis.
Selain penyebab di atas, penyebab gagal ginjal kronik yang
tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas, yaitu (Price, 2013):
1) Penyakit infeksi tubulointerstitia: pielonefritis kronik atau refluks
nefropati
2) Penyakit peradangan : glomerulonefritis
3) Penyakit vaskular hipertensif : nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
4) Gangguan jaringan ikat : lupus erimatosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
5) Gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal
6) Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout,
hiperparatiroidisme, amiloidosis
7) Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik,
nefropati timah
8) Nefropati obstruksi : traktus urinarius bagian atas (batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah
(hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra).
2. Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik
Berikut ini faktor risiko pada penyakit gagal ginjal kronik
(Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2007; Wein et al., 2007) :
a. Riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab utama antara lain :
1) Glomerulonefritis kronik
2) Nefropati diabetic
3) Nefritis intersisialis kronis
4) Hipertensi dan Atherosclerosis
5) Obstruksi saluran kemih yang sudah berlangsung lama

27

6) Gagal ginjal akut
b. Sindroma alport
Nefritis herediter yang terkait kromosom X berhubungan dengan
tuli sensorineural dan lesi pada mata. Ditandai dengan penipisan dan
pemisahan membrane basal glomerulus. Terdapat kelainan kolagen
tipe IV (rantai 5, lokus gen Xq22).
c. Ras
Orang kulit hitam memiliki risiko lebih besar, terkait dengan
gen hipertensi pada ras tersebut. Selain itu ras Afrika-Amerika
sendiri memiliki risiko penyakit gagal ginjal kronik yang lebih besar
dibandingkan ras lain.
d. Gaya hidup
Berdasarkan National Kidney (2009), Obesitas, perokok, stress
meningkatkan risiko penyakit gagal ginjal kronik.
e. Usia di atas 70 tahun
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Kidney
Foundation, pada usia 60-70 tahun ditemukan prevalensi sebanyak
7,3% sementara pada usia di atas 70 tahun ditemukan prevalensi
92%.
f. Infeksi saluran kencing
g. Herediter
Gen terbukti memiliki peran dalam perjalanan penyakit dan
kondisi imun dalam tubuh seseorang. Salah satu peran genetik dalam
penyakit gagal ginjal kronik adalah kelainan sejak lahir atau
kongenital.
h. Penyakit sistemik lain seperti :
1) Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2) Henoch-Schnlein purpura
i. Penggunaan berkepanjangan NSAID dan obat-obatan neftoroksik
lainnya.



28

3. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik
Tinjauan mengenai perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat
diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan laju
filtrasi glomerulus (GFR) sebagai resentase dari keadaan normal,
terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen darah (BUN) karena massa
nefron dirusak secara progresif oleh penyakit ginjal kronik (Price, 2006).
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi
tiga stadium. Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan pasien
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan
memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes
pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti
(Price, 2006).
Stadium dua perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila
lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini kadar
BUN baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam
makanan (bandingkan grafik BUN pada makanan rendah protein dengan
makanan yang normal kadar proteinnya). Pada sradium ini, kadar
kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia
biasanya ringan. Pada stadium insufisiensi ginjal ini, mulai timbul gejala-
gejala nokturia dan poliuria (akibat gangguan kemampuan pemekatan).
Gejala-gejala ini timbul sebagai rspons terhadap stres dan perubahan
makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan
terungkap dengan mengajukan peetanyaan-pertanyaan yang teliti (Price,
2006).
Stadium ketiga dan stadium gagal ginjal akhir progresif disebut
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau uremia. ESRD terjadi apabila
sekitar 90 % dari massa nern hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron
yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal dan
bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per meni atau kurang. Pada

29

keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat menyolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit
penurunan. Pada ESDR, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang
cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh (Price, 2006).
4. Penegakan Diagnosis Gagal Ginjal Kronik
a. Anamnesis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik menurut
(Sudoyo, 2009) meliputi :
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, dan Lupus Eritomatosus Sistemik (LES).
2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai
koma.
3) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan
gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien insufisiensi ginjal bisa hanya konfusi ringan atau bisa
koma. Pada pemeriksaan secara fisik, pasien bisa tampak normal
atau bisa kelihatan pucat kekuningan dan ada kristal uremik
(endapan putih pada atau sekitar bibir) (Boswick, 1997).
Selain terlihat ikterus akibat hemolisis. Dapat terlihat petekie
dan perdarahan mukosa bukal akibat trombositopenia. Bergantung
pada tingkat oliguria dan gagal ginjal, pasien dapat mengalami
kelebihan volume, CHF, dan edema perifer (Schwartz, 2004).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik menurut
Sudoyo (2009) meliputi:

30

a) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
b) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
c) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.
2) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik menurut
Sudoyo (2009) meliputi:
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b) Pielogravi intravena jarang dikerjakan karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai
indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal
yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan
bila ada indikasi
3) Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuruan ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi

31

yang telah diberikan. Kontaindikasi biopsi ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pemberkuan darah, gagal napas dan obesitas (Sudoyo,
2009).
5. GFR dan Cara Perhitungannya
Rumus Menghitung GFR (Glomerular Filtration Rate) berdasarkan
alat Kalkulasi GFR adalah sebagai berikut:
GFR untuk laki-laki :

( ) ()


GFR untuk perempuan : GFR x 0.85
6. Tatalaksana Gagal Ginjal Kronik
a. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi
ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006).

1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen (Sukandar, 2006). Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai

32

tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila
terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi
urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain
juga dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2006).
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein
berlebihan (protein overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang
akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006).
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK
(penyakit ginjal kronik) harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar,
2006).

33

3) Diet buah dan sayuran
Sebuah studi oleh Goraya et al menunjukkan bahwa
peningkatan asupan buah-buahan dan sayur-sayuran dapat
membantu mengurangi cedera ginjal. Dalam laporan ini, diet
buah-buahan dan sayur-sayuran selama 30 hari akan
menyebabkan penurunan albumin pada urin, -D-
glucosaminidase N-asetil, dan transforming growth factor
pada pasien dengan GFR rendah akibat hipertensi nefropati
(Arora, 2014).
b. Terapi Simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila
pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L (Sukandar, 2006).
2) Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah
(misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit
30g%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding
Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2006).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu

34

diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006).
Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan
efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak (Sukandar, 2006).
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik
(Sukandar, 2006).
4) Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria,
yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi
ginjal (Suwitra, 2006).


35

5) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita. Pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).
c. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

36

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
2) Dialisis peritoneal
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGTA (Gagal Ginjal Tahap Akhir) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Beberapa pertimbangan untuk melaksanakan
program transplantasi ginjal, yaitu (Sukandar, 2006) :
i. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
ii. Kualitas hidup normal kembali
iii. Masa hidup (survival rate) lebih lama

37

iv. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
v. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
7. Indikasi dan Konsep Tindakan Hemodialisis
Secara sederhana, konsep hemodialisis adalah sama sepeerti kerja
nefron di dalam ginjal, dimana berfungsi untuk membuang zat sisa
metabolisme dalam tubuh. Sistem hemodialisis terdiri dari 3
kompartemen utama (Ronco, et al., 1998) :
a. Kompartemen darah
Darah yang berada di pasien berpengaruh terhadap hasil dialisis
yang terjadi, seperti halnya apabila ada kelainan dalam tekanan
darah atau ada kelainan dengan eritrosit ? plasma yang berada disana
dapat menghambat hemodialisis.
b. Kompartemen membran
Membran buatan yang di buat pada dializer sangat
mempengaruhi proses dialisis, dimana membran ini menentukan
filtrat yang dihasilkan. Membran buatan ini dibuat semirip mungkin
dengan membran yang berada di nefron, bersamaan dengan
membran muatan yang menjadi barier pun dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat membuang hanya zat zat yang dapat di filtrasi
ginjal.
c. Kompartemen dialisata
Dialisata merupakan salah satu faktor yang mendapat perhatian
kecil karena memang faktor ini merupakan semacam wadah yang
menampung temat untuk dialisis.
8. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik
Kemungkinan efek gagal ginjal antara lain (Sherwood, 2011 dan
Corwin, 2009):
a. Toksisitas uremik akibat retensi zat sisa.
1) Efek toksik pada sistem pencernaan yaitu mual, muntah, diare,
dan tukak.

