Anda di halaman 1dari 14

Tugas Hukum Tata Negara:

KLIPING ARTIKEL MEDIA CETAK dan ONLINE


MASALAH-MASALAH KETATANEGARAAN

Nama : ANDRI HERMAWAN


NIM : 11401244004
PKnH B 2011

Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013

Kedudukan Wakil Menteri Tetap Belum Jelas

JAKARTA, KOMPAS.com Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor


60 tahun 2012 untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
kedudukan wakil menteri ternyata belum menyelesaikan persoalan. Pakar hukum
tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai kedudukan wakil menteri yang diatur
dalam Perpres 60/2012 masih bertentangan dengan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Menurut Perpres 60/2012, wakil menteri berada (di bawah) dan bertanggung
jawab kepada menteri. Tugasnya membantu menteri dalam memimpin
pelaksanaan tugas kementerian. Rincian tugas wakil menteri (wamen) diuraikan
secara

rinci

dalam

Pasal

Perpres

tersebut,

antara

lain:

a. membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan kementerian;


b. membantu menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kerja;
c. memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan
pelaksanaan

tugas

dan

fungsi

kementerian.

d. melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan fungsi


kementerian;
e. membantu menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian jabatan di
lingkungan kementerian.
Menurut Yusril, kedudukan wamen yang disebutkan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada menteri sebagaimana disebutkan dalam Perpres
60/2012 itu tidaklah sejalan dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian. Disebutkan dalam
pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas pimpinan, yakni
menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu pimpinan, direktur jenderal sebagai
pelaksana tugas pokok, dan seterusnya.

Keberadaan wamen tidak ada dalam struktur organisasi kementerian. Namun,


keberadaannya disebutkan dalam Pasal 10 yang mengatakan, "Dalam hal terdapat
beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat
mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu".
Kebingungan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam UU
Kementerian Negara itu akhirnya diatur sendiri oleh Perpres 60/2012. Wamen
ditempatkannya secara struktural berada "(di bawah) dan bertanggung jawab
kepada menteri". Tugasnya adalah "membantu menteri dalam memimpin
pelaksanaan tugas kementerian".
Tugas wamen dalam Perpres 60/2012 ini amatlah luas, yakni membantu menteri
dalam memimpin dan melaksanakan hampir seluruh tugas kementerian
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Kementerian Negara.
Padahal, Pasal 10 UU Kementerian Negara menyebutkan, keberadaan wamen
hanya untuk melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan secara
khusus pada kementerian tertentu, bukan untuk membantu menteri dalam
memimpin pelaksanaan tugas kementerian yang begitu luas sebagaimana diatur
Pasal 8 UU Kementerian Negara.
Dilihat dari sudut ini, jelaslah bahwa Perpres 60/2012 itu bertentangan dengan
ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara. "Presiden SBY dan para legal
drafter-nya nampak gagal memahami makna Pasal 10 UU Kementerian Negara,
dikaitkan dengan tugas pokok kementerian dan struktur organisasinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan 9 undang-undang tersebut.
"Keberadaan wamen, yang tugasnya terbatas hanya untuk melaksanakan beban
kerja yang memerlukan penanganan khusus, haruslah dirujuk pada Pasal 8, yakni
apa sajakah tugas pokok kementerian tertentu yang dirasakan memerlukan
penanganan secara khusus itu," kata Yusril.

Secara lebih rinci, beban tugas kementerian tertentu terdapat dalam organiasi dan
tata laksana (orta) kementerian yang bersangkutan. Dari rincian itulah dapat
dipilah-pilah, mana beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus pada
kementerian itu, dan mana yang tidak.
Pada Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, terdapat beban kerja yang
memerlukan penanganan khusus, yakni mempersiapkan dan mengharmonisasikan
rancangan peraturan perundang-undangan, serta beban mewakili Presiden
membahas RUU dengan DPR.
Maka, Wamenkumham seharusnya tugasnya menangani bidang ini saja, bukan
yang lain. Ini agar Menkumham tidak perlu menghabiskan sebagian besar
waktunya di DPR, sehingga kurang waktu mengerjakan tugas-tugas lain.
Akan tetapi, dengan Perpres No 60/2012, Wamenkumham bukan lagi berfungsi
melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus,
melainkan membantu Menkumham melaksanakan hampir semua tugas pokok
kementerian. "Bukan itu maksud ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara,"
kata Yusril.
Yusril menjelaskan, tugas Wamen dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara
hampir sama dengan kedudukan Menteri Muda sejak Kabinet Amir Sjarifuddin
sampai Kabinet Soeharto, yakni membantu menteri untuk menangani tugas
tertentu.
Dr Daoed Joesoef misalnya menjadi Mendikbud dan Dr Abdul Gafur menjadi
Menmud Pemuda dan Olah Raga. Tugas Gafur hanya menangani pemuda dan
olahraga. Dia tidak membantu Daoed Joesoef menangani kurikulum SD atau
pengadaan buku-buku di sekolah dan perguruan tinggi.
Demikian pula Menmud Sekkab Saadillah Mursyid yang membantu Mensesneg
Moerdiono. Tugasnya jelas hanya menangani bidang-bidang tertentu yang

memerlukan penanganan khusus, administrasi sidang kabinet, serta penanganan


laporan dan arahan Presiden kepada para menteri.
Semua menteri muda, baik Kabinet Amir maupun Kabinet Soeharto adalah
anggota kabinet. Dalam melaksanakan tugas tertentu itu, mereka berkoordinasi
dengan menteri, tetapi bertanggung jawab kepada presiden karena presiden yang
mengangkat menteri muda itu.

Presiden Bisa Perintahkan Kapolri Hentikan Penyidikan

JAKARTA, KOMPAS.com Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas


Sumatera Barat, Saldi Isra, berpendapat, penyelesaian sengketa kewenangan
antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan kasus dugaan
korupsi Korlantas Polri tidak perlu melalui mekanisme uji materi Mahkamah
Konstitusi (MK). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa turun tangan
menengahi karena posisi Polri berada di bawah Presiden.
"Yang harus menengahi sengketa penyidikan perkara itu (dugan korupsi simulator
SIM Korlantas Polri) adalah Presiden. MK tidak berwenang karena Polri ada di
bawah Presiden. Jadi, Presiden SBY-lah yang harus menengahi sengketa
tersebut," ujar Saldi Isra ketika dihubungi Kompas.com, Jakarta, Selasa
(7/8/2012).
Menurut Saldi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK)
sudah jelas menyatakan bahwa lembaga penegak hukum lain harus mundur jika

KPK sudah lebih dulu menyelidiki satu perkara. Presiden, kata dia, seyogianya
memahami amanat undang-undang ini.
"Presiden harus segera memerintahkan Kapolri menghentikan penyidikan.
Presiden harus memberikan ruang bagi KPK. Jangan sampai ada pendapat bahwa
permasalahan ini berlarut karena Presiden yang tidak tanggap," ungkapnya.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch,
Danang Widoyoko, mengemukakan hal yang sama. Menurutnya, uji materi tidak
akan berpengaruh dalam penyelesaian sengketa. Sebab, apa pun keputusan MK
tidak berlaku surut, sementara penyidikan tidak bisa dihentikan semata-mata
hanya menunggu putusan MK.
Oleh karena itu, menurut dia, langkah yang paling tepat adalah Presiden meminta
Polri tunduk pada UU KPK. "Keputusan MK atas uji materi UU KPK tidak
berpengaruh, kan, sifat putusan MK tidak berlaku surut. Kalau sekarang baru
mengajukan uji materi ke MK, keputusan diterima atau tidaknya, kan, masih
beberapa bulan ke depan, sementara proses penyidikan tidak dapat dihentikan,"
papar Danang.

Polemik Bendera Aceh


Selesaikan Soal Bendera Aceh secara Bijaksana
JAKARTA, KOMPAS.com Pemerintah diharapkan tidak bereaksi terlalu
keras terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk menggunakan
bendera tertentu. Masalah ini sebaiknya dipecahkan secara bijaksana agar tetap
bisa menjaga perdamaian yang sudah dicapai beberapa tahun ini dan tetap
mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945.
Harapan itu disampaikan pengamat hukum tata negara, Andi Irmanputra Sidin, di
Jakarta, Senin (1/4/2013).

Polemik bendera dan lambang Aceh terjadi setelah pekan lalu ketika DPR Aceh
menetapkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Bendera itu dinilai mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kementerian
Dalam Negeri meminta qanun itu dievaluasi kembali.
Menurut Irmanputra, pesoalan bendera Aceh sebenarnya tidak perlu terlalu
dikhawatirkan karena bentuk bendera partai politik, bendera klub sepak bola, atau
bendera kelompok lain juga bermacam-macam. Reaksi keras diperlukan jika
bendera itu dianggap menjadi bagian dari upaya atau rangkaian dari rencana suatu
perbuatan merongrong kewibawaan UUD 1945. Jika bisa dibuktikan demikian,
maka hal itu layak untuk diwaspadai.
"Pemerintah jangan sampai bereaksi terlalu berlebihan yang kemudian dapat
mengganggu kedamaian yang terjadi di suatu wilayah, termasuk di Aceh.
Sebaiknya masalah ini didekati secara bijaksana oleh semua pihak. Jangan
diselesaikan secara linear hitam-putih. Namun, yang utama, semuanya jangan
menabrak UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia," tuturnya.

Grasi Tidak Bisa Dicabut


Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat mencabut
grasi yang diberikan kepada terpidana mati kasus narkotika, Meirika Franola (42)
alias Ola. Meski dalam tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan
grasi,

pencabutan

grasi

melanggar

konvensi

dan

akan

menimbulkan

ketidakpastian hukum.
Selain itu, tidak ada alasan materiil seperti kesalahan identitas penerima grasi
untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Upaya yang harus
dilakukan adalah mengevaluasi mengapa Ola dapat mengendalikan bisnis narkoba
di lembaga pemasyarakatan dan segera memproses hukum kasus ini.

Demikian dikatakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana


Indriyanto Seno Adji, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, pengamat
hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, dan Ketua Departemen Penegakan
Hukum Partai Demokrat Benny K Harman secara terpisah di Jakarta, Rabu (7/11).
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga mengatakan, langkah
penting saat ini adalah memproses hukum kasus baru Ola dengan cepat. Jika Ola
tetap menjadi pengedar narkotika meski telah mendapat grasi, dia yang salah
karena membalas niat baik Presiden dengan tetap melakukan kejahatan, ucap
Denny.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan Djoko Suyanto menyatakan bahwa Presiden mempertimbangkan
kemungkinan mencabut grasi yang diberikan kepada Ola (Kompas, 7/11). Hal ini
karena Ola ditengarai mengotaki peredaran narkoba, seperti dalam kasus yang
diungkap Badan Narkotika Nasional, beberapa waktu lalu.
Lebih berat
Jimly menyarankan, jika memang benar Ola terlibat lagi dalam peredaran
narkoba, Ola diproses hukum dengan hukuman yang lebih berat. Untuk itu,
penegak hukum harus tegas, ancaman hukumannya harus dibikin berlipat. Dan itu
sudah pantas diajukan hukuman mati. Dengan begitu, kita tidak merusak sistem,
tapi ketegasan kita sebagai negara tecermin dalam sikap itu, katanya.
Di sisi lain, Jimly menilai, kasus Ola ini menjadi pembelajaran agar pemberian
grasi ke depan harus dengan pertimbangan yang matang dan melibatkan pihakpihak terkait yang berkompeten.
Menurut Irmanputra Sidin, tidak matangnya proses pemberian grasi kepada
seseorang oleh Presiden bisa menjadi indikator bahwa Presiden tidak serius
mengelola negara.

Menurut Denny maupun Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, tidak adil
jika Presiden dinilai negatif atas pemberian grasi kepada Ola yang
ternyata diduga terlibat lagi peredaran narkoba.
Kesalahan tidak pada Presiden yang memberikan grasi, tapi pada Ola yang diberi
grasi yang membalasnya dengan air tuba, kalau memang Ola dan kawan-kawan
terbukti melakukan yang disangkakan, katanya.
Secara terpisah, Djoko Suyanto membantah anggapan bahwa Presiden salah
menerima masukan saat memutuskan grasi bagi Ola. Dulu (grasi) diberikan
karena yang bersangkutan itu tidak melakukan apa-apa. Dia bukan pengedar, tapi
waktu itu hanya kurir. Kalau sekarang di penjara masih seperti itu, kemungkinan
besar (grasi) akan dicabut, katanya.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mendukung jika Presiden mencabut
grasi yang telah diberikan kepada Ola. Perlu juga ditelusuri bagaimana proses
pengusulan dan pertimbangan grasi yang tidak akurat itu bisa masuk kepada
Presiden.
Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, grasi bisa saja
dicabut. Namun, grasi baru bisa dicabut kalau ada putusan pengadilan yang
menyatakan Ola mengendalikan perdagangan narkoba dari LP.

Analisis

Dari beberapa artikel dari media cetak maupun media online di atas dapat
dikatakan bahwa masalah ketatanegaraan di Indonesia masih sangat banyak, mulai
pemberian grasi Presiden hingga munculnya peraturan tentang harus ada
perwakilan 30% caleg perempuan yang dianggap peraturan yang terlalu dini
dikeluarkan karena tingkat partisipasi perempuan yang masih minim.
Selain itu polemic muncul karena posisi Wakil Menteri dianggap membingungkan
karena tidak sesuai konstitusi dan tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 9 UndangUndang Nomor 39 Tahun 2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian.
Disebutkan dalam pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas
pimpinan, yakni menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu pimpinan, direktur
jenderal sebagai pelaksana tugas pokok, dan seterusnya. Walaupun hal ini sudah
dibantah Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan MK Nomor
79/PUU-IX/2011 yang mempertegas Perpres 60/2012.

Posisi wakil menteri sendiri mucul karena beberapa alas an. Menurut Presiden,
terdapat sejumlah Kementrian yang beban tugasnya sangat besar. Presiden
mencontohkan Kementrian Keuangan. Menteri Keuangan (Menkeu) menurutnya
memiliki beban tugas yang sangat berat dan menghabiskan waktunya dengan DPR
untuk membahas soal anggaran. Apalagi Menkeu juga dirasa penting untuk
menghadiri sejumlah forum ekonomi internasional.Sejumlah asas kehematan dan
kemanfaatan terkait pengangkatan sejumlah Wamen telah menjadi perhatian
dalam pertimbangan Presiden mengambil kebijakan pengangkatan sejumlah
Wamen. Dengan kata lain pengangkatan beberapa wakil menteri tersebut
bertujuan untuk optimalisasi kementrian. Begitulah jika dilihat dari sudut pandang
Presiden. Namun masih banyak juga yang menganggap terlalu banyak kelemahan,
salah satunya adalah pemborosan anggaran.

Sedangkan dalam masalah lain mengenai keterwakilan perempuan dalam politik,


terutama parlemen. Dalam rangka kesetaraan Gender,

Undang-undang No. 10

tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008
tentang Partai Politik (Parpol), mengatur bahwa kuota keterlibatan perempuan
dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam
parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan
penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada
kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk
dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal
calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan
perempuan.
Ada yang pro dan ada yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak
awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara
khusus termaktub di pasal 65 ayat 1. Aturan ini dianggap masih terlalu premature
jika ditetapkan karena tingkat partisipasi kaum perempuan ini masih sangat
rendah. Hal inilah yang dianggap menjadi salah satu penyebab makin merosotnya
kinerja Parlemen karena parlemen banyak diisi oleh orang ang tidak berkompeten.
Memang partai politik dalam proses kaderisasi terkesan asal-asalan untuk
memenuhi kuota tersebut dan kebanyakan partai politik hanya mengejar kuantitas
dan bukan kualitasnya.
Situasi tersebut diataslah yang dikhawatirkan juga berpengaruh kepada
munculnya banyak kebijakan yang akan menibulkan kontroversi dan polemic di
masyarakat. Namun tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa kaum perempuan
dapat memberkan perubahan pada parlemen dengan mampu melakukan perbaikan
kebijakan.
Memang tidak semua kebijakan mampu berjalan dengan baik, banyak juga
kebijakan yang bertujuan baik tetapi dianggap bertentangan dengan kebijakan
lain. Hal ini dapat dilihat dalam pemberian grasi oleh Presiden kepada Meirika
Franola (42) alias Ola. Memang Grasi merupakan hak prerogratif Presiden melalui

pertimbangan Mahkamah Agung. Namun pemberian grasi kepada Olla dianggap


bertentangan dengan upaya pemberantasan narkoba. Terlepas dari siapa yang
bersalah, entah Presiden atau yang memberi pertimbangan dalam hal ini
Mahkamah Agung, namun grasi ini tidak bias dicabut begitu saja. Meski dalam
tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan grasi, pencabutan grasi
melanggar konvensi dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, tidak ada alasan materiil seperti kesalahan identitas penerima grasi
untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Upaya yang harus
dilakukan adalah mengevaluasi mengapa Ola dapat mengendalikan bisnis narkoba
di lembaga pemasyarakatan dan segera memproses hukum kasus ini. Tentu saja
hal ini berimbas pada munculnya ada mafia dilingkungan istana yang
memudahkan Olla untuk mendapatkan Grasi.
Memang persoalan kemanusiaan yang menjadi dasar Presiden memberikan grasi
kepada Olla adalah hak setiap orang dan Negara harus melindunginya. Tetapi
pemberian grasi ini dianggap melindungi kemanusiaan hanya bagi pengedar
narkoba, tetapi mengabaikan pihak korban dari kejahatan narkoba itu sendiri.
Polemik kembali muncul ketika Olla disebut-sebut bermain kembali dalam bisnis
haram tersebut. Jika memang ini benar terjadi maka grasi yang banyak pihak
menentang, menjadi sia-sia. Dan jika tertangkap kembali, Olla harus dihukum
yang lebih berat sesuai dengan Undang-Undang.
Persoalan lain muncul ketika terjadi perselisihan antara KPK dan POLRI. Kedua
lembaga Negara saling mnganggap institusi masing-masinglah yang berwenang
untuk menyidik kasus korupsi yang menjerat salah satu petinggi POLRI. Banyak
pihak yang mendukung KPK untuk menangani kasus ini, sesuai dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 202 tetang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain
itu dalam pasal 50 ayat 3 dan 4, UU No 20 Tahun 2002 tentang KPK,
menyebutkan: Ayat 3: "Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang
lagi melakukan penyidikan".

Pasal 4: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/
atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan
tersebut segera dihentikan".
Tentu saja hal ini membuat banyak pihak mendukung KPK. Selain itu KPK
dinilai sebagai Lembaga yang independen dan tingkat kredibilitasnya dinilai
masyarakat tinggi, dibandingkan dengan Polri yang banyak dianggap berbagai
pihak tidak mampu menindak jenderal tersebut dengan objektif dan banyak yang
memprediksi jika kasus ini ditangani oleh POLRI maka akan muncul skenarioskenario tertentu yang akan menguntungkan Djoko Susilo.
Dari perspektif ketatanegaraan Presiden sebenarnya bisa memerintahkan POLRI
untuk menghentikan penyidikan, karena POLRI berada di bawah kedudukan
Presiden. Hal ini sesuai dengan pasal 8 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas
kedudukan Polri yang langsung di bawah Presiden, selain itu sesuai dengan
kontitusi pasal 10 yang menyebutkan bahwa Presiden merupakan Panglima
tertinggi angkatan darat, laut maupun udara.
Masalah yang terbaru adalah mengenai qanun atau peraturan daerah aceh
mengenai lambang dan bendera daerah aceh yang baru-baru ini disahkan oleh
DPR aceh. Bendera Aceh yang hampir identik dengan bendera Gerakan Aceh
Merdeka(GAM). Hal ini berdasarkan pada Qanun Aceh Nomor 3/2013 tentang
Bendara dan Lambang Aceh yang menetapkan bendera GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) sebagai bendera Propinsi. DPRAceh berdalih bahwa pemakaian bendera
tersebut adalah untuk mengenang masa kejayaan Aceh di masa kerajaan dan untuk
mengenang pahlawan aceh. Namun hal itu akan menimbulkan problem psikologis
di kalangan masyarakat. Pemakaian symbol dan bendera tersebut dikhawatirkan
akan membangkitkan kenangan lama yang bisa mengganggu proses perdamaian
yang tercantum dalam nota kesepakatan dan MoU Helsinki.

Sesuai MoU Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The
Free Aceh Movement (MoU Helsinki). Aceh memiliki hak untuk menggunakan
simbol-simbol

wilayah

termasuk

bendera,

lambang

dan

hymne.

Selanjutnya sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh


yang merupakan turunan dari MoU Helsinki, dalam Pasal 246 yaitu :
1. Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang
yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
3. Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera
kedaulatan di Aceh.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana
dimaksud pada ayat diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
Selain itu sesuai dengan undang-undang Pemerintahan Aceh yaitu UU no 11/2006
dan Peraturan Pemerintah no 77 tahun 2007, yang melarang pemakaian logo dan
bendera separatis, yaitu logo dan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dari
hal tersebut sudah terlihat jelas bahwa pemaksaan pemakaian lambang dan
bendera GAM tersebut telah melanggar MoU yang telah ditanda tangani
sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai