Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG PEREMPUAN 57
TAHUN DENGAN CHF
NYHA IV, HIPERTENSI
STAGE II, PNEUMONIA,
DIABETES MELITUS TIPE II, AZOTEMIA, ANEMIA NORMOSITIK
NORMOKROMIK, OMI SEPTAL, DISLIPIDEMIA
Diajukan untuk melengkapi syarat ujian kepaniteraan klinik senior
di bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing:
dr. Andreas Arie, Sp.PD, K-KV
Disusun oleh:
Risa Esa Nanda Putra
22010113220170

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa

: Risa Esa Nanda Putra

NIM

: 22010113220170

Bagian

: Ilmu Penyakit Dalam RSDK / FK UNDIP

Judul Kasus

: Seorang Perempuan 57 Tahun dengan CHF NYHA IV,


Hipertensi Stage II, Pneumonia, Diabetes Melitus Tipe 2,
Azotemia, Anemia Normositik Normokromik, OMI Septal,
Dislipidemia

Pembimbing

: dr. Andreas Arie, Sp.PD, K-KV

Semarang, 15 Juli 2014


Pembimbing,

dr. Andreas Arie, Sp.PD, K-KV

ABSTRAK
SEORANG PEREMPUAN 57 TAHUN DENGAN CHF NYHA IV, HIPERTENSI
STAGE II, PNEUMONIA, DIABETES MELITUS TIPE II, AZOTEMIA, ANEMIA
NORMOSITIK NORMOKROMIK, OMI SEPTAL, DISLIPIDEMIA

Risa Esa Nanda Putra


Latar Belakang. Congestive Heart Failure adalah suatu keadaan berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Pembagian fungsional menurut New York Heart Association
(NYHA) dibagi menjadi empat kelas. Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis
gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Tujuan. Mendeskripsikan penegakan diagnosis dan penanganan pada pasien.
Metode. Pembahasan menggunakan data anamnesis dari pasien, pemeriksaan fisik pada
pasien, catatan medik, pemeriksaan penunjang dan follow up pasien di bangsal selama
perawatan.
Hasil. + 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas. Sesak nafas timbul tiba-tiba
saat berjalan dari kamar sampai ke kamar mandi +10 meter. Sesak disertai mengi. Sesak nafas
tidak dipengaruhi cuaca dingin, debu, emosi ataupun makanan tertentu. sesak dirasakan terus menerus
bertambah berat ketika melakukan aktivitas dan sesak tidak hilang ketika pasien beristrirahat. Sesak nafas
menjadi lebih ringan ketika pasien tidur dengan 5 bantal.
Sesak nafas disertai dengan berdebar-debar (+), mual (+), muntah (+) nyeri dada (-), keringat
dingin (+), kaki bengkak sudah 1 minggu (+), riwayat terbangun malam hari karena sesak (+), demam (-),
batuk dengan dahak putih berbuih sudah satu minggu (+). Berat badan turun (+). nafsu makan turun (+),
pandangan kabur (+), BAK tiga kali semalam warna kuning jernih, nyeri (-) dan BAB masih dalam batas
normal. Kemudian pasien dibawa ke UGD RSDK.

Pasien mempunyai riwayat mondok 8 bulan yang lalu di RSDK dan dikatakan
sakit akibat pembengkakan jantung. 5 bulan yang lalu pasien kembali mondok di RSDK
dengan sakit yang sama yaitu akibat pembengkakan jantungnya
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung. Pasien sesak,
frekuensi napas 30 x/ menit, Pada pemeriksaan leher didapatkan JVP yaitu R+3 cm,
hepatojugular reflex (+). Pemeriksaan jantung didapatkan iktus cordis teraba di SIC VI 2
cm lateral linea mid clavicularis sinistra, kuat angkat (-), thrill (-), sternal lift (-), pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrium (-). Pada perkusi didapatkan batas atas SIC II linea
parasternalis sinistra, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri SIC VI 2 cm lateral
linea midclavicularis sinistra. Pada auskultasi bunyi jantung I II murni, bising (-),
gallop (+) S3, HR: 88x / menit, reguler. Pada pemeriksaan auskultasi depan dan belakang
pulmo terdengar SIC II dan III kiri suara dasar bronkhial, suara tambahan ronkhi basah kasar. SIC
IV kebawah suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi basah halus di kedua basal paru. Pada
pemeriksaan abdomen palpasi ditemukan hepar teraba membesar 3 cm BAC dextra,
perabaan rata, konsistensi kenyal dan tepi tumpul.
Pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik didapatkan kadar klorida = 107,3, natrium =
137,7 kalium = 5,5. Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan irama sinus dengan
iskemik inferior, slow progressing R, OMI septal. Pada pemeriksaan x foto thorax AP
ditemukan kardiomegali (LV), edema pulmonum dan efusi pleura kanan.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas
didapatkan beberapa diagnosis. Keluhan sesak dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta
dari hati. Dari anamnesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang
disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta

pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ
paru, ginjal atau pun hati.
Diagnosis pertama pasien yaitu mengalami CHF NYHA IV berdasarkan pada kriteria
Framingham untuk diagnosis CHF yaitu terpenuhinya lebih dari 2 kriteria mayor, pada kasus ini
ditemukan paroxysmal nocturnal dyspneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi paru,
kardiomegali (berdasarkan perkusi jantung), reflex hepatojugular, edema paru serta ditemukan
kriteria minor, pada kasus ini ditemukan orthopneu, dispnea deffort, hepatomegali, efusi pleura,
edema ekstremitas. Secara fungsional menurut NYHA, pasien ini diklasifikasikan sebagai gagal
jantung kongestif NYHA IV karena pasien saat melakukan aktivitas ringan sudah merasakan sesak,
dan sesak tidak berkurang saat pasien istirahat.

Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis dikenal gambaran klinis berupa
gagal jantung kiri, pada pasien ini didapatkan gejala sesak napas. Sedangkan tanda
objektif berupa dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea),
ronkhi basah halus di basal paru, batuk dengan sputum berbuih putih, pembesaran
ventrikel kiri. Sedangkan gambaran klinis gagal jantung kanan pada pasien ini adalah
terdapat hepatomegali dan peningkatan tekanan vena jugularis, edema pada kedua tunkai
bawah. Gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal
jantung kiri dan kanan.
Prinsip penatalaksanaan pasien gagal jantung kongestif adalah dengan mengurangi beban
kerja jantung, yakni memberi istirahat pada penderita (fisik maupun psikis) dan diet rendah garam
untuk memperlancar diuresis sehingga mengurangi edema. Pada kasus ini diberikan Furosemid
1 ampul/12 jam IV, Spironolakton tab 1 x 25 mg, Valsartan 1 x 80 mg

Loop diuretik (furosemid) diberikan bila ditemukan beban cairan berlebihan ,


kongesti paru dan oedem perifer. Furosemide dikombinasi dengan spironolactone
(aldosteron antagonis) karena terbukti efektif dengan efek samping yang kurang
dibandingkan dengan obat tunggal dosis tinggi. Captopril (ACE-inhibitor) dan bisoprolol
(beta blocker) belum dapat diberikan diberikan pada pasien ini karena masih didapatkan
tanda-tanda kongesti.
Problem lain dari pasien ini adalah hipertensi grade II, diabetes melitus tipe II, pneumonia,
azotemia, anemia normositik normokromik, OMI Septal dan dislipidemia. Untuk hipertensi diberikan
terapi Valsartan tab 1 x 80 mg per oral, untuk problem pneumonia diberikan injeksi
Ceftriakson 2 gr/24 jam IV dan Ambroxol tab 30 mg/ 8 jam, untuk problem diabetes melitus
tipe II diberikan terapi novorapid 8-8-8 unit dan injeksi lantus 10 mg 0-0-12 unit, anemia
normositik normokromik diberikan asam folat tab 2 x 1, untuk OMI septal diberikan asam
asetilsalisilat 80 mg/ 24 jam, serta dislipidemia diberikan simvastatin tab 2 x 20 mg.
Atas persetujuan dari pasien rencana akan dilakukan pemeriksaan USG abdomen dan
echocardiografi.

Kata Kunci : Gagal Jantung Kongestif. Congestive Heart Failure

BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama

: Ny. E

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 57 tahun

Alamat

: Tiber kalirejo, Semarang

Agama

: Islam

Pendidikan

: Lulus SD

Pekerjaan

: Berdagang sayur di Pasar Johar

No. CM

: B037265

No.Register

: 7700100

Masuk UGD

: 26/06/2014 (22.00)

Masuk Bangsal

: 28/06/2014 (01.00)

Tanggal Pemeriksaan : 28/06/2014 (11.00)


1.2 Daftar Masalah
No

Masalah Aktif

Tanggal

1.

CHF NYHA IV

28/06/2014

2.

Hipertensi stage II

28/06/2014

3.

Pneumonia

28/06/2014

4.

Diabetes melitus tipe II

5.

Azotemia

6.

Anemia normositik

No

Masalah

Tanggal

Pasif

28/06/2014
28/06/2014
28/06/2014

normokromik

28/06/2014

7.

OMI Septal

28/06/2014

8.

Dislipidemia

1.3 Data Dasar


1.3.1

Data Subyektif
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 28 Juni 2014, pukul 11.00 WIB di Bangsal Rajawali

lantai 3A RSUP Dr. Kariadi Semarang.


Keluhan utama: Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
+ 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas. Sesak nafas timbul

tiba-tiba

saat berjalan dari kamar sampai ke kamar mandi +10 meter. Sesak disertai mengi. Sesak nafas
tidak dipengaruhi cuaca dingin, debu, emosi ataupun makanan tertentu.

sesak dirasakan terus menerus

bertambah berat ketika melakukan aktivitas dan sesak tidak hilang ketika pasien beristrirahat. Sesak nafas
menjadi lebih ringan ketika pasien tidur dengan 5 bantal.

Sesak nafas disertai dengan berdebar-debar (+), mual (+), muntah (+) nyeri dada (-), keringat
dingin (+), kaki bengkak sudah 1 minggu (+), riwayat terbangun malam hari karena sesak (+), demam (-),
batuk dengan dahak putih berbuih sudah satu minggu (+). Berat badan turun (+). nafsu makan turun (+),
pandangan kabur (+), BAK tiga kali semalam warna kuning jernih, nyeri (-) dan BAB masih dalam batas
normal. Kemudian pasien dibawa ke UGD RSDK.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mondok 8 bulan yang lalu di RSDK dan dikatakan sakit akibat
pembengkakan jantung

5 bulan yang lalu kembali mondok di RSDK dengan sakit yang sama yaitu akibat
pembengkakan jantungnya

Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, 1 minggu sekali kontrol di Puskesmas Klenteng.

Kencing manis sejak 13 tahun yang lalu, 1minggu sekali kontrol di Puskesmas
Klenteng.

Riwayat sakit asma disangkal

Riwayat merokok disangkal

Riwayat pengobatan flek paru disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat sakit jantung dalam keluarga disangkal

Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal

Riwayat kencing manis keluarga disangkal

Riwayat nyeri sendi disangkal

Riwayat flek paru disangkal

Riwayat sakit asma disangkal

Obat-obatan yang dikonsumsi pasien sebelum masuk rumah sakit :

Furosemid tab 1 x 40 mg

Amlodipine tab 1 x 10 mg

Asam asetilsalisilat 1 x 80 mg

Spironolacton tab 1 x 25 mg

Riwayat Sosial Ekonomi :


Sebelum sakit pasien bekerja sebagai pedagang sayur di Pasar Johar. Suami bekerja
sebagai penjual mainan di Pasar Johar, mempunyai 5 orang anak, 4 orang sudah mandiri
dan 1 orang anak tinggal bersama pasien. Rumah tipe 36 dengan jendela 1 dan pintu
masuk 1, ventilasi udara kurang. Penghasilan suami 100.000,00 rupiah/hari dan
penghasilan istri 200.000,00/hari Biaya pengobatan ditanggung BPJS.
Kesan : sosial ekonomi kurang.

Data Obyektif

1.3.2

1.3.2.1 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 28 Juni 2014 pukul 11.00 di Bangsal Rajawali
lantai 3A RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keadaan umum

: Tampak lemah, terpasang infus D5% 10 tpm, terpasang O2


nasal kanul 3 lpm, orthopneu (+)

Kesadaran

: Composmentis, GCS E4 M6 V5

Tanda vital

: Tekanan darah : 180/80 mmHg

Frekuensi nadi

: 88x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Frekuensi napas

: 30 x/ menit

Suhu

: 36,90C

Status gizi

BB

: 67kg
TB

: 164 cm

IMT : 24,8 kg/m2


Kesan

: overweight

Kepala

: Mesosefal

Kulit

: Turgor kulit cukup, tidak pucat.

Mata

: Konjungtiva palpebra pucat (+/+), edema palpebra (-/-),


sklera ikterik (-/-).

Telinga

: Discharge (-/-), tinitus (-/-)

Hidung

: Discharge (-), nafas cuping hidung (-)

Mulut

: Bibir pucat (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-),


pursed lip breathing (-)

Leher

: JVP R+3 cm, hepatojugular reflex (+), trakea

ditengah, pembesaran nnll colli (-)

Dada

: Bentuk normal, retraksi suprasternal (+), retraksi


intercostal (+), retraksi epigastrium (+)

Jantung
: Iktus cordis tampak di SIC VI

Inspeksi

2 cm lateral linea

midclavicularis sinistra
Palpasi

: Iktus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral linea


midclavicularis sinistra, pulsasi parasternal (-),
pulsasi epigastrial (-), sternal lift (-), thrill (-).

Perkusi

: Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra


Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas kiri

: SIC VI 2 cm lateral linea

midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : mendatar
Auskultasi

: HR = 88x/menit, reguler, Bunyi Jantung I-II


murni, Bising sistolik (-) gallop (+) S3

KESAN : Pembesaran jantung kiri ( LAH dan LVH )


Pulmo Depan
Inspeksi
Palpasi

: Simetris saat statis dan dinamis


: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapangan paru kanan dan kiri

Auskultasi : - SIC II dan III kiri suara dasar bronkhial, suara tambahan

ronkhi basah

kasar.
- SIC IV kebawah suara dasar vesikuler, suara tambahan

ronkhi

basah halus di kedua paru.


Pulmo Belakang
Inspeksi
Palpasi

: Simetris saat statis dan dinamis


: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapangan paru kanan dan kiri

Auskultasi : - SIC II dan III kiri suara dasar bronkhial, suara tambahan

ronkhi basah

kasar.
- SIC IV kebawah suara dasar vesikuler, suara tambahan

ronkhi

basah halus di kedua paru


KESAN : Terdapat infiltrat paru dan overhidrasi yang menyebabkan

anterior

posterior

xxx

xxx

xxxxxx

oedem pulmonum

xxxxxx

RBK

vesikuler
RBH
Abdomen
Inspeksi

: Datar, venektasi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Perkusi

: Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area


traube timpani

Palpasi

: Supel, hepar teraba 3 cm dibawah arcus kosta


kanan, perabaan rata, konsistensi kenyal,
tepi tumpul. Liver span 15 cm. Lien tak teraba,
nyeri tekan (+)

KESAN : Hepatomegali karena gagal jantung kongestif

Ekstremitas
Pitting edema
Akral dingin
Sianosis
Clubbing finger
Capillary refill
Sensibilitas

Superior
-/-/-/-/<2/ <2
+N/+N

Foto extremitas inferior tanggal 28 - 07 - 2014

Inferior
+/+
-/-/-/<2/ <2
+N/+N

Status lokalis tanggal 28 - 07 - 2014 :


Kaki Kanan

Kaki Kiri

Ling. distal

24 cm

25 cm

Ling. tengah

30 cm

31 cm

33,5 cm

34 cm

Sama

sama

Ling. proximal
Warna
Pitting edema

Perabaan

Hangat (-)

Hangat (-)

Nyeri tekan

Pembesaran
kelenjar limfe

Varises

1.3.2.2 Pemeriksaan Penunjang


Hematologi (27 Juni 2014, pukul 01.00)

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

10,5

g/dL

12,00 15,00

Hematokrit

29,8

35 47

Eritrosit

3,8

106/uL

4,4 5,9

MCH

27,8

Pg

27,00 32,00

MCV

78,9

fL

76 96

MCHC

35,3

g/dL

29,00 36,00

Leukosit

17,0

103 /uL

4 11

Trombosit

253,1

103 /uL

150 400

RDW

15,7

11,60 14,80

MPV

8,6

fL

4,00 11,00

Glukosa sewaktu

421

mg/dL

80-140

CKMB

20

U/L

7 - 25

Ureum

126

mg/dL

15-39

Kreatinin

2,56

mg/dL

0,6-1,3

Magnesium

0,90

mmol/L

0,74 - 0,99

Kalsium

2,10

mmol/L

3,5-5,1

107,3

mmol/L

98-107

Kimia Klinik

Elektrolit
Chlorida

Natrium

137,7

mmol/L

136 - 145

Kalium

5,5

mmol/L

3,5 - 5,1

Immunoserologi
Troponin

0,02

<0,01

Pemeriksaan BGA Kimia tanggal 27 - 06 - 2014, pukul 00.49

Pemeriksaan
Temp
Hb
FIO2
pH
pCO2
pO2
pH(T)
pCO2(T)
pO2(T)
HCO3HCO3std
TCO2
BEecf
BE (B)
SO2c
A-aDO2
RI

Hasil
37,0
10,5
52,0
7,28
24
104
7,28
24
104
11,3
14,2
12,0
-15,4
-13,7
97
237
2,3

Satuan

Nilai rujukan

C
g/dL
%
mmHg
mmHg
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
%
mmHg

7,37 - 7,45
35 - 45
83,0 - 108,0
7,35 - 7,45
18 - 23
18 - 23
-2 - 3
95 - 100

Pemeriksaan Kimia Klinik 28 Juni 2014, pukul 12.40


Pemriksaaan
Glukosa Puasa
Glukosa PP 2 jam
Kolesterol Total
Trigliserida
HDL Kolesterol
LDL Direk
Asam urat

Hasil
163
184
198
166
35
136
11

Satuan
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL

Nilai Normal
< 200
<150
40 - 60
0 - 100
2,6 - 6,0

Pemeriksaan BGA Kimia tanggal 30 - 06 - 2014, pukul 11.10

Pemeriksaan
Temp
Hb
FIO2
pH
pCO2
pO2

Hasil
38,0
10,5
52,0
7,30
27
96

Satuan

Nilai rujukan

C
g/dL
%
mmHg
mmHg

7,37 - 7,45
35 - 45
83,0 - 108,0

pH(T)
pCO2(T)
pO2(T)
HCO3HCO3std
TCO2
BEecf
BE (B)
SO2c
A-aDO2
RI

7,29
28
102
13,3
15,9
14,1
-13,1
-11,6
97
234
2,3

7,35 - 7,45
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
%
mmHg

18 - 23
18 - 23
-2 - 3
95 - 100

Pemeriksaan Kimia Klinik 30 juni 2014, pukul 23.33

Pemeriksaan
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Klorida
Natrium
Kalium

Hasil
1,99

Satuan
mg/dL
mg/dL

110,8
139,6
6,6

mmol/L
mmol/L
mmol/L

112

Nilai Normal
15-39

0,6-1,3
98-107
136 - 145
3,5 - 5,1

Pemeriksaan Kimia Klinik 03 juni 2014, pukul 10.12

Pemeriksaan
Elektrolit
Klorida
Natrium
Kalium

Hasil

Satuan

111
142
4,5

mmol/L
mmol/L
mmol/L

Elektrokardiografi tanggal 28 Juli 2014

Nilai Normal
98-107
136 - 145
3,5 - 5,1

X Foto Thorax 27 Juni 2014, pukul 06.30

Irama
Frekuensi
Axis
Zona Transisi
Gelombang P

Sinus
100 x/ menit, regular
Normoaxis
V4
Durasi 0,10 detik; P pulmonal (-); P mitral (-); negatif P

PR interval
Kompleks QRS
Segmen ST
Gelombang T
Lain-lain
Kesan

terminal force (-)


0,16 detik
0,12 detik; Q patologis (+)
Isoelektrik
T inverted (+) di led II - led III dan AVF; tall T (-)
R/S di V1 < 1; S di V1 + R di V5/6 < 35 mm
Irama sinus dengan iskemik inferior , slow progressing
R, OMI septal

Cor

: Apeks jantung bergeser ke laterocaudal


Pinggang jantung mendatar, elevasi pada bronkus kiri
Kalsifikasi arcus aorta

Pulmo : Corakan vaskuler meningkat


Tampak konsolidasi dengan airbronkhogram pada perihiler
kanan kiri dan parakardial kanan
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus kostofrenikus kanan tumpul, kiri superposisi dengan
bayangan jantung
Kesan :

1.4

Kardiomegali (LV)

Gambaran edema pulmonum

Efusi pleura kanan

Daftar Abnormalitas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Dyspneu , orthopneu
Paroxisimal nocturnal dyspneu
Oedem extremitas inferior sinistra dextra
Hipertensi stage II
JVP R+3cm
Gallop (+) S3
Hepatojugular reflex (+)
Ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm Lateral Linea Midclavicularis Sinistra
Batuk dengan dahak putih berbuih
Ronkhi basah halus di SIC IV ke bawah pada kedua basal paru
Ronkhi basah kasar di SIC II dan III paru kiri
Hepatomegali
Overweight

14.

Sakit jantung sejak 8 bulan yang lalu

15.

Diabetes melitus tipe 2 sejak 13 tahun yang lalu

16.

Leukositosis

17.

Hipertensi 3 tahun yang lalu

18.

Anemia

19.

Azotemia

20.

Dislipidemi

21.

Peningkatan asam urat

22.

Hiperkalemi

23.

EKG iskemik inferior, OMI septal

24. X foto thorax:


Kardiomegali (LV)

Edema pulmonum

Efusi pleura kanan

1.5 Rencana Pemecahan Masalah

1. CHF NYHA IV
Ass

: Diagnosis etiologi: IHD, RHD


Diagnosis anatomi: LVH, LAH

Diagnosis fungsional: CHF NYHA IV


Ip Dx

: Echocardiografi

Ip Rx

O2 3 lpm nasal kanul


Posisi setengah duduk
Infus D 5% 10 tetes per menit
Diet jantung, DM, anemia, rendah garam 1700 kkal
Furosemid tab 1 x 40 mg (pagi)
Spironolakton tab 1 x 25 mg (pagi)
IpMx
:
KUTV/ 4 jam, edema, balance cairan/24 jam, monitoring
elektrolit 3 hari

IpEx

- Mengedukasi pada pasien jangan melepas oksigen


- Mengedukasi pada pasien agar beristirahat di tempat tidur dengan posisi
duduk
- Mengedukasi pada pasien agar tidak mengejan saat BAB
- Mengedukasi pada pasien agar tidak bekerja terlalu berat
2. Hipertensi stage II

Ass
IpDx
IpRx

: Retinopati hipertensi
: Funduskopi
: Valsartan 1 x 80 mg

IpMx

: Keadaan umum, tekanan darah/ 8 jam

IpEx

Konsumsi kaya buah, sayur, rendah lemak dan garam


Latihan : olahraga sedang seperti jalan pagi atau senam
aerobik minimal selama 30 menit sehari di rumah setelah
kondisi pasien membaik
Rutin kontrol ke dokter dan minum obat antihipertensi
secara teratur
3. Pneumonia

Assesment

: Etiologi : - Kuman Banal


- TB paru

Ip Dx

: pengecatan sputum BTA 3x, gram, jamur, kultur


sputum

Ip Rx
Ip Mx
Ip Ex

: Ambroxol tab 30 mg/ 8 jam


Injeksi Ceftriakson 2gr/24 jam IV
: Keadaan umum, RR, suhu, ronkhi

:
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa ada indikasi pasien
menderita infeksi pada paru-paru
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai pemeriksaan
dan penatalaksanaan terapi yang akan dilakukan pada pasien.

4. Diabetes Melitus tipe 2


Assessment :
Status glikemi
Retinopati
Nefropati
IpDx

: HbA1C, Funduskopi, urin rutin

IpTx

: Novorapid 8-8-8 unit

Injeksi lantus 10 mg 0-0-12 unit IV

IpMx

: Cek GD premeal dan jam 22.00 malam

IpEx

:
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien
menderita penyakit diabetes melitus yang merupakan
penyakit karena tingginya kadar gula di dalam darah
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga agar menjaga pola
makan pasien dengan memberikan makanan dan minuman
yang rendah gula.

5. Azotemia
Assesment

: mencari etiologi : - Pre renal


- Intrarenal : Nefropati
- Post renal

IpDx

: Urin rutin, USG ginjal, albumin

IpTx

: (-)

IpMx
IpEx

: Cek ureum, kreatinin ulang 3 hari

: (-)

6. Anemia Normositik Normokromik


Assesment

: Penyakit kronik

IpDx

: Gambaran darah tepi, retikulosit, hitung jenis

IpTx

: Asam folat tab 2 x 1

IpMx
IpEx

: Cek ulang kadar Hb 1 minggu


: Memberitahu pasien untuk menghabiskan
makanan sesuai diet dari rumah sakit

7. OMI Septal

Assesment

: (-)

IpDx

: (-)

IpTx

: Asam asetilsalisilat 80 mg/ 24 jam

IpMx
IpEx

: Cek EKG tiap minggu


: Memberitahu pasien untuk menghabiskan
makanan sesuai diet dari rumah sakit

8. Dislipidemia

Assesment

: (-)

IpDx

: (-)

IpTx

: Simvastatin 2 x 20 mg

IpMx
IpEx

: Keadaan umum, tanda vital


: Menyarankan penderita untuk diet rendah lemak
dan kolesterol serta berolahraga secara rutin

BAB III
ANALISIS KASUS

+ 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas. Sesak nafas timbul

tiba-tiba

saat berjalan dari kamar sampai ke kamar mandi +10 meter. Sesak disertai mengi. Sesak nafas
tidak dipengaruhi cuaca dingin, debu, emosi ataupun makanan tertentu. Sesak dirasakan terus menerus
bertambah berat ketika melakukan aktivitas dan sesak tidak hilang ketika pasien beristrirahat. Sesak nafas
menjadi lebih ringan ketika pasien tidur dengan 5 bantal.
Sesak nafas disertai dengan berdebar-debar (+), mual (+), muntah (+)nyeri dada (-), keringat dingin
(+), kaki bengkak sudah 1 minggu (+), riwayat terbangun malam hari karena sesak (+), demam (-), batuk
dengan dahakputih berbuih sudah satu minggu (+). Berat badan turun (+). nafsu makan turun (+), BAK
tiga kali semalam warna kuning jernih, nyeri (-) dan BABmasih dalam batas normal. Kemudian pasien
dibawa ke UGD RSDK.

Pasien mempunyai riwayat mondok 8 bulan yang lalu di RSDK dan dikatakan
sakit akibat pembengkakan jantung. 5 bulan yang lalu pasien kembali mondok di RSDK
dengan sakit yang sama yaitu akibat pembengkakan jantungnya
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda gagal jantung. Pasien sesak,
frekuensi napas 30 x/ menit, Pada pemeriksaan leher didapatkan JVP yaitu R+3 cm,
hepatojugular reflex (+). Pemeriksaan jantung didapatkan iktus cordis teraba di SIC VI 2
cm lateral linea mid clavicularis sinistra, kuat angkat (-), thrill (-), sternal lift (-), pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrium (-). Pada perkusi didapatkan batas atas SIC II linea
parasternalis sinistra, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri SIC VI 2 cm lateral
linea midclavicularis sinistra. Pada auskultasi bunyi jantung I II murni, bising (-),
gallop (+) S3, HR: 88x / menit, reguler. Pada pemeriksaan auskultasi depan dan belakang
pulmo terdengar SIC II dan III kiri suara dasar bronkhial, suara tambahan ronkhi basah kasar. SIC
IV kebawah suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi basah halus di kedua basal paru.

Pada

pemeriksaan abdomen palpasi ditemukan hepar teraba membesar 3 cm BAC dextra,


perabaan rata, konsistensi kenyal dan tepi tumpul.
Pada pemeriksaan laboratorium kimia klinik didapatkan kadar klorida = 107,3,
natrium = 137,7 kalium = 5,5. Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan irama sinus
dengan iskemik inferior, slow progressing R, OMI septal. Pada pemeriksaan x foto thorax
AP ditemukan kardiomegali (LV), edema pulmonum dan efusi pleura kanan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas
didapatkan beberapa diagnosis. Keluhan sesak dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta
dari hati. Dari anamnesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang
disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta

pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ
paru, ginjal atau pun hati.
Diagnosis pertama pasien yaitu mengalami CHF NYHA IV berdasarkan pada kriteria
Framingham untuk diagnosis CHF yaitu terpenuhinya lebih dari 2 kriteria mayor, pada kasus ini
ditemukan paroxysmal nocturnal dyspneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi paru,
kardiomegali (berdasarkan perkusi jantung), reflex hepatojugular, edema paru serta ditemukan
kriteria minor, pada kasus ini ditemukan orthopneu, dispnea deffort, hepatomegali, efusi pleura,
edema ekstremitas. Secara fungsional menurut NYHA, pasien ini diklasifikasikan sebagai gagal
jantung kongestif NYHA IV karena pasien saat melakukan aktivitas ringan sudah merasakan sesak,
dan sesak tidak berkurang saat pasien istirahat.

Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis dikenal gambaran klinis berupa
gagal jantung kiri, pada pasien ini didapatkan gejala sesak napas. Sedangkan tanda
objektif berupa dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea),
ronkhi basah halus di basal paru, batuk dengan sputum berbuih putih, pembesaran
ventrikel kiri. Sedangkan gambaran klinis gagal jantung kanan pada pasien ini adalah
terdapat hepatomegali dan peningkatan tekanan vena jugularis, edema pada kedua tunkai
bawah. Gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal
jantung kiri dan kanan.
Prinsip penatalaksanaan pasien gagal jantung kongestif adalah dengan mengurangi beban
kerja jantung, yakni memberi istirahat pada penderita (fisik maupun psikis) dan diet rendah garam
untuk memperlancar diuresis sehingga mengurangi edema.

Pada kasus ini diberikan Furosemid

1 ampul/12 jam IV, Spironolakton tab 1 x 25 mg, Valsartan 1 x 80 mg


Loop diuretik (furosemid) diberikan bila ditemukan beban cairan berlebihan ,
kongesti paru dan oedem perifer. Furosemide dikombinasi dengan spironolactone
(aldosteron antagonis) karena terbukti efektif dengan efek samping yang kurang
dibandingkan dengan obat tunggal dosis tinggi. Captopril (ACE-inhibitor) dan bisoprolol
(beta blocker) belum dapat diberikan diberikan pada pasien ini karena masih didapatkan
tanda-tanda kongesti.
Problem lain dari pasien ini adalah hipertensi grade II, diabetes melitus tipe II, pneumonia,
azotemia, anemia normositik normokromik, OMI Septal dan dislipidemia. Untuk hipertensi diberikan
terapi Valsartan tab 1 x 80 mg

per oral, untuk problem pneumonia diberikan injeksi

Ceftriakson 2 gr/24 jam IV dan Ambroxol tab 30 mg/ 8 jam, untuk problem diabetes melitus
tipe II diberikan terapi

novorapid 8-8-8 unit dan injeksi lantus 10 mg 0-0-12 unit, anemia

normositik normokromik diberikan asam folat tab 2 x 1, untuk OMI septal diberikan asam
asetilsalisilat 80 mg/ 24 jam, serta dislipidemia diberikan simvastatin tab 2 x 20 mg
Atas persetujuan dari pasien rencana akan dilakukan pemeriksaan USG abdomen dan
echocardiografi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung Kongestif
Definisi Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif ( CHF ) adalah gangguan klinis yang umum dimana
menyebabkan bendungan pada pembuluh darah paru dan berkurangnya curah jantung.
CHF harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding setiap pasien dewasa yang datang
dengan dyspnea dan ataupun kegagalan pernafasan.1
Gagal jantung kongesti merupakan sindroma klinik yang komplek dimana dapat
disebabkan oleh kerusakan baik secara struktur maupun fungsi yang berimbas pada
kemampuan pengisian ventrikel maupun pemompaan darah. 1 Gagal jantung kongestif atau
congestive heart failure adalah suatu keadaan berupa kelainan fungsi jantung sehingga
jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan

dan atau kemampuannya hanya ada kalau ada disertai peninggian volume diastolik secara
abnormal.2
Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Dengan bertambahnya kemajuan
teknologi kedokteran, sejak tahun 1968 kematian karena penyakit jantung menurun. Penelitian
Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% pada wanita.3 Salah
satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun,
sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau
lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orangyang didiagnosis dengan kondisi ini
akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan
ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari
kulit putih. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.4
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain. Salah satunya
adalah jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit,
dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.4
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat dipengaruhi oleh
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis pada penderita gagal jantung
kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat
gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung
kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari
pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat
lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.4
Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif ( GJK )
Sindroma gagal jantung kongestif meningkat sebagai akibat dari kondisi abnormal dari struktur
jantung, fungsi, irama, ataupun sistem konduksi. Pada negara berkembang, gagal jantung ventrikel
merupakan kasus terbanyak yang dijumpai dan merupakan penyebab utama infark pada otot jantung
(diastolic disfunction), hipertensi,

Penyakit katup degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan

kardiomiopati akibat alkohol juga penyebab utama gagal jantung. Gagal jantung sering
terjadi pada pasien usia lanjut yang memiliki beberapa kondisi komorbiditas (misalnya,
angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru-paru kronis). beberapa komorbiditas
umum seperti disfungsi ginjal multifaktorial (penurunan perfusi atau deplesi volume dari

overdiuresis), sedangkan yang lain (misalnya, anemia, depresi, gangguan pernapasan, dan
cachexia) yang kurang dipahami. 5
GJK mengindikasikan tidak hanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
oksigen jaringan, namun juga merupakan suatu respon sistemik untuk mengkompensasi
kekurangan tersebut.5 Berbagai kelainan yang terjadi dapat bermanifes terhadap jantung
sehingga menyebabkan meningkatnya baban jantung. Sebagai kompensasi terhadap
kelainan yang terjadi maka akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur jantung,
seperti terjadinya hipertrofi dan dilatasi dari jantung. Beban pengisian (preload) dan beban
tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan adanya
peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat.
Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam
darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan
jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi
perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel
sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali curah jantung.6
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua
kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya dan
sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.6
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan
darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastole
dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini
merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri
yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat
terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam
sirkulasi yang meninggi.6
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa
darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka
akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan
dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi

gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan
dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri.6
Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole ventrikel
kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan
pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam
atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava
superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan
pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan dalam hepar)
dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat

dengan akibat timbulnya

edema tumit atau tungkai bawah dan ascites.6


Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Berdasarkan tipe
gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan
letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung
kanan dan kiri. Sedangkan berdasarkan gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I, NYHA II,
NYHA III,dan NYHA IV.5,6,7

Pembagian fungsional menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi


menjadi empat kelas :
I.

Paling ringan, bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

II.

Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas seharihari tanpa keluhan dan dengan istirahat keluhan berkurang.

III.

Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

IV.

Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun, dengan
istirahat keluhan tetap ada.
Sedangkan ACC/ AHA membagi klasifikasi CHF berdasarkan stuktur dan kerusakan otot

jantung:

Grade A : Memiliki risiko tinggi untuk terjadinya CHF ( hipertensi,


diabetes mellitus, riwayat keluarga, penyakit arteri koronaria).
Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung,
tidak terdapat tanda dan gejala.

Grade B
dapat
dan
Grade C
aktivitas
Grade D
tidak

: Telah terbentuk kelainan pada struktural jantung yang


berkembang menjadi CHF tetapi tidak terdapat tanda
gejala.
: Telah terjadi gangguan fungsional (terganggunya
fisik)
bedasarkan penyakit jantung yang mendasari
: Terjadi gangguan fungsional yang berat, dengan istirahat
berkurang.

Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif


Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis
ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronkhi paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
harus pada saat bersamaan. 6,7,8,9
Penatalaksanaan

Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah dengan


mengatasi sindroma gagal jantung. Kemudian mengobati faktor presipitasi seperti
anemia, tirotoksikosis, stres, infeksi, dan lain - lain serta memperbaiki penyakit penyebab

serta mencegah komplikasi seperti tromboemboli.10 Selain itu, prinsip pengelolaan pasien
gagal jantung kongestif adalah dengan mengurangi beban kerja jantung, yakni :3,4,5,6
-

Memberi istirahat pada penderita (fisik maupun psikis) namun tetap dimobilisasi
dengan gerakan-gerakan sederhana seperti dorso fleksi kaki untuk mencegah
terjadinya trombosis. Diberikan juga dulcolax agar pasien tidak mengejan sewaktu
BAB.

Diuresis atau nitrat yang bersifat diuretik Untuk mengeluarkan cairan dalam tubuh
atau mengatasi retensi cairan badan , diberikan kombinasi furosemid dan
spironolakton (diuretik hemat kalium) agar tidak terjadi hipokalemi.

ACE inhibitor. Sebagai vasodilator karena menurunkan resistensi vaskuler perifer


yang tinggi dan menurunkan beban pengisian ventrikel yang tinggi. Diberikan
kaptopril dengan dosis bertahap dinaikkan, dimulai dari 3 x 6,25 mg perhari.

Antagonis kalsium yang memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif sehingga
membantu menurunkan afterload. 10

Meningkatkan kontraktilitas jantung melalui pemberian digitalis atau ibopamin.

Mitral Valve Replacement. Indikasinya yakni pada kerusakan katub yang sudah tidak
mungkin untuk direpair.

Diet rendah garam. Untuk memperlancar diuresis sehingga mengurangi edema.

Penatalaksanaan Non farmakologis


Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah dengan
mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk kesehatan
penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan
memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart
Association dan organisasi jantung lainnya.9
1. Konsumsi alkohol
Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung kongestif. Angka rawat
inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang lebih sedikit pada penderita yang tidak
mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol mengandung 8 gram atau 10 mililiter etanol. Jumlah
alkohol per unitnya dapat dihitung dengan mengalikan volume alcohol yang dikonsumsi dan
persentase alkohol. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kardiomiopati khususnya pada laki-laki dan usia 40 tahun ke atas. Walaupun jumlah alkohol
yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alcohol

lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor resiko terjadinya
kardiomiopati. Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk
menghindari konsumsi alkohol.
2. Merokok10
Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok terhadap gagal
jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal jantung kongestif
pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus
menghindari rokok.
3. Aktifitas fisik10
Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung kongestif masih
kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki kondisi klinis penderita
gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita gagal
jantung kongestif yang stabil. Pada salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal
jantung kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik
daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya ditatalaksana seperti biasa. Penderita
gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan
aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur.
4. Pengaturan diet10
a. Membatasi konsumsi garam dan cairan
Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada penderita gagal
jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan terhadap berat badan,
namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun, percobaan klinis lainnya menyatakan
bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal jantung kongestif
menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak adanya edema dan fatigue
pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi NYHA.
Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki efek baik
terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi garam yang
dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari.
b. Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor berat
badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor terhadap
berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan atau
kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif.

2.2 SINDROMA METABOLIK

Pada tahun 1988, Raeven menunjukkan korelasi faktor resiko pada pasien-pasien
dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler
yang disebut dengan Sindrom X. Selanjutnya Sindrom X ini dikenal sebagai sindrom
resistensi insulin dan akhirnya Sindroma Metabolik.11
Resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk
kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum
timbulnya penyakit diabetes melitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom
resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang menunjukkan
risiko kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut.11
Tabel 1. Beberapa kriteria Sindroma Metabolik
Kriteria Klinis
Resistensi insulin

WHO (1998)
TGT, GDPT,
sensitivitas

DMT2,

insulin

ATP III (2001)


atau Tidak ada, akan tetapi

menurun, mempunyai

dari

ditambah 2 dari kriteria berikut kriteria berikut dibawah


Berat badan

dibawah
BMI > 25 kg/m2

Lipid

atau 88 cm pada wanita


TG 150 mg/dl dan / atau HDL- TG 150 mg/dl

LP 102 cm pada pria

C < 35 mg/dl pada pria, atau < 39 HDL-C < 40 mg/dl pada
mg/dl pada wanita

pria atau < 50 mg/dl pada

Tekanan darah
Glukosa

140/90 mmHg
TGT, GDPT, atau DMT2

wanita
130/85 mmHg
110 mg/dl (termasuk

lainnya

mikroalbuminemia

penderita diabetes)

Pada kasus, pasien ini didapatkan :

Diabetes Melitus tipe 2 ( Glukosa Puasa 163 mg/dl, Glukosa PP 2 jam 184
mg/dl),
Dislipidemi (TG 166 mg/dl dan HDL-C 35 mg/dl), dan
Riwayat hipertensi dengan 180/90 mmHg

Sehingga berdasarkan

tabel diatas, pasien dapat digolongkan

dengan Sindroma Metabolik

termasuk penderita

2.2.1 DIABETES MELITUS TIPE 2


Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.12

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan dis
fungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Juga patut dipikirkan faktor-faktor berpengaruh terhadap terjadinya diabetes melitus.
Faktor-faktor tersebut yaitu:12
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Riwayat diabetes melitus pada keluarga


Obesitas (IMT 25 kg/m2)
Kurangnya aktivitas fisik
Ras/etnis (afro-amerika, latin, amerika natif, asia-amerika, kepulauan pasifik)
Teridentifikasi memiliki kadar glukosa puasa terganggu (GPT), toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan/atau HbA1C 5,7-6,4 %
Riwayat DM gestasional atau melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg
Hipertensi (TD 140/90 mmHg)
Kadar kolesterol HDL <35 mg/dl dan/atau kadar trigliserida >250 mg/dl
Riwayat penyakit jantung

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM


2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek

glukosa

tersendiri.

TTGO

sangat jarang dilakukan

karena membutuhkan persiapan khusus.


Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).12,13

2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2


Penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 terdiri dari 4 pilar utama, yaitu:14

1.
2.
3.
4.

Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

1.

Edukasi
Edukasi yang penting pada penderita DM tipe 2 adalah edukasi mengenai perubahan
menuju gaya hidup sehat. Perilaku yang diharapkan dari adanya edukasi ini yaitu:
Mengikuti pola makan sehat
Meningkatkan kegiatan jasmani
Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman
dan teratur
Melakukan pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat
Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes
Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
2.

Terapi gizi medis


Pada pengelolaan terapi gizi medis, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan tersebut adalah pengaturan komposisi makanan dan kebutuhan kalorinya.
Komposisi makanan yang dianjurkan yaitu:
Komposisi karbohidrat sebesar 45-65% dari total asupan
Asupan lemak sebesar 20-25% kebutuhan kalori
Konsumsi kolesterol <200 mg/hari
Komposisi protein sebesar 10-20% kebutuhan kalori, dengan makanan laut
sebagai sumber protein yang dianjurkan
Asupan natrium dalam sehari tidak melebihi 3000 mg atau 1 sendok teh garam
dapur
Komposisi serat yang dianjurkan dalam sehari sebesar 25 gram
Pemanis alternatif baik digunakan dengan catatan tidak lebih dari batas aman
Kebutuhan kalori bagi penderita diabetes melitus dapat ditentukan dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yaitu sebesar 25-30 kkal/kgBB ideal.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dapat dihitung dengan rumus Brocca sebagai
berikut:

BBI= 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg


Catatan: pria dengan TB <160 cm dan wanita <150 cm, rumus dimodifikasi
menjadi:
BBI=(TB dalam cm 100) x 1 kg
BB

Normal

: BBI 10%

Kurus

: < (BBI 10%)

Gemuk

: > (BBI + 10%)

Perhitungan index massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:


IMT= Error: Reference source not found
Klasifikasi IMT :

BB kurang : < 18,5

BB normal : 18,5 22,9


BB lebih

: 23,0

Dengan risiko (overweight) : 23,0 24,9


Obese I : 25,0 29,9
Obese II

: > 30

Pasien ini tergolong mempunyai berat badan overweight dengan IMT = 24,8 kg/m2
Selain itu terdapat juga faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan
sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien
dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat
berat.14
Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.


Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari
untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh
mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya.
Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian juga keajdian DM dan
gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering terjadi. Obesitas, terutama
obesitas

sentral

secara

bermakna

berhubungan

dengan

sindrom

dismetabolik

(dislipidemia, hiperglikemia, dan hipertensi) yang didasari oleh resistensi insulin.


Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom
metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan
pengurangan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik merupakan prioritas utama
pada penyandang simdrom metabolik Target penurunan berat badan 5 10 % dalam
tempo 6-12 bulan, dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000
kalori perhari ditunjang dengan aktivitas fisik yang sesuai. Aktivitas fisik yang
disarankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari.14
1.

Latihan jasmani
Berikut ini beberapa aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk melatih kesehatan
jasmani bagi penderita diabetes melitus:
Tabel 3. Aktivitas fisik yang dianjurkan bagi penderita diabetes melitus

Label

Aktivitas

Kurangi

Sedenter (berdiam, bermalas-malasan) :


Menonton tv, menggunakan internet, bermain
komputer

Sering

Olahraga rekreasi, aktivitas fisik liburan :


Jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, sepak
bola

Harian

Kebiasaan sehari-hari :
Jalan kaki ke pasar, naik/turun melalui tangga,
berjalan menuju/dari tempat parkir

Pada
pasien
diabetes
melitus
tipe 2,
latihan
jasmani
dapat

berdampak positif bagi tubuh, yaitu:


Menurunkan kadar glukosa plasma
Meningkatkan sensitivitas insulin
Mengurangi lemak tubuh
Menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler
Latihan jasmani tersebut dapat dilakukan setidaknya 3 kali dalam seminggu
masing-masing selama 30 menit. Pada sebagian penderita diabetes melitus tipe 2,
latihan jasmani dapat mengakibatkan hipoglikemia, yaitu pada penderita yang
menggunakan terapi insulin dan obat-obatan insulin sekretagogue sebagai pilihan
terapinya. Oleh karena itu, hendaknya penderita mengecek terlebih dahulu kadar
glukosanya sebelum, selama, dan setelah latihan jasmani. Apabila sebelum
melakukan latihan jasmani kadar glukosa darahnya <100mg/dl, hendaknya
penderita dapat mengkonsumsi tambahan karbohidrat terlebih dahulu.14
1.

Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari: obat hipoglikemik oral dan
suntikan insulin
1.

Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis: metformin
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa: Acarbose
E. DPP-IV inhibitor
Cara pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea 15-30 menit diberikan sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid diberikan sesaat sebelum makan
Tiazolidindion diberikan tidak bergantung pada jadwal makan
Metformin diberikan sebelum/pada saat/ sesudah makan.
Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama

Golongan

Cara kerja

Contoh

Keuntungan

Kerugian

Pemicu sekresi
insulin (insulin
sekretagogue)

Meningkatkan
sekresi insulin

Sulfonylurea
(glibenclamid,
glipizid), glinid
(repaglinid,
nateglinid)

Sangat efektif

Meningkatkan
berat badan,
hipoglikemia,
mahal

Peningkat
sensitivitas
insulin

Menambah
sensitivitas
terhadap insulin

Metformin,
tiazolidindion
(pioglitazon)

Tidak
meningkatkan
berat badan

Dyspepsia, diare,
asidosis laktat,
KI: penyakit
ginjal

Penghambat
glukoneogenesis

Menekan
produksi
glukosa di hati

Metformin

Tidak
meningkatkan
berat badan

Dyspepsia, diare,
asidosis laktat,
KI: penyakit
ginjal

Penghambat
glukosidase-alfa
(penghambat
absorpsi glukosa)

Menghambat
absorpsi
glukosa

Acarbose

Tidak
meningkatkan
berat badan

Flatulens, feses
lembek, mahal

DPP-IV inhibitor

Meningkatkan
sekresi insulin,
menghambat
sekresi
glukagon

Vildagliptin,
sitagliptin,
saxagliptin

Tidak
meningkatkan
berat badan

Sebah, muntah,
mahal

Tabel 4. Macam-macam golongan obat hipoglikemik oral

1.

Suntikan Insulin
Pasien DMT 2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan
penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin
sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. Insulin yang diberikan

lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan
dengan masalah glukotoksisitas. Hal tersebut dapat diperlihatkan oleh perbaikan fungsi
sel beta pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya
dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan
proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid. Dengan
demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada klinis pasien yang diberikan terapi
insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik
karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau
fisiologis. insulin pada pasien DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan
kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c>7,5 % atau kadar
glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas,
riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat
penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.15,16
Tabel 5 Farmakokinetik sediaan insulin
Insulin Manusia atau Insulin Analog

Profil Kerja (Jam)


Awal
Puncak

Kerja Cepat (insulin analog)


Insulin lispro (Humalog)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin aspart (Novorapid)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin glulisin (Apidra)


Kerja Pendek (insulin manusia, insulin reguler)

0,2-0,5

0,5-2

Humulin R

0,5-1

0,5-1

1,5-4

4-10

Actrapid
Kerja Menengah (insulin manusia, NPH)
Humulin N
Insulatard
Kerja Panjang (long-insulin analog)
Insulin glargine (Lantus)

Hampir
1-3

Insulin determir (Levemir)


Campuran (premixed, insulin manusia)
70/30 Humulin ( 70% NPH, 30% reguler)

tanpa
puncak

0,5-1

3-12

0,2-0,5

1-4

70/30 Novomix (70% protamine aspart, 30% 0,2-0,5

1-4

70/30 Mixtard ( 70% NPH, 30% reguler)


Campuran (premixed, insulin analog)
75/25 Humalog ( 75% NPL, 25% lispro)

aspart)
NPH, neutral protamine Hagedorn: NPL, neutral protamine lispro
2.2.4 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita diabetes melitus tipe 2 terdiri dari
komplikasi akut dan kronik. Macam-macam komplikasi tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:16
Tabel 6. Komplikasi diabetes melitus tipe 2
Komplikasi akut

Komplikasi kronik

Mikrovaskuler :
Ketoasidosis diabetic (KAD)

Penyakit mata : retinopati, edema


Status hiperglikemia hiperosmolar
macula
Hipoglikemia
Neuropati (sensorik, motorik,
otonom)
Nefropati
Makrovaskuler :
Penyakit jantung koroner
Penyakit arteri perifer
Penyakit serebrovaskuler
Lain-lain:
Sistem gastrointestinal (paresis,
diare), System urogenital (uropati,
disfungsi seksual), Dermatosis,
Infeksi, Katarak, Glaucoma,
Penyakit periodontal, Kurang
pendengaran

2.3 HIPERTENSI

DEFINISI
Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu
keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah >140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau
>90 mmHg (tekanan diastolik) ( Joint National Committe on Prevention Detection,
Evaluation, and Treatment of High Pressure VII,2003).17
KLASIFIKASI

Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu


a. Hipertensi essensial atau primer.
b. Hipertensi sekunder
Penyebab dari hipertensi essensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui.
Kuranq lebih 90 % penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial sedangkan 10 %
nya tergolong hipertensi sekunder. tahun 2003, JNC -VII membuat pembagian
hipertensi berikut anjuran frekuensi pemeriksaan tekanan darah sebagaimana dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.17,18

Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII 2003


Klasifikasi

Tekanan

Tekanan

Modifikasi

Tekanan

Darah

Darah

Gaya Hidup

Tanpa indikasi

Darah

Sistolik

Diastolik

Normal

(mmhg)
<120

(mmhg)
< 80

Anjuran

Tidak

Pre

120 139

80 89

Ya

menggunakan obat

spesifik

anti hipertensi

indikasi (risiko)

Untuk semua kasus

Gunakan obat yang

gunakan

diuretik

spesifik

dengan

jenis

thiazide

indikasi

(risiko).

Hipertensi
Hipertensi

140 159

90 99

Ya

Stage I

Hipertensi
Stage II

160

100

Ya

Obat Awal
Dengan Indikasi

perlu

Gunakan obat yang


dengan

dengan

Kemudian

pertimbangan ACEi,

tambahkan dengan

ARB, BB, CCB, atau

obat

kombinasikan
Gunakan kombinasi

hipertensi

2 obat ( biasanya
diuretik

jenis

thiazide)

dan

ACEi/ARB/BB/CCB

anti

(diuretik,

ACEi,

ARB,

CCB)

BB,

seperti
dibutuhkan

yang

Stratifikasi Faktor Risiko


Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner sebagai akibat dari penyakit hipertensi
yang tidak ditangani secara baik dibedakan menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko tidak dapat diubah yang antara lain umur, jenis kelamin dan genetik.
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling sering dijumpai.19

Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko

terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjujt cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun.

Jenis kelamin
Pada usia pertengahan, laki laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan

wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause

Keturunan (genetic)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga


mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial).
2. Faktor risiko Yang Dapat Diubah
Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari
penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, be rat
badan berlebih/kegemukan, konsumsi alkohol, Hiperlipidemia/ hiperkolesterolemia,
stress dan konsumsi garam berlebih, sangat erat berhubungan dengan hipertensi.

Kegemukan
Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami hipertensi.

Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah yang diperlukan untuk

mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring dengan peningkatan volume yang
melalui pembuluh darah, maka tekanan pada dinding kapiler pun meningkat

Psikososial dan Stress


Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa

bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung
berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.

Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok

yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan
mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi.

Olah raga
Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi

penderita hipertensi ringan

Alkohol
Mengkonsumsi banyak alkohol dapat menyebabkan tubuh melepaskan hormon yang dapat

meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.

Konsumsi garam berlebih


Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak

dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi
primer (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada
masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah ratarata rendah,
sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar.7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi.

Hiperlipidemia
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan

peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.


PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Patogenesis hipertensi esensial multifaktorial dan sangat kompleks. Berbagai faktor
mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh dalam rangka mempertahankan perfusi jaringan,
termasuk di dalamnya mediator humoral, reaktivitas vaskular, volume darah yang bersirkulasi,
diameter pembuluh darah, viskositas darah, cardiac output, elastisitas pembuluh darah dan
stimulasi neural.
Proses terjadinya hipertensi esensial dimulai dari suatu proses peningkatan tekanan darah yang
asimptomatik yang berkembang menjadi hipertensi persisten dimana terjadi kerusakan pada aorta
dan arteri arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan sistem saraf pusat. Progresivitas dimulai dari suatu

kondisi prehipertensi pada individu sekitar usia 10 30 tahun yang berkembang menjadi awal
hipertensi di usia 20 40 tahun, menjadi hipertensi yang nyata pada usia 30 40 tahun dan mulai
muncul komplikasi pada usia 40 60 tahun.18,19

Manifestasi Hipertensi terhadap Jantung


Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi
Modifikasi gaya hidup

tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai


dengan menebalan konsentris otot jantung ( hipertrofi konsentris). Fungsi
Target tekanan darah tidak terpenuhi (<140/90

diastolik akan mulai terganggu


akibat mmHg
dari gangguan
mmHg) atau (<130/80
pada pasien relaksasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan
simpatik
aktifasi
DM, penyakit ginjal
kronik, dan
3 faktor
risiko sistem RAA memacu
atau melalui
adanya penyakit)))penyerta
tertentu)
mekanisme frank starling
peningkatan volume
diastolik ventrikel sampai

tahap tertentu dan pada akhirnya akan menjadi gangguan kontraksi miokard
(penurunan/ gangguan fungsi sistolik) .19

Obat antihipertensi inisial

Iskemia miokard ( asimtoma, angina pektoris, infark jantung dll ) dapat terjadi karena
kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard akibat dari HVK . HVK , iskemia miokardium dengan gangguan fungsi endotel
Dengan indikasi khusus

Tanpa indikasi khusus

merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.19

Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan untuk :


1.

Menentukan
kemungkinan
Obat-obatan
untuk indikasi

hipertensi
sekunder.
Hipertensi
tingkat I
Hipertensi tingkat II
Menetapkan keadaan pra pengobatan.
khusus
tersebut ditambah obat
(sistolik
140-159 mmHg
atau
(sistolik
160yang
mmHgakan
atau
3.
Menetapkan faktor faktor yang
mempengaruhi
pengobatan
atau
faktor
antihipertensi
(diuretik
ACEi,
BB,
diastolik 90-99 mmHg)
diastolik >100 mmHg)
berubah
karena
pengobatan.
4.
Menetapkan
CCB) kerusakan organ Diuretik
target golongan Tiazide.
Kombinasi dua obat.
5.
Menetapkan faktor risiko PJK lainnya.19
2.

Dapat dipertimbangkan

Biasanya diuretik

pemberian ACEi, BB, CCB atau

dengan ACEi atau BB

kombinasi)

atau CCB

Target tekanan darah tidak


terpenuhi

Optimalkan dosis obat atau berikan


tambahan obat antihipertensi lain.
Pertimbangkan untuk konsultasi dengan
dokter spesialis.

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

Indikasi
Gagal jantung
Pasca
infark

Diuresis
+

miokard
Resiko PJK
DM
Penyakit ginjal
kronik
Cegah

stroke

ulang

+
+

B-Bloker
+

ACE-In
+

ARB
+

+
+

+
+

CCB

Anti Aldos
+
+

+
+

Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara pencegahan
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut.
Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah yang meliputi penurunan berat
badan pada pasien dengan overweight atau obesitas.20
Modifikasi

Rekomendasi

Perkiraan

Penurunan Tekanan
Darah Sistolik
Menurunkan

Berat

Badan
Melakukan

pola

diet

berdasarkan DASH

Memelihara Berat Badan Normal ( Indeks

(Skala)
5 20 mmhg/ 10 kg

Massa Tubuh 18.5 24.9 kg/m2)

penurunan

Mengkonsumsi

makanan

yang

kaya

berat

badan
8 14 mmhg

dengan buah buahan, sayuran, produk


makanan yang rendah lemak, dengan
kadar lemak total dan saturasi yang

Diet rendah natrium

rendah
Menurunkan intake Garam sebesar 2 8

2 8 mmhg

mmhg tidak lebih dari 100 mmol per hari


Olahraga

(2.4 gram Na atau 6 gram garam)


Melakukan kegiatan aerobik fisik secara

4 9 mmhg

teratur, seperti jalan cepat ( paling tidak


30 menit per hari, setiap hari dalam
Membatasi Penggunaan

seminggu)
Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih

alcohol

dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol ;

2 4 mmhg

misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur atau 3 oz


80 whiski) per hari pada sebagian besar
laki laki dan tidak lebih dari 1 gelas per
hari pada wanita dan laki laki yang lebih
kurus
Farmakologis

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan


dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan
gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat
tunggal, masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya
mungkin dapat ditarnbahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi. Pemilihan
obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon
penderita terhadap obat anti hipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi
sebagai berikut:17,18,19

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi


2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi.
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur
hidup.
Jenis-jenis obat antihipertensi :
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat
kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung
menjadi ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada
hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya.

2. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktifitas syaraf simpatis (syaraf yang
bekerja pada saat kita beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan
penghambat simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin. Efek samping yang
dijumpai adalah: anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah kerena pecahnya sel
darah merah), gangguan fungsi ahati dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit
hati kronis. Saat ini golongan ini jarang digunakan.
3. Betabloker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis
obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti
asma bronkhial. Contoh obat golongan betabloker adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan
bisoprolol. Pemakaian pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala
hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat membahayakan
penderitanya). Pada orang dengan penderita bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan)
sehingga pemberian obat harus hati-hati.

4. Vasodilatator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot
pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah prazosin dan hidralazin.
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala.

5. Penghambat enzim konversi angiotensin


Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat
yang dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini
adalah kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing, sakit
kepala dan lemas.
6. Antagonis kalsium
Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat
kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah :
nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit,
pusing, sakit kepala dan muntah.
7. Penghambat reseptor angiotensin II
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya yang
mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk .golongan ini adalah
valsartan. Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual.
Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan:

a. Diuretik: hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari


b. Penghambat ACE/penghambat reseptor angiotensin II : Captopril 25 -100 mmHg
c. Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 -60 mg/hari
d. Penghambat reseptor beta: propanolol 40 -160 mg/hari
e. Agonis reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25 mg/hari
Terapi kombinasi antara lain:
Diuresis

A-Blok

ARB

B-Blok

CCB
ACE-I

Pengobatan hipertensi :

Pada saat seseorang ditegakkan diagnosisnya menderita hipertensi maka yang


pertama dilakukan adalah mencari faktor risiko apa yang ada, maka dilakukanlah usaha
untuk menurunkan faktor risiko yang ada dengan modifikasi gaya hidup, sehingga dapat
dicapai tekanan darah yang diharapkan. Bila dalam jangga waktu 1 bulan tidak tercapai
tekanan darah normal, maka terapi obat pilihan diperlukan.21
KOMPLIKASI
Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat sebelum
berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard, penyakit jantung koroner,
dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan organ. Keadaan hipertensi yang
disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat antihipertensi yang tepat yang
berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis. Penanganan

dengan kombinasi obat

kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan dengan penilaian pengobatan sebelumnya,


tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang harus dicapai.22

2.4 AZOTEMIA

Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea dalam darah ( BUN ) dan kadar kreatinin
serum. Setiap ginjal manusia mengandung sekitar 1 juta unit fungsional yang dikenal
sebagai nefron, yang terutama terlibat dalam pembentukan urin . Pembentukan Urine
memastikan bahwa tubuh menghilangkan produk akhir dari kegiatan metabolisme dan
kelebihan air dalam upaya untuk memelihara lingkungan internal yang konstan
( homeostasis ). Pembentukan urine oleh masing-masing nefron melibatkan 3 proses
utama , sebagai berikut :23
1) Filtrasi di tingkat glomerular
2) Reabsorpsi selektif dari filtrat lewat di sepanjang tubulus ginjal
3) Sekresi oleh sel-sel tubulus ke dalam filtrat ini
Gangguan dari setiap proses ini merusak fungsi ekskresi ginjal , mengakibatkan
azotemia. 23
Ada 3 negara patofisiologis di azotemia, sebagai berikut : 23
a) azotemia prerenal
terjadi sebagai akibat dari gangguan aliran darah ginjal atau penurunan perfusi
dihasilkan dari volume darah menurun, penurunan curah jantung ( gagal jantung

kongestif ), penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, penurunan volume


efektif dari arteri sepsis atau sindrom hepatorenal, atau kelainan arteri ginjal. Ini
dapat ditumpangkan pada latar belakang gagal ginjal kronis. Faktor iatrogenik,
seperti diuresis berlebihan dan pengobatan dengan inhibitor ACE, harus
disingkirkan
b) azotemia intrarenal
terjadi sebagai akibat dari cedera pada glomeruli, tubulus, interstitium, atau kapal
kecil. Mungkin oliguri akut, nonoliguric akut, atau kronis. Penyakit sistemik,
nokturia, proteinuria, hilangnya urin berkonsentrasi kemampuan ( urin rendah
berat jenis ), anemia, dan hipokalsemia sugestif azotemia intrarenal kronis

c) azotemia postrenal
terjadi ketika obstruksi aliran urin. Hal ini diamati pada obstruksi bilateral ureter
dari tumor atau batu, fibrosis retroperitoneal, kandung kemih neurogenik, dan
obstruksi leher kandung kemih dari hipertrofi prostat atau karsinoma dan katup
uretra posterior. Ini dapat ditumpangkan pada latar belakang gagal ginjal kronis.

AZOTEMIA DAN CHF


Pada beberapa studi yang dilakukan diperoleh bahwa pasien dengan gagal jantung akut pada
fase dekompensasi juga bermanifestasi untuk terjadinya renal insufficiency dimana terdapat
peningkatan kadar kreatinin. Pesien dengan penyakit jantung dengan hipertrofi ventrikel kiri
diperparah dengan adanya gangguan pada sistem koroner dan tingginya kadar ureum. Hal ini
disebabkan karena pada gagal jantung terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus akibat suatu sistem
kompensasi yang terjadi dimana

sebagai akibat dari gangguan aliran darah ginjal atau

penurunan perfusi dihasilkan dari volume darah menurun, penurunan curah jantung
( gagal jantung kongestif ).

ANEMIA DAN CHF


Anemia ditemukan pada sekitar sepertiga dari semua kasus gagal jantung kongestif
( CHF ). Penyebab umum yang paling mungkin adalah insufisiensi ginjal kronis ( CKI ),
yang hadir dalam sekitar setengah dari semua kasus CHF. CKI kemungkinan disebabkan
oleh vasokonstriksi ginjal yang sering menyertai CHF dan dapat menyebabkan lama
iskemia ginjal. Hal ini akan mengurangi jumlah erythropoietin ( EPO ) yang diproduksi
di ginjal dan menyebabkan anemia. Namun, anemia dapat terjadi pada CHF tanpa CKI

dan mungkin karena produksi sitokin yang berlebihan ( misalnya, tumor necrosis factor alfa ( TNF - alfa ) dan interleukin -6 ( IL -6 ), yang umum di CHF dan dapat
menyebabkan mengurangi sekresi EPO, gangguan aktivitas EPO dalam sumsum tulang
dan mengurangi pasokan besi ke sumsum tulang .
Selain itu pada pasien dengan CHF, kejadian anemia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya :
1) Kekurangan zat besi yang disebabkan oleh asupan yang buruk, malabsorpsi atau
kehilangan darah kronis misalnya, penggunaan aspirin profilaksis. anemia gagal
ginjal kronis ( CRF )
2) CRF adalah sering terlihat di CHF. Anemia CRF adalah karena kombinasi dari
banyak faktor yang yang paling penting adalah berkurangnya produksi erythropoietin
( EPO ).
3) Kehilangan EPO dan transferin dalam urin . proteinuria sering terlihat pada CHF dan
dapat menyebabkan kerugian EPO dalam urin. Hal ini juga dapat menyebabkan
hilangnya transferin yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
4) Penggunakan angiotensin converting enzyme ( ACE ) inhibitor. ACE inhibitor,
terutama dalam dosis tinggi, mungkin mengganggu baik produksi EPO di ginjal dan
kerja EPO dalam sumsum tulang.
5) Peningkatan aktivitas sitokin seperti tumor necrosis Faktor ( TNF ) alpha. TNF alpha
sangat meningkat pada CHF dan telah terbukti mengganggu EPO produksi di ginjal,
respon erythropoietic EPO ke dalam sumsum tulang, dan dengan pelepasan besi dari
sistem retikulo endotel untuk digunakan dalam produksi sel darah merah di tulang
sumsum. Ketahanan terhadap EPO di tulang sumsum dapat menjelaskan mengapa
anemia dapat hadir dalam CHF bahkan ketika tingkat EPO dalam serum adalah
tinggi, karena mereka sering berada, di CHF.
6) Hemodilusi. Peningkatan volume plasma di CHF dapat menyebabkan penurunan Hb
Temuan ini dapat dijelaskan oleh pengalihan besi dari sumsum tulang ke sumber
retikuloendotelial lainnya, di mana tidak tersedia untuk eritropoiesis bahkan meskipun
serum besi ferritin normal atau meningkat, atau pada fitur anemia pada penyakit kronis.
Oleh karena itu, baik defisiensi besi absolut atau relatif mungkin lebih umum daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan disfungsi ginjal dan
gangguan produksi eritropoietin. Erythropoietin diproduksi terutama di ginjal oleh
fibroblas peritubular khusus terletak dalam korteks dan medulla bagian luar dari ginjal.
Stimulus utama untuk produksi erythropoietin, bila kadar PO2 rendah yang mengaktifkan

hypoxiainducible faktor -1 di fibroblas peritubular, yang menginduksi transkripsi gen


erythropoietin.
Ginjal sangat rentan terhadap hipoksia meskipun faktanya ginjal hanya menerima 25
% darah dari cardiac output jantung dan menggunakan kurang dari 10 % dari oksigen
yang dibawa. Sebagai kompensasi dari berkurangnya suplai oksigen ke ginjal terdapat
beberapa mekanisme untuk menjaga perfusi jaringan ke organ penting. Mekanisme
gradien osmotik yang dihasilkan oleh lengkung Henle, pembuluh darah arteri dan vena
yang menyuplai berjalan berlawanan dan memiliki hubungan yang dekat satu sama lain,
yang menyebabkan shunt difusi oksigen antara arteri dan sirkulasi vena, hal ini
menyebabkan PO2 menurun di parenkim ginjal, mencapai sekitar 10 mm Hg pada ujung
piramida kortikal dimana erythropoietin diproduksi di sini.
Daerah ini sangat sensitif terhadap perubahan kecil kadar PO2, akibat
ketidakseimbangan antara pasokan oksigen dan permintaan oksigen berkaitan dengan
peningkatan reabsorpsi natrium pada proksimal tubular yang disebabkan oleh aliran darah
ginjal ( RBF ) dan laju filtrasi glomerulus yang rendah.
Selama HF, RBF menurun, dan beberapa ginjal terjadi disfungsi secara luas, tetapi
penyakit struktural ginjal yang dapat mengurangi produksi erythropoietin jarang terjadi.
Oleh karena itu, mengurangi RBF harus meningkatkan erythropoietin. Memang
erythropoietin meningkat, sebanding dengan keparahan HF, tetapi lebih rendah dari yang
diharapkan untuk tingkat anemia, menunjukkan produksi erythropoietin yang berkurang.
Studi tentang hubungan yang kompleks antara RBF dan sekresi eritropoietin selama
HF telah konsisten. Anemia dan sistem renin -angiotensin . angiotensin II menurunkan
PO2 dengan mengurangi RBF dan meningkatkan permintaan kebutuhan oksigen,
sehingga merangsang produksi erythropoietin. Angiotensin II juga merangsang sumsum
tulang erythroid progenitor sel. Inhibitor angiotensin-converting enzyme dan angiotensin
receptor blocker menyebabkan penurunan Hb dengan mengurangi erythropoietin dan
dengan mencegah kerusakan hematopoiesis inhibitor N - asetil - seryl - aspartil - lysyl proline.
Mediator proinflamasi, disfungsi sumsum tulang, dan anemia akibat penyakit kronis,
Tumor necrosis factor interleukin ( IL ) -6, dan beberapa sitokin proinflamasi lainnya dan
CRP meningkat pada HF dan berbanding terbalik dengan Hb. Interleukin -6 dan tumor

necrosis factor menghambat produksi erythropoietin dalam ginjal dengan mengaktifkan


GATA - 2 dan nuclear factor - B, yang dapat menjelaskan respon eritropoietin tumpul di
HF. Sitokin ini juga menghambat proliferasi tulang sel progenitor eritroid sumsum tulang.
Memang sumsum tulang pada tikus dengan HF menunjukkan gangguan eritropoiesis
dan terdapat berkurangnya jumlah sel progenitor erythropoietic, tetapi mekanisme tetap
tidak diketahui. Selain itu, IL -6 merangsang produksi hepcidin dalam hati yang
menghalangi penyerapan duodenum besi serta menurunkan regulasi ekspresi ferroportin,
mencegah pengeluaran besi dari

tubuh. Dengan demikian, pengaktivan mediator

proinflamasi, merupakan komponen penting dari anemia pada penyakit kronis, dimana
dapat memberikan kontribusi pada pengembangan anemia melalui beberapa mekanisme
(Gambar 1)
.
Tidak
hanya
gagal
jantung
yang

berkontribusi terjadinya anemia, anemia itu sendiri dapat memperburuk fungsi jantung,
baik karena menyebabkan stres jantung melalui takikardia dan peningkatan volume
stroke, dan karena itu dapat menyebabkan aliran darah ginjal berkurang dan retensi
cairan, menambah stres lanjut ke jantung. Anemia berlangsung lama sebab apapun dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri ( LVH ), yang dapat menyebabkan kematian sel
jantung melalui apoptosis dan memperburuk CHF. Oleh karena itu , lingkaran setan sudah
diatur dimana CHF menyebabkan anemia, dan anemia menyebabkan lebih CHF dan
keduanya merusak ginjal memperburuk anemia dan CHF lebih lanjut. Lingkaran setan ini
dapat dikatakan sebagai anemia ginjal cardio ( CRA ) sindrom. Sehingga berdasarkan
beberapa literatur, koreksi anemia dengan subkutan EPO dan IV besi dapat digunakan
sebagai medikasi pendamping obat CHF itu sendiri guna mengurangi dampak komplikasi
yang berkelanjutan dari cardio renal sindrom yang terjadi pada kasus pasien dengan CHF.
2.5 Pneumonia
2.5.1
Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang megenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan kimia, radiasi,
aspirasi, obat obatan.
Pneumonia atipik adalah bagian jenis akut pneumonia,mengacu pada setiap jenis
selain pneumonia bakteri. Organisme penyebab termasuk Mycoplasma pneumoniae dan
spesies Rickettsia, dan Chlamydia, serta virus. ditandai dengan infiltrasi luas tetapi
berumur pendek paru, demam, malaise, nyeri otot, sakit tenggorokan, dan batuk.27

2.5.2 Patofisiologi Pneumonia


Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema dari seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis dari eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian difagositir.

Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan terdapat 4 zona
pada daerah parasitik tersebut yaitu:
1. Zona luar: alveoli yang terisi dengan kuman dan cairan edema
2. Zona pemulaan konsolidasi: terdiri dari sel-sel PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas: daerah dimana terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah sel PMN yang banyak.
4. Zona resolusi: daerah dimana terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit, dan alveolar makrofag.
Daerah perifer dimana terdapat edema dan perdarahan disebut Red hepatization.
Sedangkan daerah konsolidasi yang luas disebut Gray hepatization.27
2.5.3 Diagnosis Pneumonia.
Pada foto toraks terdapat infiltrat paru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini : 28,29
-

batuk-batuk bertambah berat

perubahan karakteristik dahak / purulen

suhu tubuh >37,5oC(oral) / riwayat demam

pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi

leukosit >10.000 atau <4500

2.5.4 Tatalaksana Pneumonia


1.

Penderita rawat jalan


- Pengobatan suportif / simptomatik:
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antobiotik kurang dai 8 jam

2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa:


- Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam
3. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif:
- Pengobatan suportif / simptomatik
a. Pemberian terapi oksigen

b.

Pemasangan infus untuk terapi rehidrasi dan koreksi kalori dan


elektrolit
c. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
- Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

DAFTAR PUSTAKA

1.

Michael S Figueroa MD and Jay I Peters MD FAARC, Congestive Heart


Failure: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory

2.

Care, RESPIRATORY CARE , APRIL 2006 VOL 51 NO 4


Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009

3.

Rilantono Lyli, Baraas F, Karo S. Buku Ajar Kardiologi FK UI. Jakarta. 2001.

4.

Nurdjanah, Siti. Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I.

Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI:

5.
6.

2006. p;443-448

McMurray JJ, Pfeffer MA. Heart failure. Lancet 2005;365(9474):


18771889
Congestive Heart Failure. New England Journal of Medicine 2008;22(2) :
pp.1014

7.

Masjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 3. Media Ausclapius FKUI.


Jakarta. 2001

8.

Boedhi DR. Dr. Penyakit Jantung. Semarang : Fakultas Kedoteran


Universitas Diponegoro.

9.

Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009.

10. Karim sjukri, Peter kabo. EKG dan penanggulangan beberapa penyakit
jantung untuk dokter umum. Jakarta : Fakultas Kedoteran Universitas
Indonesia.
11. PB.PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Diponegoro : 2009

12. Dyah Purnamasari. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In:


Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati,.Ilmu

Sudoyo,

A.W.,

Penyakit Dalam. Jakarta: Indonesia;

2006: 1880-4.

13. Longo, Fauci, et al. Diabetes Mellitus. Dalam: Harrisons Principles of


Internal Medicine 18th Edition. US: The McGraw-Hill Companies; 2012.
14. Sidartawan Soegondo, Pradana Soewondo, Imam Subekti.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSCM.
2007. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
15. Tony Suhartono, Tjokorda GD Pemayun, K Heri Nugroho HS.

Simposium :

Manfaat Insulin dalam Pengobatan Diabetes. Perkeni Cabang Semarang. 2010.


Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
16. PERKENI. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. 2011.
Jakarta: PERKENI.
17. Chobanian AV, et al. The seventh report of the Joint National
Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure. 2004.


18. Indonesian Society of Hypertension. Konsensus Penanggulangan Krisis
Hipertensi. 2008.
19. Kasper D.L, Braunwald E, Fauci A.S, Hauser S.L, Longo D.L, Jameson
J.L, editor. Harrisons Manual of Medicine. Mc Graw-Hills Medical
Publishing Division, 2005.
20. Masjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 3. Media Ausclapius FKUI.
Jakarta. 2001.

21. Mayo Clinic. Hypertension. 2011 [ cited : Feb 10, 2013]. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/high-bloodpressure/ds00100/dsection =risk-factors

22. Panggabean M. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
23. Moro O Salifu, MD, MPH, FACP; Chief Editor: Vecihi Batuman, MD,

FACP,

FASN. Azotemia Clinical Presentation. 2012.


http://emedicine.medscape.com/article/238545-clinical

24. Lityani, Indranila. Diktat Pegangan Kuliah Patologi Klinik II. Bagian Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Undip. 2010.

25. Oehadian A.Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Available from


http://www.kalbemed.com/Portals/6/04_194CME-Pendekatan%20Klinis
%20dan%20Diagnosis%20Anemia.pdf
26. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo A,dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Interna
Publishing:2009.

27. Herwood Lauralee.Fisiologi manusia dari sel ke sistem.Ed 2.Jakarta:


EGC ;2001
28. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pneumonia Komuniti.Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI.2003 tersedia di
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensuspneumoniakom/pneumon ia%20komuniti.html

29.

Wibisono J,Winariani,Hariadi S.Buku ajar ilmu penyakit paru.Surabatya:

Dept.ilmu pnyakit pari FK UNAIR.2010.h 149

CATATAN KEMAJUAN
Tgl

Pemeriksaan fisik/
Laboratorium
28/06/14 S: sesak nafas, pusing
06.00
HP ke 1

O: KU : dyspneu
TD: 180/80 mmHg
Nadi: 84 x/ menit
RR: 28 x/ menit

Problem
Problem:
1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage
II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru

Terapi/ Program
O2 3 lpm nasal kanul
Posisi setengah duduk
Infus RL 10 tetes per
menit

Diet DM rendah garam

t : 37,0oC
GDS = 227
RBK
xxx xx
xxxxxxxxx

RBH

5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

1700 kkal
Furosemid tab 1 x 40
mg (pagi)
Captotril 12,5 mg/
8jam

Novorapid 8-8-8 unit


Spironolakton tab 1 x
25 mg (pagi)
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 2gr/ 24
jam

Cor : Bunyi jantung I - II


murni,gallop(+),bising

Sp Cedocard 2,4 cc/jam


Amlodipine 5mg/ 24 jam

(-), Edema extremitas


inferior +/+

PO
Ambroxol 30mg/ 8jam PO

KU:
kesadaran composmentis,

Program:

tampak lemah, terpasang

1. KUTV/ 4 jam, BC/24 jam

infus RL 10 tpm,
terpasang O2 nasal kanul

2.
3.
4.
5.
6.

3 lpm, dyspneu (+),


orthopneu (+)
Lab :
- Trigliserida = 166

kolesterol total asam urat,

- HDL = 35

HDL, LDL, TG
7. Sputum BTA, gram,

- LDL = 136

29/06/14
07.00
HP ke 2

tampung urin
Pasang DC
Urin rutin
EKG pagi
GDS premeal
GD I,II, HBA1C,

- Asam urat = 11

jamur, kultur
8. Echocardiografi

S: sesak nafas, pusing (+) Problem:

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

O: KU : dyspneu
TD: 170/90 mmHg
Nadi: 88x /menit
RR: 26 x/menit
t : 36,7oC
GDS = 387

1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Furosemid tab 1 x 40
mg
Spironolakton tab 1 x

RBK
xxx xx

7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

Novorapid 8-8-8 unit


Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr

xxxxxxxxx

RBH

Cor : Bunyi jantung I - II


murni,gallop(+),bising
(-), Edema extremitas
inferior +/+
KU:

tampung urin
2. EKG pagi
3. GDS premeal + jam 22.00
4. Echocardiografi
5. Cek elektrolit
6. USG abdomen

infus RL 10 tpm,
terpasang O2 nasal kanul
3 lpm, orthopneu (+)
kesadaran composmentis

HP ke 3

Sp Cedocard 2,4 cc/jam


Amlodipine 1 x 5mg
Ambroxol 3 x 30mg
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam

tampak lemah, terpasang

07.00

IV

Program:

kesadaran composmentis,

30/06/14

25 mg (pagi)
Aspilet 80 mg/ 24 jam

S: sesak nafas

Problem:

O:

1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

TD: 155/80 mmHg


Nadi: 88x/ menit
RR: 28 x/ menit
t : 38oC
SO2 = 97%
GDS = 387
RBK

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 12 tetes per

Novorapid 8-8-8 unit


Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr

xxx xx
xxxxxxxxx

RBH

Cor : Bunyi jantung I - II

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Furosemid tab 1 x 40
mg
Spironolakton tab 1 x
25 mg (pagi)
Aspilet 80 mg/ 24 jam

IV

Sp Cedocard 2,4 cc/jam


Amlodipine 1 x 5mg
Ambroxol 3 x 30mg
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas

Program:

inferior +/+

1. KUTV/ 2 jam, BC/24

KU:

jam tampung urin


2. EKG pagi
3. GDS premeal + jam

kesadaran composmentis,
tampak lemah, terpasang
terpasang O2 nasal kanul

22.00
4. Echocardiografi
5. Pemeriksaan elektrolit

3 lpm, orthopneu (+)

(Na, K, Cl), ureum, BGA,

kesadaran composmentis

kreatinin hari ini = ada

Lab :

hasil lapor kegawatan


6. USG abdomen
7. Cek elektrolit/3 hari

infus RL 12 tpm,

- Klorida = 110,8
- Kalium = 6,6
01/07/14 S: sesak (+)
07.00
HP ke 4

O: KU sedang
TD: 160/90 mmHg
Nadi: 80 x/ menit
RR: 24 x/ menit
t : 36,0oC
RBK
xxxxx
xxxxxxxx

RBH

Cor : Bunyi jantung I - II


murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior +/+
KU: sedang, kesadaran
composmentis, terpasang

Problem:
1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 1amp
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam


Amlodipine 1 x 5mg
Novorapid 8-8-8 unit
Ambroxol 3 x 30mg
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12
Koreksi kalium

Program:
1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam
tampung urin
2. EKG pagi
3. GDS premeal + jam 22.00

infus RL 10 tpm,

4. Echocardiografi
5. Cek elektrolit
6. USG abdomen

orthopneu (+)

02/07/14
07.00
HP ke 5

S: KU lemah

Problem :

O: TD: 140/100 mmHg

1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

Nadi: 80 x/ menit
RR: 42 x/ menit
t : 36,5oC
RBK
xxx xx
xxxxxxx

RBH

O2 3 lpm nasal
kanul

Infus RL 10 tetes

per menit
Diet DM rendah
garam 1700 kkal
Inj Furosemid 2x
1amp IV
Aspilet 80 mg/ 24
jam
Inj. Ceftriaxone 1 x
2gr IV

Sp Cedocard 3,6
cc/jam
Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24
jam
Simvastatin 10mg 00-1
Inj. Lantus 10mg 0-012 sampai dengan jam
22.00

Cor : Bunyi jantung I - II


murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior +/+
KU:
composmentis
Tampak lemah, sesak (+),
terpasang infus RL 10

Program:

tpm, orthopneu (+)

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi,sore + jam 22.00
4. Echocardiografi
5. Cek elektrolit post koreksi

Diuresis 12 jam = 800cc

hari ini
6. USG abdomen
7. Cek sputum BTA 2x, gram,
jamur, kultur sputum
03/07/14

S: - Sesak berkurang

Problem :

07.00
HP ke 6

- Batuk berdahak,
putih, merah muda(+)
- Demam (-)
O: TD: 160/100 mmHg
Nadi: 86 x/ menit
RR: 22 x/ menit
o

t : 36,3 C

1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
8. OMI Septal

RBH
KU:
Baik, kesadaran c
Cor : Bunyi jantung I - II
murni,gallop(-),bising

Sp Cedocard 3,6 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

inferior +/+

atroven : Nacl 0,8% =

KU:

1:1:1:1 beri per 6 jam

Composmentis, sesak

Program:

(+), batuk (+)

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore + jam

terpasang infus RL 10
tpm, orthopneu (+)

22.00
4. Echocardiografi
5. Cek elektrolit post koreksi

Diuresis = 50cc/ jam


Lab :

hari ini
6. USG abdomen

- Klorida = 111

HP ke 7

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 1amp
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

sampai dengan jam 22.00


Nebul barotec : bisolvon :

(-), Edema extremitas

07.00

RBH

04/07/14

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

S: - Sesak berkurang
- Demam (-)
- Batuk (-)
- Nyeri dada (-)
O: TD: 130/90 mmHg
Nadi: 78 x/ menit

Problem :
1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per
menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam

RR: 20 x/ menit
o

t : 36,3 C

7. Hiperkalemi
(perbaikan)
8. OMI Septal

RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c
Cor : Bunyi jantung I - II

Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr

IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap/ 6 jam

murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior -/-

Program:

KU:

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi
5. USG abdomen

Composmentis,
terpasang infus RL 10
tpm, orthopneu (+)
Diuresis = 100cc/ 2jam
05/07/14
07.00
HP ke 8

S: - Sesak (-)
- Demam (-)
- Batuk (-)
- Nyeri dada (-)
O: TD: 130/90 mmHg
Nadi: 84x/ menit
RR: 20 x/ menit
t : 36,8oC
GDS = 213
RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c

Problem :
1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
(perbaikan)
8. OMI Septal

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes

permenit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap/ 6 jam

Cor : Bunyi jantung I - II


murni,gallop(-),bising

Program:

(-), Edema extremitas

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi
5. USG abdomen

inferior -/KU:
Composmentis,
terpasang infus RL 10
tpm, orthopneu (+)
06/07/14
07.00
HP ke 9

Diuresis 100cc/ 2 jam


S: - Sesak (-)
- Demam (-)
- Batuk (-)
- Nyeri dada (-)
O: TD: 140/90 mmHg
Nadi: 86x/ menit
RR: 20 x/ menit
t : 36,5oC
GDS = 192
RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c

Problem :
1. CHF NYHA IV
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
(perbaikan)
8. OMI Septal

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

Cor : Bunyi jantung I - II

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap/ 6 jam

murni,gallop(-),bising

Program:

(-), Edema extremitas

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi

inferior -/KU:
Composmentis,
terpasang infus RL 10
tpm, orthopneu (+)

Diuresis 100cc/ 2 jam

07/07/14

S: - Sesak (-)

Problem :

07.00

- Demam (-)

1.CHF NYHA IV

HP ke

- Batuk (-)

(perbaikan) = NYHA

10

O: TD: 160/80 mmHg


Nadi: 88x/ menit
RR: 20 x/ menit
o

t : 36,6 C
GDS = 188
RBH

III
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi
(perbaikan)
8. OMI Septal
9. Multiple
nefrolithiasis

Cor : Bunyi jantung I - II

dextra

murni,gallop(-),bising

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam =

2,4 cc/jam
Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap/ 6 jam

(-), Edema extremitas


inferior -/-

Program:

KU:

1. KUTV/ 2 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi
5. Raber Nefro

Composmentis,
terpasang infus RL 10
tpm, orthopneu (+)
Diuresis 100cc/ 2 jam
08/07/14

S: - Sesak (-)

Problem :

07.00

- Demam (-)

1.CHF NYHA IV

HP ke

- Nyeri dada (-)

(perbaikan) = NYHA

11

O: TD: 170/100 mmHg


Nadi: 85x/ menit
RR: 19x/ menit
o

t : 36,4 C
GDS = 138

III
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam =

7. Hiperkalemi
RBH
RBH
KU:

(perbaikan)
8. OMI Septal
9. Multiple
nefrolithiasis

Baik, kesadaran c

dextra

Cor : Bunyi jantung I - II

2,4 cc/jam = 1,2 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap jika sesak

murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior -/-

Program:

KU:

1. KUTV/ 4 jam, BC/24 jam


2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi
5. Raber Nefro

Baik, Composmentis
terpasang infus RL 10
09/07/14
07.00
HP ke
12

tpm
S: - Sesak (-)
- Demam (-)

Problem :
1.CHF NYHA IV

O: TD: 160/80 mmHg

(perbaikan) = NYHA

Nadi: 84x/ menit

III
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi

RR: 20x/ menit


t : 37oC
GDS = 250
RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c
Cor : Bunyi jantung I - II
murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior -/KU:
Baik, Composmentis

(perbaikan)
8. OMI Septal
9. Multiple
nefrolithiasis
dextra

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Sp Cedocard 3,6 cc/jam =

2,4 cc/jam = 1,2 cc/jam


Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap/ 6 jam
Program:
1. KUTV/ 4 jam, BC/24 jam

terpasang infus RL 10

2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Echocardiografi
5. Raber Nefro

tpm

10/07/14
07.00
HP ke
13

S: - Sesak (-)
- Demam (-)

Problem :
1.CHF NYHA IV =

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per
menit

O: TD: 140/100 mmHg

NYHA III = NYHA

Diet DM rendah garam

Nadi: 84x/ menit

II (perbaikan)
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik
7. Hiperkalemi

1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
IV
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 2gr/24
jam IV

RR: 20x/ menit


t : 36,5oC
GDS = 152

(perbaikan)
8. OMI Septal
9. Multiple
RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c
Cor : Bunyi jantung I - II
murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas
inferior -/KU:
Baik, Composmentis
terpasang infus RL 10
tpm

nefrolithiasis
dextra

Sp Cedocard 3,6 cc/jam =


2,4 cc/jam = 1,2 cc/jam

(stop)
Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 8-8-8 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg/ 24 jam
Inj. Lantus 10mg 0-0-12

sampai dengan jam 22.00


Nebul lengkap bila sesak
ISDN 3 x 5 mg
Program:
1. KUTV/ 4 jam, BC/24 jam
2. EKG pagi
3. GDS pagi, sore
4. Raber Nefro

M - MODE
AO
26
mm
LA
51
mm
RVDd
mm
IVSs
18
mm
LVIDd
50
mm
LVPWd
18
mm
IVSs
LVIDs
38
mm
LVPWs
20
LVEF(Teichz)
49
%
LVFS
25
%
LVMI
287,83 q/M2

2 DIMENSION
A4Ch EDV
ml
A4Ch ESV
ml
EF A4Ch
%
A2Ch EDV
ml
A2Ch ESV
ml
EF A2Ch
%
EF Biplane
%
LA VI
Ml/m2

DOPLLER
PV ACcT
84 ms
RVOT VMAX
m/s
E VELOCITY
1,34 m/s
A VELOCITY
0,83 m/s
E/A
1,62
E/e'
23
Declaration Time
130 ms
LVOT VMAX
m/s
TAPSE
mm

11/07/14
07.00
HP ke
14

S: - Sesak (-)
- Demam (-)

Problem :
1.CHF NYHA IV =

O: TD: 130/70 mmHg

NYHA III = NYHA

Nadi: 75x/ menit

II (perbaikan)

RR: 18x/ menit

dengan IHD
2. Hipertensi stage II
3. DM tipe 2
4. Infiltrat paru
5. Azotemia
6. Anemia
Normositik
Normokromik

t : 36,6oC
GDS = 151
RBH
RBH
KU:
Baik, kesadaran c
Cor : Bunyi jantung I - II
murni,gallop(-),bising
(-), Edema extremitas

7. Hiperkalemi
(perbaikan)
8. Multiple
nefrolithiasis
dextra

O2 3 lpm nasal kanul


Infus RL 10 tetes per

menit
Diet DM rendah garam
1700 kkal
Inj Furosemid 2x 20mg
(stop) diganti per oral
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
IV

Amlodipine 1 x 10mg
Ambroxol 3 x 30mg
Novorapid 10-10-10 unit
Allopurinol 300mg/24 jam
Simvastatin 10mg 0-0-1
Inj. Lantus 14 unit sampai

dengan jam 22.00


Nebul lengkap bila sesak
nafas

inferior -/KU
Baik, Composmentis,
terpasang infus RL 10
tpm

17.00

Pasien pulang

Program:
1. KUTV/ 8 jam, BC/24 jam
2. GDS pagi, sore
3. Raber Nefro

Anda mungkin juga menyukai