38

2) Efek toksik pada fungsi trombosit yaitu kecenderungan
mengalami perdarahan.
3) Efek toksik pada susunan saraf pusat yaitu perubahan mental
misalnya berkurangnya kewaspadaan, insomnia, dan penurunan
konsentrasi yang berkembang menjadi kejang dan koma.
4) Efek toksik pada saraf perifer yaitu kelainan aktivitas sensorik
dan motorik.
b. Asidosis metabolik yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal
untuk menyekresikan secara adekuat H
+
yang terus menerus
ditambahkan ke cairan tubuh dari aktivits metabolik.
1) Perubahan aktivitas enzim yang disebabkan oleh efek terlalu
banyak asam pada enzim.
2) Depresi susunan saraf pusat akibat efek terlalu banyak asam
yang mengganggu eksitabilitas neuron.
3) Retensi kalium yang terjadi karena gangguan sekresi K
+
di
tubulus.
4) Perubahan eksitabilitas jantung dan saraf akibat perubahan
potensial membran istirahat sel-sel peka rangsang.
c. Ketidakseimbangan natrium akibat ketidak mampuan ginjal
menyesuaikan ekskresi Na
+
untuk mengimbangi perubahan pada
konsumsi Na
+
.
1) Peningkatan tekanan darah, edema generalisata, dan gagal
jantung kongestif jika terlalu banyak Na
+
yang dikonsumsi.
2) Hipotensi dan, jika cukup parah, syok sirkulasi jika Na
+
yang
dikonsumsi terllu sedikit.
d. Ketidakseimbangan fosfat dan kalsium karena gangguan reabsorpsi
kedua elektrolit ini. Gangguan pada struktur tulangakibat kelainan
pada pengendapan kristal kalsium fosfat, yang memperkerass tulang
e. Hilangnya protein plasma akibat meningkatnya kebocoran
membran glomerulus. Edema akibat berkurangnya tekanan osmotik
koloid plasma.

39

f. Ketidakmampuan mengubah konsentrasi urin karena gangguan
sistem aliran balik.
1) Hipotonisitas cairan tubuh jika H
2
O yang masuk terlalu banyak.
2) Hipertonisitas cairan tubuh jika H
2
O yang masuk terlalu sedikit.
g. Hipertensi karena kombinasi efek retensi garam dan cairan dan efek
vasokonstriksi kelebihan angiotensin II.
h. Anemia karena berkurangnya produksi eritropoietin.
i. Depresi sistem imun, kemungkinan besar karena kadar toksik zat-zat
sisa dan asam. Meningkatnya kerentanan terhadap infeksi.
j. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume,
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan
uremia.
k. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi
azotemia dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang
secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan.
l. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik,
dan pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
m. Penurunan pembentukan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom
anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
n. Dapat terjadi gagal jantung kongestif.
o. Tanpa pengobatan terjadi koma dan kematian.
9. Prognosis Gagal Ginjal Kronik
Prognosis dari penyakit ginjal kronik, tergantung pada seberapa
cepat upaya deteksi dan penanganan dini, serta penyakit penyebab.
Semakin dini upaya deteksi dan penanganannya, hasilnya akan lebih
baik. Beberapa jenis kondisi/penyakit, akan tetap progresif. Misalnya
dampak diabetes pada ginjal dapat dibuat berjalan lebih lambat dengan
upaya kendali diabetes. Pada kebanyakan kasus, penyakit ginjal kronik
progresif bisa menjadi gagal ginjal kronik. Kematian pada penyakit ginjal

40

kronik tertinggi adalah karena komplikasi jantung, dapat terjadi sebelum
maupun sesudah gagal ginjal (Porth, et al., 2008).
Menurut kepustakaan, di Amerika kematian pasien dialisis tertinggi
6 bulan pertama paska dialisis, 35% nya bisa bertahan lebih dari 5 tahun,
bila disertai diabetes lebih kecil lagi yaitu 25%. Pasien gagal ginjal tanpa
upaya dialisis akan berakhir dengan kematian. Penyebab kematian pada
gagal ginjal kronik, terbesar adalah karena komplikasi jantung (45%),
akibat infeksi (15%), komplikasi uremia pada otak (6%), dan keganasan
(4%) (Porth, et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai