Anda di halaman 1dari 47

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

MANAJEMEN UNTUK MENCEGAH MALPRAKTEK









Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan di Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro

Disusun oleh :
Nuzulul W. Laras 22010112210062
Ignatius Erik Dwi W. 22010112210164
Andita D. Erwidodo 22010113210009
Carolina Innesa 22010113210011
Annisa Rizqi 22010113210075
Fajar Akbar R. 22010113210114

Dosen Penguji: dr. Santosa, Sp. F
Residen Pembimbing: dr. Suryo Wijoyo

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI PERIODE 7 APRIL 2014 - 5 MEI 2014

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh pembimbing, referat dari:
Nama NIM
Nuzulul W. Laras 22010112210062
Ignatius Erik Dwi W. 22010112210164
Andita D. Erwidodo 22010113210009
Carolina Innesa 22010113210011
Annisa Rizqi 22010113210075
Fajar Akbar R. 22010113210114

Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : UNDIP
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Penguji : dr. Santosa, Sp.F
Pembimbing : dr.SuryoWijoyo

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang

Semarang, 23 April 2014
Penguji,



dr. Santosa, Sp.F

Pembimbing,



dr.SuryoWijoyo

iii

KATA PENGANTAR


Puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul Manajemen untuk Mencegah Malpraktek. Penulisan
referat ini adalah sebagai syarat guna memenuhi tugas kepaniteraan dokter muda
forensik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan referat ini, yaitu:
1. dr. Santosa, Sp.F selaku dosen penguji
2. dr. Suryo Wijoyo selaku residen pembimbing, atas bimbingannya dalam
pembuatan referat ini
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan dukungan
moral maupun material
4. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada referat ini. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat menambah
kesempurnaan referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan almamater pada khususnya.







Semarang, 23 April 2014



Penulis

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II MALPRAKTEK ................................................................................ 3
2.1 Definisi malpraktek ................................................................................... 3
2.2 Jenis jenis malpraktek ............................................................................ 5
2.3 Unsur malpraktek ...................................................................................... 10
2.4 Sanksi malpraktek ..................................................................................... 19
BAB III MANAJEMEN PENCEGAHAN ..................................................... 21
3.1 Usaha usaha menghindari malpraktek ................................................... 24
3.2 Penanganan terhadap malpraktek .............................................................. 36
3.3 Contoh kasus ............................................................................................. 38
BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 40
4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 40
4.2 Saran .......................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42

1

BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini, tren kesadaran hukum dan penggunaan jalur hukum di kalangan
konsumen dan pasien semakin meningkat. Media massa, internet dan edukasi dari
berbagai lembaga masyarakat membuat eskalasi kejadian gugatan atas malpraktek
semakin meningkat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya
merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam
masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus
tenaga kesehatan ataupun rumah sakit disomasi, diadukan atau bahkan dituntut
pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga
kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan tenaga
kesehatan di kemudian hari.
Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga
kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimetris
kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya
tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak
terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada
pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Di beberapa negara maju seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat,
kasus malpraktek medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya
meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah
kasus malpraktek medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an.
Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa
tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya
malpraktek medik meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau bahasa
awamnya malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia.
Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan


2

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari
malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin prakteknya
dicabut sementara.
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktek ke Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut
meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktek.
Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya
berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman kepada petugas
kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak
60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus
dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak.
Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam
dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan
dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus malpraktek.
Kerugian atas hal ini bisa menimbulkan dampak yang luar biasa besar,
bahkan dalam beberapa kasus dapat berakhir pada kebangkrutan rumah sakit atau
klinik medis, dan berakhirnya reputasi dan karir jajaran manajemen dan tenaga
ahli paramedis yang ada.
Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan malpraktek
serta bagaimana cara mencegah terjadinya malpraktek dengan langkah-langkah
antisipatif agar dapat terhindar dari berbagai macam tuntutan yang berkaitan
dengan malpraktek tersebut.


3

BAB II
MALPRAKTEK

2.1 Definisi malpraktek
Malpraktek bukan hanya terjadi pada profesional medis, melainkan juga
terjadi pada semua profesional, termasuk profesional di bidang hukum,
perbankan, konstruksi, akuntansi dan bidang lainnya. Kita pernah mendengar
kisah malpraktek profesi non medis seperti "mafia peradilan", praktek kekerasan
di kepolisian, runtuhnya jembatan yang sedang/baru dibangun, laporan akuntan
publik yang "palsu", musibah BLBI di dunia perbankan, dan lain-lain.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis
menurut World Medical Association (WMA) yaitu Medical malpractice involves
the physician failure to conform the standard of care for treatment of the patient
condition, or lack of skill or negligence in providing care to the patient which is
the direct cause of an injury to the patient yang artinya malpraktek medis
berhubungan dengan kegagalan tenaga medis dalam melakukan prakteknya sesuai
dengan standar pelayanan terhadap kondisi pasien, atau kurangnya kemampuan
atau ketidakpedulian dalam penyediaan pelayanan terhadap pasien yang menjadi
penyebab utama terjadinya cedera terhadap pasien.
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah
akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga
sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang
sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam
pengertian malpraktek atau kelalaian medik. "An injury occurring in the course of
medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack
of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for
which the physician should not bear any liability". Dengan demikian suatu akibat
buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran pada saat dan dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dokter.


4

Sedangkan Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai
"professional misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one
rendering professional services to exercise that degree of skill and learning
commonly applied under all the circumstances in the community by the average
prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or
damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them"
yaitu kesalahan profesional atau kurangnya ketrampilan yang tidak seharusnya
atau kegagalan seseorang memberikan pelayanan profesional untuk
mempraktekkan derajat kemampuan dan pembelajaran yang pada umumnya
diaplikasikan di bawah semua lingkungan di masyarakat oleh anggota profesi
dengan hasil luka, kehilangan atau kerusakan pada mereka yang menerima
pelayanan tersebut atau kepada mereka yang bersandar terhadap pelayanan
tersebut.
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan di wilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment)
karena perikatan dalam transaksi terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien
adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang
menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya, hasil buruk atau
tidak diharapkan selama dirawat di rumah sakit) sebagai akibat malpraktek medis
atau akibat kelalaian medis. Padahal perlu diingat bahwa suatu hasil yang tidak
diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu :
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu risiko yang dapat diterima sebagaimana diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian (culpa).


5

4. Hasil dari suatu kesengajaan (dolus).

2.2 Jenis jenis malpraktek
Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum malpraktek medik dibedakan
menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek
yuridis (yuridical malpractice).
a. Malpraktek Etik (ethical malpractice)
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan dan
norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek etik merupakan dampak negatif
dari kenajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien
dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih
cepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata
memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping maupun dampak
negatif dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
1. Komunikasi antara dokter dan pasien semakin berkurang
2. Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis
3. Harga pelayanan medis semaki tinggi
Para dokter untuk mengambil keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan
secara etis dan moral, adapun pedomna tersebut antara lain :
1. Menentukan indikasi medisnya
2. Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati
3. Mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu
kehidupan pasien
4. Mempertimbangkan halhal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi
pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi, hukum dan budaya.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan
malpraktek etik antara lain :


6

Bidang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien, kadangkala tidak
diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter
yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
Bidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut,
kadang kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam
memberikan terapi kepada pasien.Orientasi terapi berdasarkan janji janji
pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan
pasien juga merupaka malpraktek etik.

b. Malpraktek Yuridis (yuridical malpractice)
Malpraktek yuridis dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata
(civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh
tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)


7

Apabila tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami
profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan criminal malpractice,
harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi
unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang
salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga
perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan
pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin
berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena
kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya
empat unsur berikut:
a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b.Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
d. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang
berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal
demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya
kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam
melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat
ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa
lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.


8

Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan
operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah
diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua
untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan
yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat
negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi
untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya rusaknya kesehatan (damage).

2) Malpraktek Pidana (criminal malpractice)
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus
aborsi tanpa indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta
memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang
hati-hati.
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yaitu :


9

1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan
tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal
263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Kecerobohan misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent. Atau kealpaan misalnya kurang hati-hati mengakibatkan
luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien
saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak
dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan
sarana pelayanan jasa tempatnya bernaung.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka
tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan
atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya
paksa

3) Malpraktek Administratif (administrative malpractice)


10

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek
dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.

2.3 Unsur malpraktek
1. Unsur kesengajaan (intensional)
Unsur kesengajaan (intensional) menyebabkan professional misconducts
(melakukan tindakan yang tidak benar)
Menahan-nahan pasien
Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP, yaitu barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan (menahan) orang atau
meneruskan tahanan itu dengan melawan hak. Istilah dari kata menahan
dan meneruskan penahanan dari pasal di atas, adalah:
a. Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas atau
sekejap).
b. Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten (delik yang
selalu/ terus-menerus diperbuat).
Unsur-unsur dari pasal 333, yaitu:
a. Perbuatan menahan/ merampas kemerdekaan.
b. Yang ditahan orang.
c. Penahanan terhadap orang itu untuk melawan hak.
d. Adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum.
Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan seseorang,
bukan kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan yang menyentuh
badan seseorang yang ditahan, misalnya diikat tangannya sehingga sulit
bergerak.

Membuka rahasia kedokteran tanpa hak


11

Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena
seringkali menggambarkan nilainilai sosial budaya bangsa. Artinya,
pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai
apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.
Disamping keberadaannya telah menjadi kecenderungan internasional,
sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi pidana ini
merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pendekatan
humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan
masyarakat (social defence). Ide menyangkut konsepsi social defence
tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia, terbukti
dalam pasal 322 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan ribu rupiah. Jika kejahatan itu
dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pergaulan orang itu. Menurut R. Soesilo dokter yang
membuka rahasia dapat dihukum menurut pasal ini, maka elemen
elemen di bawah ini harus dibuktikan :
a. Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia.
b. Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia
harus betulbetul mengetahui, bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu.
c. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari
suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu
pernah jabatan.
d. Membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Yang diartikan
dengan rahasia yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh orang
yang berkepentingan, sedang orang lain belum mengetahuinya.
Siapakah yang diwajibkan menyimpan rahasia itu, tiaptiap peristiwa
harus ditinjau sendirisendiri oleh hakim yang masuk disitu misalnya
seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit pasiennya.


12

Proses hukum ini perlu dilakukan, agar para dokter lainnya atau para
profesional dalam bidang lainnya, tidak seenaknya saja membuka dan
membeberkan rahasia jabatan di muka umum. Seringkali didengar para dokter
yang dengan enteng membeberkan penyakit dari pasiennya yang sebenarnya
termasuk ke dalam rahasia jabatan. Para profesional ini tahu, tentang adanya
rahasia kedokteran, tetapi karena tidak pernah terjadi adanya pengaduan dari
mereka yang dilanggar haknya atas rahasia kedokteran, maka pelanggaran
terhadap hak pasien yang satu ini seringkali terjadi. Tidak dapat dihindarkan
bahwa wajib penyimpan rahasia membandingkan berat ringannya kepentingan
kepentingan yang harus diperhatikan dan yang saling bertentangan. Titik tolaknya
adalah menyimpan rahasianya. Hanya kalau dikehendaki oleh kepentingan
kepentingan yang dianggap lebih berat dari pada kepentingan Pemilik Rahasia
ditambah dengan kepentingankepentingan tersebut dan akhirnya pemutusan
apakah wajib menyimpan rahasia menggunakan hak tolaknya atau tidak,
dilakukan sendiri oleh wajib penyimpan rahasia, kalau dirasa perlu setelah
berunding dengan satu orang atau lebih yang ia pilih, rekan atau bukan rekan.
Seorang saksi sebelum memberi kesaksian harus sumpah bahwa ia akan
memberi keterangan tentang segala sesuatu yang benar dan tidak lain dari pada
yang benar. Ia tidak dapat mengungkapkan hanya sebagian dari kebenaran dan
menyembuhkan bagian yang lain, ini akan mendapatkan kedustaan dan demikian
sumpah palsu. Jadi seorang dokter atau wajib penyimpan rahasia lain dihadapkan
sebagai saksi menggunakan hak tolaknya, walaupun diminta dengan sangat oleh
pasiennya untuk memberi kesaksian, ada kemungkinan bahwa dokter tersebut
berbuat demikian untuk kepentingan pasiennya.
Menurut undang-undang RI NO. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Pasal 4 berbunyi demikian :
1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan


13

perundang-undangan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Sanksi yang diberikan dapat sebagai berikut :
1. Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh penguasa (orang
atau lembaga yang memegang kekuasaan).
2. Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh masyarakat.

Aborsi illegal
Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa termasuk manusia adalah
mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir
dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha
tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani.
Banyak pendapat mengenai abortus provocatus yang disampaikan oleh
berbagai ahli dalam berbagai macam bidang seperti agama, kedokteran, sosial,
hukum, eugenetika, dan sebagainya. Pada umumnya setiap negara mempunyai
undang-undang yang melarang abortus provocatus (pengguguran kandungan).
Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan
satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus
therapeuticus). Dalam undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
diperjelas mengenai hal ini. Indikasi medic ini dapat berubah-ubah sesuai
perkembangan ilmu kedokteran. Beberapa penyakit seperti hipertensi,
tuberkulosis dan sebagainya.Sebaliknya ada pula negara yang membenarkann
indikasi sosial, humaniter, dan eugenetik, seperti misalnya di Swedia dan Swiss
yaitu bukan semata-mata untuk menolong ibu, melainkan juga
mempertimbangkan demi keselamatan anak, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat
oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil
yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarhanya yang terdekat. Hendaknya


14

dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk
melakukannya.
Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering terjadi pada wanita
bersuami, yang telah sering melahirkan, keadaan sosial dan keadaan ekonomi
rendah. Ada harapan abortus provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan
berkurang apabila keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib. Setiap
dokter perlu berperan serta untuk membantu suksesnya program keluarga
berencana ini.Seperti yang telah diatur pada pasal 349 KUHP, Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. dimana dokter dapat dikenakan
sanksi 4 tahun penjara.

Euthanasia
Euthanasia memiliki tiga arti, yaitu :
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan
bagi yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) oenderitaan pasien diperingan
dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak
tertahankan, misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus
kering bagaikan tulang dibungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit
dan sebagainya. orang yang berpendirianpro euthanasia dalam butir c, akan
mengajukan supaya pasien diberi saja morphindalam dosis lethal, supaya ia bebas
dari penderitaan yang berat itu. di beberapa Negara Eropa dan Amerika sudah
banya terdengar suara yang pro-euthanasia. mereka mengadakan gerakan yang


15

mengukuhkannya dalam undang-undang. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra
euthanasia berpendirian bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan.
Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan berfalsafah atau
berazazkan Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa.
segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada
makhlukNya mengandung makna dan maksud terentu. dokter harus mengerahkan
segala kepandaianannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Memberikan keterangan palsu
Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa :
1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan
palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan
seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ,
dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran.

Melakukan praktek tanpa ijin
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang
tertinggi. Ijazah yang dimiliki seseorang, merupakan persyartan untuk
memperoleh ijin kerja sesuai profesinya (SID (surat ijin dokter) atau SP
(Surat Penugasan)). Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib
dituruti peraturan perundangundangan yang berlaku (SP, yaitu : Surat Ijin
Penugasan).




16

2. Unsur Pelanggaran
Negligence (kelalaian)
Kelalaian adalah salah satu bentuk dari malpraktek, sekaligus merupakan
bentuk malpraktek yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi
apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian
yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat
profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera
bagi orang lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu:
1. Malfeasance (pelanggaran jabatan)
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang tidak tepat dan
layak (unlawful/improper). Seperti melakukan tindakan pengobatan tanpa
indikasi yang memadai dan mengobati pasien denga coba-coba tanpa dasar
yang jelas.
2. Misfeasance (ketidak hati-hatian)
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak
tepat (improper performance). Seperti melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosedur.
3. Lack of skill (kurang keahlian)
Melakukan tindakan diluar kemampuan atau kompetensi seorang dokter,
kecuali pada situasi kondisi sangat darurat, seperti melakukan pembedahan
oleh bukan dokter, dan mengobati pasien diluar spesialisasinya

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi
empat unsur di bawah ini, yaitu
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada


17

situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hubungan perjanjian tenaga medis
dengan pasien, tenaga medis haruslah bertindak berdasarkan :
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.Apabila sudah
ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah sakit
tersebut harus bertindak sesuai standar profesi yang berlaku.Jika terdapat
penyimpangan dari standar tersebut, maka ia dapat dipersalahkan.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan
oleh pemberi layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
Di dalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah
berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu kelalaian adalah
kekurangtelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain dengan
ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa
yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.
Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk
kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang
telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama,
kealpaan perbuatan. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya
itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang
timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru
merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau
matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP.


18

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu,
padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang
oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada
kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau
keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia
memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya. Dalam pelayanan
kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang bidan adalah kelalaian
akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat atau matinya
orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan
padanya.
Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:
1. culpa lata (gross fault/neglect) yang bersifat kasar, berat , yaitu apabila
seseorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan
sesuatu yang sepatutnya tidak dilakukan
2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.
3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan atau
kecil.
Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi berupa kelalaian dalam
hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa
levis). Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian
itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu
dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex,
yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Jika
kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan
merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan
dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.
Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur culpa lata adalah:
1. bertentangan dengan hukum
2. akibatnya dapat dibayangkan
3. akibatnya dapat dihindarkan
4. perbuatannya dapat dipersalahkan.


19

Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu:
1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya
(foreseeabilit, voorzienbaarheid).
2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid).
3. maka si pelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).
Implikasi dari tindak malpraktek adalah bahwa tindakan tersebut melanggar
salah satu atau beberapa norma yang dianutnya, yaitu norma-norma etik, disiplin
profesi, hukum pidana atau hukum perdata. Masing-masing pelanggaran norma
tersebut haruslah diperiksa, dibuktikan dan kemudian dihukum sesuai dengan
domainnya.

2.4 Sanksi malpraktek
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Pasal 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.
b. Pasal 360
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang luka berat dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya 1
tahun.


c. Pasal 361
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang menjadi sakit atau tidak
dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan
selamalamanya sembilan bulan atau hukuman selama-lamanya enam bulan
atau hukumkan denda setinggi-tingginya Rp 4.500.000,00.
2. Undang-Undang Praktek Kedokteran
a. Pasal 75 ayat 1
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek


20

kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00.
b. Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek
kedokteran tanpa meliki surat izin praktek sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00
c. Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang :
1) Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud
dalam pasal 41 ayat 1.
2) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 46 ayat 1.
3) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 51 huruf a,b,c,d atau e.


21

BAB III
MANAJEMEN PENCEGAHAN

Tanpa mempersoalkan apakah benar saat ini banyak terjadi malpraktek di
Indonesia, maka cara menyikapi isu malpraktek haruslah bersifat komprehensif
dan prospektif. Komprehensif berarti menanganinya secara menyeluruh, baik
yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Prospektif berarti
menangani isu malpraktek dengan paradigma baru menuju masa depan, yaitu
paradigma keselamatan pasien (patient safety) dengan cara mengendalikan risiko
(risk management).
Promotif dilakukan dengan menyosialisasikan berbagai isu pengetahuan,
peraturan perundang-undangan, prosedur dan lain-lain. Promosi dilakukan tidak
hanya kepada masyarakat profesi medis, melainkan juga kepada masyarakat luas.
Tujuan promosi adalah meningkatkan pemahaman, kewaspadaan dan kemampuan
menemukan peristiwa atau sikap tindak yang potensial mengakibatkan cedera atau
kerugian, dan kemudian membuat perencanaan dan tindakan korektif yang tepat
sehingga tidak sampai terjadi cedera atau kerugian.
Preventif berarti menyelenggarakan berbagai upaya untuk mencegah
terjadinya risiko yang tidak perlu. Dalam tahap ini pelaksanaan etika kedokteran
dan standar profesi pada tingkat individu profesional medis dan pelaksanaan good
clinical governance dan risk management pada tingkat rumah sakit dapat
dijadikan sasaran utamanya.
Kuratif dan rehabilitatif berarti memulai dengan mendiagnosis penyebab
terjadinya kelalaian medis, melakukan tindakan pengobatannya dan mengawasi
pelaksanaan tindakan tersebut hingga betul-betul membawa hasil yang
diharapkan. Dalam hal ini tindakan diagnosis untuk mengetahui penyebab
terjadinya kelalaian medis dan bagaimana kekerapannya merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan.
Bagi mereka yang terbukti melakukan malpraktek ataupun kelalaian medis
haruslah memperoleh tindakan korektif yang sesuai dengan domainnya dan
peraturan perundang-undangan yang diacunya. Dalam makalah ini selanjutnya


22

hanya akan dibahas pengaturan dan penanganan dugaan kelalaian medis dari sisi
etik dan disiplin profesi kedokteran saja, sesuai dengan permintaan panitia.
Dalam dua sampai tiga dekade terakhir dunia pelayanan kedokteran telah
mulai menggunakan paradigma patient safety dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan medis dan menekan risiko yang dihadapi pasien. Paradigma ini
diberlakukan pada tingkat individu pemberi layanan, rumah sakit dan bahkan di
tingkat wilayah atau nasional. Indonesia sebagai bagian dari dunia, dalam hal ini
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), mulai mencanangkan gerakan
nasional patient safety. Gerakan ini mengutamakan kepada pembudayaan good
clinical governance dan risk management.
Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan
perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury.
Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian
(departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam
sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang
mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan
lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja.
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka
memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang
harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada
keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan
disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan
menghukum pelakunya harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan
sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen (dan atau komite medis),
sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian
serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal
ini manajemen dan komite medik serta tokoh-tokoh terkemuka di rumah


23

sakit. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program
manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang
keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-
upaya meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan
staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak
menimbulkan kesalahan baru.
Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan clinical
governance yang memastikan akuntabilitas layanan dan manajemen risiko yang
bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.
Clinical governance diartikan sebagai a framework through which NHS
organizations are accountable for continously improving the quality of their
services and safeguarding high standards of care by creating an environment in
which excellence in clinical care will flourish. Upaya ini memerlukan 3
komponen penting, yaitu pencegahan kegagalan atau kesalahan layanan, belajar
dari pengalaman yang baik dan perubahan organisasi kesehatan ke arah suasana
yang kondusif.
Sementara itu, dalam bidang kesehatan dan keselamatan, manajemen risiko
lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau
masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sedangkan di dalam suatu
komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan
para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak
untuk mengendalikan risiko bersama.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations
(JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan
administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi,


24

evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien,
personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.
Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk),
memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit
terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan
kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan
mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis
karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu
bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

3.1 Usaha-usaha menghindari malpraktek
Defensive Medicine
Defensive medicine merupakan suatu alur praktek kedokteran yang
ditujukan untuk menghindarkan kemungkinan ancaman tuntutan malpraktek
dikemudian hari. Pertimbangan utama dalam praktek defensive medicine lebih
untuk menghindarkan pertanggungjawaban hukum dibandingkan untuk
kepentingan pasien.
Hal yang sering melatarbelakangi tuntutan hukum malpraktek yang tidak
tepat atau berlebihan adalah berkaitan keterbatasan informasi dan


25

kekurangpahaman mengenai aspek-aspek keputusan klinis (terutama terkait
diagnosis dan terapi) dalam praktek kedokteran.
Seorang dokter dapat menerapkan 2 tipe defensive medicine :
1) Tipe I : untuk menurunkan risiko semaksimal mungkin terhadap kemungkinan
tuntutan malpraktek, akan melakukan berbagai pemeriksaan medis secara
berlebihan terhadap pasien yang ditanganinya (overtreatment) sehingga
pembiayaan semakin tinggi.
2) Tipe II : dokter tidak melakukan tes atau prosedur medis yang menguntungkan
(undertreatment).
Semua tindakan sesuai indikasi medis
Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi memiliki surat ijin tugas mengingat informed consent dan rekam
medik serta rahasia jabatan atau rahasia kesehatan dari hasil pemeriksaan
kesehatan. Pemeriksaan berdasarkan indikasi medis, standar pelayanan, protap
pelayanan dengan memperhatikan dan menjelaskan berbagai resiko penyakit,
keadaan pasien, dan tindakan kesehatan selanjutnya tenaga kesehatan harus
menerapkan etika umum dan profesi dan bila tidak mungkin bisa ditangani yang
bukan kompetensinya harus di rujuk atau diserahkan kepada tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi.Prinsip-prinsip tersebut jika dijabarkan satu persatu
antara lain :
1. Tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan dengan memperoleh ijasah
termasuk dalam PP No. 32 Tahun 1996.
2. Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi hasil ujian
3. Tenaga Kesehatan memiliki surat ijin praktek (SIP) dan Surat Tugas dari
Direktur Rumah Sakit, Dinas Tenaga Kesehatan, Dekan (Pimpinan Pendidik),
dan dari Pemerintah yang lainnya.
4. Tiap menangani pasien harus ada ijin atau persetujuan tertulis atau lisan dari
pihak pasien dan keluarganya.
5. Dalam pelayanan kesehatan harus menerapkan standar pelayanan dan protap
pelayanan kesehatan profesi yang dibuat oleh tenaga profesi. Ini biasanya
dibuat SK oleh Direktur Rumah Sakit atau pimpinan Rumah Sakit setempat.


26

6. Hasil pemeriksaan/pelayanan atau tindakan ditulis dicatat secara khusus oleh
dokter yang melakukan tindakan atau pemeriksaan atau singkatnya ditulis
yang disebut sebagai rekam medis/rekam rumah sakit.
7. Point 4,5, dan 6 di atas harus dirahasiakan sesuai dengan peraturan PP No.10
tahun 1966 dan Undang-undang kesehatan yang lain.
8. Dalam menangani pasien atau tindakan harus berdasarkan indikasi medis dan
kontra indikasi medis.
9. Dalam menangani pasien harus menerangkan mengenai resiko, antara lain
resiko keadaan pasien, resiko penyakitnya, dan resiko tindakan.
10. Dalam komunikasi dengan pasien dan keluarga serta masyarakat harus
menerapkan etika umum dan etika profesi dimana tenaga kesehatan tersebut
bekerja.
11. Kemungkinan dalam menangani pasien memperoleh kesulitan karena tidak
kompetensinya sehingga harus dirujuk/dikirim/ dikonsultasikan kepada
tenaga kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke rumah sakit sesuai
dengan tingkat pelayanan yang lebih prima.
12. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan
sengketa atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara
komunikasi yang sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-rambu
aturan hukum kesehatan. Jangan menerapkan Undang-Undang diluar
Undang-Undang Hukum Kesehatan.
Bekerja sesuai standar profesi
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran
adalah yang sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia,
kemampuan pasien, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. ilmu
kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan keterampilan yang telah
diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai dengan fitrah dan
kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan
dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap


27

sesama manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain
yang terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter.
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yaitu :
1. Standar keterampilan
a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh
seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai
dengan standar ditempat prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan
tidak berhasil, penderitan perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih
lengkap.
b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit
yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia.
1. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya
profesi dokter dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian,
yakni:
a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.
b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik
Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan
penderita dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu :
a. Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.
b. Semua pasien diperlakukan sama.
c. Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh.
d. Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara
menyeluruh.
e. Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.
f. Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien.
g. Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.


28

h. Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya disuruh
masuk ke dalam ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila
dokternya wanita.
i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek,
melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.
4. Standar catatan medik
Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya
dicantumkan identitas penderita, alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis,
terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien.
Membuat informed consent
Secara harfiah informed terkait dengan informasi atau penjelasan sedangkan
consent artinya persetujuan, atau lebih tajam lagi, izin. Dapat disimpulkan
bahwa informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga
yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, seperti
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis,
memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan,
melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan
sebagainya. Setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan
informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan
lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang
sehingga dengan kata lain informed consent adalah Persetujuan Setelah
Penjelasan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun
1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.
Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga
yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik
yang kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus
mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil
keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya


29

informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai
kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban
atas pertanyaan pasien. Suatu informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan
penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa
besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak
terapi
5. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi
dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter
dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasif dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit
sebagai surat izin operasi.
Hakikat informed consent mengandung 2 (dua) unsur penting yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter.
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.


30

Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan
sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak
diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk
pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau tindakan
berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya
prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis
tersebut.
Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter
dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter
terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan
lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir informed
consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah
disepakati sebelumnya.
Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun
informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu
dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien
benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan
keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian
tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter
tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes


31

Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa
dalam keadaan emergency tidak diperlukan informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek
dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya.
Hukum yang umum diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat dari ketiadaan
informed consent setara dengan kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam
beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan
kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih
tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan
Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan medik
di rumah sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam Medis sangat penting dalam
mengemban mutu pelayanan medik yang diberikan oleh rumah sakit beserta staf
mediknya. Rekam Medis merupakan milik rumah sakit yang harus dipelihara
karena bermanfaat bagi pasien, dokter maupun bagi rumah sakit.
Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak pada dokter
yang merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya bantuan yang diberikan
kepadanya dalam melengkapi rekam medis oleh staf lain di rumah sakit. Dokter
mengemban tanggung jawab terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam
medis. Data harus dipelajari kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga oleh
dokter yang merawat. Pada saat ini banyak rumah sakit menyediakan staf bagi
dokter untuk melengkapi rekam medis. Namun demikian tanggung jawab utama


32

dari isi rekam medis tetap berada pada dokter yang bertanggung jawab. Nilai
ilmiah dari sebuah rekam medis adalah sesuai dengan taraf pengobatan dan
perawatan yang tercatat. Oleh karena itu ditinjau dari beberapa segi rekam medis
sangat bernilai penting karena :
1. Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang
maupun di masa yang akan datang.
2. Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun dokter dalam segi hokum
(medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka
kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter
sendiri.
3. Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun administratif.
Personil rekam medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan
kepadanya. Bilamana diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode
penyakitnyapun tidak tepat, sehingga indeks penyakit mencerminkan
kekurangan. Hal ini berakibat riset akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu
data statistik dan laporan hanya dapat secermat informasi dasar yang benar.
Rekam medis harus memuat isi sebagai berikut :
1. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan keluar,
sesuai dengan istilah terminologi yang dipergunakan, semua diagnosa serta
tindakan pembedahan yang dilakukan harus dicatat Simbol dan singkatan
jangan dipergunakan.
2. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada sebuah
catatan, serta telah menandatangani juga catatan yang ditulis oleh dokter lain
Pada rumah Sakit Pendidikan, yaitu : Riwayat Penyakit, Pemeriksaan fisik
dan resume Lembaran lingkaran masuk dan keluar tidak cukup apabila hanya
ditanda tangani oleh seorang dokter.
3. Bahwa laporan riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik dalam keadaan
lengkap dan berisi semua data penemuan baik yang positif maupun negatif.
4. Catatan perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa klinis
keadaan pasien. Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan pasien.


33

5. Hasil Laboratorium dan X-Ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta ditanda
tangani oleh pemeriksa.
6. Semua tindakan pengobatan medik ataupun tindakan pembedahan harus itulis
dicantumkan tanggal, serta ditanda tangani oleh dokter.
7. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan staf
medik harus dicatat secara lengkap serta ditanda tangani Hasil konsultasi,
mencakup penemuan konsulen pada pemeriksaan fisik terhadap pasien
termasuk juga pendapat dan rekomendasinya.
8. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan dicatat secara lengkap,
mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat prenatal sampai masuk
rumah sakit. Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah
sakit, jugavharus dicatat secara lengkap.
9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang Observasi
&vPengobatan yang diberikan harus lengkap catatan ini harus diberi cap dan
tandavtangan.
10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi ringkasan
tentang penemuan, dan kejadian penting selama pasien dirawat, keadaan
waktu pulang saran dan rencana pengobatan selanjutnya.
11. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat segera
(dalam waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap harus dibuat
dan digabungkan dengan rekam medis
12. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas
pencatatan yang dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu pelayanan
medik. Pertanggungjawaban untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik
terletak pada dokter yang bertanggung jawab.
Berikut pasal yang mengatur mengenai rekam medis :
Pasal 46
1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran
wajib membuat rekam medis.
2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.


34

3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
rekam medis merupakan milik pasien.
2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen
Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter yang
melaksanakan tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab
pasien (DPJP). Pada saat emergency, dokter berhak melakukan upaya
penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu. Rekam Medis harus diberi data yang
cukup terperinci, sehingga dokter lain dapat mengetahui bagaimana pengobatan
dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat memberikan pendapat yang
tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang bersangkutan dapat
memperkirakan kembali keadaan pasien yang akan datang dari prosedur yang
telah dilaksanakan.
Memperlakukan pasien secara manusiawi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama bagi
dokter yang baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan klinis yang
baik, tetapi dokter yang memiliki sense atau rasa kemanusiaan ketika berhadapan
dengan pasien. Secara detail, studi itu menunjukkan bahwa ada empat aspek
utama yang harus dimiliki seorang dokter, salah satunya adalah memiliki sense
kemanusiaan (humanness). Dokter yang baik adah dokter yang menghargai dan
merawat pasiennya secara manusia dan tidak menganggap mereka sebagai objek
mencari keuntungan pribadi. Saat bertemu dengan pasien, dokter yang baik


35

memiliki niat dan komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang ke
rumahnya dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit.
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi dan
profesional. Mereka mendengarkan keluhan pasien dengan cermat, tidak
menginterupsi keluhan mereka, seta memiliki rasa empati dengan penyakit yang
diderita oleh mereka. Dokter yang baik tidak memeriksa pasien secara tergesa-
gesa sekedar karena ingin cepat-cepat menyelesaikan konsultasi dan memanggil
pasienberikutnya. Dengan memiliki sense kemanusiaan yang tinggi, dokter yang
baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak membiarkan orang lain
mengetahui keluhan dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya
sebagai manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat
sekitar
Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat
terjadi karena 2 hal, yaitu:
1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)
Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie
berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi",
yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak,
terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukan menurut perjanjian itu.
2. Berdasarkan hukum (ius delicto)
Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.
Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan
atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang atau lebih,
yang bersepakat untuk memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam
hubungan antara dokter dengan pasien, timbul perikatan usaha
(inspanningsverbintenis) dimana sang dokter berjanji memberikan "prestasi"
berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya dan pasien selain melakukan
pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi
nasihat dokter sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan usaha karena


36

didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala
daya agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit pasien. Hal ini berbeda
dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil atau resultaat pada perikatan hasil
(resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan dokter tidak diukur dengan
apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala
kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis.
Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbulah hak dan kewajiban
bagi pasien dan dokter.

3.2 Penanganan Terhadap Malpraktek:
Cara Hukum Kesehatan Mengatasi Tindakan Malpraktek
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya
hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, tenaga kesehatan karena
rutinitas menjalankan pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati.
Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat
berakibat besar. Tenaga kesehatan dapat menggunakan beberapa ketentuan dari
lembaga hukum yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengurangi
kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat
beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh tenaga kesehatan.
a. Pemerintah melalui Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang
persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktek
kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan
medik. Tenaga kesehatan harus menggunakan lembar informed consent secara
maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien
dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang
diterima. Hal tersebut adalah salah satu cara untuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mungkin timbul.
b. Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula
untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam
rekam medik. Serta berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan
dengan baik sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien,


37

maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi
proses tindakan medik.
c. Tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak
teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara
formal mau pun informal.
d. Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi,
persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan
second opinion.
e. Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh tenaga kesehatan adalah mengerti dan
mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum
kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun
secara informal pun cukup.
f. Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri,
perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan
tidaklah mungkin dihadapi tenaga kesehatan tanpa bantuan pihak yang
mengerti hukum.
Cara Tim Kesehatan dalam Mengatasi Malpraktek:
- Mentaati kode etik dan sumpah
- Mentaati disiplin
- Mentaati peraturan perundang undangan: umum (pidana, perdat,
administrasi), khusus kesehatan (UU Kesehatan, UU Praktek Kedokteran)
- Mempunyai SIP, STR,Sertifikasi
- Melaksanakan standar profesi medis
- Melaksanakan persetujuan tindakan medis (informed consent)
- Membuat rekam medis (medical record)
- Memegang rahasia kedokteran
- Melakukan kendali mutu,kendali biaya (audit medis)
- Melaksanakan hak dan kewajiban dokter pasien
- Melakukan komunikasi yang baik dengan pasien
- Tidak melakukan kesalahan atau kelalaian
- Melaksanakan HAM


38

- Memiliki perlindungan asuransi
- Memberikan kasih sayang pada pasien sebagaimana kita mengasihi diri
sendiri, melayani pasien dan keluarganya dengan jujur, penuh rasa hormat.
- Menggunakan pengetahuan untuk menetapkan diagnosa yang tepat dan
melaksanakan intervensi yang diperlukan.
- Mengutamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu
tentang tindakan yang akan di lakukan atau kurang merespon perubahan
kondisi pasien, didiskusikan bersama tim kesehatan, guna memberikan
masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
- Mengikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja
berdasarkan pedoman yang berlaku.
- Tidak melakukan tindakan yang belum kita kuasai.
- Melakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Membiasakan bekerja
berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan
yang berlaku.
- Pelimpahan tugas secara bijaksana dan menerima atau meminta orang lain
menerima tanggungjawab yang tidak dapat kita tangani.

