Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian kepanitraan di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro
Disusun oleh : Nuzulul W. Laras 22010112210062 Ignatius Erik Dwi W. 22010112210164 Andita D. Erwidodo 22010113210009 Carolina Innesa 22010113210011 Annisa Rizqi 22010113210075 Fajar Akbar R. 22010113210114
Dosen Penguji: dr. Santosa, Sp. F Residen Pembimbing: dr. Suryo Wijoyo
KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP DR. KARIADI PERIODE 7 APRIL 2014 - 5 MEI 2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui oleh pembimbing, referat dari: Nama NIM Nuzulul W. Laras 22010112210062 Ignatius Erik Dwi W. 22010112210164 Andita D. Erwidodo 22010113210009 Carolina Innesa 22010113210011 Annisa Rizqi 22010113210075 Fajar Akbar R. 22010113210114
Fakultas : Kedokteran Umum Universitas : UNDIP Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Penguji : dr. Santosa, Sp.F Pembimbing : dr.SuryoWijoyo
Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Semarang, 23 April 2014 Penguji,
dr. Santosa, Sp.F
Pembimbing,
dr.SuryoWijoyo
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Manajemen untuk Mencegah Malpraktek. Penulisan referat ini adalah sebagai syarat guna memenuhi tugas kepaniteraan dokter muda forensik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan referat ini, yaitu: 1. dr. Santosa, Sp.F selaku dosen penguji 2. dr. Suryo Wijoyo selaku residen pembimbing, atas bimbingannya dalam pembuatan referat ini 3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun material 4. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan pada referat ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat menambah kesempurnaan referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan almamater pada khususnya.
Semarang, 23 April 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 BAB II MALPRAKTEK ................................................................................ 3 2.1 Definisi malpraktek ................................................................................... 3 2.2 Jenis jenis malpraktek ............................................................................ 5 2.3 Unsur malpraktek ...................................................................................... 10 2.4 Sanksi malpraktek ..................................................................................... 19 BAB III MANAJEMEN PENCEGAHAN ..................................................... 21 3.1 Usaha usaha menghindari malpraktek ................................................... 24 3.2 Penanganan terhadap malpraktek .............................................................. 36 3.3 Contoh kasus ............................................................................................. 38 BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 40 4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 40 4.2 Saran .......................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42
1
BAB I PENDAHULUAN
Saat ini, tren kesadaran hukum dan penggunaan jalur hukum di kalangan konsumen dan pasien semakin meningkat. Media massa, internet dan edukasi dari berbagai lembaga masyarakat membuat eskalasi kejadian gugatan atas malpraktek semakin meningkat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit disomasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan tenaga kesehatan di kemudian hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimetris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Di beberapa negara maju seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktek medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktek medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun- tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktek medik meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan
2
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktek ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktek. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. Kerugian atas hal ini bisa menimbulkan dampak yang luar biasa besar, bahkan dalam beberapa kasus dapat berakhir pada kebangkrutan rumah sakit atau klinik medis, dan berakhirnya reputasi dan karir jajaran manajemen dan tenaga ahli paramedis yang ada. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan malpraktek serta bagaimana cara mencegah terjadinya malpraktek dengan langkah-langkah antisipatif agar dapat terhindar dari berbagai macam tuntutan yang berkaitan dengan malpraktek tersebut.
3
BAB II MALPRAKTEK
2.1 Definisi malpraktek Malpraktek bukan hanya terjadi pada profesional medis, melainkan juga terjadi pada semua profesional, termasuk profesional di bidang hukum, perbankan, konstruksi, akuntansi dan bidang lainnya. Kita pernah mendengar kisah malpraktek profesi non medis seperti "mafia peradilan", praktek kekerasan di kepolisian, runtuhnya jembatan yang sedang/baru dibangun, laporan akuntan publik yang "palsu", musibah BLBI di dunia perbankan, dan lain-lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (WMA) yaitu Medical malpractice involves the physician failure to conform the standard of care for treatment of the patient condition, or lack of skill or negligence in providing care to the patient which is the direct cause of an injury to the patient yang artinya malpraktek medis berhubungan dengan kegagalan tenaga medis dalam melakukan prakteknya sesuai dengan standar pelayanan terhadap kondisi pasien, atau kurangnya kemampuan atau ketidakpedulian dalam penyediaan pelayanan terhadap pasien yang menjadi penyebab utama terjadinya cedera terhadap pasien. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau kelalaian medik. "An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability". Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran pada saat dan dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter.
4
Sedangkan Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai "professional misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them" yaitu kesalahan profesional atau kurangnya ketrampilan yang tidak seharusnya atau kegagalan seseorang memberikan pelayanan profesional untuk mempraktekkan derajat kemampuan dan pembelajaran yang pada umumnya diaplikasikan di bawah semua lingkungan di masyarakat oleh anggota profesi dengan hasil luka, kehilangan atau kerusakan pada mereka yang menerima pelayanan tersebut atau kepada mereka yang bersandar terhadap pelayanan tersebut. Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan di wilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya, hasil buruk atau tidak diharapkan selama dirawat di rumah sakit) sebagai akibat malpraktek medis atau akibat kelalaian medis. Padahal perlu diingat bahwa suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu : 1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. 2. Hasil dari suatu risiko yang dapat diterima sebagaimana diuraikan di atas. 3. Hasil dari suatu kelalaian (culpa).
5
4. Hasil dari suatu kesengajaan (dolus).
2.2 Jenis jenis malpraktek Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum malpraktek medik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice). a. Malpraktek Etik (ethical malpractice) Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan dan norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek etik merupakan dampak negatif dari kenajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping maupun dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain : 1. Komunikasi antara dokter dan pasien semakin berkurang 2. Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis 3. Harga pelayanan medis semaki tinggi Para dokter untuk mengambil keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, adapun pedomna tersebut antara lain : 1. Menentukan indikasi medisnya 2. Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati 3. Mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien 4. Mempertimbangkan halhal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi, hukum dan budaya. Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik antara lain :
6
Bidang diagnostik Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien, kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Bidang terapi Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.Orientasi terapi berdasarkan janji janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupaka malpraktek etik.
b. Malpraktek Yuridis (yuridical malpractice) Malpraktek yuridis dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice). 1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti: a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat). b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). c. Ada kerugian d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. e. Adanya kesalahan (schuld)
7
Apabila tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan criminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien. b.Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan. c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. d. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.
8
Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage).
2) Malpraktek Pidana (criminal malpractice) Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu: a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati. Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yaitu :
9
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Kecerobohan misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayanan jasa tempatnya bernaung. Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan : a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa
3) Malpraktek Administratif (administrative malpractice)
10
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
2.3 Unsur malpraktek 1. Unsur kesengajaan (intensional) Unsur kesengajaan (intensional) menyebabkan professional misconducts (melakukan tindakan yang tidak benar) Menahan-nahan pasien Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP, yaitu barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan (menahan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak. Istilah dari kata menahan dan meneruskan penahanan dari pasal di atas, adalah: a. Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas atau sekejap). b. Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten (delik yang selalu/ terus-menerus diperbuat). Unsur-unsur dari pasal 333, yaitu: a. Perbuatan menahan/ merampas kemerdekaan. b. Yang ditahan orang. c. Penahanan terhadap orang itu untuk melawan hak. d. Adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum. Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan seseorang, bukan kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan yang menyentuh badan seseorang yang ditahan, misalnya diikat tangannya sehingga sulit bergerak.
Membuka rahasia kedokteran tanpa hak
11
Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilainilai sosial budaya bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Disamping keberadaannya telah menjadi kecenderungan internasional, sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat (social defence). Ide menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia, terbukti dalam pasal 322 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan ribu rupiah. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pergaulan orang itu. Menurut R. Soesilo dokter yang membuka rahasia dapat dihukum menurut pasal ini, maka elemen elemen di bawah ini harus dibuktikan : a. Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia. b. Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betulbetul mengetahui, bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu. c. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu pernah jabatan. d. Membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Yang diartikan dengan rahasia yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh orang yang berkepentingan, sedang orang lain belum mengetahuinya. Siapakah yang diwajibkan menyimpan rahasia itu, tiaptiap peristiwa harus ditinjau sendirisendiri oleh hakim yang masuk disitu misalnya seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit pasiennya.
12
Proses hukum ini perlu dilakukan, agar para dokter lainnya atau para profesional dalam bidang lainnya, tidak seenaknya saja membuka dan membeberkan rahasia jabatan di muka umum. Seringkali didengar para dokter yang dengan enteng membeberkan penyakit dari pasiennya yang sebenarnya termasuk ke dalam rahasia jabatan. Para profesional ini tahu, tentang adanya rahasia kedokteran, tetapi karena tidak pernah terjadi adanya pengaduan dari mereka yang dilanggar haknya atas rahasia kedokteran, maka pelanggaran terhadap hak pasien yang satu ini seringkali terjadi. Tidak dapat dihindarkan bahwa wajib penyimpan rahasia membandingkan berat ringannya kepentingan kepentingan yang harus diperhatikan dan yang saling bertentangan. Titik tolaknya adalah menyimpan rahasianya. Hanya kalau dikehendaki oleh kepentingan kepentingan yang dianggap lebih berat dari pada kepentingan Pemilik Rahasia ditambah dengan kepentingankepentingan tersebut dan akhirnya pemutusan apakah wajib menyimpan rahasia menggunakan hak tolaknya atau tidak, dilakukan sendiri oleh wajib penyimpan rahasia, kalau dirasa perlu setelah berunding dengan satu orang atau lebih yang ia pilih, rekan atau bukan rekan. Seorang saksi sebelum memberi kesaksian harus sumpah bahwa ia akan memberi keterangan tentang segala sesuatu yang benar dan tidak lain dari pada yang benar. Ia tidak dapat mengungkapkan hanya sebagian dari kebenaran dan menyembuhkan bagian yang lain, ini akan mendapatkan kedustaan dan demikian sumpah palsu. Jadi seorang dokter atau wajib penyimpan rahasia lain dihadapkan sebagai saksi menggunakan hak tolaknya, walaupun diminta dengan sangat oleh pasiennya untuk memberi kesaksian, ada kemungkinan bahwa dokter tersebut berbuat demikian untuk kepentingan pasiennya. Menurut undang-undang RI NO. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Pasal 4 berbunyi demikian : 1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. 2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
13
perundang-undangan. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. Sanksi yang diberikan dapat sebagai berikut : 1. Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh penguasa (orang atau lembaga yang memegang kekuasaan). 2. Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh masyarakat.
Aborsi illegal Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Banyak pendapat mengenai abortus provocatus yang disampaikan oleh berbagai ahli dalam berbagai macam bidang seperti agama, kedokteran, sosial, hukum, eugenetika, dan sebagainya. Pada umumnya setiap negara mempunyai undang-undang yang melarang abortus provocatus (pengguguran kandungan). Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus therapeuticus). Dalam undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan diperjelas mengenai hal ini. Indikasi medic ini dapat berubah-ubah sesuai perkembangan ilmu kedokteran. Beberapa penyakit seperti hipertensi, tuberkulosis dan sebagainya.Sebaliknya ada pula negara yang membenarkann indikasi sosial, humaniter, dan eugenetik, seperti misalnya di Swedia dan Swiss yaitu bukan semata-mata untuk menolong ibu, melainkan juga mempertimbangkan demi keselamatan anak, baik jasmaniah maupun rohaniah. Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarhanya yang terdekat. Hendaknya
14
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk melakukannya. Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering terjadi pada wanita bersuami, yang telah sering melahirkan, keadaan sosial dan keadaan ekonomi rendah. Ada harapan abortus provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan berkurang apabila keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib. Setiap dokter perlu berperan serta untuk membantu suksesnya program keluarga berencana ini.Seperti yang telah diatur pada pasal 349 KUHP, Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. dimana dokter dapat dikenakan sanksi 4 tahun penjara.
Euthanasia Euthanasia memiliki tiga arti, yaitu : a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman dengan nama Allah di bibir. b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) oenderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan, misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang dibungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit dan sebagainya. orang yang berpendirianpro euthanasia dalam butir c, akan mengajukan supaya pasien diberi saja morphindalam dosis lethal, supaya ia bebas dari penderitaan yang berat itu. di beberapa Negara Eropa dan Amerika sudah banya terdengar suara yang pro-euthanasia. mereka mengadakan gerakan yang
15
mengukuhkannya dalam undang-undang. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra euthanasia berpendirian bahwa tindakan demikian sama dengan pembunuhan. Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan berfalsafah atau berazazkan Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada makhlukNya mengandung makna dan maksud terentu. dokter harus mengerahkan segala kepandaianannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Memberikan keterangan palsu Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa : 1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan. 3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Melakukan praktek tanpa ijin Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Ijazah yang dimiliki seseorang, merupakan persyartan untuk memperoleh ijin kerja sesuai profesinya (SID (surat ijin dokter) atau SP (Surat Penugasan)). Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti peraturan perundangundangan yang berlaku (SP, yaitu : Surat Ijin Penugasan).
16
2. Unsur Pelanggaran Negligence (kelalaian) Kelalaian adalah salah satu bentuk dari malpraktek, sekaligus merupakan bentuk malpraktek yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu: 1. Malfeasance (pelanggaran jabatan) Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang tidak tepat dan layak (unlawful/improper). Seperti melakukan tindakan pengobatan tanpa indikasi yang memadai dan mengobati pasien denga coba-coba tanpa dasar yang jelas. 2. Misfeasance (ketidak hati-hatian) Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Seperti melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. 3. Lack of skill (kurang keahlian) Melakukan tindakan diluar kemampuan atau kompetensi seorang dokter, kecuali pada situasi kondisi sangat darurat, seperti melakukan pembedahan oleh bukan dokter, dan mengobati pasien diluar spesialisasinya
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
17
situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hubungan perjanjian tenaga medis dengan pasien, tenaga medis haruslah bertindak berdasarkan : 1) Adanya indikasi medis 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti 3) Bekerja sesuai standar profesi 4) Sudah ada informed consent. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.Apabila sudah ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah sakit tersebut harus bertindak sesuai standar profesi yang berlaku.Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut, maka ia dapat dipersalahkan. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause. Di dalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu kelalaian adalah kekurangtelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya. Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya. Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama, kealpaan perbuatan. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP.
18
Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya. Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang bidan adalah kelalaian akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan padanya. Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi: 1. culpa lata (gross fault/neglect) yang bersifat kasar, berat , yaitu apabila seseorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak dilakukan 2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa. 3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan atau kecil. Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis). Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana. Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur culpa lata adalah: 1. bertentangan dengan hukum 2. akibatnya dapat dibayangkan 3. akibatnya dapat dihindarkan 4. perbuatannya dapat dipersalahkan.
19
Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu: 1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya (foreseeabilit, voorzienbaarheid). 2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid). 3. maka si pelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid). Implikasi dari tindak malpraktek adalah bahwa tindakan tersebut melanggar salah satu atau beberapa norma yang dianutnya, yaitu norma-norma etik, disiplin profesi, hukum pidana atau hukum perdata. Masing-masing pelanggaran norma tersebut haruslah diperiksa, dibuktikan dan kemudian dihukum sesuai dengan domainnya.
2.4 Sanksi malpraktek 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) a. Pasal 359 Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. b. Pasal 360 Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang luka berat dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun.
c. Pasal 361 Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang menjadi sakit atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan selamalamanya sembilan bulan atau hukuman selama-lamanya enam bulan atau hukumkan denda setinggi-tingginya Rp 4.500.000,00. 2. Undang-Undang Praktek Kedokteran a. Pasal 75 ayat 1 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek
20
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00. b. Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa meliki surat izin praktek sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 c. Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang : 1) Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 1. 2) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat 1. 3) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 huruf a,b,c,d atau e.
21
BAB III MANAJEMEN PENCEGAHAN
Tanpa mempersoalkan apakah benar saat ini banyak terjadi malpraktek di Indonesia, maka cara menyikapi isu malpraktek haruslah bersifat komprehensif dan prospektif. Komprehensif berarti menanganinya secara menyeluruh, baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Prospektif berarti menangani isu malpraktek dengan paradigma baru menuju masa depan, yaitu paradigma keselamatan pasien (patient safety) dengan cara mengendalikan risiko (risk management). Promotif dilakukan dengan menyosialisasikan berbagai isu pengetahuan, peraturan perundang-undangan, prosedur dan lain-lain. Promosi dilakukan tidak hanya kepada masyarakat profesi medis, melainkan juga kepada masyarakat luas. Tujuan promosi adalah meningkatkan pemahaman, kewaspadaan dan kemampuan menemukan peristiwa atau sikap tindak yang potensial mengakibatkan cedera atau kerugian, dan kemudian membuat perencanaan dan tindakan korektif yang tepat sehingga tidak sampai terjadi cedera atau kerugian. Preventif berarti menyelenggarakan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak perlu. Dalam tahap ini pelaksanaan etika kedokteran dan standar profesi pada tingkat individu profesional medis dan pelaksanaan good clinical governance dan risk management pada tingkat rumah sakit dapat dijadikan sasaran utamanya. Kuratif dan rehabilitatif berarti memulai dengan mendiagnosis penyebab terjadinya kelalaian medis, melakukan tindakan pengobatannya dan mengawasi pelaksanaan tindakan tersebut hingga betul-betul membawa hasil yang diharapkan. Dalam hal ini tindakan diagnosis untuk mengetahui penyebab terjadinya kelalaian medis dan bagaimana kekerapannya merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Bagi mereka yang terbukti melakukan malpraktek ataupun kelalaian medis haruslah memperoleh tindakan korektif yang sesuai dengan domainnya dan peraturan perundang-undangan yang diacunya. Dalam makalah ini selanjutnya
22
hanya akan dibahas pengaturan dan penanganan dugaan kelalaian medis dari sisi etik dan disiplin profesi kedokteran saja, sesuai dengan permintaan panitia. Dalam dua sampai tiga dekade terakhir dunia pelayanan kedokteran telah mulai menggunakan paradigma patient safety dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan medis dan menekan risiko yang dihadapi pasien. Paradigma ini diberlakukan pada tingkat individu pemberi layanan, rumah sakit dan bahkan di tingkat wilayah atau nasional. Indonesia sebagai bagian dari dunia, dalam hal ini Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), mulai mencanangkan gerakan nasional patient safety. Gerakan ini mengutamakan kepada pembudayaan good clinical governance dan risk management. Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: 1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum pelakunya harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen (dan atau komite medis), sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari. 2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik serta tokoh-tokoh terkemuka di rumah
23
sakit. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik. 3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya- upaya meningkatkan keselamatan pasien. 4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya. 5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman. 6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan clinical governance yang memastikan akuntabilitas layanan dan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Clinical governance diartikan sebagai a framework through which NHS organizations are accountable for continously improving the quality of their services and safeguarding high standards of care by creating an environment in which excellence in clinical care will flourish. Upaya ini memerlukan 3 komponen penting, yaitu pencegahan kegagalan atau kesalahan layanan, belajar dari pengalaman yang baik dan perubahan organisasi kesehatan ke arah suasana yang kondusif. Sementara itu, dalam bidang kesehatan dan keselamatan, manajemen risiko lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sedangkan di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi,
24
evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing). Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
3.1 Usaha-usaha menghindari malpraktek Defensive Medicine Defensive medicine merupakan suatu alur praktek kedokteran yang ditujukan untuk menghindarkan kemungkinan ancaman tuntutan malpraktek dikemudian hari. Pertimbangan utama dalam praktek defensive medicine lebih untuk menghindarkan pertanggungjawaban hukum dibandingkan untuk kepentingan pasien. Hal yang sering melatarbelakangi tuntutan hukum malpraktek yang tidak tepat atau berlebihan adalah berkaitan keterbatasan informasi dan
25
kekurangpahaman mengenai aspek-aspek keputusan klinis (terutama terkait diagnosis dan terapi) dalam praktek kedokteran. Seorang dokter dapat menerapkan 2 tipe defensive medicine : 1) Tipe I : untuk menurunkan risiko semaksimal mungkin terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek, akan melakukan berbagai pemeriksaan medis secara berlebihan terhadap pasien yang ditanganinya (overtreatment) sehingga pembiayaan semakin tinggi. 2) Tipe II : dokter tidak melakukan tes atau prosedur medis yang menguntungkan (undertreatment). Semua tindakan sesuai indikasi medis Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi memiliki surat ijin tugas mengingat informed consent dan rekam medik serta rahasia jabatan atau rahasia kesehatan dari hasil pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan berdasarkan indikasi medis, standar pelayanan, protap pelayanan dengan memperhatikan dan menjelaskan berbagai resiko penyakit, keadaan pasien, dan tindakan kesehatan selanjutnya tenaga kesehatan harus menerapkan etika umum dan profesi dan bila tidak mungkin bisa ditangani yang bukan kompetensinya harus di rujuk atau diserahkan kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi.Prinsip-prinsip tersebut jika dijabarkan satu persatu antara lain : 1. Tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan dengan memperoleh ijasah termasuk dalam PP No. 32 Tahun 1996. 2. Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi hasil ujian 3. Tenaga Kesehatan memiliki surat ijin praktek (SIP) dan Surat Tugas dari Direktur Rumah Sakit, Dinas Tenaga Kesehatan, Dekan (Pimpinan Pendidik), dan dari Pemerintah yang lainnya. 4. Tiap menangani pasien harus ada ijin atau persetujuan tertulis atau lisan dari pihak pasien dan keluarganya. 5. Dalam pelayanan kesehatan harus menerapkan standar pelayanan dan protap pelayanan kesehatan profesi yang dibuat oleh tenaga profesi. Ini biasanya dibuat SK oleh Direktur Rumah Sakit atau pimpinan Rumah Sakit setempat.
26
6. Hasil pemeriksaan/pelayanan atau tindakan ditulis dicatat secara khusus oleh dokter yang melakukan tindakan atau pemeriksaan atau singkatnya ditulis yang disebut sebagai rekam medis/rekam rumah sakit. 7. Point 4,5, dan 6 di atas harus dirahasiakan sesuai dengan peraturan PP No.10 tahun 1966 dan Undang-undang kesehatan yang lain. 8. Dalam menangani pasien atau tindakan harus berdasarkan indikasi medis dan kontra indikasi medis. 9. Dalam menangani pasien harus menerangkan mengenai resiko, antara lain resiko keadaan pasien, resiko penyakitnya, dan resiko tindakan. 10. Dalam komunikasi dengan pasien dan keluarga serta masyarakat harus menerapkan etika umum dan etika profesi dimana tenaga kesehatan tersebut bekerja. 11. Kemungkinan dalam menangani pasien memperoleh kesulitan karena tidak kompetensinya sehingga harus dirujuk/dikirim/ dikonsultasikan kepada tenaga kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke rumah sakit sesuai dengan tingkat pelayanan yang lebih prima. 12. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan sengketa atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara komunikasi yang sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-rambu aturan hukum kesehatan. Jangan menerapkan Undang-Undang diluar Undang-Undang Hukum Kesehatan. Bekerja sesuai standar profesi Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan dipupuk, sesuai dengan fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap
27
sesama manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai sifat lain yang terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter. Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu : 1. Standar keterampilan a. Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan standar ditempat prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderitan perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap. b. Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia. 1. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk berhasilnya profesi dokter dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian, yakni: a. Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan. b. Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. 3. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan penderita dan hubungannya dengan dokter lainnya, yaitu : a. Pasien harus diperlakukan secara manusiawi. b. Semua pasien diperlakukan sama. c. Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara menyeluruh. d. Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara menyeluruh. e. Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya. f. Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak memberatkan pasien. g. Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.
28
h. Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya disuruh masuk ke dalam ruang praktek atau disaksikan oleh perawat, kecuali bila dokternya wanita. i. Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang praktek, melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme. 4. Standar catatan medik Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang didalamnya dicantumkan identitas penderita, alamat, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien. Membuat informed consent Secara harfiah informed terkait dengan informasi atau penjelasan sedangkan consent artinya persetujuan, atau lebih tajam lagi, izin. Dapat disimpulkan bahwa informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya
29
informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien. Suatu informed consent harus meliputi : 1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya 2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya 3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati 4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi 5. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan. Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu : 1. Implied Consent (dianggap diberikan) Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. 2. Expressed Consent (dinyatakan) Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. Hakikat informed consent mengandung 2 (dua) unsur penting yaitu : 1. Informasi yang diberikan oleh dokter. 2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
30
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut : 1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya percobaan). 2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul. 3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien. 4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau tindakan berlangsung. 5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya. 6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut. Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes
31
Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan informed consent. Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian atau keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut : 1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut. 2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya. 3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya. 4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter. Mencatat semua tindakan yang dilakukan Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan medik di rumah sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam Medis sangat penting dalam mengemban mutu pelayanan medik yang diberikan oleh rumah sakit beserta staf mediknya. Rekam Medis merupakan milik rumah sakit yang harus dipelihara karena bermanfaat bagi pasien, dokter maupun bagi rumah sakit. Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak pada dokter yang merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya bantuan yang diberikan kepadanya dalam melengkapi rekam medis oleh staf lain di rumah sakit. Dokter mengemban tanggung jawab terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis. Data harus dipelajari kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga oleh dokter yang merawat. Pada saat ini banyak rumah sakit menyediakan staf bagi dokter untuk melengkapi rekam medis. Namun demikian tanggung jawab utama
32
dari isi rekam medis tetap berada pada dokter yang bertanggung jawab. Nilai ilmiah dari sebuah rekam medis adalah sesuai dengan taraf pengobatan dan perawatan yang tercatat. Oleh karena itu ditinjau dari beberapa segi rekam medis sangat bernilai penting karena : 1. Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang maupun di masa yang akan datang. 2. Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun dokter dalam segi hokum (medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter sendiri. 3. Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun administratif. Personil rekam medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan kepadanya. Bilamana diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode penyakitnyapun tidak tepat, sehingga indeks penyakit mencerminkan kekurangan. Hal ini berakibat riset akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu data statistik dan laporan hanya dapat secermat informasi dasar yang benar. Rekam medis harus memuat isi sebagai berikut : 1. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan keluar, sesuai dengan istilah terminologi yang dipergunakan, semua diagnosa serta tindakan pembedahan yang dilakukan harus dicatat Simbol dan singkatan jangan dipergunakan. 2. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada sebuah catatan, serta telah menandatangani juga catatan yang ditulis oleh dokter lain Pada rumah Sakit Pendidikan, yaitu : Riwayat Penyakit, Pemeriksaan fisik dan resume Lembaran lingkaran masuk dan keluar tidak cukup apabila hanya ditanda tangani oleh seorang dokter. 3. Bahwa laporan riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik dalam keadaan lengkap dan berisi semua data penemuan baik yang positif maupun negatif. 4. Catatan perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa klinis keadaan pasien. Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan pasien.
33
5. Hasil Laboratorium dan X-Ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta ditanda tangani oleh pemeriksa. 6. Semua tindakan pengobatan medik ataupun tindakan pembedahan harus itulis dicantumkan tanggal, serta ditanda tangani oleh dokter. 7. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan staf medik harus dicatat secara lengkap serta ditanda tangani Hasil konsultasi, mencakup penemuan konsulen pada pemeriksaan fisik terhadap pasien termasuk juga pendapat dan rekomendasinya. 8. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan dicatat secara lengkap, mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat prenatal sampai masuk rumah sakit. Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah sakit, jugavharus dicatat secara lengkap. 9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang Observasi &vPengobatan yang diberikan harus lengkap catatan ini harus diberi cap dan tandavtangan. 10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi ringkasan tentang penemuan, dan kejadian penting selama pasien dirawat, keadaan waktu pulang saran dan rencana pengobatan selanjutnya. 11. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat segera (dalam waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap harus dibuat dan digabungkan dengan rekam medis 12. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas pencatatan yang dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik. Pertanggungjawaban untuk mengevaluasi mutu pelayanan medik terletak pada dokter yang bertanggung jawab. Berikut pasal yang mengatur mengenai rekam medis : Pasal 46 1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis. 2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
34
3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Pasal 47 1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. 2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. 3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter yang melaksanakan tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Pada saat emergency, dokter berhak melakukan upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu. Rekam Medis harus diberi data yang cukup terperinci, sehingga dokter lain dapat mengetahui bagaimana pengobatan dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat memberikan pendapat yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien yang akan datang dari prosedur yang telah dilaksanakan. Memperlakukan pasien secara manusiawi Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama bagi dokter yang baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan klinis yang baik, tetapi dokter yang memiliki sense atau rasa kemanusiaan ketika berhadapan dengan pasien. Secara detail, studi itu menunjukkan bahwa ada empat aspek utama yang harus dimiliki seorang dokter, salah satunya adalah memiliki sense kemanusiaan (humanness). Dokter yang baik adah dokter yang menghargai dan merawat pasiennya secara manusia dan tidak menganggap mereka sebagai objek mencari keuntungan pribadi. Saat bertemu dengan pasien, dokter yang baik
35
memiliki niat dan komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang ke rumahnya dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit. Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi dan profesional. Mereka mendengarkan keluhan pasien dengan cermat, tidak menginterupsi keluhan mereka, seta memiliki rasa empati dengan penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter yang baik tidak memeriksa pasien secara tergesa- gesa sekedar karena ingin cepat-cepat menyelesaikan konsultasi dan memanggil pasienberikutnya. Dengan memiliki sense kemanusiaan yang tinggi, dokter yang baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak membiarkan orang lain mengetahui keluhan dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya sebagai manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena 2 hal, yaitu: 1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu) Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. 2. Berdasarkan hukum (ius delicto) Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien, timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis) dimana sang dokter berjanji memberikan "prestasi" berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya dan pasien selain melakukan pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan usaha karena
36
didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil atau resultaat pada perikatan hasil (resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan dokter tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis. Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbulah hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter.
3.2 Penanganan Terhadap Malpraktek: Cara Hukum Kesehatan Mengatasi Tindakan Malpraktek Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, tenaga kesehatan karena rutinitas menjalankan pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar. Tenaga kesehatan dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh tenaga kesehatan. a. Pemerintah melalui Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktek kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. Tenaga kesehatan harus menggunakan lembar informed consent secara maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang diterima. Hal tersebut adalah salah satu cara untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. b. Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam rekam medik. Serta berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan dengan baik sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien,
37
maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi proses tindakan medik. c. Tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara formal mau pun informal. d. Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi, persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan second opinion. e. Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh tenaga kesehatan adalah mengerti dan mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun secara informal pun cukup. f. Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri, perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan tidaklah mungkin dihadapi tenaga kesehatan tanpa bantuan pihak yang mengerti hukum. Cara Tim Kesehatan dalam Mengatasi Malpraktek: - Mentaati kode etik dan sumpah - Mentaati disiplin - Mentaati peraturan perundang undangan: umum (pidana, perdat, administrasi), khusus kesehatan (UU Kesehatan, UU Praktek Kedokteran) - Mempunyai SIP, STR,Sertifikasi - Melaksanakan standar profesi medis - Melaksanakan persetujuan tindakan medis (informed consent) - Membuat rekam medis (medical record) - Memegang rahasia kedokteran - Melakukan kendali mutu,kendali biaya (audit medis) - Melaksanakan hak dan kewajiban dokter pasien - Melakukan komunikasi yang baik dengan pasien - Tidak melakukan kesalahan atau kelalaian - Melaksanakan HAM
38
- Memiliki perlindungan asuransi - Memberikan kasih sayang pada pasien sebagaimana kita mengasihi diri sendiri, melayani pasien dan keluarganya dengan jujur, penuh rasa hormat. - Menggunakan pengetahuan untuk menetapkan diagnosa yang tepat dan melaksanakan intervensi yang diperlukan. - Mengutamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu tentang tindakan yang akan di lakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, didiskusikan bersama tim kesehatan, guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya. - Mengikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja berdasarkan pedoman yang berlaku. - Tidak melakukan tindakan yang belum kita kuasai. - Melakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Membiasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku. - Pelimpahan tugas secara bijaksana dan menerima atau meminta orang lain menerima tanggungjawab yang tidak dapat kita tangani.
3.3 Contoh kasus Kasus 1. Meninggal setelah operasi usus buntu Senin tanggal 27 Januari 2014 pukul 15.00 17.30 WITA, pasien berinisial A ( 19 tahun) menjalani operasi usus buntu oleh dokter ahli di Rumah Sakit Prayoga, Kendari. Menurut orang tua A, setelah menjalani operasi, anaknya merasa kesakitan dan perutnya membengkak, serta suhu badannya naik secara drastis. Kemudian dia menanyakan keluhan tersebut ke perawat penjaga dan dikatakan bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa setelah operasi usus buntu. Setelah itu, seorang perawat jaga mendatangi pasien dan menyuntikan obat pada infus pasien tanpa memberitahukan kepada mereka tentang isi maupun kegunaan obat tersebut. Keesokan harinya (28 Januari 2014) pukul 11.30 WITA, pasien meninggal dunia.
39
Analisa kasus : 1. Keluhan yang timbul pada kasus di atas termasuk suatu risiko medis yang berupa reaksi peradangan. Pada umumnya, sebagai penanganan paska operasi diberikan obat obat seperti anti inflamasi yang juga dapat bekerja sebagai analgetik dan antibiotik profilaksis. 2. Perawat jaga tidak menyampaikan kepada pihak keluarga tentang obat yang disuntikan ke infus sehingga pihak keluarga merasa tidak mendapatkan kejelasan tentang obat tersebut dan menimbulkan gambaran bahwa mendapatkan pelayanan yang buruk
Kasus 2. Salah transfusi darah Pada Januari 2013, pasien berinisial S M berobat ke RSU Pringadi Medan dan didiagnosa dengan penyakit anemia dan bronkitis. Pasien kemudian mendapatkan transfusi darah golongan AB dan ternyata pasien memiliki golongan darah B. Setelah transfusi tersebut, pasien mengalami demam, lemas dan sampai lumpuh, bahkan kondisinya makin memburuk dan akhirnya beberapa hari kemudian pasien meninggal. Keluarga pasien kemudian melaporkan kasus tersebut secara perdata ke PN Medan menutut kerugian material Rp. 200 jt dan inmaterial Rp. 3,5 M kepada pihak tergugat yakni direktur RSU dr. Pringadi
Analisa kasus : 1. Kesalahan dalam pemberian transfusi darah dapat berakibat terjadinya lisis pada sel darah merah yang akan memperberat kerja ginjal dan akhirnya terjadi gagal ginjal 2. Hal ini merupakan suatu bentuk kelalaian medik karena akibat tindakan tenaga kesehatan yang tidak hati hati mengakibatkan terjadinya kematian
40
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Kelalaian dalam praktek medik jika memenuhi beberapa unsur (1) duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang sama, (2) dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut, (3) damage atau kerugian yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari pelayanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan, (4) direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Sedangkan unsur pelanggaran displin yaitu pelanggaran meliputi negligence, malfeasance, misfeasance, lack of skill. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menghindari malpraktek seperti semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua tindakan yang dilakukan (rekam medik), apabila ragu-ragu konsultasikan dengan senior, memperlakukan pasien secara manusiawi, menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar. Selain itu juga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan kualitas sumber daya, tenaga, peralatan, pelengkapan dan mateial yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki pelayanan kesehatan.
4.2 Saran Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam memahami tentang penjelasan mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum malpraktek, serta contoh kasus yang membedakan antara malpraktek atau bukan,
41
dan pemahaman standar profesi secara keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang dilakukan dokter dapat ditekan.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Taufani A. Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis dalam Sistem Hukum di Indonesia: Universitas Sebelas Maret; 2011. 2. Budianto A. Kasus Malpraktek Antara Penegakan Hukum dengan Rasa Keadilan Masyarakat. Medicinus. 2009;3(1). 3. http://www.suarakendari.com/diduga-malpraktek-pasien-usus-buntu- meninggal-usai-dioperasi.html 4. http://matatelinga.com/view/Berita-Sumut/6789/Sidang-Malpraktek-Rsu-dr- Pirngadi-Medan.html#.U1b3d85MiMI 5. Chazawi A. Malpraktek Kedokteran. Malang: Bayu Media. 2007 6. Irianto A. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter dalam Malpraktek. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2006 7. Hanafiah J. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1999 8. AHRQs patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2 9. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. 10. Sofwan Dahlan dan Eko Soponyono. Hukum Kedokteran. Universitas Diponegoro : 1994. 11. Sofwan Dahlan. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang : 2007. 12. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta :Rineka Cipta. 13. Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH Associates 14. Dinamika etika dan hokum kedokteran dalam tantangan zaman. Chrisdiono M.Achadiat.EGC.
43
15. Hariyani, Safitri, 2005, SengketaMedik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta: PT. Diadit Media. 16. Hartono HS dkk. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 17. World Medical Association. World medical association statement on medical malpractice. http://www.wma.net/en/30publications/10policies/20archives/m2/index.html 2 Desember 2013.