3.3 Contoh kasus
Kasus 1. Meninggal setelah operasi usus buntu
Senin tanggal 27 Januari 2014 pukul 15.00 17.30 WITA, pasien berinisial A (
19 tahun) menjalani operasi usus buntu oleh dokter ahli di Rumah Sakit Prayoga,
Kendari. Menurut orang tua A, setelah menjalani operasi, anaknya merasa
kesakitan dan perutnya membengkak, serta suhu badannya naik secara drastis.
Kemudian dia menanyakan keluhan tersebut ke perawat penjaga dan dikatakan
bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa setelah operasi usus buntu. Setelah itu,
seorang perawat jaga mendatangi pasien dan menyuntikan obat pada infus pasien
tanpa memberitahukan kepada mereka tentang isi maupun kegunaan obat tersebut.
Keesokan harinya (28 Januari 2014) pukul 11.30 WITA, pasien meninggal dunia.



39

Analisa kasus :
1. Keluhan yang timbul pada kasus di atas termasuk suatu risiko medis yang
berupa reaksi peradangan. Pada umumnya, sebagai penanganan paska operasi
diberikan obat obat seperti anti inflamasi yang juga dapat bekerja sebagai
analgetik dan antibiotik profilaksis.
2. Perawat jaga tidak menyampaikan kepada pihak keluarga tentang obat yang
disuntikan ke infus sehingga pihak keluarga merasa tidak mendapatkan
kejelasan tentang obat tersebut dan menimbulkan gambaran bahwa
mendapatkan pelayanan yang buruk

Kasus 2. Salah transfusi darah
Pada Januari 2013, pasien berinisial S M berobat ke RSU Pringadi Medan dan
didiagnosa dengan penyakit anemia dan bronkitis. Pasien kemudian mendapatkan
transfusi darah golongan AB dan ternyata pasien memiliki golongan darah B.
Setelah transfusi tersebut, pasien mengalami demam, lemas dan sampai lumpuh,
bahkan kondisinya makin memburuk dan akhirnya beberapa hari kemudian pasien
meninggal. Keluarga pasien kemudian melaporkan kasus tersebut secara perdata
ke PN Medan menutut kerugian material Rp. 200 jt dan inmaterial Rp. 3,5 M
kepada pihak tergugat yakni direktur RSU dr. Pringadi

Analisa kasus :
1. Kesalahan dalam pemberian transfusi darah dapat berakibat terjadinya lisis
pada sel darah merah yang akan memperberat kerja ginjal dan akhirnya
terjadi gagal ginjal
2. Hal ini merupakan suatu bentuk kelalaian medik karena akibat tindakan
tenaga kesehatan yang tidak hati hati mengakibatkan terjadinya kematian

40

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Kelalaian dalam praktek medik
jika memenuhi beberapa unsur (1) duty atau kewajiban tenaga medis untuk
melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu
terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang sama, (2) dereliction of the
duty atau penyimpangan kewajiban tersebut, (3) damage atau kerugian yaitu
segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari pelayanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan, (4) direct causal
relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Sedangkan unsur
pelanggaran displin yaitu pelanggaran meliputi negligence, malfeasance,
misfeasance, lack of skill.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menghindari malpraktek
seperti semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti,
bekerja sesuai standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua
tindakan yang dilakukan (rekam medik), apabila ragu-ragu konsultasikan dengan
senior, memperlakukan pasien secara manusiawi, menjalin komunikasi yang baik
dengan pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar. Selain itu juga diperlukan
upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan
kualitas sumber daya, tenaga, peralatan, pelengkapan dan mateial yang diperlukan
dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input
dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan
dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki pelayanan kesehatan.

4.2 Saran
Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam memahami
tentang penjelasan mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum
malpraktek, serta contoh kasus yang membedakan antara malpraktek atau bukan,


41

dan pemahaman standar profesi secara keseluruhan sehingga angka kejadian
malpraktek yang dilakukan dokter dapat ditekan.



























42

DAFTAR PUSTAKA

1. Taufani A. Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis dalam Sistem Hukum di
Indonesia: Universitas Sebelas Maret; 2011.
2. Budianto A. Kasus Malpraktek Antara Penegakan Hukum dengan Rasa
Keadilan Masyarakat. Medicinus. 2009;3(1).
3. http://www.suarakendari.com/diduga-malpraktek-pasien-usus-buntu-
meninggal-usai-dioperasi.html
4. http://matatelinga.com/view/Berita-Sumut/6789/Sidang-Malpraktek-Rsu-dr-
Pirngadi-Medan.html#.U1b3d85MiMI
5. Chazawi A. Malpraktek Kedokteran. Malang: Bayu Media. 2007
6. Irianto A. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter dalam
Malpraktek. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2006
7. Hanafiah J. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1999
8. AHRQs patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk
(2004), chapter 2
9. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis
(Mosby), 1998.
10. Sofwan Dahlan dan Eko Soponyono. Hukum Kedokteran. Universitas
Diponegoro : 1994.
11. Sofwan Dahlan. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang : 2007.
12. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta :Rineka
Cipta.
13. Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH
Associates
14. Dinamika etika dan hokum kedokteran dalam tantangan zaman. Chrisdiono
M.Achadiat.EGC.


43

15. Hariyani, Safitri, 2005, SengketaMedik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta: PT. Diadit Media.
16. Hartono HS dkk. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi
Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
17. World Medical Association. World medical association statement on medical
malpractice.
http://www.wma.net/en/30publications/10policies/20archives/m2/index.html
2 Desember 2013.

Anda mungkin juga menyukai